-- Dwi Fitria
SASTRA Sufi sempat menjadi tren di tahun 80-an, sayangnya kini tinggal kenangan.
Tahun 1970-an jadi era yang amat penting bagi kesusasteraan Indonesia. Saat itulah terjadi berbagai macam pendobrakan dalam nyaris segala aspeknya. Terjadi eksplorasi tema, gaya berbahasa, teknik bercerita. Para sastrawan melakukan berbagai eksperimentasi, seperti yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Kembali ke akar adalah salah satu bagian dari eksplorasi yang dilakukan itu. Para sastrawan menggali nilai-nilai tradisi dan spiritualitas dalam karya-karyanya. Penggalian terhadap spiritualitas inilah, yang kemudian melahirkan bentuk sastra sufi dalam khazanan Sastra Indonesia.
Tema-tema yang menonjol dalam sastra sufi antara lain adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, kerinduan manusia terhadap Tuhan, rasa cinta yang besar terhadap Tuhan, juga keberadaan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.
Penyair F. Rahardi mencatat tiga nama yang konsisten mengangkat nilai-nilai sufistik dan memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sastra sufi, yakni: Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, juga Danarto. Abdul Hadi dan Sutardji membuat puisi, sementara Danarto membuat prosa-prosa dengan gaya yang mengaburkan batas antara yang nyata dan yang tak nyata.
Menurut F. Rahardi, Abdul Hadi menonjol, sebab selain berkarya ia juga kerap menuliskan pemikirannya yang mematangkan wacana sastra Sufi. “Abdul Hadi memiliki pengetahuan yang amat matang tentang sastra sufi di luar Indonesia. Ini ia gunakan untuk memformulasikan sastra sufi yang sedang marak di Indonesia,” ujarnya.
Abdul Hadi punya andil tersendiri dalam membangkitkan semangat sastra sufistik. Di tahun 1980-an Abdul Hadi mengasuh rubrik Dialog pada harian Berita Buana. Saat itu rubrik ini besama-sama dengan majalah sastra Horison jadi salah satu barometer perkembangan sastra Indonesia.
Dalam rubrik itulah ia kerap memuat puisi-puisi juga esai-esai tentang estetika sufistik. Lewat esai-esainya ia memperlihatkan tradisi panjang estetika sufistik yang sudah dikembangkan di Persia beberapa abad sebelumnya oleh para penyair semisal Jalaluddin Rumi, dan Ibn Arabi.
Dicanangkan Abdul Hadi WM
Sayangnya, sastra sufistik tidak terlalu bisa diterima banyak kalangan. “Oleh masyarakat awam, sastra sufistik tidak terlalu bisa dicerna, karena gayanya yang begitu kompleks,” ujar Danarto.
Perkembangan sastra sufi di tahun 80-an menurut sastrawan yang juga perupa ini hanya merupakan kesinambungan dari gerakan sastra sufi yang dicanangkan Abdul Hadi WM. Pun para eksponennya, masih terdiri dari wajah-wajah lama seperti Abdul Hadi, Danarto sendiri, Sutardji, dan Kuntowijoyo.
Jika bentuk sastra itu bisa bertahan dan berkembang sedemikian lama, itu karena asal-muasalnya dan bentuknya yang berbeda memberikan kesempatan bagi para sastrawan untuk mengangkat nilai-nilai sufistik dalam karyanya, dengan melakukan eksplorasi seperti yang belum pernah dilakukan sebelumnya. “Para sastrawan itu menemukan keasyikan karena ada adanya hal baru yang menantang dan amat berbeda secara teknis,” ujar Danarto.
Pendapat yang sama dikemukakan Jose Rizal Manua. “Puisi sufistik adalah semacam mode yang muncul selama beberapa waktu. Memang waktu itu kemudian muncul para penyair lain semisal Leon Agusta, Zawawi Imron, kemudian Acep Zam Zam Noor di Bandung. Tapi mereka tidak sekuat Abdul Hadi. Sesudahnya tidak terlalu banyak pengaruh puisi sufistik yang dapat dirasakan dalam sastra Indonesia,” ujar Jose.
Beberapa kritikus sastra sempat melontarkan kritik kepada sastra sufi. Nirwan Arsuka mengatakan bahwa tema-tema sastra sufi sudah basi, sementara bagi Richard Oh, sastra sufi bukanlah sastra mainstream. Tapi menurut Danarto, yang perlu dicatat adalah sastra sufi yang muncul mulai tahun 1970-an adalah sesuatu yang khas Indonesia, yang juga dipicu oleh peristiwa politik 1965.
Saat ini menurut Danarto, 'gerakan' puisi sufistik sudah tidak ada lagi di Indonesia. “Puisi sufistik sudah jadi semacam warisan saja. Saat ini tidak ada lagi sastra sufi di dunia. Yang masih ada adalah sastra kontemporer, yang seperti sastra sufi, tidak bisa dibaca dengan menggunakan logika standar.” Danarto mengambil contoh novel Bilangan Fu karya Ayu Utami.
Untuk audiens yang luas
Selain tren sastra aufi, di tahun 80-an muncul pula wacana lain, tentang sastra kontekstual. Adalah Arief Budiman yang saat itu mengkritisi kecenderungan berkiblat ke Barat dalam Sastra Indonesia. Sastra Universal, demikian Arief menyebutnya tidak memiliki akar dalam realitas kehidupan Indonesia.
Menurut Arief saat itu, nilai sebuah karya sastra tidak semata-mata ditentukan oleh keindahannya, tapi juga maknanya bagi masyarakat yang jadi penikmatnya. Sastra yang baik oleh karena itu, adalah sastra yang mampu mengolah muatan lokal di dalamnya, juga berbicara dengan audiens yang seluas-luasnya. Sastra tak hanya bisa dinikmati sebagian orang dengan wacana intelektual tertentu, tapi juga harus bisa dinikmati kebanyakan orang Indonesia, seperti petani, nelayan.
Pikiran-pikiran Arief dan perdebatan sastra kontekstual ini mendapatkan cukup banyak perhatian, dan mengundang perdebatan yang cukup meluas di kalangan sastrawan. Ariel Heryanto kemudian mengabadikan salah satu perdebatan yang seru ini dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual (1985).
Menurut F. Rahardi, konsep tentang Sastra Kontekstual sendiri adalah sesuatu yang terlalu mengada-ada. “Banyak sastrawan pada masa itu, yang membuat karya tak terlalu baik, tapi ingin karyanya dibaca banyak orang. Muncullah kemudian sastra kontekstual. Dan wacana ini kurang ditunjang karya yang mampu berbicara. Hasilnya kemudian adalah sebuah gerakan yang tidak berkesinambungan.”
Menurut Rahardi, jika dibandingkan dengan perdebatan-perdebatan dalam sastra yang terjadi sebelumnya, perdebatan sastra kontekstual ini kurang memberikan manfaat. “Bandingkan dengan perdebatan yang disulut oleh Surat Kepercayaan Gelanggang, Polemik Kebudayaan, konflik antara Manikebu-Lekra. Semua perdebatan itu jauh lebih seru dan memperluas wacana dibandingkan dengan perdebatan sastra kontekstual,” kata Rahardi.
Sikap Jose Rizal tidak sekeras Rahardi dalam menyikapi masalah sastra kontekstual. “Perdebatan sastra kontekstual memang belum selesai hingga sekarang. Tapi harus diingat perdebatan adalah sesuatu yang biasa dalam berkesenian. Dan memang diperlukan agar kesenian tetap dinamis dan terus berkembang,” kata Jose.
Perdebatan ini sendiri menurut Jose menghasilkan pengaruh yang cukup besar. Pasca perdebatan sastra kontekstual muncullah para penyair dengan bentuk puisi yang unik, semisal Joko Pinurbo dan Afrizal Malna.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 14 September 2008
No comments:
Post a Comment