Sunday, December 31, 2006

Temu Sastra MPU Bali: Membincang Sastra Dalam Deru Ombak

SEPERTI terinspirasi Temu Sastra I Mitra Praja Utama (MPU) yang digelar di Pantai Anyer Banten, pekan lalu Temu Sastra II MPU digelar di tepi Pantai Sanur, Bali. Di aula terbuka Hotel Inna Sindhu Beach, sekitar 20 meter dari garis pantai, diskusi dan pentas sastra dilaksanakan, dalam iringan deru angin dan ombak. Di malam hari, deru ombak makin terdengar nyata, mengiringi suara pembicara dan pembaca sajak.

Tempat makan dan rehat pun ditata nyaris di bibir pantai, di bawah rindang pohon-pohon kelapa. Sehingga, sambil menyantap hidangan bermenu khas Bali, para peserta bisa memandang riak ombak dan hamparan laut lepas yang kebiruan. Suasana tamasya sangat terasa pada even sastra yang diikuti 10 provinsi anggota MPU itu.

Digelar selama empat hari (12-15 Desember 2006), even dua tahunan itu didesain untuk meningkatkan kemitraan yang lebih sinergis antara sastrawan, akademisi, pegiat sastra, wartawan, dan birokrat kesenian. Berbagai persoalan pemasyarakatan serta peran sastra dalam membangkitkan harkat dan martabat bangsa dibicarakan bersama untuk dicarikan soluisi terbaiknya.

Diikuti sekitar 100 peserta, sebagian besar angota delegasi dari 10 provinsi anggota MPU -- DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur -- Temu Sastra II MPU dibuka oleh Gubernur Bali Dewa Made Baratha dengan pemukulan gong. Pementasan tari Bali dan pembacaan sajak memeriahkan acara pembukaan.

Dibingkai dalam tema Peranan Sastra dalam Membangkitkan Harkat dan Martabat Bangsa, berbagai topik menarik dibahas pada sesi-sesi diskusi yang berlangsung sejak pagi hingga larut malam. Sesi pertama mengevaluasi strategi pemasyarakatan sastra, dengan pembicara Dendy Sugono dan Joko Pinurbo. Sesi kedua tentang membangun religiusitas melalui sastra, dengan pembicara Ahmad Tohari, Isbedy Stiawan ZS dan D Zawawi Imron.

Sesi berikutnya membahas peran komunitas sastra dalam pemasyarakatan sastra, dengan pembicara Raudal Tanjung Banua dan Ahmadun Yosi Herfanda. Sesi keempat membahas tentang multikultur dan sastra lintas budaya dengan pembicara Yasraf Amir Piliang dan Triyanto Triwikromo. Sesi kelima membahas tentang Bali dalam konteks sastra nasional dan global dengan pembicara Jean Couteau dan Darma Putra. Sesi terakhir tentang posisi sastrawan dalam pembangunan kebudayaan dengan pembicara Slamet Sukirnanto dan Soemardi.

Pelaksanaan Temu Sastra II MPU di Bali dipercayakan kepada Forum Pecinta Sastra se-Bali (FPSB) yang diketuai oleh Drs IB Darmasuta, yang sekaligus dipercaya sebagaui ketua panitia, atas dukungan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Menurut Ketua Sekber MPU Moerdiman, Temu Sastra MPU merupakan salah satu wujud kegiatan kerja sama 10 provinsi yang tergabung dalam wadah MPU. Wadah kerja sama MPU menggarap hampir semua sektor pemberdayaan masyarakat, sejak ekonomi, kesehatan, sampai seni-budaya. Program MPU untuk bidang seni-budaya, selain temu sastra, adalah Duta Seni Pelajar yang dilaksanakan tiap tahun -- tahun 2005 di Yogyakarta, tahun 2006 di Banten, dan tahun 2007 di Jakarta.

Temu Sastra MPU 2006 menghasilkan beberapa kesepakatan dan rekomendasi penting. Temu sastra MPU disepakati menjadi agenda dua tahunan yang pendanaannya disiapkan oleh masing-masing provinsi anggota MPU. Temu sastra MPU dilaksanakan secara bergilir berdasarkan kesepakatan bersama, serta harus melibatkan sastrawan, akademisi sastra, pegiat sastra, wartawan, dan birokrat.

Sidang pleno juga menyepakati bahwa sastra dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Delegasi yang akan mengikuti Temu Sastra MPU setidaknya dapat merepresentasikan kualitas daerahnya masing-masing. Dan, secara khusus Propinsi Jawa Barat ditunjuk sebagai penyelenggara MPU III 2008.

Temu Sastra MPU II juga merekomendasikan agar Menteri Pendidikan Nasional RI menugaskan kepada Pusat Bahasa untuk mendukung penyelenggaraan Temu Sastra MPU dan menerbitkan karya sastra yang direkomendasikan dalam sidang Temu Sastra MPU. Rekomendasi serupa juga ditujukan kepada Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya RI, agar menugaskan kepada Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film untuk mendukung Temu Sastra MPU.

Dua rekomendasi lain ditujukan kepada para gubernur provinsi anggota MPU, yakni agar gubernur menganggarkan dana untuk penyelenggaraan Temu Sastra MPU dan melaksanakan kegiatan sastra lainnya yang nantinya akan dapat mendukung dan bermuara pada Temu Sastra MPU. Selain itu, gubernur juga direkomendasikan agar menyosialisasikan seluas-luasnya kesepakatan pengembangan dan pemasyarakatan sastra di wilayah kerja masing-masing.

Sisi menarik lainnya dari Temu Sastra MPU II Bali adalah pertunjukan sastra. Pada malam pertama, tampil D Zawawi Imron (Madura), Wan Anwar (Banten), Acep Zamzam Noor (Bandung), Diah Hadaning (Jakarta), Inggit Patria Marga (Lampung), serta beberapa penyair Bali, seperti Pranita Dewi, Abu Bakar, Sindu Putra dan Wayan Sunarta.

Pada malam berikutnya, antara lain tampil Ahmad Tohari (Jawa Tengah), Slamet Sukirnanto, Miranda Putri, Rara Gendis, dan Hamsad Rangkuti (Jakarta), serta Dinullah Rayes (NTB). Tampil juga Joko Pinurbo (Yogyakarta), Isbedi Stiawan ZS (Lampung), Slamet Rahardjo Rais dan Endang Supriadi (Jakarta), serta Oka Rusmini, Ngurah Parsua, Samar Gantang, dan Putu Satria Kusuma (Bali).

Pada hari ketiga, peserta mengikuti 'wisata budaya' mengunjungi objek-objek wisata terpenting di Bali. Hari keempat diisi sidang perumusan, dan upacara penutupan. Meski kental nuansa wisata, Temu Sastra MPU menjadi bagian dari upaya untuk membantu mewujudkan cita-cita mulia membangun bangsa melalui sastra. Pesan mendasarnya adalah agar pemerintah tidak hanya mengutamakan pembangunan fisk dan materi, tapi juga pembangunan nilai-nilai budaya melalui sastra guna memperkuat jati diri bangsa.


DKI Dukung Temu Sastra MPU


Temu Sastra MPU merupakan even yang sangat penting untuk dijadikan forum bertukar pikiran antara sastrawan, akademisi, pegiat sastra, dan birokrat kesenian, guna mencari pemecahan atas persoalan-persoalan sastra terkini. Dengan solusi itu, diharapkan pemasyarakatan dan pengembangan sastra dapat dilakukan bersama secara lebih intensif lagi.

Karena itu, menurut Wakil Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Agung Widodo, Pemda Provinsi DKI Jakarta serius mendukung pelaksanaan temu sastra tersebut. ''Salah satu buktinya, DKI mengirimkan delegasi terbanyak ke Temu Sastra MPU II Bali,'' kata Agung Widodo, ketua delegasi DKI Jakarta.

Dikoordinir oleh Kasubdis Pembinaan Seni Budaya Yusuf Sugito, delegasi DKI terdiri dari Hamsad Rangkuti, Slamet Rahardjo Rais, Sunu Wasono, Endo Senggono, Ahmadun YH, Endang Supriadi, Miranda Putri, Pudji Isdriani, Rara Gendis, Ima Rahmawati, serta beberapa staf Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.

Selain mereka, beberapa sastrawan dan akademisi sastra Jakarta, seperti Dendy Sugono, Slamet Soekirnanto, dan Soemardi, berangkat melalui Pusat Bahasa Depdiknas. Sementara, Provinsi Banten, tempat MPU pertama digelar, antara lain mengirimkan Wowok Hesti Prabowo, Wan Anwar dan Rubby Ach Baedawy. (ahmadun yh)

Sumber: Republika, Minggu, 24 Desember 2006

Anugerah Kebudayaan: Media Diminta Junjung Budaya Nasional

JAKARTA (Media): Pengelola serta pekerja media massa dan iklan diminta menghasilkan karya kreatif yang memiliki misi dan visi kebudayaan nasional.

Karya mereka tidak sekadar mengekor dengan mengangkat budaya asing. Hal itu sangat diperlukan untuk membangun citra serta memperkukuh persatuan bangsa.

Pernyataan itu disampaikan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Mendbupar) Jero Wacik dalam sambutannya pada pemberian Anugerah Kebudayaan untuk media massa dan iklan di auditorium TVRI, Jakarta, Kamis (28/12) malam.

"Negeri kita mempunyai ragam budaya yang amat banyak. Semua itu bisa diangkat menjadi sebuah tulisan atau iklan. Lebih baik mengangkat budaya lokal ketimbang budaya asing dalam karya di media massa dan iklan," katanya.

Anugerah Kebudayaan, katanya, sangat tepat diberikan di saat sebagian besar masyarakat Indonesia banyak menghujat tayangan di televisi. "Acara ini adalah cara lain dari kami (Departemen Budaya dan Pariwisata) untuk mengkritik tayangan televisi yang mempunyai dampak negatif pada pemirsanya," ungkapnya.

Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film (NBSF) Depbudpar Sri Hastanto mengungkapkan, sekitar 250 judul program televisi dan 100 judul iklan yang berdedikasi terhadap kebudayaan yang diamati dewan juri Anugerah Kebudayaan.

Untuk media televisi yang mendapat penghargaan kategori sinetron yaitu Lorong Waktu (SCTV), kategori feature Tayangan Teropong (Indosiar), serta acara anak-anak adalah Masuk TV (Indosiar). Sedangkan untuk media cetak, yang mendapat penghargaan adalah artikel Buku Pinjaman di Sepeda Ontel (Koran Tempo), dan opini Amarah (Jacob Sumardjo).

Penghargaan juga diberikan untuk cerita pendek Wening yang dimuat di Kompas (Yanusa Nugroho), serta puisi Pidato Bunga bunga (Afrizal Malna). Sementara itu, bidang iklan komersial diraih iklan cetak Bambu Runcing (Bank Danamon) dan iklan televisi Naik Kereta Api (Gudang Garam Merah). Sedangkan iklan layanan masyarakat diraih Simbah Naik Becak (Yogya TV). (Eri/H-2).

Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 30 Desember 2006

Peta Budaya Cegah Pematenan oleh Negara Lain

JAKARTA (Media): Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film (NBSF) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dalam waktu dekat akan mengeluarkan peta budaya. Peta itu akan berisikan data-data benda dan penemuan budaya dari seluruh Indonesia.

"Nantinya, jika data sudah terkumpul, kita akan daftarkan patennya di HAKI Depkum dan HAM (Hak atas Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia). Sehingga tidak akan terjadi lagi benda atau penemuan budaya milik kita diklaim dan dipatenkan oleh negara lain," ungkap Direktur Jenderal NBSF Depbudpar Sri Hastanto kepada Media Indonesia di sela jumpa pers akhir tahun departemen tersebut di Jakarta, kemarin.

Hastanto mengakui selama ini memang makin sering terjadi benda atau penemuan budaya Indonesia yang dipatenkan pihak asing. "Ya angklung, batik, kunyit, dan lainnya. Bahkan lagu Burung Kakatua dan Soleram kabarnya akan dipatenkan oleh Brunei karena kita tidak tahu siapa penciptanya, hanya disebut NN (no name)," ungkapnya.

Beberapa seni pertunjukan dan kesenian juga rentan diklaim negara lain jika tidak segera dipatenkan. Salah satu contoh adalah seni penjor Bali, yang gampang sekali ditiru. "Tetapi kita sudah data dan akan segera kita daftarkan di HAKI," ia menandaskan.

Karena itu, peta budaya yang berisikan data-data benda dan penemuan budaya Indonesia amat diperlukan untuk menghindari klaim pihak asing. "Saat ini kita sudah memulai mengadakan penelitian untuk mendapatkan data benda-benda dan penemuan budaya milik Indonesia yang belum dipatenkan," ungkap guru besar di Institut Seni Indonesia itu.

Nantinya, lanjut Hastanto, data-data tadi akan diinventarisasi dan akan didaftarkan di HAKI. "Kita juga akan membuka website sehingga pendataan bisa online terus-menerus. Kita tentu berharap bantuan dari pihak-pihak terkait lain yang berkepentingan. Kalau kita mendata sendiri, tentu akan kewalahan," ujarnya. Ia pun menambahkan, pada pertengahan 2007 pendataan dan pematenan akan selesai.

Hastanto mengungkapkan saat ini pendataan difokuskan pada pulau-pulau terluar seperti Talaud, Natuna, dan Merauke. Pasalnya, banyak benda-benda dan penemuan budaya Indonesia berada di sana. "Benda-benda dan penemuan budaya yang berasal dari pulau terluar lebih mudah diklaim oleh negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, atau Brunei," ujarnya.

Dirjen mengungkapkan sebenarnya sejak 2004 pihaknya sudah menyerukan pendaftaran karya atau temuan budaya ke HAKI. "Tetapi masih banyak yang ogah-ogahan. Nah, ketika dipatenkan negara lain, baru ribut," ujarnya.

Karena itu, ia mengharap kesadaran untuk mematenkan benda atau penemuan budaya harus ditumbuhkan sejak sekarang untuk menghindari klaim negara lain atas benda atau penemuan budaya. (Eri/H-2).

Sumber: Media Indonesia, Jumat, 29 Desember 2006

Tuesday, December 26, 2006

Pragmatisme Semakin Menonjol, Kebijakan Bidang Kebudayaan Belum Banyak Berubah

Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah di bidang kebudayaan belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan. Apa yang dilakukan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata masih terjebak pada semangat pragmatisme dengan program-programnya yang karitatif. Upaya mendorong tumbuhnya daya cipta justru diabaikan.

Demikian pandangan pengamat budaya Radhar Panca Dahana dan Wicaksono Adi yang dihubungi terpisah di Jakarta, akhir pekan lalu. Sementara sejarawan Susanto Zuhdi dari Universitas Indonesia mengingatkan pemerintah agar program-program di bidang kesejarahan ke depan perlu lebih membumi.

Semangat pragmatisme yang ditunjukkan pemerintah di bidang pembangunan kebudayaan, menurut Radhar, antara lain terlihat dari kecenderungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk memfokuskan diri pada program-program yang bersifat populer. Hal itu jelas terlihat dari semangat luar biasa dalam mendukung berbagai festival kesenian, termasuk perfilman.

"Film memang bersifat populer dan menyajikan kekuatan selebrasi yang kuat. Untuk sebuah festival film, pemerintah rela keluar dana miliaran rupiah. Akan tetapi, coba tengok di bidang seni lain, katakanlah untuk kegiatan teater, dana yang dikucurkan jauh lebih kecil," kata Radhar.

Prestasi di bidang perfilman yang baru mulai menggeliat itu pun, kata Radhar, sebetulnya lebih banyak merupakan hasil jerih payah insan perfilman dan sudah dirayakan sedemikian rupa oleh pemerintah. Begitu juga dengan panggung-panggung perlombaan menyanyi yang populer belakangan ini, juga mendapatkan dukungan besar.

Sebaliknya, bidang-bidang yang sifatnya nonmaterial kurang mendapatkan tempat. Infrastruktur kesenian yang dibutuhkan kalangan budayawan agar leluasa bekerja, seperti gedung perpustakaan untuk riset, jaringan informasi, jaringan pusat kesenian, serta landasan hukum yang diperlukan, belum memadai.

"Jika hal-hal semacam ini terus diabaikan, bangsa ini akan berjalan dalam kegelapan dan mengalami disorientasi," katanya.

Radhar juga menyayangkan kecenderungan kegiatan budaya, khususnya seni, masih saja ingin dikait-kaitkan dengan pariwisata. Akibatnya, kebudayaan pun direduksi hanya menjadi semacam komoditas ’tempelan’ dari agenda besar berlabel pariwisata. Padahal, di tengah kemerosotan bangsa ini di berbagai bidang, kesenian dan kebudayaan dalam arti luas justru memiliki kekuatan tersendiri, yang terbukti masih mendapat penghormatan dan penghargaan di dunia internasional.

Tak banyak berubah

Bagi Wicaksono Adi, program- program yang dikedepankan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata belum banyak berubah dibandingkan kebijakan di masa lalu. Karena cenderung karitatif, kebijakan-kebijakan di kebudayaan dinilainya kurang mendorong terciptakan iklim yang baik. Usaha memelihara budaya tidak dengan mendorong daya cipta.

"Sebetulnya telah mulai tumbuh lembaga-lembaga budaya dalam masyarakat yang meningkatkan daya cipta, tetapi sifatnya masih sporadis. Mereka perlu dirangkul dan bersinergi," ujarnya.

Dalam kaitan itu, pemerintah seharusnya bisa berperan, terutama dalam menciptakan iklim; mulai dari membangun fasilitas sampai dengan dasar hukumnya.

Dia mencontohkan, dorongan kepada industri perfilman di Tanah Air perlu diciptakan iklim perpajakan yang menunjang, seperti mempertimbangkan agar pajak perfilman tidak sama persis dengan industri. Demikian juga dengan bantuan promosi ke dunia internasional.

Sejarawan Susanto Zuhdi lebih menyoroti program-program di bidang kesejarahan, yang menurut dia masih perlu lebih membumi. "Penulisan sejarah Indonesia akan selesai dan diluncurkan pada tahun 2007. Setelah itu, yang tak kalah penting ialah mendorong penulisan sejarah-sejarah lokal," kata Susanto.

Penulisan sejarah lokal penting agar tidak terjadi disorientasi keindonesiaan di daerah-daerah. Sejarah lokal itu tentunya merupakan jati diri lokal dalam konteks kebangsaan. (INE)

Sumber: Kompas, Selasa, 26 Desember 2006

Sunday, December 24, 2006

Esai: "Horison" dan Generasi Pasca-Orba

-- Binhad Nurrohmat*

Life begins at forty, kata orang, dan tahun ini majalah Horison berumur 40 tahun—sebuah rekor hidup majalah kesusastraan yang belum tertandingi di negeri ini. Majalah kesusastraan berbahasa Indonesia itu lahir setelah kekuasaan Orde Lama tutup buku dan ketika kekuasaan Orde Baru baru berdiri. Majalah bulanan yang legendaris itu terbit pertama kali pada Juli 1966 dengan SIT No.0401/SK/DPHM/SIT/1966, 28 Juni 1966 dan SIUPP No.184/SK/MENPEN/SIUPP D.I/1986, 3 Juni 1986.

Di tengah keterbatasan pada mula kelahirannya, Horison mampu gigih dan bergairah membangun dirinya dalam kesunyian dan keterpencilan. Kantor Horison berpindah-pindah tempat, susunan pengelolanya berulang bongkar pasang, dan kondisi keuangan perusahaan yang darurat.

Kegigihan dan gairah itu bukan tanpa hasil. Horison melahirkan sastrawan "Generasi Horison" (Subagio Sastrowardoyo, Bakat Alam dan Intelektualisme, 1971) yang menjadi barisan penting kesusastraan Indonesia: Goenawan Mohamad, Budi Darma, Iwan Simatupang, Taufiq Ismail, Subagio Sastrowardoyo, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Putu Wijaya, dan Hamsad Rangkuti.

Deretan nama-nama ini hanya sebagian contoh sastrawan yang menggerus energi kreatif terpentingnya sepanjang 1960-an hingga 1980-an dan berjuang agar karyanya dipajang di lembaran Horison. Mereka merintis karier kesusastraan, mendapat ruang kebebasan bereksperimen, dikenal khalayak luas, dan memantapkan posisi kesastrawanan melalui Horison yang sekian dekade lalu menjadi pusat parameter kesusastraan yang paling berpengaruh di Tanah Air.

Hebatnya, sastrawan "Generasi Horison" itu memiliki karakter, wawasan, dan bentuk kesusastraan yang beragam meski berproses dalam sebuah majalah yang sama. Ada puisi Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mohamad maupun prosa Danarto, Iwan Simatupang, Umar Kayam, Putu Wijaya, dan Budi Darma— yang sampai kini dianggap tonggak utama kesusastraan Indonesia.

Pada masa keemasannya, redaksi Horison sungguh jeli menangkap potensi pertumbuhan dan keberagaman dalam kesusastraan sehingga Horison memberikan sesuatu yang berharga bagi kesusastraan dengan bermodal dedikasi dan keterbatasan infrastrukturnya.

Kini prasarana Horison jauh lebih baik ketimbang dulu. Untuk merawat prestasi cemerlang itu, Horison mesti bertanding dengan masa keemasannya sendiri dan berupaya mencapai prestasi selanjutnya dalam situasi dan kondisi negeri serta kehidupan media massa yang sudah sangat berbeda.

Kelahiran Horison menandai lahirnya gairah kesenian dan kebudayaan yang sedang merekah bersama berdirinya kekuasaan Orde Baru (Orba)—setelah melewati masa keras dan gemuruh, penuh spanduk slogan, pertarungan dan intrik yang ganas dalam kehidupan politik dan kebudayaan di negeri ini pada 1960-an.

Dalam situasi sosial-politik di masa Orba, pada mulanya, keberadaan Horison dan para pengelolanya—kaum Manifes Kebudayaan itu—berada di atas angin dan memiliki kebebasan yang luas dan besar untuk "melanjutkan" keyakinan dan visi kebudayaan Humanisme Universil.

Pada masa Orde Lama, Humanisme Universil dan kelompok Manifes Kebudayaan (yang gigih mendukungnya) merayap di bawah tanah karena diserang habisan-habisan oleh kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat yang menganut Realisme Sosialis dalam kesenian dan kebudayaan.

Kelahiran Horison merupakan bentuk "kemenangan" kelompok Manifes Kebudayaan (yang oleh kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat diperolok dengan sebutan "Manikebu") itu.

Kelahiran Horison tak lepas dari latar historis sosial-politik di negeri ini, dan bukan tanpa pengaruh (atau konsekuensi?): absennya kecenderungan kesusastraan yang kritis terhadap tirani kekuasaan Orba.

Dari "Horison" ke koran

Pada masa keemasan Horison muncul sejumlah reaksi tandingan. Majalah Aktuil yang terbit di Bandung pada dekade 1970-an melawan kemapanan dan "kesakralan" kesusastraan Horison. Majalah Aktuil dipimpin oleh Remy Sylado yang terkenal dengan Gerakan Puisi mBeling yang dikembangkan melalui majalahnya itu. Di kota dan dekade yang sama diselenggarakan Pengadilan Puisi yang menggugat "hegemoni" kesusastraan Horison dan para sastrawannya.

Munculnya reaksi-reaksi tandingan itu menunjukkan adanya anggapan kuatnya pengaruh Horison dalam kesusastraan di Tanah Air. Reaksi-reaksi itu merupakan mutu sikap serta karakter suatu generasi kesusastraan di negeri ini yang memiliki nyali budaya tanding dan menolak takluk kepada dominasi atau hegemoni kesusastraan tertentu.

Selain itu, pertumbuhan media massa koran selepas 1970-an yang membuka lembaran kesusastraan membuat media kesusastraan kian meluas dan pelakunya makin banyak. Lembaran kesusastraan di koran yang terbit rutin sekali seminggu lebih banyak menampung pertumbuhan dan aktualisasi kesusastraan ketimbang Horison yang terbit bulanan.

Ajang kompetisi dan aktualisasi kesusastraan perlahan bergeser ke koran atau setidaknya Horison tak lagi menjadi satu-satunya kiblat kompetisi maupun aktualisasi kesusastraan sehingga pengaruh Horison tak sebesar dan sekuat sebelumnya.

Karya, polemik, isu, dan perdebatan kesusastraan yang dianggap penting atau fenomenal sejak 1980-an (hingga sekarang) pun munculnya di koran, bukan di Horison. Misalnya, pada 1980-an terjadi perdebatan panjang Sastra Kontekstual dan pada 1990-an merebak polemik Puisi Gelap, Sastra Koran, Revitalisasi Sastra Pedalaman, Sastra Reformasi, dan Sastra Saiber di koran Jakarta maupun daerah. Tiras yang besar dan peredaran yang luas membuat karya, polemik, isu, dan perdebatan di koran lebih bergema.

Sejak 1980-an lahir "Generasi Sastra Koran" yang cenderung inklusif dan rileks ketimbang generasi sastra sebelumnya, lebih sadar dan peka kenyataan sekeliling dan menjadikannya sumber penciptaan, serta mewarisi watak koran sebagai media yang industrial.

Realitas kesusastraan di koran yang pada mulanya dianggap "sastra rendahan dan dangkal" kemudian makin memendarkan pamor nilai dan wibawa kesusastraannya, melahirkan kesemarakan dan keberagaman kesusastraan, menjadi sumber pengaruh yang kuat, dan para tokohnya menjadi pemuka kesusastraan Indonesia sejak 1980-an hingga sekarang.

Kesusastraan di Horison bertanding dengan kesusastraan di koran mestinya tak terelak dalam ajang kesusastraan yang kian kompetitif ini. Jika menghindar, Horison akan meluputkan puncak-puncak kondisi aktual kesusastraan di Tanah Air.

Horison masa kini yang memilih terjun ke sekolah untuk menyebarkan "pendidikan" kesusastraan memang sangat membantu kurikulum kesusastraan di sekolah dan meningkatkan apresiasi kesusastraan para pelajar. Tapi, kerja keras keluar-masuk sekolah di banyak pelosok Tanah Air itu membuat Horison kehilangan energi dan konsentrasi untuk menjadi penjemput bola terdepan kesusastraan, terutama karya-karya penting dekade pertama "Generasi Sastra Pasca- Orba" itu.

Apakah itu semata konsekuensi dari sebuah pilihan?

* Binhad Nurrohmat, Penyair

Sumber: Kompas, Minggu, 24 Desember 2006

Esai: 1 Gempa,1 Tsunami, 100 Penyair

-- Binhad Nurrohmat*


dengan kaki telanjang; kita berziarah
ke kubur orang-orang yang telah melahirkan kita.
Jangan sampai mereka terjaga!
Kita tak membawa apa-apa. Kita
tak membawa kemenyan atau pun bunga-bunga;
kecuali seberkas rencana-rencana kecil
(yang senantiasa tertunda-tunda) untuk
kita sombongkan kepada mereka.

Sapardi Djoko Damono "Ziarah" (1969)

TAK lama setelah Aceh diguncang gempa dan dilumat tsunami pada 2004 maupun sesudah Yogyakarta digoyang patahan lempeng bumi pada 2006, saya (dan banyak penyair yang lain) diundang melalui SMS oleh panitia penerbitan buku antologi puisi bersama untuk menyumbangkan puisi bertopik bencana yang melanda dua daerah istimewa itu.

Saya berdebar dan ngilu menerima SMS itu. Betapa besar dan mulia kepekaan puisi di negeri ini, dan saya bertanya: bukan tanpa faedah puisi dituliskan. Tapi apa guna puisi bagi korban bencana yang saya yakin perlu yang lebih urgen berupa nasi, perban, pakaian, sabun, selimut, odol, tenda, maupun tampon ketimbang sekadar puisi dari penyair paling hebat pun? Mungkinkah korban gempa dan tsunami di negeri ini akan tulus mengucapkan, "Penyair, terima kasih banyak untuk puisinya. Kami tak lagi menderita...?"

Tapi apa mau dikata bila gempa dan tsunami di Aceh itu telah "melahirkan" ratusan penyair dan buku-buku antologi puisi bersama (yang entah dibaca atau tidak oleh korban bencana); dan panitia buku antologi puisi bersama untuk gempa Yogyakarta, misalnya, telah pula menyiarkan di koran, "Buku antologi tersebut akan memuat 100 puisi dari 100 penyair. Seluruh hasil penjualan buku puisi diperuntukkan bagi korban gempa...."

Fantastik!

Setelah gempa dan tsunami berlalu dengan gurat duka tak terperikan, banyak orang tergugah hati berbuat untuk korban bencana, nama-nama lama datang lagi dan nama-nama baru pun nongol di media massa melalui "jasa" puisi.

Ironikah?

Apakah bila semakin banyak gempa dan bertambah besar musibah yang ditimbulkannya akan melahirkan kian banyak penyair? Ah, entahlah. Terpujikah atau kejikah panita penerbitan buku antologi puisi itu?

Tunggu dulu.

Setelah gempa dan tsunami meruntuhkan rumah-rumah penduduk di negeri ini, merenggut ribuan hingga ratusan ribu nyawa, dan beritanya menyesaki media massa, banyak orang yang jauh dari bencana pun merajalela menulis puisi demi menyuarakan solidaritas dan keprihatinannya, bahkan korban langsung dari gempa dan tsunami yang merampas rumah, harta, dan kerabatnya juga ada yang bisa dan sempat menulis puisi yang terilhami bencana itu.

Sungguh itu peristiwa sastra dan kebudayaan yang menggetarkan. Bencana telah menjelma ilham kolektif yang menakjubkan. Begitu banyaknya puisi hingga seorang panitia buku mengaku kewalahan menampung ratusan puisi untuk sebiji buku antologi puisi bersama yang terbatas jumlah halamannya.

Apakah semua orang bisa menjadi penyair setelah terlanda kesedihan? Apakah puisi bertugas menyuarakan penderitaan?

Saya ingat pernyataan Sutan Takdir Alisyahbana (STA), "Dalam dada tiap-tiap manusia berdebur darah penyair. (...) Kemalangan nasib, kecewa, perasaan rindu di rantau, anak nelayan di tengah lautan, tidak putus-putusnya diratapi. (...) Perasaan ketakjuban memandang kebesaran alam, perasaan kasihan kepada golongan manusia, perasaan agama, perasaan kebangsaan, perasaan yang dibangkitkan oleh cita-cita dan pengharapan dan berpuluh macam perasaan yang lain, dapat membangkitkan gelora dalam sukma penyair. (...) Pada hakekatnya rayuan pungguk, nyanyian kekasih, cumbuan kembang dan tangisan hati yang sedih itu hanyalah perhiasan kesusasteraan..." (Majalah Panji Pustaka,1932)

Penilaian STA itu kini mungkin masih benar, barangkali juga kini perlu dievaluasi. Yang jelas saya bangga campur haru karena masih ada fenomena yang menunjukkan bahwa puisi hari ini menunjukkan solidaritas kemanusiaan ketika dunia puisi dan sastra kita dituduh introvert, tak peka kenyataan sekitar, serta cenderung keranjingan membincangkan urusan remeh-temeh belaka.

Tapi kenapa konflik berdarah di Poso, Ambon, Papua, dan Sambas, Irian jaya, serta wabah flu burung, ledakan bom teroris, dan tragedi-tragedi yang lain di Indonesia tak mampu menggalang ekspresi solidaritas puisi kita sebagaimana gempa dan tsunami di Aceh dan Yogyakarta? Apakah jumlah korban nyawa dan bendanya kurang spektakuler sehingga kurang menggetarkan mekanisme spontan hati nurani ataupun kurang memprovokasi kepekaan jiwa kepenyairan? Begitu haus darahkah penyair?

Saya percaya masyarakat kita memiliki trauma kolektif sebagai bangsa. Trauma penjajahan, peperangan, kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, dan bencana alam. Trauma-trauma itu menjadi sejenis mood management yang menggerakkan sesuatu yang tersimpan di dalam lubuk diri dan hati masyarakat kita secara otomatis, massal, dan spontan.

Trauma ini pengikat emosi bersama yang kuat dan spontan. Maka tanpa diminta siapa-siapa, ketika negara belum berbuat apa-apa, para relawan atas niat sendiri berbondong-bondong ke Aceh maupun Yogyakarta untuk membantu korban bencana sehari setelah bencana hebat menghancurkan dua kota itu. Ya, sebagaimana baris-baris puisi yang segera tumpah dari ujung pena atau terketukkan di tuts-tuts komputer sesaat setelah terdengar kabar bencana yang menelan ratusan, ribuan, dan ratusan ribu nyawa.

Spontanitas puisi untuk tragedi yang melanda Aceh dan Yogyakarta itu merupakan efek dari sebuah kepekaan dari ikatan emosi yang kuat dan dalam yang telah terguncang atau terprovokasi tragedi, walau kita tahu dalam konteks perpuisian, tetek-bengek kadar kepekaan maupun solidaritas sosial bukan penentu utama "mutu" puisi, dan meski kita juga mengerti betapa luhur menyuarakan keprihatinan kemanusiaan dengan cara menuliskan puisi ataupun menyumbangkan indomie.

Tapi ramainya puisi "menyambut" gempa dan tsunami merupakan kebajikan namun bukanlah jaminan menghasilkan capaian puitika yang bagus. Kebebasan ekspresi menyuarakan keprihatinan melalui puisi dan mutu prestasi dalam penulisan puisi adalah dua perkara yang berbeda, sebagaimana siapa saja boleh menyanyi di kamar mandi tanpa perlu menimbang mutu vokalnya, tapi untuk bisa menyanyi di dapur rekaman atau panggung festival menyanyi lain lagi urusannya.

Kepekaan terhadap kenyataan memang penting agar puisi (selain berdaya secara estetik) juga mampu menjadi benda kebudayaan yang sanggup merekam tanda zaman dan inti atau ruh suatu kenyataan secara artistik. Kesadaran penyair untuk bisa berbuat yang relevan dan substansial jangan terlalaikan dengan cara tetap waspada pada godaan provokasi dari tragedi yang mengguncangkan dan merobek-robek batin.

Sebab selama ini, di dalam rasa luhur kepenyairan yang ingin menyuarakan keprihatinan kemanusiaan yang tertimpa tragedi, masih banyak puisi yang tampak ingin gagah atau suci sehingga lupa motif yang luhur pun bisa membuat puisi terjatuh sebagai semata teriakan-teriakan, rintihan-rintihan, dan ratapan-ratapan --sebagaimana dikatakan puisi Sapardi Djoko Damono itu-- untuk kita sombongkan kepada mereka.

"Para penyair sekalian, selamat mengarang!"***

* Binhad Nurrohmat, Penyair.

Saturday, December 23, 2006

Produk Legislasi: UU Kebahasaan Dikhawatirkan Justru Akan Mengerdilkan Bahasa

Jakarta, Kompas - Bahasa pada dasarnya terus berkembang dan merupakan bagian dari kegiatan sosial. Perundang-undangan tentang kebahasaan dikhawatirkan malah mengerdilkan bahasa.

Hal itu diungkapkan anggota Dewan Pers sekaligus praktisi hukum Hinca Panjaitan dalam diskusi panel bertajuk "RUU tentang Kebahasaan", Kamis (21/12).

Secara kebangsaan, bahasa Indonesia sudah diikrarkan dalam Sumpah Pemuda. Kini, tugas akademisi bangsa untuk merawat dan memelihara bahasa tersebut agar rakyat ikut mematuhinya.

"Akan sangat kaku kalau penggunaan bahasa itu diundangkan, kecuali kalau kita tinggal di wilayah homogen dan tidak bersentuhan dengan orang lain. Biarkan bahasa itu bertumbuh kembang, jangan dipasung dengan undang-undang," katanya.

RUU tentang Kebahasaan sendiri isinya menegaskan tentang berbagai keharusan penggunaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia diatur mulai dari pidato kenegaraan, dokumen resmi negara, forum resmi, penulisan karya ilmiah di Indonesia, sampai publikasi karya ilmiah.

Selain itu, media massa baik cetak dan elektronik maupun media lain wajib menggunakan bahasa Indonesia. Untuk memenuhi kepentingan tertentu, media massa dapat menggunakan bahasa asing setelah mendapat izin dari menteri.

Pengamat politik J Kristiadi mengungkapkan, saat ini ada kecenderungan untuk menyelesaikan berbagai masalah dengan undang-undang. Masyarakat kemudian dihadapkan dengan rimba undang-undang. Padahal, membuat undang-undang perlu dicari landasan filosofisnya.

Mustakim yang mewakili Pusat Bahasa mengatakan, perundangan itu dibuat dengan latar belakang kondisi kebahasaan antara bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. "Bahasa Indonesia semakin terpinggirkan," katanya. (INE)

Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Desember 2006

Sajak: Lampung (1)

-- Budi Hutasuhut*

sudah lama ruang ini dibekap gelap
warna samun dari rimba alpa
yang kami bangun tanpa sengaja
di dalamnya kami selalu meraba
saling menjengkal dan terluka

kami mengaduh oleh rasa sakit berbeda,
nyeri tak terawat. jiwa kami dikocok bimbang,
batin tertatih menuju pintu muasal
dengan luka yang terus bergetah
kami tak ingin semua ini di nadi mengental

nyalakan semua yang bisa menyala
hingga kau lihat kirut pada keningku,
lekuk sinis pada bibirmu tampak nyata

kami temukan juga senyuman yang dibuang
di lantai, mengirut diselaputi debu
melembab digerogot sepi tanpa kata-kata maaf
atau puisi-puisi cinta. hingga mata kami
susah mengusap lingkar dunia

sebelum segala kikis diamuk waktu
kami harus kenali lagi semua tanda
cakrawala merah, jingga, kuning, dan biru
yang lama terabaikan dalam kegelapan wasangka

kami ingin mengenali kembali tempat
tahi lalat, juntai misai, dan warna-warna
keindahan. merasakan ada yang bangkit
semacam kenangan, serupa ingatan

lihatlah!
bukankah dulu kami pernah menenggak kopi
dari gelas yang sama sampai tinggal serbuk
sampai pagi dan kau berkata:
"aku seperti menikmati keringat orang-orang dari liwa."
akupun teringat sepotong puisi
dari liwa: "ajar sikam cawa cinta!"*

* sajak udo z. karzi dalam bahasa lampung berjudul ajar sikam cawa cinta (ajari aku bahasa cinta).

* Budi Hutasuhut, lahir di Sipirok, 3 Juni 1972. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung dan jurnalis di sebuah media di media terbitan Lampung.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Desember 2006

Sastra Instan, Pluralisme, Religiusitas

-- Ahda Imran

SASTRA sebagai pergulatan kreatif adalah sebuah jalan sunyi. Jalan yang tak mudah beriringan dengan kepentingan industri, apalagi popularitas. Meski hal itu akan sangat menggembirakan bila bisa diseiringkan, namun fenomena yang terjadi di tengah gegap gempitanya aktivitas industri penerbitan dan sosialisasi karya sastra yang terjadi akhir-akhir ini ternyata menimbulkan semacam kecemasan juga. Sastra tidak lagi dimasuki lewat pergulatan jalan sunyi yang penuh kesabaran. Tak ayal lagi tuntutan industri dan kepentingan-kepentingan yang pragmatis telah melahirkan budaya instan dalam berkesusastraan. Intensitas dalam pergulatan kreatif tersisihkan oleh tujuan dan kepentingan-kepentingan pragmatis, termasuk eksistensi dan popularitas. Banyak karya yang bermunculan tapi sebanyak dan secepat itu juga yang hilang, hanya sedikit yang kemudian mampu mengendap.

Lalu siapakah yang masih memelihara dan membuka lahan persemaian bagi tetap berlangsungnya pergulatan kreatif di tengah tarik-menariknya tuntutan industri dan kreativitas ini? Jawaban atas pertanyaan itu harus ditujukan pada komunitas-komunitas sastra yang kerap bekerja secara heroik dan militan dengan modal minim. Mereka berkarya dalam sepi ing pamrih, rame ing gawe. Dari ruang-ruang sunyi inilah sesungguhnya pencapaian kreatif bermula, yang pada saatnya nanti dunia industri akan menikmati hasil jerih payah mereka.

Inilah yang diapungkan oleh penyair Joko Pinurbo yang berbicara di hadapan para sastrawan dari sepuluh provinsi (Lampung, Banten, DKI, Jabar, Jateng, D.I. Yogyakarta, Jatim, Bali, NTB, NTT) dalam Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) II 2006 di Denpasar-Bali, 12-15 Desember 2006 yang lalu. Apa yang diapungkan Joko sebagai evaluasinya terhadap strategi pemasyarakatan sastra, bisa disebut menarik karena paling tidak ia mencoba menengok sisi lain dari kegairahan aktivitas industri penerbitan dan sosialisasi sastra akhir-akhir ini. Sebuah sisi yang juga sesungguhnya telah banyak dicemaskan oleh berbagai kalangan.

Selain Joko Pinirbo, dalam Temu Sastra MPU II 2006 ini juga hadir sebagai pembicara Yasraf Amir Piliang, Tryanto Triwikromo, Ahmad Tohari, Zawawi Imron, Isbedy Stiawan, Ahmadun Yosi Herfanda, Jean Couteau, Nyoman Dharma Putra, Raudal Tanjung Banua, dan Slamet Sukirnanto. Meski tema yang diusungnya terkesan bombastis, "Peranan Sastra Dalam Membangkitkan Harkat dan Martabat Bangsa" dan tidak menawarkan isu sastra yang relatif segar, namun sejumlah pemikiran dan perbincangan selama tiga hari di Denpasar-Bali tersebut terasa menekan pada semangat untuk memperbincangkan kembali sejumlah persoalan dalam hubungan antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakatnya dengan menyelasar ke dalam sejumlah fenomena yang menyertainya. Sebutlah, fenomena pluralisme dan multikulturalisme; representasi religiusitas dalam sastra dan bagaimana sesungguhnya spritualisme itu sendiri hendaknya dimaknai; fenomena perkembangan komunitas sastra; serta fenomena pemasyarakatan sastra itu sendiri yang berkorelasi erat dengan aktivitas industri sastra dengan implikasinya pada etos kreatif.

Pada yang terakhir inilah, Joko Pinurbo menengarai di balik kegembiraan munculnya tren menulis karya sastra di kalangan anak muda perkotaan, terutama untuk genre novel, kecemasan juga menyertainya, yakni ketika sastra tidak lagi ditempuh sebagai jalan sunyi seorang pengarang. Tapi lebih karena kepentingan-kepentingan yang pragmatis, termasuk demi kebutuhan eksistensi dan popularitas. Launching buku kerap jadi tradisi seremonial sawer pujian dan "ritual" eksistensi ketimbang menghadirkan pembacaan kritis pada buku tersebut. Dalam konteks inilah Joko Pinurbo pun setuju pada anggapan bagaimana di tengah situasi semacam itu kritik pun cenderung bisa dipesan, baik sebagai kata pengantar, komentar di sampul belakang buku, atau ketika kritikus, pengamat, atau sastrawan "senior" diminta jadi pembicara. Sayang, perbincangan dalam topik ini tidak dieksplorasi lebih jauh. Sejumlah tanggapan lebih menekan strategi pemasyarakat sastra yang ditujukan pada Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono, atau juga pemikiran yang masih berputar-putar di wilayah pertanyaan tentang infrastruktur pendidikan di sekolah-sekolah dalam kehendak membangkitkan minat baca siswa.

**

SEDANGKAN perbincangan di seputar pluralisme dan multikulturalisme ditating oleh Yasraf Amir Piliang dan Tryanto Triwikromo. Perbincangan ini cukup menarik karena mengapungkan sejumlah pemikiran yang ketat, terutama ketika sampai pada soal bagaimana sesungguhnya perbedaan itu dimaknai, dan bagaimana seluruhnya itu direpresentasikan dalam karya sastra. Dalam hal inilah Yasraf Amir Piliang memandang bagaimana semangat serta prinsip-prinsip pluralisme dan multikulturalisme telah mendorong berbagai kemungkinan estetis dalam karya seni, termasuk karya sastra.

Hal ini bisa dipahami sebagai konsekuensi logis dari perlawanan terhadap dominasi universalisme, sentralisme, dan homogenisasi kultural. Adalah keduanya, pluralisme dan multikulturalisme, yang merepresentasikan berbagai kasadaran tentang bagaimana hendaknya perbedaan dan keanekaragaman itu dimaknai, yang pula dihadirkan dengan berbagai kecenderungan estetis, idiom, pilihan metafor, dan gaya.

Menurut Yasraf, terdapat sejumlah penjelasan untuk memberi penanda pada semangat perlawanan terhadap domininasi universalisme, sentralisme, dan homogenisasi kultural ini. Dari mulai karya sastra yang merepresentasikan kesadaran pada multikulturalisme kritis, sebagai upaya perjuangan kultural dan estetik ke arah eksistensi, persamaan hak, emansipasi, politik representasi, dan politik posisi; multikulturalisme intertekstual yang membuka ruang bagi berbagai perlintasan estetik dalam konteks waktu dan ruang yang berbeda; multikulturalisme eklektik yang mencomot dan menggabungkan berbagai bentuk kebudayaan, yang bertentangan sekalipun, sehingga ia mencairkan kepastian identitas menjadi ketidakpastian; hingga multikulturalisme hibrida yang memaktubkan berbagai persilangan bentuk kebudayaan sehingga menghasilkan estetika hibrida. Pada yang terakhir ini hibridisasi hadir dalam bentuk, gaya ungkap, konsep, ideologi, tanda, dan makna.

Sementara itu tak kalah menariknya adalah perbincangan dalam topik "Membangun Religiusitas Masyarakat Melalui Sastra" dengan pembicara Ahmad Tohari, Isbedy Stiawan, dan Zawawi Imron. Sebagai sastrawan yang lekat dengan kultur keagamaan, Ahmad Tohari dan Zawawi Imron demikian fasih menawarkan cara pandang terhadap pemaknaan spritualitas yang terlepas dari atribut-atribut keagamaan. Menurut keduanya, selama ini cenderung terjadi kesalahpahaman orang dalam mengartikan religiusitas dan spiritualitas, yang selalu dihubung-hubungkan dengan agama. Dalam pandangan Zawawi Imron, religiusitas bukanlah agama sebagaimana pengertiannya dalam kamus, namun sesuatu yang telah mengatasi agama itu sendiri. Religiusitas adalah substansi dari agama.

"Karena itu jadi aneh, banyak orang di negeri yang mengaku beragama tapi minus religiusitas. Di sini agama jadi dipakai untuk berkelahi. Kerja membajak sawah atau perawat yang menyeka nanah pasiennya, bagi saya itu adalah kerja religius. Orang-orang yang terus menyebut Tuhan, belumlah tentu religius," ujarnya.

Senada dengan itu, Ahmad Tohari berangkat dari pandangannya bahwa religiusitas adalah sesuatu yang universal. Dalam karya sastra, kesadaran atas hal ini bisa muncul dalam bentuknya yang gamblang, misalnya, dalam sastra sufi. Namun itu juga tidak bisa mengabaikan bagaimana kesadaran religiusitas juga bisa muncul dalam karya sastra yang bersifat profan. "Banyak karya sastra yang tampaknya melawan nilai-nilai religius, namun sebenarnya merupakan gambaran tentang kegelisahan manusia dalam mencari dan menemukan sangkan lan paraning dumadi," katanya.

**

AKHIRNYA Temu Sastra MPU II 2006 berakhir dengan sejumlah jejak yang ditinggalkannya. Jejak yang mungkin terlalu berlebihan untuk diharap akan mengapungkan isu-isu sastra terbaru. Yang ada di dalamnya adalah keinginan untuk memeriksa dan mengevaluasi kembali hubungan antara sastrawan, karya sastra, pembaca, dan masyarakatnya, tanpa embel-embel dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa, seperti yang dibebankan oleh tema penyelenggaraannya.

Lepas dari soal itu, temu sastra dua tahunan yang diselenggarakan berkat kerja sama sepuluh pemerintah daerah yang tergabung dalam MPU ini, dalam salah satu butir ketetapan dan rekomendasinya menunjuk Jawa Barat sebagai tuan rumah Temu Sastra MPU III tahun 2008 mendatang.

"Jabar siap menjadi tuan rumah penyelenggaraan Temu Sastra MPU III tahun 2008 nanti, dan dengan senang hati menerima penunjukan ini. Saya sudah konsultasikan dengan gubernur dan Beliau sudah memberi lampu hijau. Namun begitu, kami tetap akan meminta masukan dari teman-teman tentang tema yang akan kita angkat nanti. Saya berharap tema yang akan diangkat nanti adalah hal-hal yang langsung berhubungan konteks yang kini tengah terjadi, yakni ekologi atau lingkungan hidup, dan bagaimana karya sastra memunculkan kesadaran terhadap hal itu," ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jabar H.I. Budhyana yang juga hadir di Denpasar.

Hal yang sama juga dilontarkan oleh penyair Godi Suwarna, satu-satunya sastrawan yang menulis dalam bahasa daerah (Sunda) yang dua kali diundang mengikuti Temu Sastrawan MPU. "Tapi saya berharap dalam Temu Sastrawan MPU mendatang setiap provinsi juga mengikutsertakan penyair yang menulis dalam bahasa daerahnya, sehingga potensi sastra berbahasa daerah juga bisa terbaca, di samping bisa saling mengenal keberbagaian. Jabar pun harus lebih siap dan lebih baik penyelenggaraannya dari Banten dan Bali," ujarnya.

Sejak penyelenggaraan Temu Sastrawan MPU I tahun 2003 di Serang-Banten, memang hanya Jabar yang membawa sastrawan yang menulis dalam bahasa daerah. Hal ini memang diniatkan untuk merangsang provinsi-provinsi lain agar juga melakukan hal yang sama sehingga temu sastrawan ini tak hanya menjadi milik mereka yang menulis dalam bahasa Indonesia. Namun juga mengusung potensi dan dinamika karya sastra dalam bahasa daerahnya masing-masing. Dalam Temu Sastrawan MPU II 2006 di Denpasar-Bali yang baru lalu, selain Godi Suwarna juga tampil sastrawan Bali Semargantang yang dengan memukau membacakan karyanya dalam bahasa Bali.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Desember 2006

Friday, December 22, 2006

Langkan: Temu Sastrawan Sumatera

DEWAN Kesenian Sumatera Barat (DKSB) menggelar lokakarya sastra bagi penulis yang berstatus siswa dan mahasiswa se-Sumatera Barat. Bedanya dengan kegiatan tahun-tahun sebelumnya, kegiatan sastra kali ini dirangkaikan dengan Temu Sastrawan Sumatera.

Kegiatan yang digelar bekerja sama dengan INS Kayutanam dan Kabupaten Padang Pariaman ini dilaksanakan selama tiga hari, 26-28 Desember 2006, dengan instruktur sastrawan Gus tf, Yusrizal KW, dan Agus Hernawan. "Ketiga sastrawan itu menjadi narasumber untuk puisi dan cerita pendek," kata Sodri BS, Ketua Komite Sastra DKSB.

Sementara diskusi dengan topik "Arah Kepenyairan Sumatera" menghadirkan Sudarmoko dan Iswadi Pratama sebagai narasumber, sedangkan diksusi lain bertajuk "Dinamika Penerbitan di Sumatera untuk Publikasi dan Dokumentasi Sastra" dengan narasumber Nasrul Azwar dan Marhalim Zaini.

Para penyair Sumatera akan membacakan puisi dalam satu sesi khusus. Menurut Sondri, dengan penyelenggaraan lokakarya sastra dan temu sastrawan dengan peserta 50 orang ini diharapkan semakin meningkat apresiasi dan berkembangnya sastra di Indonesia. (NAL)

Sumber: Kompas, Jumat, 22 Desember 2006

Thursday, December 21, 2006

Seni Dorong Perubahan Sosial

Situasi Politik Tidak Selalu Tentukan Mutu Suatu Karya

Jakarta, Kompas - Mutu seni dan mutu politik tidak mempunyai kaitan sebab akibat. Namun, seni itu sendiri dapat berfungsi sosial, yakni untuk mendorong perubahan sosial.

Hal itu diungkapkan Rocky Gerung, pengajar filsafat di Universitas Indonesia, dalam serial ke-8 diskusi sastra yang diselenggarakan Bale Sastra Kecapi bekerja sama dengan harian Kompas dan Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Rabu (20/12). Diskusi bertajuk "Kebebasan dan Seni" itu juga menghadirkan penyair dan budayawan WS Rendra, pengamat seni Wicaksono Adi, dipandu oleh sastrawan Radhar Panca Dahana.

Hubungan terbalik yang justru lebih disering ditemukan dalam sejarah seni ialah pendangkalan politik yang malah melambungkan karya-karya bermutu. Sebaliknya, kondisi politik yang demokratis belum tentu mewujudkan seni bermutu.

Dengan kata lain, mutu seni itu sendiri tidak ditentukan oleh mutu politik suatu era. Asal-usul mutu seni tidak sosiologis karena mutu seni merupakan proyeksi individual. Seni merupakan manifestasi dari pemahaman seseorang tentang realitas, baik alam maupun sosial. "Pemahaman individual itu yang penting, bukan realitas yang dialaminya," kata Rocky Gerung.

Menurut dia, seni merupakan soal kemurnian pengalaman, sedangkan politik lebih sebagai kumpulan atau campuran berbagai imaji. Yang perlu dilihat ialah energi yang mendorong daya kreativitas tersebut, dan energi dalam menilai realitas.

Terlepas dari itu semua, seni dapat berfungsi sosial, yakni sebagai sarana emansipasi politik saat dirasakan suasana politik tidak bermutu. Taruhlah seperti situasi yang amat mengekang.

Dia mencontohkan kegandrungan publik terhadap karya Rendra dan Wiji Thukul yang berlatar sosiologis. Kegandrungan itu akan selalu kembali setiap kali kondisi politik memburuk. Dalam kasus tersebut, mutu seni ditentukan oleh fungsi pedagogisnya dalam mendorong perubahan politik. Namun, rumusan tersebut mereduksi makna seni semata pada fungsi instrumentalnya dalam politik. Padahal, di belakang rumus itu masih ada ukuran ideologis, yaitu motif sosial individu.

Seni yang terlibat

Bagi Rendra, sebagai seniman dirinya berusaha masuk ke dalam kontekstualitas. Seniman perlu terlibat. Pengalaman dalam keterlibatan itu yang kemudian memunculkan paradigma.

"Pengalaman kesadaran saya harus sampai pada paradigma. Baru itu kemudian menarik atau menjadi universal, dalam arti seni itu berlaku kapan saja dan di mana saja," ujarnya.

Hilangnya kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi akan menghalangi iklim kreatif. Kalau tidak ada kebebasan berpendapat dan berekspresi, dunia pikiran manusia dirampas oleh kepentingan tertentu, baik agama, dagang, politik atau lain-lain. Iklim kreatif dinilai perlu untuk pertumbuhan dan penyembuhan kesadaran manusia.

Perampasan kebebasan dalam kesenian akan membuat sumber daya manusia menurun. Oleh karena itu, iklim budaya terbuka harus diperjuangkan untuk menjaga standar akal sehat kolektif.

Tanpa keterbukaan itu daya sosialisasi juga merosot. Demikian pula sosialisasi ruang spiritual. Kondisi ini bisa memunculkan orang-orang yang merasa menguasai kebenaran.

Pengamat seni Wicaksono Adi berpendapat, terkait dengan kebebasan dan seni sebetulnya ialah persoalan implikasi karya ketika berada dalam ruang sosial.

"Dalam kasus karya yang diklaim sebagai pornografi, misalnya, orang cenderung terjebak dalam tafsir apakah karya itu porno atau tidak. Diskusi batas domain publik dan privat menghilang," ujarnya. Hal ini terjadi ketika ada penolakan sang pembuat karya untuk membuat batas otoritas. "Walaupun kemudian memang ada pertanyaan apakah domain khusus bisa dibuat secara kaku atau tegas," ujarnya. (INE)

Sumber: Kompas, Kamis, 21 Desember 2006

Monday, December 18, 2006

Jung Foundation Lestarikan Ragam Sastra Lampung

Bandarlampung, 18/12 (ANTARA) - Yayasan Warisan Lampung "Jung" (Jung Foundation) bekerjasama dengan Dinas Pendidikan (Diknas) Lampung, mendorong pelestarian seni sastra Lampung yang terancam punah, dengan menggelar pentas dan diskusi ragam sastra daerahnya.

Menurut Direktur Eksekutif Jung Foundation Ch Heru Cahyo Saputro di Bandarlampung, Minggu, daerah Lampung memiliki keragaman sastra tradisi yang di dalamnya mengandung falsafah budaya.

Sastra tradisi lisan Lampung itu dapat mengekspresikan kekentalan nilai adat yang amat khas dengan bermacam wacana yang terdapat di dalamnya yang disampaikan secara lisan lewat bait syair dan pantun.

Namun pelestarian sastra lisan Lampung itu menghadapi ancaman, di antaranya karena pelaku budaya dan pelestarinya terbilang sangat minim. Kebanyakan warga Lampung pun tidak mengenalnya dengan baik.

Kepala Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Lampung Dr Khaidarmansyah SH MPd menambahkan jenis sastra lisan Lampung yang harus segera dilestarikan itu, setidaknya memiliki 30-an jenis.

Di antaranya bubiti, hahiwang, bubandung, wawancan, dadi, sagata, muayak dan beberapa lainnya.

Menurut dia, keberadaan sastra lisan Lampung itu selama ini bertujuan untuk menghibur, mendidik, menyosialisasikan nilai-nilai adat, ajaran agama, moral, pandangan hidup, rasa suka, dan tujuan lainnya.

"Sastra lisan Lampung itu, terutama yang memiliki kedudukan sangat penting dalam tatanan adat, juga telah menjadi media yang paling utama bagi masyarakat untuk mengekspresikan nilai-niali emosi dan pengetahuan mereka," ujar Khaidarmansyah.

Dia mengakui, masih sedikit kalangan mengetahui dan memahami potensi Ragam Sastra Lampung itu.

Pada Kamis (14/12) Diknas Lampung berkolaborasi dengan Jung Foundationtelah menyelenggarakan Pentas dan Diskusi Ragam Sastra Lampung yang dikhususkan bagi pelajar sebagai pesertanya.

Sumber: Antara, 18 Desember 2006

Sastra: Hindari Pengotakan Lama dan Baru

Jakarta, Kompas - Sebetulnya banyak karya Melayu pada masa penjajahan Belanda, tetapi karya-karya itu dihadapi dengan mitos sastra lama dan baru. Sastra Melayu umumnya kemudian digolongkan sebagai sastra lama.

"Padahal, dalam budaya apa pun terdapat sastra yang membentang jauh sampai masa awalnya," ujar profesor emeritus pengkaji Sastra Melayu dari Universitas California, Berkeley, Amin Sweeney, Minggu (17/12).

Amin Sweeney baru saja meluncurkan buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi Jilid 2; Puisi dan Ceretera. Dalam pengantar bukunya itu pula Sweeney menuliskan, ketertarikan orang Barat untuk menulis mengenai bahasa dan sastra Melayu menyebabkan ujung tombak pengkajian Melayu dipegang oleh penulis dalam bahasa Inggris.

Segala sesuatu diambil alih oleh sarjana kolonial sehingga pada akhir abad ke-19, tradisi Melayu seolah terpisahkan dari hidup aktual, dijadikan sastra lama yang tidak diperbolehkan berkembang lagi. Percobaan penulis Melayu sezaman untuk beraksi terhadap tradisi serta mengembangkan cara berpikir yang baru cenderung diabaikan, hingga tidak diindahkan oleh penulis Barat.

Sampai kemudian menjelang kemerdekaan, demikian Sweeney menulis, orang di Tanah Melayu dan Indonesia berpaling melihat lagi tradisi "lama" Melayu, mereka seakan berhadapan dengan pemandangan serba asing. Berbicara atau menulis tentang Melayu kemudian seakan ada kewajiban mengutip pandangan sarjana yang berbahasa asing.

"Padahal, masih banyak yang belum tergali dari naskah-naskah lama yang sekarang ada di Perpustakaan Nasional RI. Ini kesempatan untuk meneliti langsung dari sumbernya," katanya.

Bagi Sweeney, pendekatan yang baik dalam meneliti karya-karya tersebut bukan dengan budaya sentris, yakni mengukur sesuatu yang asing berdasarkan ukuran diri peneliti sendiri. Karya perlu diukur dengan dasarnya sendiri. Pantun, misalnya, bukan sekadar persoalan suku kata atau barisnya. Pantun itu, dalam budaya Melayu, bersifat spontan atau tradisi lisan.

"Sulit ukuran sastra Barat dipakai untuk sesuatu yang berbeda tersebut," katanya. (ine)

Sumber: Kompas, Senin, 18 November 2006

Pemikiran Daoed Joesoef: Dari Pengetahuan menuju Pemahaman Budaya

DALAM sejarah pemikiran Indonesia, nama Daoed Joesoef memang sulit diabaikan. Pergaulannya yang luas, pikiran-pikirannya yang kritis, sepak terjangnya yang kontroversial, membuat pria kelahiran Medan 8 Agustus 1926 ini hadir bak lonceng berdentang-dentang.

Ambillah satu contoh, ketika ia menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983), kaum mahasiswa selalu saja dikondisikannya untuk jauh dari dunia politik. Baik secara eksplisit (yang mengandung hukuman) maupun secara implisit. Pada masa itu, tak pelak tudingan bahwa dirinya lebih propemerintah Orde Baru sulit terbendung.

Namun kiranya tetap penting kita telusuri kembali gagasan-gagasan briliannya yang berserakan. Sebab bagaimanapun, sepulangnya dari studi di Universite Pluridisciplinaries de Paris I, Panteon, Sorbornne, Prancis (1964-1972), mantan dosen ekonomi di Universitas Indonesia (1954-1963) itu kian meyakinkan publik sebagai intelektual yang cakupan erudisinya sangat luas.

Kamis (13/2) lalu, di Gedung CSIS, Jakarta, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983) itu meluncurkan buku terbarunya, Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran.

Di dalam buku setebal 924 halaman itu, selain bisa menyaksikan pergulatannya bersama tokoh-tokoh besar negeri ini, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sumitro Djojohadikusumo, Ali Moertopo, dan Soeharto, kita bisa menyimak gagasannya tentang pendidikan dan kebudayaan.

Di matanya, pendidikan yang ideal, yang bersentuhan langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia, tidak bisa tidak harus bergandeng tangan dengan pemikiran mendalam soal kebudayaan.

Mengapa? Sebab kebudayaan adalah jiwa pendidikan dan ruang tempat proses demi proses pendidikan itu terjadi. Di samping itu, sebagai sistem nilai, pemahaman kebudayaan akan mengantar kita pada dua arus utama, pembangunan dan tuntutan peningkatan martabat manusia.

Dalam kerangka itu, pendekatan terhadap praksis pendidikan harus bersifat sistemik dan bukan ensiklopedik. Artinya, ketimbang berusaha mengajarkan setiap hal yang sudah diketahui secara fragmentaris, sebaiknya pendidikan lebih diarahkan pada metodologi umum yang dapat membantu anak didik mengorganisasi pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti pelajaran.

Pada jenjang prauniversitas, terutama di tingkat pendidikan primer (sekolah dasar), sasaran pembelajaran bukanlah mencakup berbagai jenis materi yang dibahas atau semua yang mungkin bisa diketahui. Melainkan, betul-betul mempelajari hal-hal yang tidak bisa diabaikan.

Mengapa demikian? Sebab tujuan umum pendidikan bukan hanya mengisi otak dengan data, tetapi bertindak sebagai katalis ke pengorganisasian struktur dan fungsi yang membantu anak didik mengintegrasikan informasi menjadi pengetahuan. Lalu dari pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan, kemudian dari ilmu pengetahuan menuju kearifan, untuk akhirnya berujung pada pemahaman budaya umum.

Lebih kritis Daoed menegaskan, pembelajaran dalam artian schooling, betapa pun tinggi dan sangat spesialistis, tidak dengan sendirinya membuat seseorang diakui terdidik (educated). Karena, pendidikan jauh lebih besar daripada sekadar keterpelajaran.

Fenomena murid-murid yang selalu menimbang untung-ruginya mempelajari ilmu pengetahuan tertentu, sesungguhnya mereka telah jatuh menjadi orang-orang yang menimba ilmu pengetahuan dari aspek komersialnya saja. Motivasi seperti ini, menurut Daoed, adalah jenis motivasi yang lambat laun menurunkan sekolah menjadi sebatas training institute.

Bila pendidikan berhasil ditegakkan secara baik dan benar, kebudayaan pun bisa dipahami sebagai avant tout, suatu interogasi kritis terhadap diri sendiri. Lebih jauh, sebagai suatu cara membuka diri terhadap pematangan kemanusiaan dan pemekaran ide-ide global. (Chavchay Syaifullah/H-2).

Sumber: Media Indonesia, Senin, 18 Desember 2006

Sunday, December 17, 2006

Esai: RUU Kebahasaan `Menyelamatkan` Bahasa Indonesia

-- Reiny Dwinanda

TIDAK bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar? Hati-hati. Apalagi, jika Anda adalah tokoh masyarakat. Suatu saat, Anda bisa terjerat sanksi akibat melanggar Undang Undang Kebahasaan.

Sejak kabinet pertama pemerintahan Indonesia hingga kini, ada saja anggotanya yang menyampaikan pesan kepada publik dengan menggunakan istilah-istilah asing. Entah dirasa keren atau agar lebih terdengar meyakinkan. Yang jelas, terkadang, memang ada kata-kata tertentu yang lebih mengena jika diucapkan dalam bahasa asing atau malah bahasa daerah.

Kebiasaan itu tidak saja ada pada pejabat pemerintahan. Tokoh-tokoh masyarakat lainnya juga melakukan hal serupa. Bahkan, orang biasa sekalipun punya kecenderungan yang sama.

Pengaruh bahasa asing lebih kuat terasa pada dunia bisnis. Coba saja perhatikan, nama pusat-pusat perbelanjaan, kalimat promosi di media luar ruang, atau kata-kata di media massa. Banyak bukan yang menggunakan bahasa asing?

Terlepas dari kenyataan tersebut, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memandang bahasa Indonesia perlu dikedepankan dalam keseharian masyarakatnya. Apalagi, di era globalisasi, Indonesia dihantam gelombang pasang perubahan yang luar biasa. ''Akibatnya, bahasa Indonesia terdorong ke sudut peradaban,'' kata Sekretaris Jenderal Depdiknas, Dodi Nandika.

Penggunaan bahasa tertentu memang seringkali mengintervensi wilayah penggunaan bahasa yang lain. Belakangan, pemakaian bahasa Indonesia di ruang-ruang publik makin tidak teratur. Seolah, ada bagian-bagian tertentu dari Indonesia yang lebih tampak seperti negeri asing.

Hal itu amat disesali mengingat bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa. Jika tidak dijaga, cepat atau lambat bahasa Indonesia akan punah. ''Jangan sampai kita kehilangan ciri itu,'' Ketua Pusat Bahasa Depdiknas, Dendy Sugono, mengingatkan.

Untuk menyelamatkan bahasa Indonesia, Depdiknas mengusulkan adanya Undang-undang Kebahasaan. Sumpah Pemuda saja dianggap tidak cukup untuk melestarikan bahasa pemersatu. ''Harus ada landasan hukum yang lebih kuat. Apalagi, UUD 1945 Pasal 36, Pasal 36c mengamanatkannya,'' jelas Dendy.

Sejauh ini, prosesnya baru sampai ke penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU). RUU Kebahasaan mengandung sembilan bab dan 32 pasal. ''Isinya, mengatur penggunaan bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing,'' papar Dendy.

Bahasa daerah, lanjut Dendy, mesti dilestarikan. Terlebih, bahasa daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan nasional. ''Kita memiliki 731 bahasa daerah. Sebanyak 726 di antaranya masih digunakan dan lima lainnya telah mati,'' ungkap Dendy.

Di lain pihak, bahasa asing telah berada pada posisi yang sangat strategis untuk memasuki sendi kehidupan bangsa Indonesia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan jalan masuknya. ''Kita pun tak boleh menutup diri dengan penggunaan bahasa asing,'' kata Dendy.

Jika berhasil diundangkan, posisi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara akan makin kuat. Di satu sisi, Indonesia akan terus memiliki lambang jati dirinya. ''Di sisi lain, Bahasa Indonesia tetap berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar resmi di lembaga pendidikan, serta bahasa media massa,'' kata Dendy.

Dalam aplikasinya nanti, UU Kebahasaan menuntut para ilmuwan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam publikasi karya ilmiahnya di Indonesia. Hal ini penting diatur demi proses pencerdasan bangsa. ''Kalau ditulis dalam bahasa Inggris tentu akan menyulitkan publik lokal untuk mencermati isinya,'' imbuh Ketua Panitia Perumusan RUU Kebahasaan, Sugiyono.

Ilmuwan diperkenankan memakai bahasa asing jika ingin mempublikasikan karya ilmiahnya di luar negeri. Ketentuan ini juga dilengkapi dengan sanksi. ''Kalau tidak menaatinya, karya ilmiah tersebut tidak boleh dipublikasikan atau disebarluaskan,'' kata Dendy.

Pada Bab III pasal 17 RUU Kebahasaan, media massa, baik cetak, elektronik, maupun media lain, diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia. Namun, jika dianggap perlu, menteri dapat memberikan izin bagi media massa yang ingin menggunakan bahasa asing. ''Di daerah, media massa boleh memakai bahasa Indonesia atau bahasa daerah,'' kata Dendy.

Pasal 17 juga mengatur tentang film, sinema elektronik, dan produk multimedia lain. Kalau berbahasa asing, ketiga produk seni tersebut harus dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. ''Bentuknya bisa sulih suara atau terjemahan,'' papar Dendy.

Pasal 18 mengharuskan pemakaian bahasa Indonesia untuk nama bangunan atau gedung, nama jalan, nama kompleks permukiman, nama kompleks perkantoran, nama kompleks perdagangan, merek dagang, nama perusahaan Indonesia, lembaga pendidikan, dan sejenisnya. Jika diperlukan, terjemahannya dalam bahasa lain diizinkan. ''Hal yang sama berlaku untuk informasi produk dalam negeri dan luar negeri yang dipasarkan di Indonesia,'' urai Dendy.

Secara pribadi, Professor DR Ing Wardiman Djojonegoro berpendapat UU Kebahasaan sangat perlu. Namun, ia mencermati RUU Kebahasaan masih kurang greget. ''Semangat Sumpah Pemuda perlu dihadirkan, bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa harus diungkapkan lebih gamblang lagi, dan pentingnya bahasa dalam meningkatkan daya saing bangsa juga harus dijelaskan,'' kata mantan Mendikbud itu.

Selain itu, Wardiman menganggap pemberian sanksi kepada para pelanggar belum diatur secara tegas. Sanksi lisan, tertulis, administratif, atau penundaan pemberian layanan publik masih belum cukup 'mengancam'. ''Misalnya, sekolah asing yang tak mau menyisipkan beberapa persen materi tentang Indonesia terancam ditutup.''

Selagi RUU Kebahasaan digodok Wardiman mengingatkan agar kalangan pengusaha juga diajak serta dalam penyusunan. Sebab, aktivitas usaha merekalah yang paling terpengaruh oleh adanya UU Kebahasaan nanti. ''Sosialisasi pun teramat penting agar tidak ada arus balik penolakan dari masyarakat,'' tandasnya.

Sumber: Republika, Minggu, 10 Desember 2006 15:04:00

Membincang Dunia Sastra Indonesia di Sanur

-- Nuryana Asmaudi


BALI kembali jadi tuan rumah event sastra bertaraf nasional. Hajatan bertajuk "Temu Sastra II Mitra Praja Utama 2006" (MPU 2006) yang digelar di Hotel Inna Sindhu Beach, Sanur, pada 12-15 Desember lalu itu melibatkan para sastrawan terkemuka Indonesia, pegiat sastra, pengajar, akademisi sastra, sampai birokrat pemerintah. Sebuah peristiwa besar dunia sastra di Tanah Air yang menarik dan penting untuk dicatat.

-------------

MPU 2006 diselenggarakan Forum Pecinta Sastra se-Bali (FPSB) atas dukungan Pemda Bali atau Disbud Bali. Dalam buku panduan MPU 2006 disebutkan, acara ini adalah salah satu wujud kegiatan kerja sama 10 provinsi yang tergabung dalam wadah MPU. Ke-10 daerah itu adalah Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Menurut Ketua Panitia MPU 2006 sekaligus Ketua FPSB, Drs. I.B. Darmasuta, acara ini merupakan agenda lanjutan dari event yang sama yang digelar di Banten pada tahun 2004. Sebagai pemakalah, tercatat sejumlah nama sastrawan tenar semisal Joko Pinurbo, Ahmad Tohari, Raudal Tanjung Banua, sampai Darma Putra dari akademisi/kritikus sastra.

Berbagai persoalan diangkat dalam diskusi, mulai dari soal sosialisasi dan pengajaran sastra, religiusitas sastra, peran komunitas sastra, multikultural dan sastra lintas budaya, hingga pembangunan kebudayaan. Dari situ terungkap, bagaimana sesungguhnya sastra itu penting untuk membentuk kepribadian, membangun manusia yang utuh, dan meningkatkan harkat dan martabat sebuah bangsa.

Acara ini merupakan sebuah upaya untuk membantu mewujudkan cita-cita mulia membangun bangsa lewat sastra, agar pemerintah tidak hanya mengutamakan pembangunan secara material dan fisikal. Beberapa kasus tentang tidak adanya penghargaan pihak pemerintah terhadap sastra kerap terjadi. MPU 2006 ini, menurut penyair Raudal Tanjung Banua, sebenarnya merupakan kerja sama strategis agar muncul dukungan penuh pemerintah pada sastra.

MPU 2006 ini menghasilkan beberapa kesepakatan penting, di antaranya temu sastra akan menjadi agenda setiap dua tahun sekali yang pendanaannya dilakukan oleh masing-masing Pemda anggota MPU. Penyelenggaraan MPU secara bergilir berdasarkan kesepakatan bersama. Temu sastra harus melibatkan sastrawan, akademisi sastra, pegiat sastra, wartawan, dan birokrat. Provinsi Jawa Barat ditunjuk sebagai penyelenggara MPU 2008.

Panggung Sastra

Di sela sepanjang penyelenggaraan MPU 2006 ini juga dipanggungkan sejumlah karya sastra. Para sastrawan yang memanggungkan karyanya itu, di antaranya D. Zawawi Imron, Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Slamet Sukirnanto, Acep Zamzam Noor, Joko Pinurbo, Isbedy Setiawan ZS, Diah Hadaning, Ngurah Parsua, dan Oka Rusmini. Mereka beraksi membawakan karyanya masing-masing, dari puisi, cerpen, dan karya sastra lewat gaya dan model penampilan tersendiri.

Pemanggungan sastra berlangsung dua malam. Pada malam pertama, Selasa (12/12) tampil sastrawan dan dramawan senior Bali, Abu Bakar, membacakan puisi "Toilet", "Sajak Harimau", "Kucari Tuhan Kelas Dua", dan "Pagi Masih Buta". Lalu, D. Zawawi Imron (Madura) menyihir penonton dengan sejumlah puisinya. Lalu, tampil pula penyair Bali generasi terkini, Pranita Dewi, membacakan beberapa puisinya yang tergabung dalam buku Pelacur Para Dewa. Kemudian, tampil Acep Zamzam Noor, Diah Hadaning, Inggit Patria Marga dari Lampung, penyair Bali Sindu Putra, Wayan Sunarta, sampai Wan Anwar dari Banten.

Pada malam berikutnya, tampil lagi para sastrawan sepuh seperti Ahmad Tohari, Slamet Sukirnanto, Hamsad Rangkuti, Dinullah Rayes, Ngurah Parsua, Samar Gantang, sampai Putu Satria Kusuma. Acara pementasan sastra pada malam itu memang menarik. Di Pantai Sindu, Sanur, di antara desir angin dan deru ombak yang indah dan syahdu malam itu, para sastrawan terkemuka Indonesia telah mencatat peristiwa dan menorehkan kenangan indah sejarah sastra.

Sumber: Bali Post, Minggu, 17 Desember 200

Saturday, December 16, 2006

Sastra Lampung Ekpsresikan Nilai-Nilai Adat Daerah

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Seni sastra Lampung memiliki keragaman yang mengandung falsafah budaya Lampung. Sastra tradisi lisan Lampung bukan saja karena bentuk dan fungsinya yang berbeda, juga karena kedudukan dan sifatnya yang berbeda dengan bentuk tradisi lisan lain.

Hal ini dikemukakan Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Khaidarmansyah, saat pembukaan Pentas dan Diskusi Ragam Sastra untuk Pelajar yang digelar Dinas Pendidikan bekerja sama Jung Foundation di Chriza Art's Galery, Kamis (14-12). Dia mengatakan bentuk sastra tradisi dapat mengekspresikan kekentalan nilai-nilai adat yang amat khas.

"Begitu banyak wacana-wacana yang terdapat di dalamnya yang disampaikan secara lisan melalui bait-bait syair pantun seperti bubiti, hahiwang, bubandung, wawancan, dadi, sagata, muayak, dan yang lain. Sebab, masih ada 30 jenis sastra lisan Lampung," kata Khaidarmansyah.

Sastra lisan itu pun, menurut dia, banyak tujuannya. "Di antaranya untuk menghibur, mendidik, menyosialisasikan nilai-nilai adat, ajaran agama, moral, pandangan hidup, rasa suka, dan masih banyak lagi."

Kedudukan sastra lisan, kata Khaidarmansyah, sangatlah penting, terutama dalam tatanan adat. "Selain itu juga sastra lisan menjadi media yang paling utama bagi masyarakat untuk mengekspresikan nilai-nilai afektif atau emotif dan kognitif atau pengetahuan. Namun, sangat disayangkan masih sedikit kalangan yang mengetahui dan memahami potensi ragam sastra Lampung," ujarnya.

Sebab itu, kata Khaidarmansyah, kegiatan ini yang memadukan sastra lisan Lampung dengan sastra modern kepada pelajar sangat penting. "Tujuannya memasyarakatkan seni sastra Lampung pada masyarakat sehingga dapat diperluas dengan sasaran yang lebih umum."

Selain itu juga, kegiatan seperti pelatihan merupakan tugas dan tanggung jawab Dinas Pendidikan melalui Subdin Kebudayaan untuk peningkatan apresiasi kepada pelajar. "Ini dilakukan di tengah derasnya era globalisasi yang memberikan budaya instan. Dampak budaya instan ini sangat besar dirasakan para pelajar," ujar Kasubdin.

Adapun pemateri sastra lisan Lampung merupakan tiga budayawan Lampung, yakni Hafizi Hasan yang memaparkan tentang wawancan, Azhari Kadir dengan teori ringget, dan Sutan Purnama mengetengahkan sastra lisan dalam kehidupan masyarakat Pepadun. Sementara itu, untuk materi sastra modern, pemateri terdiri dari Jimmy Maruli Alfian, A.M. Zulqarnain, dan Hasanudin.

Christian Heru dari Jung Foundation mengemukakan selain menggelar Pentas dan Diskusi Ragam Sastra untuk Pelajar, pihaknya juga menyelenggarakan Pelatihan Pembuatan Ragam Hias Lampung yang rencananya digelar hari ini (16-12). n TYO/S-1

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Desember 2006

"Indonenglish": Karena Sihir Bahasa Indonesia

-- Maman S Mahayana*

Bahasa Melayu, yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, sudah sejak lama mengandung dan mengundang sihir. Ia menyimpan kekuatan magis. Siapa pun yang berhubungan intim dengannya, bakal terjerat pesona. Menggaulinya laksana menggerayangi sosok tubuh yang penuh misteri.

Semakin mengenal seluk-beluknya, semakin ingin mengungkap daya pukaunya. Di situlah, bahasa Indonesia sebagai saluran ekspresi. Ketika bahasa etnik mampat dan gagal menjadi alat komunikasi yang dapat dipahami etnik lain, ketika itulah bahasa Indonesia tampil sebagai pilihan.

Bagi siapa yang lahir dan dibesarkan dalam kultur etnik, bahasa Indonesia ibarat doa pengasihan yang mengerti hasrat kreatifnya. Ia membebaskan beban linguistik etnisitas, sekaligus juga membuka ruang penerimaan kultur dan bahasa lain, meski kemudian dipandang sebagai perilaku menyerap unsur asing atau daerah. Akulturasi seperti itu terjadi begitu saja, alamiah.

Bahasa Indonesia menjelma produk budaya yang paling toleran, akomodatif, luwes, egaliter demokratis, bahkan juga cenderung liberal. Itulah kekuatan magis bahasa Indonesia. Dari sanalah ia memancarkan sihirnya. Dari Melayu awalnya.

Sejak kedatangan bangsa Portugis yang terpukau keindahan bahasa Melayu pada abad ke-14, tarik-menarik antara bahasa asing dan bahasa Melayu dalam dunia pendidikan dan administrasi pemerintahan selalu pemenangnya jatuh pada bahasa Melayu. Dalam Itinerario (1596), Linschoten—misionaris yang bergelandang di pelosok Nusantara—membandingkan bahasa Melayu seperti bahasa Perancis sebagai orang Belanda. "Pada akhir abad ke-16, bahasa Melayu telah demikian maju sehingga menjadi bahasa budaya dan perhubungan".

Dikatakan A Teeuw (1994), "Setiap orang yang ingin ikut serta dalam kehidupan antarbangsa dikawasan itu mutlak perlu mengetahui bahasa Melayu."

Jauh sebelum itu, bahasa Melayu pernah begitu reputasional, yang di Nusantara berhasil membangun peradaban lewat keagungan Hindu, Buddha, dan Islam. Jaringan diplomatik dengan pusat-pusat kebudayaan di India, Parsi, Tiongkok, dan negara-negara Eropa menempatkan bahasa Melayu begitu populis, sekaligus elitis. Berbagai prasasti, surat-surat emas, dan naskah-naskah berbahasa Melayu menunjukkan bukti-bukti itu.

Pesona bahasa Melayu telanjur kokoh sebagai lingua franca dan alat masyarakat merepresentasikan keberaksaraan, bahkan juga kebudayaannya. Maka, masuknya unsur bahasa etnik dan bahasa asing, bagi bahasa Melayu, seperti tabungan deposito yang berkembang bunga- berbunga. Bahasa-bahasa etnik di Nusantara dan bahasa asing itu memberi sumbangan dan menambah kekayaan kosakata bahasa Melayu.

Pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia (28 Oktober 1928), meski awalnya berbau keputusan politik, dalam perkembangannya tak terelakkan jadi ekspresi kultural. Begitu juga penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo (1938), menunjukkan kedua aspek itu: kepada pemerintah kolonial, kongres sebagai gerakan politik, dan kepada masyarakat non-Melayu di Nusantara, sebagai gerakan kebudayaan.

Maka, setelah itu Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, yang terus menggelinding itu, adalah gerakan kultural. Sejak itulah, secara arbitrer bahasa Indonesia menyihir segenap etnis memasuki wilayah kultur keindonesiaan. Keberagaman para pemakainya seolah- olah tetap di simpan dalam kotak etnik, dan perasaan kebangsaan dimanifestasikan lewat ekspresi bahasa Indonesia.

Sihir bahasa Indonesia

Usia bahasa Indonesia kini menjelang sepuluh windu. Rentang usia yang bagi manusia makin ringkih digerogoti kerentaan, kepikunan, dan serangan berbagai penyakit tua. Tetapi bahasa (Indonesia) adalah produk kebudayaan. Ia tak bakal mengalami kerentaan itu. Ia akan terus hidup selama tetap digunakan pemakainya dan tidak kehilangan pendukungnya. Bahasa Indonesia bergerak dinamis mengikuti zaman dan selalu akan menyesuaikan diri sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.

Kini bahasa Indonesia makin deras disusupi kosakata bahasa Inggris. Apakah itu berarti telah terjadi pencemaran? Jika dianggap polusi, apakah akan berakibat buruk bagi perkembangan bahasa Indonesia sendiri yang ekornya akan memudarkan sendi-sendi nasionalisme? Tentu saja tidak. Justru itulah manifestasi sihir bahasa Indonesia yang inklusif, terbuka, toleran, luwes, dan akomodatif.

Jadi, sungguh tak senonoh jika ada pihak-pihak yang kelewat mencemaskan perjalanan hidup bahasa Indonesia, hanya lantaran rentetan kosakata bahasa Inggris berloncatan di depan mata. Dalam konteks ini, menempatkan diri sebagai polisi secara berlebihan akan berakibat pada terjadinya serangkaian pemasungan kreatif.

Sebagaimana yang terjadi dalam bahasa Inggris, dialek—bahkan juga idiolek—muncul di mana-mana. Kosakatanya merembes dan nongkrong seenaknya di antara kosakata bahasa-bahasa negara lain, seolah-olah ia sudah menjadi warga negara sendiri. Kini, kosakata bahasa Inggris secara laten diambil, diterima, dan digunakan tanpa ada rasa rikuh. Masuknya kosakata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, juga sudah terjadi sejak lama sejalan dengan penerimaan kosakata bahasa asing lainnya. Maka, ketika ia sebagai bahasa Indonesia, seketika kita lupa pada asal-usulnya.

Perhatikan contoh kalimat ini: Menurut kalkulasi primbon jawa dan perhitungan fengsui, kursi, meja dan komputer itu seyogianya diletakkan menghadap jendela tanpa kaca, agar sirkulasi udara dapat menerobos masuk ruangan. Semua kata yang dicetak miring dalam kalimat itu bukan berasal dari bahasa Melayu. Di sana, ada serapan dari bahasa Jawa (menurut, primbon, menerobos), Inggris (kalkulasi, sirkulasi), Minangkabau (diletakkan), Kawi (menghadap, masuk), Perancis (komputer), Portugis (meja, jendela, kaca), China (fengsui), Arab (kursi), dan Sanskerta (tanpa, seyogianya). Jika masih tak yakin, cermati Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka di sana kita akan menjumpai lebih dari separuh entri dalam kamus itu berasal dari bahasa daerah dan bahasa asing. Itulah sihir bahasa Indonesia, menerima serapan dari berbagai bahasa, dan kita enteng saja mengungkapkannya tanpa dihantui kecemasan, tanpa merasa tercemar.

Sikap bijaksana

"Bahasa menunjukkan bangsa!" begitulah inklusivisme bahasa Indonesia merupakan representasi sikap bangsanya yang inklusif. Munculnya fenomena bahasa indonenglish dalam iklan dan ruang-ruang publik, menunjukkan sikap pemakainya yang gemar memamah apa pun yang berbau asing, sekaligus juga sebagai manifestasi selera dan orientasi budayanya yang setengah matang.

Munculnya fenomena itu, patutlah disikapi secara bijaksana tanpa harus menempatkan diri sebagai polisi bahasa yang ke mana pun selalu membawa pentungan antihuru-hara. Bukankah bahasa yang berkembang di masyarakat (awam) berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam dunia pendidikan dan kehidupan pers?

Jadi, biarkanlah semua berjalan sesuai dengan kodratnya, sesuai dengan dinamika masyarakat dan aturan mainnya sendiri. Biarkanlah bahasa Indonesia tetap memancarkan sihirnya, meski sihir itu diterjemahkan secara berbeda oleh setiap kelas sosial.

* Maman S Mahayana, Pengajar FIB UI, Menetap di Depok

Sumber: Kompas, Sabtu, 16 Desember 2006

Langkan: Waspadai, Budaya Instan dalam Bersastra

TEMU Sastra II Mitra Praja Utama (MPU) 2006 bertema "Peranan Sastra dalam Membangkitkan Harkat dan Martabat Bangsa", Jumat (15/12), digelar di Sanur, Bali. Hadir dalam acara tahunan itu 100-an sastrawan, pegiat sastra, akademisi, dan aparat pemerintah daerah sebagai perwakilan anggota MPU dari 10 provinsi di Tanah Air (Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur).

Dalam diskusi muncul pandangan bahwa perkembangan mutakhir teknologi informasi dan masifnya aktivitas industri memungkinkan usaha pemasyarakatan sastra lebih mudah dengan jangkauan lebih luas. Akan tetapi, hal itu juga potensial mengakibatkan maraknya budaya instan dalam berkesusastraan. Intensitas dalam pergulatan kreatif dapat tersisihkan oleh tujuan atau kepentingan pragmatis. Sudah sepantasnya jika kemungkinan terburuk ini diwaspadai bersama. (ben)

Sumber: Kompas, Sabtu, 16 Desember 2006

Friday, December 15, 2006

Sosok Peneliti: Truman dan Penelusuran Akar Kemajemukan Bangsa

KAWASAN Pegunungan Seribu di wilayah Pacitan, Jawa Timur, pagi itu masih berkabut. Di beranda rumah Pak Toesimin di Desa Punung, serombongan kecil orang sudah bersiap-siap bergerak. Tujuan mereka hari itu adalah goa-goa prasejarah di perbukitan kapur yang tandus, tak jauh dari Desa Punung.

Jangan salah duga, meski di antara mereka ada beberapa sosok lelaki dan perempuan bule, rombongan kecil itu bukanlah turis yang tengah mengunjungi kawasan wisata ekologis. Mereka adalah para peneliti arkeologi prasejarah, gabungan dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional serta Museum d’Histoire Naturelle dan Institut de Paleontologie Humaine, Paris, Perancis.

Dipimpin Harry Truman Simanjuntak (55), tim kecil itu memasuki sejumlah goa—tempat hunian manusia purba pada 2 juta-10.000 tahun lampau— yang menyisakan banyak tinggalan budaya. Cangkang-cangkang moluska (molusca), serpihan tulang kera (Macaca sp), serta berbagai bentuk alat serpih ditemukan di tiap lapisan budaya hasil penggalian di dalam goa.

Kegiatan penelitian di berbagai goa kuno di Pegunungan Seribu yang membentang sepanjang 85 kilometer—mulai dari Teluk Pacitan di Jawa Timur hingga ke Kali Oya di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta—hanyalah bagian kecil dari serangkaian penelitian yang dilakukan Truman Simanjuntak bersama kolega-koleganya. Kompas sendiri sempat terlibat dalam beberapa kegiatan mereka di berbagai lokasi penelitian.

Sepi dari "tepuk tangan"

Sebagai arkeolog yang mengkhususkan diri pada bentangan budaya dari masa prasejarah, dia sadar betul begitu banyak tantangan yang harus dihadapi. Sementara di sisi lain, penghargaan masyarakat atas penelitian- penelitian yang mereka lakukan tidak sepadan, bahkan dianggap sepi. Malah tak jarang muncul pernyataan sinis, bahwa apa yang mereka lakukan sekadar mengumpulkan serpihan peralatan batu tua dan sisa peradaban yang bisu.

Kenyataan semacam ini bukan tidak disadari oleh Truman Simanjuntak, juga rekan-rekannya yang menceburkan diri dalam profesi ini. Dunia penelitian di bidang arkeologi memang sepi dari "tepuk tangan". Kemewahan pun, tentu saja, menjadi sesuatu yang langka.

Ditemui menjelang upacara pengukuhannya sebagai profesor riset oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akhir November lalu, Truman menyatakan bahwa ia tidak pernah berkecil hati atas pilihan hidupnya sebagai peneliti di bidang arkeologi prasejarah. Ajaran yang ia terima telah membekali dirinya pada kesungguhan dan kecintaan yang besar terhadap profesinya.

"Ini memang profesi yang jauh dari kemewahan atau kenikmatan duniawi. Profesi ini selalu bergayut dengan panas, hujan, dan debu. Profesi yang membutuhkan kecintaan pada pedesaan dengan penduduk yang naif tetapi ramah; profesi yang bergayut dengan gunung-gunung, padang, huma, dan lautan," kata Truman Simanjuntak—ayah dua anak, Ruth (23) dan Levi (20), dari hasil perkawinannya dengan Yohana Yuliati (49)—dengan penuh kesungguhan.

Bentangan jejak budaya manusia Indonesia sesungguhnya begitu panjang. Jauh sebelum konsep tentang tulis-menulis dikenal di Nusantara, berawal ketika manusia purba pertama (baca: Homo erectus) diketahui telah menghuni negeri ini pada sekitar 2 juta tahun lampau, ketika itulah jejak peradaban penghuni awal wilayah yang kemudian bernama Indonesia ini bisa dirunut.

Jika kehadiran Homo erectus dengan manusia "Pithecantrophus"-nya sebagai titik tolak peradaban di Nusantara, hingga munculnya tulisan pada zaman Hindu sekitar abad ke-4/5 Masehi, maka rentang waktu "peradaban" yang terlampaui itu melingkupi hampir seluruh masa kehidupan manusia di Indonesia. Sebuah rentang waktu yang sangat panjang. Artinya, lebih dari 99 persen dari keseluruhan usia "peradaban" di negeri ini berada di wilayah kajian prasejarah.

"Panjangnya rentang waktu tersebut telah menjadikan prasejarah Indonesia sarat dengan lembaran kehidupan manusia, budaya, dan lingkungannya," kata Truman Simanjuntak.

Semangat pluralisme

Bagi penganut paham pragmatisme, kenyataan tadi hampir tak memberi makna apa pun. Akan tetapi tidak bagi Truman Simanjuntak. Dalam keyakinan lelaki kelahiran Pematang Siantar (27 Agustus 1951) ini, kenyataan-kenyataan itu justru sangat berguna bagi kehidupan masa kini. Lebih-lebih bila melihat kecenderungan saat ini, ketika nilai-nilai kebersamaan mulai tergusur oleh sikap eksklusivisme kelompok atau golongan yang justru kian menonjol. Belum lagi konflik-konflik yang menafikan kemajemukan dengan berbagai latar belakang muncul di mana-mana.

Padahal, kata Truman Simanjuntak, kalau kita sebagai bangsa mau memahami fondasi keindonesiaan kita, mau belajar pada kearifan-kearifan masa lampau, konflik-konflik sosial itu tidak seharusnya terjadi. Bahwa, keindonesiaan itu dibentuk atas dasar pluralisme dan multikulturalisme, yang telah tumbuh sejak awal kehidupan di Nusantara terbentuk. Ya, sejak manusia purba berkelana di padang bebatuan di Sangiran, di lembah-lembah sungai di daerah Mojokerto sekarang, atau di bukit-bukit karst di kawasan Pegunungan Seribu.

Temuan-temuan fosil manusia pada lapisan plestosen bawah di Sangiran, misalnya, secara fisik sudah menunjukkan ciri yang variatif. Begitupun jenis dan bahan peralatan yang digunakan. Dari artefak yang ditemukan, struktur sosial "masyarakat" kala itu pun sudah memperlihatkan ciri-ciri keberagaman.

Dalam perkembangan kemudian, salah satu keragaman budaya yang paling menonjol terlihat pada bahasa, yang merupakan perkembangan lanjut dari bahasa awal: Austronesia! Kemajemukan bahasa ini tentu mengait erat dengan berbagai unsur budaya lainnya, hingga menciptakan keragaman etnisitas seperti yang kita jumpai pada masyarakat Indonesia sekarang.

"Kemunculan penutur Austronesia dan budayanya di kepulauan Nusantara merupakan etnogenesis bangsa Indonesia, sekaligus peletak dasar budaya bangsa Indonesia," papar Truman Simanjuntak.

Oleh karena itu, bagi Truman, pluralisme dan multikulturalisme bagi bangsa ini merupakan suatu keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tak terbantahkan. Pluralisme dan multikulturalisme yang kita miliki itu, tambahnya, telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia dan budaya Indonesia di sepanjang perjalanan sejarahnya.

"Sungguh memilukan melihat nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme yang telah tumbuh sejak awal kehidupan di Nusantara, pada masa sekarang seolah-seolah tidak pernah ada. Sementara di sisi lain, eksklusivisme kelompok justru terlihat semakin menonjol," kata dia.

Sebuah bentuk kesedihan yang sangat beralasan. Sebab, rasanya kita pun sependapat dengan Truman Simanjuntak, bahwa kemajemukan itu telah memperkaya kehidupan budaya bangsa ini. Dan kemajemukan itu sebuah kearifan yang seharusnya semakin dikembangkan.

"Upaya untuk menghilangkannya akan sia-sia, karena kemajemukan adalah sifat yang senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Jadi, semua yang terjadi saat ini sesungguhnya ketidaktahuan atau kesengajaan?" (ine/ken)

Sumber: Kompas, Jumat, 15 Desember 2006

Mengembangkan Seni Tradisi di Sekolah

-- Indira Permanasari

Ni Randa Dadapan sedang sedih. Hujan lama tidak turun. Makanan menjadi sulit karena kekeringan melanda. Kemudian, diambilnya irus (semacam sendok sayur) yang didandaninya seperti bidadari. Tembang indah yang ibaratnya mantra lalu dilantunkan Ni Randa dengan harapan bidadari sudi menurunkan hujan.

Lakon Ngudang Widadari Nurunnaken Udan itu dibawakan dengan tradisi Dalang Jemblung oleh empat siswa SMA Negeri 5 Purwokerto, Jawa Tengah, dalam Festival Tradisi Lisan beberapa waktu lalu.

"Sampai sekarang, di beberapa daerah yang kurang air di daerah Banyumasan masih menjalankan ritual cowongan atau meminta hujan," ujar Amalia Rahayuni, guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 5 Purwokerto yang membina kelompok teater tersebut. Cowongan biasanya dibuat dari irus, kukusan, kayu, dan bambu hingga menyerupai boneka manusia.

Dalang Jemblung sendiri merupakan kesenian khas daerah Banyumas. Dalang Jemblung yang dibawakan para remaja dengan gaya berteater itu sederhana, tetapi jenaka.

Tidak ada alat musik sehingga bebunyian keluar dari bibir pedalang, pelakon atau sinden. Si pemeran tokoh, sinden, dan dalang dalam satu panggung saling berceletuk sehingga menimbulkan kelucuan. Kostum juga sederhana, seperti pakaian petani di pedesaan. Properti yang dibawa hanya sebuah boneka dari serabut dan semacam piring perak.

Dalang Jemblung cukup dimainkan 4-6 orang. Seni tradisi ini konon di daerah asalnya bisa saja dimainkan di dalam rumah lantaran tidak membutuhkan banyak perlengkapan.

Para pemain Dalang Jemblung muda tersebut tergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler teater di sekolah mereka. "Kami memainkan Dalang Jemblung pertama kalinya ketika diundang Festival Tradisi Lisan di Yogyakarta baru-baru ini. Kami mencari naskah cerita rakyat ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas dan berlatih lakon tersebut. Setelah itu, baru diundang ke Jakarta," ujar Amalia.

Sebelum itu, teater tersebut belum pernah membawakan seni tradisi. "Anak-anak ternyata menyukainya, barangkali benar kata pepatah, tak kenal maka tak sayang," kata Amalia.

Selain lakon Dalang Jemblung itu, dua murid SMP Negeri 1 Taliwang, Nusa Tenggara Barat (NTB), Basuk dan Mizar, membawakan seni tradisi Lawas-Sakeco dari Sumbawa. Lawas-Sakeco dibawakan dengan menembang lawas sambil menabuh rebana.

Kesenian itu dimainkan dua orang dan biasanya pria. Mereka bersyair dimulai dari satu orang dan disahuti oleh yang lainnya. Isi syairnya bermacam-macam, mulai dari kritik sosial, lingkungan, dan sebagainya.

Siang itu Basuk dan Mizar membawakan syair-syair yang terkadang kocak. "Biar tidak punya motor Honda, yang penting bisa bersekolah duk... duk... duk," dendang Basuk kemudian menabuh rebananya. Kali lain dia bernyanyi.

Kedua bocah tersebut sudah belajar Lawas-Sakeco sejak kelas empat SD. "Waktu di sekolah dasar, mereka sering mewakili sekolah untuk pertunjukan Lawas-Sakeco," ujar Jaya dari Sanggar Seni Lepas yang mendampingi kedua bocah tersebut.

Selepas SD, mereka lebih banyak belajar dari lingkungannya dan tergabung dalam sanggar. Di SMP tempat mereka belajar tidak ada ekstrakurikuler seni tradisi tersebut.

Wahana pewarisan


Kalau empat remaja SMA Negeri 5 Purwokerto, juga dua remaja dari SMP Negeri 1 Taliwang, Basuk dan Mizar, mengenal seni tradisi di sekolah, itu menunjukkan bahwa sekolah justru dapat menjadi pemutus mata rantai tradisi.

Umumnya, sekolah bisa dibilang kian steril dari nilai dan seni tradisi lokal, terutama di perkotaan. Sekolah yang sistemnya cenderung seragam semakin terfokus untuk kompetitif di era globalisasi. Era yang antara lain ditandai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

Akibatnya, kearifan lokal dan tradisi semakin tidak mendapat tempat. Sayangnya, seperti pernah diungkapkan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pudentia, terkadang dengan adanya sistem persekolahan, orangtua cenderung menyerahkan tugas pendidikan dan pengajaran kepada sekolah.

AM Muchtar, salah satu peserta dalam pertunjukan Massureq dari Sulawesi Selatan, mengamini hal tersebut. Massureq merupakan seni pembacaan karya sastra tulis orang Bugis, termasuk di dalamnya I La Galigo. Kata Muchtar, di zaman sekolah rakyat, dirinya masih diajarkan menulis dengan aksara Bugis dan membacanya.

"Anak dan cucu saya sekarang tidak lagi mengalami hal serupa dengan model sekolah seperti sekarang ini. Tradisi tidak lagi diajarkan. Padahal, di lingkungan sehari-harinya, anak juga diserbu oleh berbagai budaya luar," katanya.

Amalia juga mengakui, di dalam kurikulum sendiri jarang mencakup pengenalan kearifan lokal dan seni tradisi. "Untuk itu, salah satu cara yang dapat dikembangkan ialah mengenalkan berbagai kearifan lokal dan seni tradisi melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah," ujarnya.

Selain itu, pihak sekolah dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga lain yang peduli terhadap tradisi. "Mahasiswa sastra dari Universitas Jenderal Soedirman, misalnya, menawarkan untuk menampilkan teater Banyumasan di sekolah kami. Kami setuju, tetapi dengan catatan para siswa kami juga mendapatkan peran sehingga mereka dapat ikut merasakan dan mengenal tradisi," ujarnya.

Sumber: Kompas, Jumat, 15 Desember 2006

Thursday, December 14, 2006

Peluncuran Buku: Teori Barat Kurang Pas untuk Membedah Sastra Melayu

Jakarta, Kompas - Akademisi di Tanah Air dalam meneliti karya sastra Melayu cenderung menggunakan teori Barat. Untuk mengubah kecederungan ini perlu stimulus agar mempertimbangkan kerangka pikir penulis Melayu, bukan mengandalkan kerangka Barat.

"Jarang yang mencari dasar yang berakar dari tradisi atau cara pandang Nusantara dalam menelaah karya Melayu," ujar Abdul Hadi WM, sastrawan sekaligus pengajar di Universitas Paramadina, Senin (11/12).

Hal itu dikemukakannya pada peluncuran dan bedah buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) karya Denys Lombard dan buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi karya Amin Sweeney. Kedua buku tersebut diterbitkan atas kerja sama Kepustakaan Populer Gramedia dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO).

Menurut Abdul Hadi, pemahaman sarjana Barat terhadap Melayu kerap tidak pas. Dia mencontohkan, dalam pandangan Barat terkadang tradisi lisan dilihat dari tradisi tulis. Padahal, tradisi lisan merupakan permainan kata dan bunyi.

"Memindahkan tradisi lisan ke tulis harus tunduk pada tradisi lisan. Pandangan Barat akan janggal ketika diterapkan pada karya Melayu lantaran didasarkan pengalaman di Eropa," katanya.

Kurang berkembangnya penggalian paradigma lain dalam melihat karya sastra Melayu tak lepas dari tradisi positivisme di kalangan akademisi. Tradisi positivisme merupakan teori kebudayaan yang dipakai terus. Para penerus zaman pencerahan menganggap penemuan akal budi lebih tinggi daripada intuisi atau imajinasi

"Kalau kita membaca karya Sweeney, terlihat pertumbuhan cara pandang positivisme," ujar Abdul Hadi.

Uka Tjadrasasmita, arkeolog dengan bidang spesialisasi Islam, yang membahas buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), justru melihat Lombard memberikan pandangan berbeda dengan akademisi Barat lainnya. Dengan model historiografinya, (alm) Lombard menolak historiografi yang Eropa sentris dan pandangan ahli-ahli yang mengecilkan arti sejarah Aceh zaman Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17. (INE)

Sumber: Kompas, Rabu, 13 Desember 2006

Sastra Daerah Semakin Termarjinalkan

SEIRING dengan perkembangan zaman, kehidupan sastra di daerah semakin termarjinalkan. Para penggiatnya praktis melakukan kegiatan-kegiatan sastra secara individu dan swadaya, sehingga gaungnya hanya terasa dalam ruang lingkup yang tidak terlalu luas. Dukungan pemerintah daerah terhadap kelanjutan dan perkembangan sastra di daerah perlu digugat kembali.

Latar belakang dan tujuan itulah yang akan dibahas dalam Temu Sastra II Mitra Praja Utama (MPU) 2006 yang akan digelar di Sanur, Bali, 12-15 Desember 2006. Tema yang dipilih adalah "Peranan Sastra dalam Membangkitkan Harkat dan Martabat Bangsa". Kegiatan itu merupakan kelanjutan dari Temu Sastra I MPU 2004 yang digelar di Banten, Juli 2004. (ben)

Sumber: Kompas, Selasa, 12 Desember 2006

Esai: Siapakah (Masyarakat) Lampung

-- Galih Priadi S.S.*


ADA banyak makna dan tafsir yang dilontarkan dalam diskusi panjang di Lampung Post sejak Firdaus Agustian menggelontorkan pemikirannya mengenai piil pasenggiri. Pemikiran itu memantik diskusi kualitatif tentang pandangan hidup (welstanchaung) orang Lampung hingga berkembang masuk, dan membangun wacana soal identitas orang Lampung yang diuraikan Budi Hutasuhut.

Menurut saya, para penulis--Firdaus Agustian, Fachrudin, Muhammad Aqil Irham, Udo Z. Karzi, dan Budi Hutasuhut--sedang berupaya mengurai hal-ihwal transformasi masyarakat Lampung dan ide-ide yang menjadi pandangan hidupnya. Saya bersepakat dengan rekan-rekan itu soal kegelisahan dan pergulatan pencarian identitas merupakan bagian keniscayaan, konsekuensi yang harus ditanggung dari roda globalisasi dan kuda tunggangannya, teknologi informasi.

Memudarnya roh dan relevansi dari piil pasenggiri telah ditafsirkan dalam ragam makna oleh penulis-penulis terdahulu. Piil pasenggiri telah dikonstruksikan dalam sebentuk puzzle, falsafah hidup, perangkat lunak sebagai cermin "puncak" kebudayaan, kegelisahan tentang relevansi nilai dan praksis, serta sederet kegelisahan lain yang hinggap dalam benak pikir kolektif kita. Hingga terakhir Bung Budi kembali mengusik kita seumpama pertanyaan si tokoh Sophie dalam novel Dunia Sophie, "Siapakah aku". Ya, "Siapakah kita" dan "Bagaimana identitas kita?"

Segala pendapat soal welstanchaung dan identitas mesti saya maknai sebagai serialitas. Secara sederhana, mengenai serialitas ini, saya berusaha memaknainya dari pemikiran Anthony Giddens--The Constitution of Society (1995)--sifat episodis dari semua kehidupan sosial manusia. Serialitas-serialitas dalam suatu rangkai panjang cerita.

Kita bisa memaknai kegelisahan-kegelisahan tersebut sebagai pintu masuk, suatu proses dialektis untuk mencapai serialitas kehidupan masyarakat Lampung yang lebih berkwalitas. Karena, kita bisa menengok ke belakang bahwa serialitas kehidupan masyarakat Lampung terdahulu dihadapkan pada problem identitas yang lahir dari kegelisahan intelektual dan komunitas-komunitas periferi yang lebih luas, yang menempatkan eksistensinya dalam sirkum geo-politik-geo-ekonomi khas komunitas-komunitas pra-negara-bangsa di dunia pada abad-abad 19 dan 20, yang mengkonsolidasi imajinasi mereka tentang identitas nasional?

Saat itu serialitas kehidupan pra-negara-bangsa kita dipengaruhi apa yang disebut Benedict Anderson sebagai "kapitalisme cetak" (print capitalism). Dengan surat kabar sebagai wujud material dari kapitalisme cetak, komunitas-komunitas masyarakat pra-negara-bangsa itu menjadi mungkin untuk melakukan konsolidasi identitas nasional, identitas negara-bangsa melalui bahasa kolektif. Seumpama bahasa Indonesia.

Dalam serialitas hari ini, sedari awal Budi Hutasuhut telah dengan baik mengingatkan kita tentang hubungan saling menguntungkan, saling membutuhkan antara bahasa dengan eksistensi suatu masyarakat dan kebudayaannya. Sebab, kegelisahan kita tecermin dalam ungkapan yang dilontarkan Gerard Bibang, seorang sosiolinguistik, dengan pertanyaan, "Mungkinkah manusia tanpa kebudayaan, atau kebudayaan tanpa manusia?" Jawabannya adalah mustahil.

Kebudayaan adalah produk khas manusia. Ancaman terhadap bahasa adalah ancaman kebudayaan. Ancaman kebudayaan adalah ancaman terhadap manusia. Kristalisasi pemikiran ini membawa kita pada pemahaman bahasa sebagai penanda kebudayaan merupakan suatu kebutuhan mutlak. Tidak bisa tidak. Wajar jika kita mengikrarkan dan mengikhtiarkan perjuangan mempertahankan bahasa-bahasa, dari segi tertentu, sebagai perjuangan mempertahankan eksistensi dan kebudayaan masyarakat pemakainya. Bahasa telah menjadi eksistensi dan kehidupan. Begitu juga dengan bahasa Lampung.

Pascakolonialisme, lahir negara-bangsa Indonesia dan membaiat bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, bahasa standar yang dipergunakan. Provokasi kemajuan iptek dan industrialisasi, menyebabkan kemajuan bahasa Indonesia dan pudarnya eksistensi bahasa-bahasa yang digunakan oleh etnis-etnis dalam negara bangsa Indonesia. Bahasa daerah, misalnya, bahasa Lampung, dianggap tidak memenuhi standar dan kebutuhan orang untuk berkomunikasi secara serbacepat, langsung, dan praktis. Bahasa yang berliku-liku dan beragam dirasakan sebagai kendala dan bakal tergusur. Peminggiran ini terkadang juga didukung keengganan penggunaan bahasa daerah oleh mayoritas penuturnya.

Memasuki serialitas berikutnya, di abad teknologi informasi ini, transformasi kebudayaan dan identitas kembali terjadi. Semua perangkat lunak dan perangkat keras masyarakat mau tak mau harus berubah. Pertanyaan "siapakah kita?" jadi sangat aktual berhadapan dengan lalu lintas global yang terus menerus menawarkan petikan-petikan identitas dari bermacam-macam wilayah dunia ini.

Dalam bimbingan Ben Anderson, Arjun Appadurai dalam bukunya Modernity at Large. Cultural Dimensions of Globalization (1996) juga membayangkan transformasi masyarakat dan kebudayaannya. Antropolog asal India itu bukan hanya tertarik pada fenomena nasionalisme, melainkan mencoba mengerti apa yang dewasa ini disebut dengan globalisasi budaya, yaitu fenomena kebudayaan yang tidak terikat kepada negara-bangsa lagi.

Appadurai melihat dewasa ini dunia media dan teknologi informasi sangat bervariasi. Negara-bangsa tidak lagi merupakan kerangka utama untuk media. Ini menjadi satu faktor paling baru, bahkan paling dashyat membahayakan kecepatan punahnya bahasa-bahasa sebagai identitas suatu komunitas masyarakat. Terpenting semakin cepat menggerus welstanchaung masyarakatnya. Begitu juga pada masyarakat Lampung.

Satu solusi yang diberikan pemerintah daerah Lampung--meminjam contoh yang dibuat Budi Hutasuhut--belum merupakan jaminan bahwa welstanchaung itu akan lestari dan dihayati dalam lelakon kehidupan masyarakat Lampung sehari-hari. Saya bersepakat dengan pertanyaan, "masih relevan atau tidak piil pasenggiri yang merupakan welstanchaung orang Lampung saat ini?"

Eksistensi dan berlakunya piil pasenggiri secara fungsional juga tergantung dengan situasi dan kondisi kehidupan dan realitas sosial-budaya yang lain. Dengan demikian, bila ada desakan terhadap piil pasenggiri dalam suatu perubahan sosial mungkin bisa dikaji dalam waktu dunia--meminjam bahasa Anthony Giddens--berarti perlu menekankan adanya pengaruh berbagai bentuk sistem kemasyarakatan yang relevan terhadap transisi episodis ini.

Seperti tantangan Udo Z. Karzi, "Syukur-syukur ada interprestasi (pun penerjemahan dalam praksis) baru tentang piil pasenggiri." Bagaimana episode selanjutnya?

* Galih Priadi S.S., Peneliti pada Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)

Sumber: Lampung Post, 14 Desember 2006