DALAM sejarah pemikiran Indonesia, nama Daoed Joesoef memang sulit diabaikan. Pergaulannya yang luas, pikiran-pikirannya yang kritis, sepak terjangnya yang kontroversial, membuat pria kelahiran Medan 8 Agustus 1926 ini hadir bak lonceng berdentang-dentang.
Ambillah satu contoh, ketika ia menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983), kaum mahasiswa selalu saja dikondisikannya untuk jauh dari dunia politik. Baik secara eksplisit (yang mengandung hukuman) maupun secara implisit. Pada masa itu, tak pelak tudingan bahwa dirinya lebih propemerintah Orde Baru sulit terbendung.
Namun kiranya tetap penting kita telusuri kembali gagasan-gagasan briliannya yang berserakan. Sebab bagaimanapun, sepulangnya dari studi di Universite Pluridisciplinaries de Paris I, Panteon, Sorbornne, Prancis (1964-1972), mantan dosen ekonomi di Universitas Indonesia (1954-1963) itu kian meyakinkan publik sebagai intelektual yang cakupan erudisinya sangat luas.
Kamis (13/2) lalu, di Gedung CSIS, Jakarta, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983) itu meluncurkan buku terbarunya, Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran.
Di dalam buku setebal 924 halaman itu, selain bisa menyaksikan pergulatannya bersama tokoh-tokoh besar negeri ini, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sumitro Djojohadikusumo, Ali Moertopo, dan Soeharto, kita bisa menyimak gagasannya tentang pendidikan dan kebudayaan.
Di matanya, pendidikan yang ideal, yang bersentuhan langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia, tidak bisa tidak harus bergandeng tangan dengan pemikiran mendalam soal kebudayaan.
Mengapa? Sebab kebudayaan adalah jiwa pendidikan dan ruang tempat proses demi proses pendidikan itu terjadi. Di samping itu, sebagai sistem nilai, pemahaman kebudayaan akan mengantar kita pada dua arus utama, pembangunan dan tuntutan peningkatan martabat manusia.
Dalam kerangka itu, pendekatan terhadap praksis pendidikan harus bersifat sistemik dan bukan ensiklopedik. Artinya, ketimbang berusaha mengajarkan setiap hal yang sudah diketahui secara fragmentaris, sebaiknya pendidikan lebih diarahkan pada metodologi umum yang dapat membantu anak didik mengorganisasi pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti pelajaran.
Pada jenjang prauniversitas, terutama di tingkat pendidikan primer (sekolah dasar), sasaran pembelajaran bukanlah mencakup berbagai jenis materi yang dibahas atau semua yang mungkin bisa diketahui. Melainkan, betul-betul mempelajari hal-hal yang tidak bisa diabaikan.
Mengapa demikian? Sebab tujuan umum pendidikan bukan hanya mengisi otak dengan data, tetapi bertindak sebagai katalis ke pengorganisasian struktur dan fungsi yang membantu anak didik mengintegrasikan informasi menjadi pengetahuan. Lalu dari pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan, kemudian dari ilmu pengetahuan menuju kearifan, untuk akhirnya berujung pada pemahaman budaya umum.
Lebih kritis Daoed menegaskan, pembelajaran dalam artian schooling, betapa pun tinggi dan sangat spesialistis, tidak dengan sendirinya membuat seseorang diakui terdidik (educated). Karena, pendidikan jauh lebih besar daripada sekadar keterpelajaran.
Fenomena murid-murid yang selalu menimbang untung-ruginya mempelajari ilmu pengetahuan tertentu, sesungguhnya mereka telah jatuh menjadi orang-orang yang menimba ilmu pengetahuan dari aspek komersialnya saja. Motivasi seperti ini, menurut Daoed, adalah jenis motivasi yang lambat laun menurunkan sekolah menjadi sebatas training institute.
Bila pendidikan berhasil ditegakkan secara baik dan benar, kebudayaan pun bisa dipahami sebagai avant tout, suatu interogasi kritis terhadap diri sendiri. Lebih jauh, sebagai suatu cara membuka diri terhadap pematangan kemanusiaan dan pemekaran ide-ide global. (Chavchay Syaifullah/H-2).
Sumber: Media Indonesia, Senin, 18 Desember 2006
No comments:
Post a Comment