Thursday, December 14, 2006

Esai: Dilema Masyarakat Adat (Bagian Terakhir dari 2 Tulisan)

-- A. Fauzie Nurdin*


SEBENARNYA, dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, klan kecil dapat dibedakan antara Pepadun dengan Saibatin. Sementara klan besar lebih tampak pada hubungan antara kelompok masyarakat yang dapat dihimpun dalam komunitas adat Lampung.

Dalam konteks itu, para punyimbang dan dalom perlu pemikiran berdasar kesadaran kritis untuk mengaktualisasikan "wadah" atau "media" dalam bentuk organisasi "Dewan Kebudayaan Lampung" yang dirancang secara konseptual berdasar strategi kebudayaan (revitalisasi-dekonstruksi kebudayaan Lampung) yang rasional dan mampu menjawab persoalan masyarakat adat di masa depan. Sebab, kebudayaan adalah karya kita sendiri, tanggung jawab kita sendiri; dan relasi terhadap hidup kita sendiri.

Jika dipahami, kebudayaan sebagai suatu proses belajar raksasa yang sedang dijalankan umat manusia, maka pengembangan kebudayaan tidak terlaksana di luar kita sendiri, tetapi justru kita sebagai pelaku budaya yang harus menemukan strategi dan membangun kebudayaan berdasar kebersamaan untuk kita bersama, di tengah persaingan identitas budaya lokal di era global.

Mengenai persoalan otonomi masyarakat adat, diperlukan peran eksvansif negara ke masyarakat yang merampas habis otonominya. Otonomi masyarakat adat yang dimaksudkan mengandung dua hak: hak bawaan dan hak pemberian.

Hak bawaan adalah hak asli yang dimiliki sejak dulu. Sedangkan hak pemberian adalah hak yang diberikan pihak luar seperti negara, untuk melindungi sekaligus memberdayakan komunitas adat tersebut, yang sejalan dengan percepatan pembangunan daerah.

Jika mencermati otonomi masyarakat adat, ada dua tema penting yakni siapa yang dimaksud komunitas adat dan apa itu otonomi bagi komunitas adat. Konsep itu mengutip definisi para aktivis NGO pada tahun 1991, yang menegaskan, masyarakat adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang berhak untuk menempati (memiliki) wilayah tertentu, memiliki dan menerapkankan aturan tertentu, memiliki dan memakai sistem organisasi yang ada (tata pemerintahana/self governing community), serta bercirikan pola komunikasi face to face antarwarga dan anggotanya.

Persoalannya di masa lalu dan juga di masa sekarang, otonomi masyarakat adat dianggap sebagai hal yang akan mengancam kepentingan ekonomi dan politik dari nation-state. Tak mengherankan jika kemudian otonomi masyarakat hanya menjadi lips service dan kosmetik di wajah negara yang tak pernah dianggap serius. Alhasil, terjadi eksploitasi dan polarisasi terhadap masyarakat adat oleh penguasa dan berbagai kelompok kepentingan, tanpa upaya serius untuk memberdayakannya.

Dari perspektif yang berbeda, kita perlu mendefinisikan kembali tentang masyarakat adat. Lebih dari itu, jangan hanya terfokus pada otonomi dari sisi politik dan ekonomi, begitu juga dengan isu marginalisasi: jangan hanya dipahami dari sisi ekonomi dan politik.

Perlu dipertimbangkan merginalisasi dari sudut budaya. Marginalisasi budaya lokal itu bisa terjadi misalnya pada kondisi tata ruang berubah begitu cepat, sementara pada masyarakat terjadi arus manusia mengalir begitu cepat. Masyarakat tiba-tiba gagap bagaimana dia harus bersikap.

Beberapa pengalaman pendampingan dan pemberdayaan di berbagai suku asli dalam masyarakat adat, ternyata dalam masyarakat sekarang ini seringkali muncul stereotip terhadap masyarakat adat. Masyarakat luar (jika bupati atau wali kota) bukan penduduk asli seringkali menganggap remeh budaya lokal, bahkan peradaban dan kebudayaan mereka.

Pernah ada sekelompok masyarakat adat Pubian--Panitia Pembangunan Balai Adat (Sessat Agung)--di satu desa di Kabupaten Lampung Selatan yang mengajukan permohonan kepada bupati. Faktanya, sangat sulit untuk mendapat dukungan dan bantuan padahal perencanaan pembangunan fisik (gambar teknis, anggaran, dan kepanitiaan) sudah siap.

Hanya izin pinjam pakai tanah untuk bangunan yang tidak lebih dari setengah hektare, tidak mendapat jawaban persetujuan yang pasti, meski sudah pendekatan dengan DPRD (Komisi A), menemui Bupati ke rumah, dan menyita waktu lebih dari empat bulan.

Persoalan yang perlu dirumuskan jawabannya, bagaimana membangun demokrasi dan meberdayakan masyarakat adat dari aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya? Berdasar basis masa lalu ataukah mencoba membangun identitas imajinatif tentang masa depan untuk percepatan pembangunan daerah.

Namun, setidaknya ada berbagai kritik dan masukan yang sangat berharga dalam memahami ulang masyarakat adat. Masukan yang penting untuk mempertimbangkan: bagaimana memberdayakan masyarakat adat melalui keberadaan Lembaga Masyarakat Adat Lampung (LMAL) dari aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya, terutama di hadapan penguasa daerah; terlebih lagi ketika berhadapan dengan gurita raksasa globalisasi.

Di balik itu, sekecil apa pun pemikiran dan tindakan yang dilakukan dengan ikhlas atas dasar iman dan ihsan, semoga menjadi ibadah kita dalam proses pembebasan yang dirindukan oleh hati yang tulus setiap insan untuk mencapai rida Allah swt. Amin.

* A. Fauzie Nurdin, Staf Pengajar Pascasarjana IAIN Raden Intan Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Kamis, 14 Desember 2006

No comments: