-- Theresia Purbandini
ACEP Zamzam Noor adalah seorang penyair yang dilahirkan dan dibesarkan di pondok pesantren. Hal ini membuat nuansa keislaman dalam karya-karyanya sangat terasa. Cipasung adalah salah satu karya penyair kelahiran Cipasung, Tasikmalaya ini. Puisi itu menggambarkan keadaan desa yang tenang dan damai, dengan nuansa islami yang kental.
Selain nuansa keislaman, nuansa keindahan alam Jawa Barat pun sangat terasa. Beberapa puisinya, bahkan ada yang ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda. Di Pondok pesantren Cipasung pula Acep mendirikan komunitas sastra, yaitu Sanggar Sastra Tasik dan Komunitas Azan, yang bergerak dalam pembinaan dan pemasyarakatan sastra.
Almarhum ayah Acep adalah seorang seorang ulama Nahdlatul Ulama. Namun meskipun dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren, Acep ternyata tidak mengikuti jejak ayahnya menekuni bidang agama. Dia ternyata lebih memilih jalur kesenian sebagai jalan hidupnya. Karya-karyanya bahkan sudah dihadiahi penghargaan South East Asian (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand pada 2005.
Pengaruh lingkungan
Menurut Nur Zain Hae, penyair yang juga jadi Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta ini, Acep Zamzam Noor tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh lingkungannya sejak kecil, yakni kehidupan pesantren. Tapi Acep telah menemukan jalan kehidupannya sebagai seorang penyair, dan visi keseniannya cukup kokoh; tanpa dibayangi Bapaknya, seorang tokoh NU terkenal.
Kecenderungan Acep adalah menampilkan pengalaman spiritual melalui karyanya. “Acep mencoba menuangkan pengalaman spritual bukan lagi hanya miliknya pribadi, tetapi lebih meluas kepada alam. Cangkul dan lumpur yang dijadikan metafor tiba-tiba jadi milik semua mahluk ciptaan Tuhan yang juga punya jalan untuk memuji atau menujuNya,” ungkap Nur Zain Hae.
Ibarat pelukis ekspresionis, Acep berusaha menyatakan sikapnya dengan alam sebagai metafora, dengan gubahan pengalaman individunya yang juga mendapat pengaruh asing dari penyair asal Meksiko, Octavio Paz peraih Hadiah Nobel Sastra tahun 1990. “Pemikirannya yang terbuka akan pengaruh dari luar, yang membuat saya menyukai karyanya, sehingga masih bisa dirasakan pertumbuhannya,” kata Nur Zain Hae.
Dalam perkembangan puisi modern, menurut Nur Zain Hae, tidak ada penyair yang benar-benar melakoni kehidupan sufi secara klasik. Yang ada kini hanyalah para penyair biasa yang mengalami banyak persoalan dan sebagian besar tidak mengikuti tradisi pemikiran sufistik secara ketat. Tetapi, sebagian mereka mencoba menonjolkan spiritualitas sebagai umat beriman.
Tren atau gejala musiman yang kerap melanda sebagian besar penyair era tahun 80-an, dalam perkembangan puisi modern, nyatanya membuka gerbang kesusasteraan Indonesia menuju kiblat religiusitas. Nur Zain Hae pun memasukkan nama Acep ke dalam daftar penyair yang mengidap tren ini. “Bagi saya, karya-karya Acep ‘fifity-fifity’ (50:50) antara sikapnya yang mengikuti tren dengan berinteraksi mengungkapkan perjalanan agamanya ke dalam bentuk puisi.”
Cara ungkap, bukan tujuan
Menurut Nur Zain Hae, sajak sufistik hanyalah salah satu sarana pengungkapan laku sifistik yang bukan merupakan tujuan. “Seperti ketika membaca biografi Jalaluddin Rumi, dia seperti mengucapkan syair tanpa disengaja dan puisi sufistiknya merupakan identitas laku sufistiknya secara spiritual,” katanya.
Batasan karya sastra sufistik agaknya masih berada dalam garis abu-abu. Tak ada kepastian yang menandakan sejauh mana patokan hasil karya dinilai memiliki roh secara sufistik dalam artian sesungguhnya. Ketika Nur Zain Hae berusaha menafsirkan kejanggalan tren sufistik ini dalam puisi, dinilainya bisa menjadi sebuah jebakan.
“Mudah saja menulis sajak dengan kata ganti Mu, pasti akan dianggap sebagai hasil karya untuk memuja Tuhan. Inilah karya yang bisa dibilang sebagai puisi sufistik masa kini; bukan sufistik klasik. Karena sesungguhnya tidak mudah menciptakan puisi yang beraliran sufistik. Sebab, harus diikuti pula dengan jejak perilaku si penganut sufistik itu. Jadi harus ditinjau, seberapa asli kadar pernyataan-pernyataan sufistik dalam teksnya,” ungkapnya.
Kuncinya menurut Nur Zain adalah apakah sang penyair dapat menyiasati kata ganti Mu, atau juga memiliki sifat pribadi yang sangat khusyuk dalam pengalaman spiritual. Sedangkan kita sebagai pembaca, harus memutuskan hubungan sejenak dengan sang penyair untuk menentukan jenis puisi ini sufistik atau tidak. Layaknya organisme yang otonom, sepanjang pengungkapan spiritual dapat mengugah pembaca, bisa dikatakan ia berhasil sebagai penyair sufistik. Karena membaca puisi bukan membaca biografi sang pengarang, melainkan isi yang tertoreh dalam puisi tersebut.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 21 September 2008
No comments:
Post a Comment