-- Hardiman*
SASTRA Melayu Tionghoa telah lama terpinggirkan oleh arus utama (teori) sastra Indonesia. Di hadapan teori postkolonialisme, Nyai Dasima, misalnya, begitu penting sebagai obyek kajian. Nyai Dasima bukan sekadar teks yang dibangun oleh bahasa capcay, tetapi yang terpenting adalah representasi tentang kolonialisasi.
/ Kompas Images
Berterima kasihlah kita kepada Bill Ashcroft, teorisi pertama yang memperkenalkan wacana postkolonial di dunia sastra. Melalui bukunya, The Empire Writes Back (1989), Ashcroft menunjukkan adanya dua model penting dalam sastra postkolonial (postcolonial literature), yaitu model national dan model black writing.
Model national memusatkan perhatian pada hubungan negara dan bekas penjajahnya. Kasus paradigmatik untuk hal ini adalah Amerika Serikat. Di sana sastra merupakan bagian dari sebuah ”kemajuan optimistik menuju kebangsaan (nationhood) atas dasar perbedaan dengan Inggris. Hal ini melibatkan pembuangan pelbagai metafora mengenai orangtua-anak atau pusat-pinggir yang telah menempatkan sastra Amerika dalam posisi subordinat.
Model kedua, black writing, memusatkan perhatian pada karya-karya African Diaspora of the Black Atlantic. Model ini diperluas dengan memasukkan bentuk-bentuk tulisan lain, misalnya tulisan ”Australian Aboriginal” atau tulisan-tulisan dari India, karena model ini lebih mendasarkan dirinya pada etnisitas ketimbang nasionalitas (Leela Ganhi, 2001, Teori Postkolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, terjemahan Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah. Yogyakarta: Qalam).
Ada dua konsep kunci utama yang diajukan Ashcroft, yaitu dominasi-subordinasi dan hibriditas-kreoliasi. Ashcroft, seperti yang diuraikan Barker (2005) menjelaskan bahwa dominasi dan subordinasi ini muncul ke permukaan berkaitan dengan kendali militer kolonial.
Dalam pengertian yang lebih kultural, muncul pertanyaan mengenai penghinaan dan subordinasi terhadap budaya ”pribumi” oleh penguasa kolonial. Dominasi dan subordinasi merupakan hubungan yang tidak hanya terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok etnis, tetapi juga di dalamnya sendiri. Tekanan pada etnisitas dalam pustaka teori pascakolonial dapat menyamarkan hubungan kuasa antarjender. Misalnya, citra tentang perempuan adalah para pengemban tugas yang signifikan untuk menjaga kesucian dan reproduksi.
Kolonialisme di Indonesia
Membaca Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra, kita dibawa ke dalam suatu peta kolonialisme di Indonesia. Prof Dr I Nyoman Kutha Ratna membuka buku ini dengan paparan tentang kedatangan bangsa-bangsa Barat, kolonialisme di Indonesia, imperialisme dan orientalisme.
Kutha Ratna dalam bab pertama ini memperlihatkan cara pandangnya yang multidimensional dan multidisiplin. Selanjutnya, Kutha Ratna memaparkan konsep imperialisme dengan, antara lain, meminjam pendapat Michael Doyle (Said, 1994). Kutha Ratna menyimpulkan bahwa imperialisme merupakan antarhubungan, formal dan informal, dalam hal secara politis suatu negara mengontrol negara lain. Imperialisme dapat dicapai melalui kekuatan fisik, kolaborasi politis, sosial, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya (hal 21-22).
Menimbang pada konsep, definisi, uraian tentang sejarah orientalisme, dan teori postmodernisme—melalui kompetisi, paradigma, dan metodologinya—antara lain dari Said, Foucault, White, Derrida, Kristeva, Spivak, dan Turner, Kutha Ratna menyimpulkan bahwa orientalisme tidak berbeda dengan kolonialisme dan imperialisme. Bahkan orientalisme dianggap lebih berbahaya sebab yang dikuasai adalah teks, padahal pikiran, tingkah laku, dan segala aktivitas manusia ada di dalam dan sekaligus merupakan teks (hal 27-28).
Pembahasan tentang postkolonialisme Indonesia: relevansi sosiokultural (hal 143-198) memperlihatkan bagaimana model national seperti yang digagas Ashcroft dihadirkan dalam kasus Indonesia. Menimbang pada cara dan pemahaman permasalahan dengan memanfaatkan teori yang didasarkan atas sifat-sifat obyektif, juga untuk memahami lebih jauh inti dari postkolonialisme itu sendiri, yaitu kesadaran nasional. Kutha Ratna menguraikan bagian ini dimulai dari perkembangan postkolonialisme Indonesia.
Nyai Dasima
Kerangka konsep dan teori postkolonialisme dalam uraian panjang dan detail, seperti yang tertuang dalam Bab I hingga Bab IV, kemudian diaplikasikan Kutha Ratna dalam Bab V dan Bab VI. Dua bab inilah yang paling menarik dari buku ini.
Apa yang dirintis oleh Ashcroft untuk kasus Amerika dilanjutkan Kutha Ratna untuk kasus sastra Indonesia. Sebagaimana hakikat postkolonialisme atau postrukturalisme pada umumnya yang memusatkan perhatian pada teks, maka bab ini memulainya dengan postkolonialisme dan sastra melayu rendah.
Jika Teeuw tidak memasukkan sastra Melayu Tionghoa—sastra dengan pemakaian bahasa capcay atau gado-gado—sebagai bagian dari sejarah sastra Indonesia dengan alasan bahwa sastra Melayu Tionghoa hanya diapresiasi oleh kalangan masyarakat Tionghoa Peranakan, maka cara pandang teori postkolonialisme justru meragukan pandangan Teeuw tersebut.
Postkolonialisme dengan salah satu cirinya, yakni mimikri, boleh jadi memandang bahasa gado-gado atau bahasa capcay itu sebagai cara ungkap masyarakat Tionghoa Peranakan dalam menanggapi politik divide et impera. Hal ini menempatkan masyarakat Tionghoa di kawasan tertentu dan dijauhkan dari kemungkinan berkomunikasi dengan masyarakat lain.
Dalam semangat kajian budaya (cultural studies), pembahasan pada subbab ini adalah pembahasan yang menarik. Sastra Melayu Tionghoa adalah sastra yang telah lama dipinggirkan oleh arus utama sastra Indonesia yang sering hanya dicatat sejak Balai Pustaka dengan dua karya masterpiece: Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan-nya.
Dalam sudut pandang dan semangat cultural studies, Cerita Nyai Dasima, seperti juga karya-karya sastra Melayu peranakan, menempati tempat khusus yang amat layak dihadirkan. Cerita Nyai Dasima (ditulis oleh G Francis, 1896), novelet karya asli tertua yang sejak zamannya hingga sekarang paling banyak diresepsi, khususnya dalam panggung komedi bangsawan, komedi stambul, dan bentuk-bentuk pertunjukan di televisi. Kutha Ratna berpendapat bahwa secara simbolis Dasima dapat digunakan untuk menyebut nama tempat, pakaian, makanan, hal-hal bersejarah, bahkan nama sebuah negara. Dasima adalah Indonesia, negara kepulauan yang disebut zamrud khatulistiwa, tetapi dikuasai oleh kolonialis (hal 265). Interpretasi Kutha Ratna atas Dasima ini, dalam hubungannya dengan model national yang diajukan Ashcroft memperlihatkan pemusatan perhatian pada hubungan negara dan bekas penjajahnya.
Selain analisis yang menarik terhadap Cerita Nyai Dasima, Kutha Ratna juga menganalisis Salah Asuhan dengan sangat luas dan mendalam. Ia mengajukan pandangannya tentang novel ini.
”Salah Asuhan hampir secara keseluruhan menceritakan konflik, adaptasi, dan berbagai bentuk hubungan antara kebudayaan Barat dan Timur. Di antara novel-novel Balai Pustaka, Salah Asuhan-lah, melalui jalinan tokoh dan kejadian, yang paling intens merepresentasikan gejala masyarakat sebagaimana terjadi pada zaman penjajahan. Ambivalensi psikologis yang dialami oleh tokoh utama Hanafi, demikian juga tokoh-tokoh lainnya yang memperoleh implikasi langsung, seperti ibu dan istri pertamanya, yaitu Rupiah, termasuk Corrie dan du Bossee, menunjukkan dengan jelas maksud pengarang untuk melepaskan diri dari semata-mata mengemukakan masalah adat dan kawin paksa. Sepanjang sejarah sastra Indonesia, Salah Asuhan dapat dianggap sebagai novel monumental dalam kaitannya dengan pendidikan Barat dan dengan sendirinya konflik antara budaya Barat dan Timur” (hal 292-293).
Pandangan Kutha Ratna, sekali lagi, memperlihatkan konsep kunci utama yang diajukan Ashcroft, yaitu dominasi-subordinasi dan hibriditas-kreoliasi. Dengan menyebut konflik antarbudaya Timur dan Barat, dengan kata lain Kutha Ratna sedang menjelaskan bahwa dominasi dan subordinasi ini muncul ke permukaan berkaitan dengan kendali kolonialis.
Sastra wangi
Sebagaimana karakteristik obyek cultural studies, yang antara lain berpihak pada sastra pinggiran misalnya, hal ini luput dibahas dalam kitab ini. Begitu halnya dengan sastra teenlit dan sastra wangi yang dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi wacana yang gempita dalam berbagai diskusi. Sastra teenlit dan sastra wangi, misalnya, juga menghadirkan ciri-ciri postkolonialisme.
Sejumlah karya sastra wangi, yang kerap menghadirkan persoalan imperialisme baru, persoalan gaya hidup Barat, persoalan ideologi seks, dan serupanya, juga luput dibahas. Sayangnya, Kutha Ratna tidak mencium sastra wangi ini.
* Hardiman, Pengajar pada Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha, Bali
Sumber: Kompas, Minggu, 21 September 2008
No comments:
Post a Comment