Friday, February 08, 2002

Esai: Pada Akhirnya, Sastrawan adalah Politikus

Oleh Udo Z. Karzi

TAK lama setelah saya menulis esai berjudul sama dengan esai ini di harian lokal, Binhad Nurrohmat menyebut judul sebagai "kalimat mahal". Terpaksa saya pakai lagi judul ini untuk mengatakan Binhad pun telah berpolitik dengan esainya. Dan sesungguhnya, esai ini lahir melihat pertentangan di antara para sastrawan di berbagai media massa dalam banyak hal. Sebut saja, soal kontroversi Khatulistiwa Award, sastra koran vs sastra serius, Angkatan 2000 dalam sastra Indonesi, dan sastra internet. Setidaknya, ada perdebatan yang cukup keras di antara para "politikus sastra", baik di media lokal maupun media nasional.

Jika politik mengotori, sastra menyucinya. Ungkapan John F. Kennedy ini sedemikian terkenalnya, sehingga kemudian para sastrawan terlegitimasi kebersihannya. Lalu, orang-orang pun menganggap karya-karya sastra sebagai karya yang dapat menyuarakan kebebasan, hati nurani, dan nilai-nilai moralitas. Bacalah sastra agar mata hati dapat terasah dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, sastra yang baik dapat mengajak manusia kembali merenungi sebuah perjalanan kehidupan; tidak dengan kaca mata hitam-putih, salah benar, atau dosa-pahala, tetapi penuh dengan backround, sebab-akibat, dan kelaziman-toleransi.

Anggapan-anggapan ini mengakibatkan pembaca menganggap sastrawan sebagai sosok yang suci (yang membersihkan noda para politikus). Sastrawan tak bolehj berpolitik. Sebab, jika sastra berpolitik, karya-karya yang lahir penuh kekotoran sebagaimana sifat politik. Tidak. Sastrawan harus berada di atas politikus. Pekerjaan sastrawan lebih mulia karena membawa suara kebajikan, suara moral dan etika, suara kemanusiaan, serta jauh dari nilai-nilai kekejian dan sesuatu yang dapat merendahkan manusia.

Dalam beberapa kesempatan, Rendra menyatakan alergi politik walau dalam keseharian, tanpa pernah ia sadari ia telah berpoltik. Simak saja sajak-sajaknya yang penuh dengan irama pemberotakan seperti yang terkumpul dalam "Potret Pembangunan dalam Sajak". Sajak-sajak Rendra justru lebih pasa diteriakkan dalam sebuah demontrasi mahasiswa. Ada juga Taufiq Ismail yang sajak-sajaknya sangat dekat dengan pergolakan tahun 1966. Dan, coba kita simak karya-karya Mansur Samin, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, bahkan Sapardi Djoko Damono, Sutardji calzoum Bachri, Afrizal Malna, dan Agus R. Sardjono sekalipun. Pertanyaannya, tidakkah ada nada pemberontakan dalam karya-karya mereka? Artinya, sekecil apa pun seorang sastrawan telah berpolitik dalam karyanya.

Seno Gumira Ajidarma pun berkata, "Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara," untuk mengukuhkan posisi sastrawan di atas awan. Kalau pernyataan ini, jelas informasi seburuk apa pun harus diberitakan (dalam kalimat yang lebih ilmiah: sosialisasi politik harus tetap dikembangkan). Meski tak hendak menjadi agen perubahan (agent of change), karya-karya sastra dapat saja menjadi jembatan perubahan sosial. Sebut saja karya-karya Charles Dickens sebelum melahirkan Revolusi Industri di Inggris. Ada Boris Pasternak di Rusia yang berani melawan arus politik dalam berkarya. Leo Tolstoy menulis "Perang dan Damai". Sastrawan Paclav Havel malah menjadi presiden betulan di negaranya (tidak seperti Sutardji yang jadi presiden penyair tanpa pemilu).

Dulu diributkan tentang sastra kontekstual. Sastra dalam konteks ini dimaksudakan untuk menjawab situasi dan kondisi yang berkembang di suatu tempat dan di suatu masa. Membicarakan karya sastra secara kontekstual, tentu dapat dihubungkan dalam konteks-konteks tertentu. Sebuah karya sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama) tentu memiliki background yang mewarnainya, lingkungan di mana karya itu bicara, ide-ide dan gagasan yang terkandung di dalamnya. Sekecil apa pun sebuah karya dapat memberikan pengaruh kepada pembacanya, mulai dari sekadar mengingat hingga mengajak untuk memberontak atas situasi (politik) yang tengah berlangsung.

Di sinilah sastrawan mulai berpolitik, dalam arti menanamkan pengertian kepada pembaca bahwa ada yang salah, ada yang mesti diperbaiki, ada yang harus diubah, dan akhirnya menanamkan kesadaran untuk melawan. Tak terhindari sastrawan, sadar atau tidak sadar, telah menjadi "provokator" jika tak hendak dikatakan politikus. Jika kemudian gagasannya merasuki setiap pikiran pembaca, bahkan masyarakat, sehingga melahirkan perubahan dalam pola pikir dan harapan bersama, sang sastrawan dengan sendirinya telah melakukan komunikasi politik yang berhasil. Tapi, tentu saja karya sastra tetap karya sastra. Bukan pamflet, selebaran atau provokasi berisi hasutan untuk merusak.

Beda sastrawan dan politikus adalah, jika politikus berjuang mendapatkan kekuasaan, maka sastrawan bekerja untuk mengembangkan kehidupan yang lebih damai, harmonis, dan penuh dengan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. Sebab, sastra merupakan sisi kehidupan yang tertuang dalam bentuk tulisan. Sebagai pembaca, tentu kita akan daapt membedakan, mana karya sastra dan mana tulisan politik. Jelas beda. Cara menuliskannya berlainan. Jadi, tak perlu khawatir pembaca akan mengira kebohongan-kebohongan sebagai bentuk karya sastra. Sastra toh tak pernah berdusta?

Tapi, tidak bolehkah polikus menjadi sastrawan? Kalau begitu, mengapa Indonesia harus memiliki presiden penyair, paus sastra, atau sederet pangkat yang diberikan kepada pekerja sastra? Mengapa sastrawan masih membutuhkan penghargaan atau anugerah sastra? Dan, mengapa pula T. Wijaya mesti meributkan "Presiden Penyair" yang mungkin berlaku seumur hidup? Ah, bagaimana pun kehidupan politik memang selalu menarik bagi sastrawan. Mengapa mesti mengingkari soal ini? Apa salahnya sastrawan merangkap politikus? Takut karya sastra kehilangan kualitas atau malah dilacurkan untuk kepentingan politik tertentu? Kalau begitu, kia harus melarang karya-karya Pramudya Ananta Toer dan sastrawan-sastrawan kiri dan kanan lainnya.

Ah, kalau begitu kita pun nyata-nyata menyalahgunakan politik untuk mengekang kebebasan bersastra. Menurut saya, sastra dan politi tidak mungkin dipisahkan begitu saja. Politik sastra atau sastra politik, tinggal dibolak-balik, akan dapat membuat kehidupan sastra dan kehidupan politik menjadi lebih berkembang. Sebuah novel politik, tentu lebih bermakna apabila lahir dari sastrawan yang terlibat langsung dalam carut-marut kehidupan politik. Tanpa itu, sebuah karya sastra akan kering kerontang. Sastra adalah politik senyatanya. Di dalamnya konflik, manipulasi, korupsi, konsensus, dan integrasi menjadi indah. Kita dapat belajar dari politik dan sasta sekaligus.

Ya, sastra adalah politik, politik adalah sastra. Pada akhirnya, sastrawan adalah politikus. Apa lagi yang mesti kita ributkan?

Bandar Lampung, 6 Februari 2002

Sumber: Cybersastra.net, 8 Februari 2002