-- Faisal Kamandobat*
PADA suatu malam yang hening di lepas abad pertengahan, seorang aktor yang telah tua merenungi masa lalunya yang dihabiskan dari panggung ke panggung. Kadang muncul rasa bangga manakala terbayang seorang penonton rupawan terisak-isak menyaksikan adegan tragis yang ia perankan.
Namun, tak jarang ia bersedih manakala lakon yang ia perankan tersingkap kedok imajinernya di hadapan kenyataan yang sering berkebalikan dengan imajinasinya.
Akan tetapi, aktor tua yang merenung itu bukan sembarang aktor, melainkan si jenius William Shakespeare. Betapa pun ia memiliki keterbatasan manusiawi, tetapi ia berusaha keluar dari pikiran-pikiran dangkal seputar perbedaan antara dunia nyata dan dunia imajinasi atau dunia fakta dan fiksi. Pikirannya jauh mengembara menembus kategori-kategori berpikir formal dan berusaha mencapai sebuah pengetahuan universal yang diperas dari pengalamannya sebagai aktor.
Ia tersipu malu membayangkan adegan konyol saat Romeo meminum racun demi cintanya kepada Juliet, tetapi tiba-tiba raut mukanya berubah pilu saat ia terkenang raja yang dikhianati anak-anaknya sendiri dalam King Lear. Peran yang paling pedih adalah saat ia menjadi Hamlet yang jiwanya selalu dibayangi keraguan; rasa tersiksa yang ia alami terasa lebih mengerikan dibandingkan dengan saat ia memerankan lintah darat yang keji dalam Merchant of Venice.
”Aku telah memerankan begitu banyak manusia,” ujarnya dengan bibir gemetar akibat udara dingin. Orang-orang mengenalnya bukan sebagai dirinya, melainkan sebagai manusia-manusia rekaan yang ia perankan di panggung.
”Apa kabar Hamlet,” sapaan wajar untuknya di jalanan.
”Minum apa wahai Romeo?” tanya seorang penjaga kedai. Tak seorang pun yang mengenalnya sebagai William Shakespeare.
Ia sampai pada suatu kesimpulan yang menyakitkan. ”Aku adalah manusia tak dikenal. Tak seorang pun mengenaliku sebagai seorang Shakespeare, tetapi sebagai manusia-manusia lain. Siapa mendengar deritaku? Malaikat mana menyelamatkanku?”
Penyeragaman manusia
Sinopsis cerita fantasi di atas tidak dinukil dari biografi William Shakespeare, tetapi dari fiksi-biografi yang ditulis sastrawan Argentina, Jorge Luis Borges, berjudul Segalanya dan Bukan Siapa Pun (Everything and Nothing). Sebuah fiksi yang berusaha menyingkap kemungkinan humanitas yang masih tersembunyi dengan membaca secara kreatif dunia drama hingga membuka pemahaman-pemahaman lain di luarnya, termasuk teologi.
Lewat perjalanan yang panjang, teologi sebagai sebuah ilmu berusaha membangun sebuah pengetahuan yang logis dan sistematis tentang Tuhan. Usaha tersebut, sebagai reaksi atas modernitas, membuahkan definisi tentang Tuhan yang rasional karena teruji di hadapan pertanyaan-pertanyaan rasional; dan melalui rasionalitas itulah Tuhan hadir dalam realitas sosial masyarakat modern.
Setelah Tuhan diterima modernitas, manusia membangun lembaga-lembaga keagamaan sebagai perangkat penguat, sehingga posisi Tuhan kian tak tergoyahkan. Menjamurnya lembaga-lembaga dengan Tuhan sebagai ide(-ologi) menjamur di mana-mana, dengan segala fungsi dan bentuknya. Dengan kata lain, karena modernitas membutuhkan Tuhan yang rasional, manusia menjawabnya dengan teologi yang rasional juga, dan memperkokoh teologi tersebut dengan membangun sistem kelembagaan yang sama rasionalnya.
Dampak dari modus kembalinya Tuhan pada masyarakat modern tersebut adalah bahwa Tuhan dengan teologi dan lembaga keagamaan semacam itu telah menjadi kembaran lain dari modernitas dengan ilmu pengetahuan dan institusi-institusi pendukungnya.
Ibarat drama, teologi tak ubahnya pertunjukan kolosal yang menampilkan manusia berkarakter seragam, dan bukan sebuah drama yang menampung manusia dengan watak, pengetahuan, selera, tata krama, bahasa, dan nilai yang beragam.
Jalan alternatif
Akan tetapi, benarkah sedemikian? Bagi yang percaya ”teologi institusional” adalah satu-satunya jalan, jawabnya ya. Namun, ada yang berpikiran teologi hanyalah proyeksi manusia tentang Tuhan, sedangkan Tuhan sendiri belum tentu seperti yang ia gambarkan. Atas dasar itu, menyebut teologi sebagai satu-satunya jalan (atau model) pemahaman tentang Tuhan berisiko pada pemberhalaan terhadap teologi, sebab secara hakiki Tuhan bukanlah sejenis ilmu. Untuk itu, alternatif lain perlu didengar.
Mungkin adalah fiksi biografis tentang Shakespeare yang ditulis Borges di atas salah satunya. Fiksi tersebut mengisyaratkan beberapa hal.
Pertama, disiplin keaktoran meniscayakan pengenalan secara mendalam terhadap berbagai dimensi manusia, baik sisi gelap maupun sisi terangnya. Ia mempelajari, memasuki, dan menerima sisi gelap dan terang dirinya, dan dengan cara itu seorang aktor mencapai kualitas humanis berupa makna universal manusia yang tidak dijajah dimensi-dimensi dan nilai-nilai yang sejenis saja (rasional, baik, cerdas, dan seterusnya.)
Universalitas itulah sesungguhnya pesan utama dari keberadaan Tuhan yang tak terbatasi kategori atau nilai-nilai tertentu.
Kedua, fiksi Borges di atas mengisyaratkan perlunya pemahaman Tuhan secara induktif. Dengan pemahaman induktif, Tuhan hadir tidak dalam bentuk wawasan abstrak yang dipaksakan pada realitas yang konkret, tetapi sebaliknya; misalnya dengan meneliti alam atau aneka watak, sifat dan perilaku manusia hingga mencapai kesadaran teologis tertentu.
Dan ketiga, fiksi Borges tentang keaktoran di atas mengisyaratkan perlunya pemahaman mental yang lebih peka dibanding pemahaman rasional terhadap berbagai gejala alam, apalagi tentang apa yang kita sebut Tuhan. Rasio ternyata gagal membuat manusia menjadi lebih manusia. Puncak dan kedahsyatan rasio, semacam perang, kerap mengakibatkan kerugian humanitas tiada tara.
* Faisal Kamandobat, Penyair, aktivis Bale Sastra Kecapi, kini tinggal di Depok, Jawa Barat
Sumber: Kompas, Sabtu, 20 September 2008
No comments:
Post a Comment