Sunday, September 07, 2008

Oase Budaya: Dan

-- Arie MP Tamba

“Mas Dan,” demikianlah para sastrawan Angkatan 80-an umumnya memanggil Danarto, adalah salah seorang ‘raja” cerpen Indonesia. Bersama Budi Darma, Iwan Simatupang, Putu Wijaya – Danarto menggebrak dunia sastra Indonesia, khususnya di bidang cerpen, sebagai wilayah berkreasi yang bebas dalam pengertian seluas-luasnya.

Abdul Hadi WM, pernah memasukkan Danarto ke dalam jajaran Angkatan 70-an yang mengangkat kembali muatan ’lokal’ budaya Indonesia ke dalam sastra. Tapi, yang lebih fenomenal sebenarnya adalah strategi literer yang jadi pilihannya, yakni bercerita dengan cara ’sangat leluasa’ yang tidak lazim pada masanya.

Umar Kayam (Berhala, UK, 1987) pernah mengurainya secara menarik. Danarto dan cerpen-cerpennya adalah kasus yang istimewa, kata UK. Mungkin tidak ada penulis cerpen di Indonesia yang sejak semula sudah dengan sangat sadar menciptakan ’dunia alternatif’ dalam cerita-ceritanya.

Cerpen-cerpen Danarto yang terkumpul dalam Godlob, Adam Ma’rifat, menunjukkan dengan jelas bagaimana Danarto nyaris secara langsung memberi tahu dan mengajak pembaca untuk masuk ke dalam kehidupan yang memang bukan dunia sehari-hari. Namun dunia alternatif ini, bukan pula dunia riil dan juga bukan dunia yang sepenuhnya abstrak. Bukan dunia fana, dan bukan dunia baqa.

Seringkali, menurut UK, dunia alternatif itu adalah dunia yang mengambang, berupa kehidupan antara, sonya ruri, sunyi, mengerikan, di mana manusia tidak jelas asal-usul dan statusnya. Suasana dan kenyataan yang terkadang masih kita dapatkan acuannya pada dongeng, atau epos. Itulah yang membentang dalam kisah-kisah Danarto yang terkenal: Nostalgia, Asmaradana, Armageddon, Abracadabra, dan juga Godlob.

Hal ini bisa dicapai, tentu saja karena penggunaan bahasa Indonesia Danarto, yang menurut Stri Rahayu Prihatmi (1989) umumnya puitis. Memiliki kekuatan seperti puisi, dengan setiap unsurnya, gambar, tifografi, bunyi ataupun irama, asonansi, aliterasi dan perulangan – dapat mendukung konteks makna secara maksimal. Kalaupun bahasa cerpen bergaya prosais, pilihan katanya tetap memperlihatkan kesungguhan seorang penyair yang sengaja menyeleksi setiap kata untuk merangkai idenya.

Hujan deras disertai angin kencang, disertai petir yang melengking-lengking, merupakan badai dahsyat yang menyapu bersih segala kehidupan lembah itu. Pohon beringin yang kokoh dan perkasa, tumbang tercerabut sampai ke akar-akarnya. (h. 10)

Inilah kutipan penggalan suasana prosais dengan gaya puitis khas Danarto, dari cerpen yang diberi judul hanya dengan tanda: jantung terpanah! Sebuah judul orisinal tingkat dunia, untuk sebuah cerpen. Yang hebatnya, datang dari seorang cerpenis Indonesia yang boleh jadi tak pernah diperhitungkan di Eropa atau Amerika.

Tentu saja, hal ini bisa disinyalir karena kurangnya (atau bahkan sulitnya) penerjemahan cerpen-cerpen Danarto, ke dalam bahasa Inggris pada masa itu. Atau, boleh jadi karena terbatasnya pengetahuan penerjemah tentang tebalnya konteks lokal cerpen-cerpen Danarto, ditambah banyaknya arus pengetahuan asing yang dicapainya melalui bacaan.

Danarto memang lazim mencampurbaurkan berbagai sumber teks, untuk cerpen-cerpennya. Ia misalnya dengan ringan akan ’memainkan’ nama-nama dan para tokoh cerita dari Injil, Mahabrata, Ramayana, legenda lokal, dengan nama-nama tokoh dari karya-karya Shakespeare, misalnya. Sebuah tren bercerita – yang kini sangat populer – dengan tumbuh suburnya cara berpikir posmodernime di dalam sastra.

Tentang kutipan di atas, Prihatmi membahas penggunaan bunyi k pada perkasa dan akar-akarnya, dipadu dengan bunyi ng pada tumbang, mendukung konteks: kuat dan besarnya pohon yang rebah. Sedangkan rima akhir a, sanggup mendukung makna keterbukaan, kemenangan, dalam arti terbongkarnya pohon yang kokoh perkasa tersebut sampai ke akar-akarnya.

Strategi literer seperti ini terbaca (dan dikembangkan) juga dalam contoh di bawah ini:

Jerit orang-orang menembusi badai:
”Rintrik!”
hujan deras mendesah-desah
”Rintrik!”
angin menderu-deru
”Rintrik Yang Buta!”
petir melengking-lengking

Hujan deras membasahi angin dan angin menerbangkan hujan bagai anak panah salju dan hujan dan angin itu dibelah-belah petir dan ekor-ekor petir jadi melempem oleh suasana dingin yang beku bagai krupuk dalam lemari es. (h. 11)

Dalam kutipan ini, berbagai unsur alam dipadukan Danarto untuk membangun suasana asosiatif yang artistik secara visual, sekaligus berpeluang mengusung berbagai ide atau pemaknaan yang ingin disampaikannya. Strategi berbahasa semacam ini, sekali lagi, lazim dioperasikan para penyair; namun bukan hal aneh bagi Danarto.

Hal ini menunjukkan, bahwa setiap kalimat yang dirangkai Danarto memang diperhitungkan secara tepat dan maksimal: sebagai penanda dan petanda, seperti pernah disinggung Saussure, Barthes ataupun Eco. Eco, pengarang besar dari Italia itu, kini telah mengoperasikan gaya bercerita posmodernisme ini dengan tak kalah menawannya dalam novel-novelnya, dua puluh tahun setelah Danarto menyusun kisah-kisah Godlob, Adam Ma’rifat, dan juga Berhala.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 7 September 2008

No comments: