-- Budi Hutasuhut*
Hal ihwal identitas dalam produk-produk kebudayaan kita, termasuk dalam karya sastra, melahirkan polemik yang tak berkesudahan sejak zaman Sutan Takdir Alisjahbana. Kesimpulan dari setiap polemik selalu saja "tak ada yang bisa disimpulkan" karena semua identitas yang bertebaran di lingkungan masyarakat memiliki argumentasi yang cocok dan pas untuk menjadi representasi nasional.
Setiap kelompok mengakui bahwa identitas yang dimilikinya paling representatif, tetapi mereka tidak pernah berjiwa besar untuk mengakui bahwa semua identitas yang ada di negeri ini bisa menjadi representasi nasional. Karena keyakinan itu, setiap kelompok akhirnya hanya memikirkan bagaimana caranya agar identitas yang dimilikinya mendapat pengakuan secara luas sebagai orientasi nasionalisme.
Dengan cara berpikir itu, mereka memosisikan identitas kelompok lain sebagai lain (the other), sesuatu yang tak perlu diperhatikan apalagi dipikirkan. Mereka malah berharap identitas di luar identitasnya harus dipunahkan agar kelompok-kelompok pemilik identitas bersangkutan bisa mengubah orientasinya.
Tetapi, mereka tidak pernah secara bijak untuk menjelaskan kenapa kelompok lain harus menerima identitas mereka tanpa sikap kritis. Karena sebetulnya mereka sendiri kurang paham dengan identitas yang dimiliki, meskipun berusaha mempertahankannya dengan cara yang sering mengorbankan rasa kemanusiaan.
***
SITUASI seperti itulah yang dapat ditangkap dari tulisan Firdaus Augustian, Fachruddin, Muhammad Aqil Irham, dan Udo Z. Karzi yang dimuat beberapa hari di koran ini. Setiap upaya yang dilakukan para penulis untuk membicarakan kembali ihwal falsafat hidup orang Lampung--bahkan termasuk upaya Rizani Puspanegara dalam menulis buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran--lebih kuat dipengaruhi keinginan agar identitas Lampung menjadi representasi seluruh masyarakat di provinsi ini.
Inilah politik representasi yang sudah tentu akan mengalami benturan keras dengan ragam identitas kebudayaan yang tumbuh di provinsi ini. Bukan saja disebabkan kelompok-kelompok yang ada juga memiliki keinginan agar identitas kebudayaannya menjadi representasi nasional, tetapi karena masih belum jelas bagi siapa saja mengenai batas-batas demarkasi identitas Lampung itu sendiri.
Sampai detik ini, di antara pemilik identitas Lampung ada dua identitas yang sangat dominan dan mendapat pengakuan dari pemerintah. Identitas pertama menyebut diri Pepadun, yang lain menyebut diri Peminggir (Pesisir). Tegasnya batas demarkasi antara keduanya, paling nyata pada wilayah demografi, sistem sosial, sistem budaya, dan pola mata pencaharian para penganutnya. Sebagai contoh, orang Lampung dapat dengan mudah dibedakan dari bentuk atap rumah tradisonalnya, ditambah lagi persoalan dialek bahasanya.
Setiap penganut kedua identitas ini sama-sama berusaha menjadi representasi Lampung, yang justru menyebabkan hal itu sulit terealisasi. Semestinya mereka menyadari pentingnya menjaga harmoni. Tetapi, sekalipun setiap identitas telah memperlihatkan kemampuan luar biasa untuk menjaga harmoni, pada sisi lain kita melihat betapa kedua penganut identitas ini sulit dipersatukan karena batas demarkasi diantara keduanya sangat tegas.
Seseorang dari penganut identitas Peminggir (Pesisir), sulit diterima dalam lingkungan masyarakat penganut identitas Pepadun. Namun, penganut identitas Peminggir (Pesisir) baru bisa diterima lewat sebuah proses adat yang sangat panjang dan melelahkan. Prosesi adat itu bisa diterima sebagai upaya untuk menjaga harmoni, tetapi dampaknya tidak bisa diterima akan melahirkan suatu keadaan ideal.
***
KETIDAKJELASAN identitas Lampung menyebabkan penganut ragama identitas budaya yang ada tidak terlalu peduli terhadap masa depan identitas Lampung. Bagaimana mungkin penganut identitas lain akan peduli dengan identitas Lampung, sementara penganut identitas Lampung itu tidak pernah memperlihatkan kesungguh-sungguhan mereka untuk menjaga harmoni dengan menciptakan sebuah situasi yang ideal.
Sebab itu, perlu dirumuskan satu solusi seperti yang telah dilakukan ketika Pemerintah Daerah Provinsi Lampung mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Tari Sembah (Sigeh Pengunten). Tari yang diresmikan sebagai tarian Lampung untuk menyambut para tamu penting di pemerintahan itu, merupakan hasil kreasi para kereografer dengan cara mengambil gerakan-gerakan dari sejumlah tarian yang dimiliki identitas Pepadun maupun Peminggir (Pesisir).
Penerimaan terhadap Tari Sigeh Pengunten kreasi baru ini menunjukkan bahwa setiap penganut identitas Lampung bisa menerima hal baru yang dirumuskan dari produk-produk kebudayaan mereka. Artinya, identitas Lampung yang dualisme menjadi satu dalam tari Sigeh Pengunten.
Hal serupa ini bisa diwujudkan dengan merumuskan identitas Lampung yang tidak dualisme dan bisa diterima seluruh kalangan. Dalam bahasa, misalnya, perlu dirumuskan satu bahasa yang menyimpan di dalam warisan identitas Pepadun maupun Peminggir (Pesisir).
Ketika bahasa Lampung hasil kesepakatan itu disosialisasikan kepada penganut identitas berbeda yang ada di provinsi ini, hal itu tidak lagi menimbulkan kesulitan berarti. Bahkan, ketika dalam muatan lokal bahasa Lampung masuk dalam materi kurikulum dunia pendidikan, publik yang luas tidak akan mengajukan pertanyaan: Apakah muatan lokal bahasa Lampung itu menggudakan dialek "nyo" atau dialek "api".
Setiap orang akan meyakini dan mempelajari bahwa "inilah bahasa Lampung". Soal dialek yang berbeda, "nyo" atau "api", biarkan menjadi keragaman yang memperkaya khazanah budaya Lampung, terutama pada tingkat aplikasi dalam percakapan sehari-hari.
Tentu saja semua ini akan terwujud jika mereka yang merasa bertanggung jawab terhadap kelestarian identitas Lampung tidak cuma memikirkan identitas Pepadun atau Peminggir (Pesisir). Jika ini berhasil, bukan hal yang sulit untuk menafsirkan kembali falsafat hidup piil pesenggiri yang dibanggakan orang Lampung.
* Budi Hutasuhut, Aktif di Dewan Kesenian Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 5 Desember 2006
No comments:
Post a Comment