SEIRING dengan perkembangan zaman, kehidupan sastra di daerah semakin termarjinalkan. Para penggiatnya praktis melakukan kegiatan-kegiatan sastra secara individu dan swadaya, sehingga gaungnya hanya terasa dalam ruang lingkup yang tidak terlalu luas. Dukungan pemerintah daerah terhadap kelanjutan dan perkembangan sastra di daerah perlu digugat kembali.
Latar belakang dan tujuan itulah yang akan dibahas dalam Temu Sastra II Mitra Praja Utama (MPU) 2006 yang akan digelar di Sanur, Bali, 12-15 Desember 2006. Tema yang dipilih adalah "Peranan Sastra dalam Membangkitkan Harkat dan Martabat Bangsa". Kegiatan itu merupakan kelanjutan dari Temu Sastra I MPU 2004 yang digelar di Banten, Juli 2004. (ben)
Sumber: Kompas, Selasa, 12 Desember 2006
1 comment:
Adanya internet mempersempit kesenjangan antara sastra daerah dengan sastra di Jakarta. Namun tak dapat dipunkiri, kegitan-kegiatan penunjang kemajuan sastra di Jakarta jauh lebih banyak dan menjamur dibanding kegiatan-keiatan di daerah. Jakarta laksana etalase toko bagi begitu banyaknya kegiatan di segala bidang kehidupan, berkesenian, termasuk pula bidang sastra. Tidak ada hari tanpa kegiatan di Jakarta bahkan sampai pada malam hari. Hal ini memacu sastra di Jakarta 'kelihatan' berkembang pesat. Namun yang acap dilupakan orang adalah kegiatan sastra tidaklah identik dengan keramaian. Namun, kegiatan sastra sangat dekat dengan sunyi, kesendirian, hal ini lebih banyak dimiliki oleh sastrawan di daerah dalam berkaya di ruang sunyi. Namun ruang sunyi sendiri dalam konteks berkarya bagi setiap orang adalah berbeda-beda. Arswendo Atmowiloto justru sangat produktif di keramaian, sementara di sebagian banyak orang mereka lebih produktif dalam kesunyian. Maka dalam konteks ini, hiruk pikuk bagi Arswendo adalah sunyi.
Yonathan Rahardjo
Post a Comment