Thursday, February 14, 2008

100 Tahun Sutan Takdir Alisjahbana: Semangat Pejuang yang Tak Kunjung Padam

"Perjuangan semata lautan segara, perjuangan semata alam semesta;Hanya dalam berjuang beta merasa tentram dan damai;Hanya dalam berjuang berkobar,Engkau Tuhanku di dalam dada." - STA-

Sutan Takdir Alisjahbana (Istimewa)

Demikian rangkaian kata yang terukir indah penuh makna di atas batu nisan penyair Sutan Takdir Alisjahbana. Kata-kata itu seakan sungguh mewakili jiwa pejuang. Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang pejuang besar dalam riwayat bahasa dan kebudayaan bangsa Indonesia.

Karya-karya STA yang bernapas modernisasi tidak jarang menimbulkan kontroversi. Mungkin hal itu juga yang menyebabkan STA masih terus dikenang banyak orang. Kenangan itulah yang memicu peringatan 100 tahun kelahiran STA, di Desa Tugu, Cisarua, Bogor, Selasa (12/2). Pada acara itu, penyelenggara meluncurkan juga situs www.alisjahbana.org.

Seperti digambarkan dalam sepenggal sajak di atas, setiap perjuangan yang dialami STA justru adalah masa-masa saat seharusnya dia menikmati keriangan masa kecil. Konflik batin dirasakan STA yang terlahir cacat. Dia berjuang keras untuk menjadi setara dengan orang normal. STA yang lahir pada 11 Februari 1908 di Natal, Sumatera Utara tidak memiliki empat jari pada tangan kirinya.

Meskipun demikian banyak puisi dan buku yang telah ditulis, Sutan Takdir Alisjahbana atau yang biasa dipanggil dengan sebutan "STA" oleh keluarga dan para budayawan lebih senang dikenal sebagai pejuang bahasa daripada seorang sastrawan. Layar Terkembang, Anak Perawan di Sarang Penyamun, Dian yang Tak Kunjung Padam, puisi Aku dan Tuhanku, dan masih banyak lagi.

"Selama ini, masyarakat mengenal Ayah saya sebagai sastrawan, sebagai pengarang Layar Terkembang dan pemimpin Pujangga Baru, tapi sebenarnya, sastra bukan merupakan sumbangan utamanya. STA memberi landasan pembangunan peradaban Indonesia Modern di bidang bahasa, budaya dan filsafat sebagai mana kita mengenalnya," tutur putri keenam STA, Tamalia Alisjahbana.

STA berupaya keras agar bahasa Indonesia dapat dipergunakan sebagai bahasa nasional itu juga melakukan modernisasi bahasa Indonesia dengan bertindak sebagai pendorong dan pelaku utama Komisi Bahasa.

Sang Pejuang Sejati

Perjuangan STA bahkan sempat ditahan oleh pihak Jepang yang menjajah Indonesia pada tahun 1942. Kendati demikian sang pejuang sejati tidak pernah menyerah dengan rentetan kendala, hingga ayah sembilan anak itu mendapatkan julukan "Bapak Bahasa Indonesia Modern" karena jasa sebagai tokoh peletak dasar bahasa Indonesia yang akhirnya menjadi alat pemersatu sebuah negara yang memiliki beragam bahasa dari berbagai daerah.

Tidak hanya itu, STA juga memperoleh tanda kehormatan Satyalencana Kebudayaan dari pemerintah Indonesia pada 1970 dan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Nararya pada tahun 2000.

Dunia internasional mengakui heroisme STA. Kaisar Jepang pernah menganugerahi STA dengan satyalencana The Order of Sacred Treasure, Gold and Silver, dan Das Grosse Verdienstkreuz dari Presiden Republik Federal Jerman.

"Ia adalah seorang yang sangat radikal dan hanya kematianlah yang mampu menghentikan ide-idenya yang selalu menimbulkan pertentangan," ujar Des Alwi Abubakar, diplomat yang juga anak angkat Mohammad Hatta itu.

Direktur Wahid Insti-tute Yenny Zannuba Wahid juga mengagumi gagasan-gagasan Takdir. Selain di bidang bahasa, Sutan Takdir Alisjahbana dianggap telah memberikan kontribusi yang luar biasa besar dalam falsafah agama Islam.

Yenny menghimbau bangsa Indonesia agar melalui momentum 100 tahun Sutan Takdir Alisjahbana, sesuai dengan gagasan Takdir sendiri, generasi muda diharapkan dapat terus menggelorakan semangat transformasi di negeri Indonesia tercinta, dengan cara mencontoh kemajuan budaya yang khususnya dimiliki negara-negara Barat dan Eropa.

"Tentunya dengan tidak mengambil mentah-mentah kebudayaan barat, tetapi dengan jeli memilih kebudayaan mana yang patut ditiru dan dapat mendukung kemajuan kebudayaan di dalam negeri," papar Yenny.

Desa Tugu adalah lokasi rumah peristirahatan dimana Takdir menghabiskan masa tuanya, ia banyak menghabiskan waktu di rumah yang sudah sejak 50 tahun lalu dimilikinya itu. Di sanalah, STA banyak berdiskusi dan mengundang para budayawan baik dari dalam dan luar negri, memulai hingga menyelesaikan perdebatan mengenai budaya dan modernisasi. STA adalah teladan bagi perjalanan bangsa Indonesia menuju masa depan penuh harapan. [WWH/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 14 Februari 2008

No comments: