Monday, September 01, 2008

Sastra Urban Berkembang Pesat

SASTRA Urban berkumandang saat bermunculan sastrawan ibukota yang membawa identitas kedaerahannya masing-masing. Sebutlah Asrul Sani, Ajip Rosidi, Rendra, Ramadhan KH, Nirwan Dewanto, Putu Wijaya, Abdul Hadi WM, Danarto, dan Taufiq Ismail. Kini pada perkembangannya sastra urban berkembang dalam keberadaan komunitas dan kantung-kantung sastra di wilayah sekitar kota. Sastra urban dinilai memberi peran dan sumbangan besar pada pertumbuhan sastra di Jakarta dan Indonesia .

Para penyair, dari kiri ke kanan, Irman Syah (Komunitas Planet Senen), Agus R Sarjono (Horison), Helvy Tiana Rosa (Forum Lingkar Pena), berdiskusi saat acara "Sastra Urban dan Kemerdekaan Berekspresi" di Gelanggang Remaja Senen, Jakarta, Jumat (29/8). (Abimanyu)

Hal itu yang terungkap dalam diskusi bertema "Sastra Urban dan Kemerdekaan Berekspresi" yang digelar Komunitas Sastra Indonesia bekerja sama dengan Komunitas Planet Senen dalam acara Nongkrong Sastra dan Musik Merdeka, di Plaza Depan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, baru-baru ini.

Diskusi tersebut menghadirkan pembicara Irman Syah dari Komunitas Planet Senen, Helvy Tiana Rosa dari Forum Lingkar Pena dan Agus R Sarjono dari Horison. Acara ini juga menampilkan orasi puisi dari Taufiq Ismail berjudul "Sesudah 63 Tahun, Berharap akan Keadilan, Masih Bisakah?"

Dalam pembicaraan tersebut terungkap bahwa keberadaan komunitas dan kantung-kantung sastra terus bertumbuh di sekitar ibukota. Sebutlah Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ), Forum Lingkar Pena (FLP),Komunitas Utan Kayu, dan Komunitas Planet Senen. Selain itu, ada juga komunitas "tak resmi" seperti Wapres Bulungan, Komunitas Bambu, Komunitas Bunga Matahari, dan ada pula Komunitas Sastra Jalanan Indonesia (KSJI).

Helvi Riana Rosa mengatakan, keberadaan komunitas dan kantung-kantung sastra yang berserak di desa maupun kota di negeri ini patut disambut gembira. Menurut dia, banyak anggota dari komunitas Forum Lingkar Pena memulai karier sebagai penulis dalam posisi sebagai kaum urban yang lemah dan tertindas. Sakti Wibowo misalnya, adalah seorang buruh panggul pabrik roti di sebuah kota di Jawa Tengah. Siapa mengira beberapa tahun kemudian dia telah menulis lebih dari 20 novel dan kumpulan cerpen. Kini dia bekerja sebagai penulis lepas dan editor di sebuah penerbitan di Jakarta.

Ada juga Paris J Ipal seorang sales promotion girl (SPG) yang kini telah menulis lebih dari lima buku, atau Afift Afra seorang mahasiswi yang menulis puluhan buku bahkan membuat sekolah menulis. Atau Noor H Dee seorang koki sebuah kafe di Jakarta yang menulis buku Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta.

"Bagi orang-orang seperti mereka, sastra adalah sesuatu yang membebaskan. Sastra telah memerdekakan mereka dari pandangan sempit yang melihat mereka sebagai pembantu, buruh, penjaga kotak WC, pengangguran, dan sebagainya. Dengan sastra mereka bebas mengekspresikan diri, bahkan berupaya mencerahkan orang lain melalui apa yang mereka tulis," ujar Helvy.

Menurut dia, sastra tak lagi hanya milik kaum cendekia, tak lagi menara gading para elitis. Tentu menjadi tidak adil, jika orang mengukur karya mereka yang baru muncul dengan pencapaian estetik para sastrawan terkemuka Indonesia.

"Meski demikian harapan ke arah sana bukan tidak mungkin. Proses yang terus menerus menempa mereka akan menjadikan mereka matang," tambahnya lagi.

Sementara itu, Agus Sarjono mengatakan bertumbuhnya komunitas atau kantung-kantung sastra ini mengisyaratkan bahwa kehidupan sastra sangat erat kaitannya dengan masyarakat urban. Sebelumnya, mayoritas aktifis komunitas semacam ini adalah para penulis urban, yakni mereka yang lahir di daerah dan hijrah ke ibukota seperti Jakarta . Sebutlah Imam Maarif, Irman Syah, Ahmad Sekhu, Diah Hadaning, Ahmadun YH, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge. Agus Sarjono berangkat dari pandangan sastra dilahirkan lingkungannya. Bahwa habitat sastrawan berpengaruh besar pada hasil sastra.

"Kondisi Jakarta tahun 1950-an misalnya melahirkan jenis sastrawan dan karya sastra yang berbeda dengan kondisi Jakarta 1970-an. Perubahan kota berdampak pada perspektif hidup sastrawan bersangkutan," paparnya. [W-10]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 1 September 2008

No comments: