Tuesday, December 26, 2006

Pragmatisme Semakin Menonjol, Kebijakan Bidang Kebudayaan Belum Banyak Berubah

Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah di bidang kebudayaan belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan. Apa yang dilakukan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata masih terjebak pada semangat pragmatisme dengan program-programnya yang karitatif. Upaya mendorong tumbuhnya daya cipta justru diabaikan.

Demikian pandangan pengamat budaya Radhar Panca Dahana dan Wicaksono Adi yang dihubungi terpisah di Jakarta, akhir pekan lalu. Sementara sejarawan Susanto Zuhdi dari Universitas Indonesia mengingatkan pemerintah agar program-program di bidang kesejarahan ke depan perlu lebih membumi.

Semangat pragmatisme yang ditunjukkan pemerintah di bidang pembangunan kebudayaan, menurut Radhar, antara lain terlihat dari kecenderungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk memfokuskan diri pada program-program yang bersifat populer. Hal itu jelas terlihat dari semangat luar biasa dalam mendukung berbagai festival kesenian, termasuk perfilman.

"Film memang bersifat populer dan menyajikan kekuatan selebrasi yang kuat. Untuk sebuah festival film, pemerintah rela keluar dana miliaran rupiah. Akan tetapi, coba tengok di bidang seni lain, katakanlah untuk kegiatan teater, dana yang dikucurkan jauh lebih kecil," kata Radhar.

Prestasi di bidang perfilman yang baru mulai menggeliat itu pun, kata Radhar, sebetulnya lebih banyak merupakan hasil jerih payah insan perfilman dan sudah dirayakan sedemikian rupa oleh pemerintah. Begitu juga dengan panggung-panggung perlombaan menyanyi yang populer belakangan ini, juga mendapatkan dukungan besar.

Sebaliknya, bidang-bidang yang sifatnya nonmaterial kurang mendapatkan tempat. Infrastruktur kesenian yang dibutuhkan kalangan budayawan agar leluasa bekerja, seperti gedung perpustakaan untuk riset, jaringan informasi, jaringan pusat kesenian, serta landasan hukum yang diperlukan, belum memadai.

"Jika hal-hal semacam ini terus diabaikan, bangsa ini akan berjalan dalam kegelapan dan mengalami disorientasi," katanya.

Radhar juga menyayangkan kecenderungan kegiatan budaya, khususnya seni, masih saja ingin dikait-kaitkan dengan pariwisata. Akibatnya, kebudayaan pun direduksi hanya menjadi semacam komoditas ’tempelan’ dari agenda besar berlabel pariwisata. Padahal, di tengah kemerosotan bangsa ini di berbagai bidang, kesenian dan kebudayaan dalam arti luas justru memiliki kekuatan tersendiri, yang terbukti masih mendapat penghormatan dan penghargaan di dunia internasional.

Tak banyak berubah

Bagi Wicaksono Adi, program- program yang dikedepankan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata belum banyak berubah dibandingkan kebijakan di masa lalu. Karena cenderung karitatif, kebijakan-kebijakan di kebudayaan dinilainya kurang mendorong terciptakan iklim yang baik. Usaha memelihara budaya tidak dengan mendorong daya cipta.

"Sebetulnya telah mulai tumbuh lembaga-lembaga budaya dalam masyarakat yang meningkatkan daya cipta, tetapi sifatnya masih sporadis. Mereka perlu dirangkul dan bersinergi," ujarnya.

Dalam kaitan itu, pemerintah seharusnya bisa berperan, terutama dalam menciptakan iklim; mulai dari membangun fasilitas sampai dengan dasar hukumnya.

Dia mencontohkan, dorongan kepada industri perfilman di Tanah Air perlu diciptakan iklim perpajakan yang menunjang, seperti mempertimbangkan agar pajak perfilman tidak sama persis dengan industri. Demikian juga dengan bantuan promosi ke dunia internasional.

Sejarawan Susanto Zuhdi lebih menyoroti program-program di bidang kesejarahan, yang menurut dia masih perlu lebih membumi. "Penulisan sejarah Indonesia akan selesai dan diluncurkan pada tahun 2007. Setelah itu, yang tak kalah penting ialah mendorong penulisan sejarah-sejarah lokal," kata Susanto.

Penulisan sejarah lokal penting agar tidak terjadi disorientasi keindonesiaan di daerah-daerah. Sejarah lokal itu tentunya merupakan jati diri lokal dalam konteks kebangsaan. (INE)

Sumber: Kompas, Selasa, 26 Desember 2006

No comments: