Sunday, July 25, 2010

Lima Teater Bandung

-- Silvester Petara Hurit

STUDIO Teater STSI Bandung menggelar Pertemuan Teater Bandung, Kamis-Jumat, 15-17 Juli 2010 di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Lima kelompok hasil kurasi tampil membawakan karya pentasnya.

SEBUAH adegan dalam lakon "Genjer-genjer" produksi Teater Payung Hitam dengan sutradara Rachman Sabur yang dipentaskan dalam "Pertemuan Teater Bandung", di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung, 15-17 Juli 2010.* AGUS BEBENG

Studi klub Teater Bandung (STB) membawakan Yang Tersisa karya Sergei Mercier yang disutradarai Ria Ellysa Mifelsa. Pentas Yang Tersisa mengetengahkan kisah pasangan suami- istri lanjut usia, dengan segala problem psikologis yang khas orang tua. Tubuh yang uzur, kesepian hari tua dan kenangan-kenangan masa lalu.

Suami-istri diperankan Sugyati Anirun dan Gatot W.D. yang juga siap menjemput usia senjanya. Keduanya seperti tengah memainkan dirinya sendiri berikut kenangan dan pergulatannya. Ada intensitas emosi dan kejernihan permainan di sana. Akan tetapi, teks yang punya historisitas, konteks sosiokultural yang berbeda, menciptakan jarak dan dunianya sendiri. Aktor dan teks ibarat tubuh dan baju pinjaman. Indah memang, tetapi tak sepenuhnya mempribadi, bertahan sampai koyak di badan sendiri.

Kecenderungan mementaskan khazanah lakon dunia merupakan usaha STB untuk menjamah yang lain. Interaksi dengan yang lain yang ditempuh STB selama ini, menjadi salah satu jalan untuk menemukan siapa dirinya. Lakon, tubuh, dan sejarahnya termasuk kecenderungan dan gaya interaksinya.

Pentas Yang Tersisa kali ini, mudah-mudahan tidak merepresentasikan wajah tua STB dengan isyarat kerentaannya. Di tangan para sutradara mudanya, kiranya STB seperti semakin menemukan gairah kemudaan dan otentisitas aktual dari kehadirannya.

Teater Payung Hitam membawakan Genjer-genjer karya sutradara Rahman Sabur. Pertunjukan adalah gugatan terhadap wajah manipulatif sejarah. Guratan rik-rak wiper genjer pada papan metal, menyerupai robeknya daging tersayat , lagu yang dinyanyikan berupa ratapan, tulang belulang yang berderak diseret ke sana ke mari oleh tubuh gigantik tanpa kepala. Gambar beku manusia yang pekat di latar panggung. Tubuh menjunjung sepatu prajurit, mulut tanpa henti memasukkan dan memamah daun genjer, tubuh botak yang mematung bisu, aktor bertelanjang dada bergulat dengan bingkai. Jatuh tergeletak. Bangkit sekuat usaha, terburai keringat, lelah, mengepalkan tangannya.

Sejarah kita adalah kekuasaan yang penuh belulang. Tubuh besar tanpa kepala, terus meneror dan menebar ancaman. Sepatu serdadu siap menginjak kepala yang mau tegak. Melalap genjer-genjer seakan menjadi nasib abadi rakyat. Tubuh yang mencoba membingkai dirinya, senantiasa jatuh dan terdepak. Sejarah memperhitamkan wajah yang kalah, yang lemah, dan tak berdaya. Memberi pelabelan dan stigma negatif, merampas hak-haknya, termasuk hak untuk mempertanyakan ketidakadilan yang menimpa dirinya.

Teater Cassanova mempersembahkan Dalam Museum Tubuh Mati karya Aad Akbar yang disutadarai oleh M. Wail Irsyad. Pertunjukannya eksplosif. Blocking yang bergerak menyerupai pawai atau karnaval kecil dengan distorsi kostum dan make up. Panggungnya bertumbuh, memecah, menabrak, dan memasuki ruang ramai penonton. Unjuk kebolehan, ketangkasan, kecepatan, dan akrobatik tubuh dari sejumlah aktornya. Sirine, life band, motor, mobil serta deru-raungnya hadir menjadi bagian dari pertunjukan. Riuh, hidup, dan bergejolak.

Aksi kejar-kejaran, saling serang antara perampok dan polisi, pertaruhan merebut satu kopor dan sebuntal benda rampokan, uang barangkali. Aksi sigap, saling mewaspadai, menyerang, terkam-terkaman lantas kabur memperlihatkan agresivitas di satu pihak, dan hura-hura pesta musik di lain pihak.

Bersatu memperkuat diri, menghantam, dan mengagresi pihak lawan. Kesetiaan, pengkhianatan, dan perceraian hadir di dalamnya. Pada akhirnya Joker merebut kopor dan benda rampokan. Polisi dan perampok diseret oleh hasratnya, digiring bak kerbau dicocok hidung mengikuti benda rampasan mereka. Yang berjuang, yang bertempur, dan berlelah-lelah tidak pernah menang. Mereka cuma jadi permainan. Joker pengendali kisah tetap menjadi pemenang dan penikmat hasilnya.

Pertarungan hidup, saling mengagresi, adu licik dan muslihat, hura-hura dan keriuhan pesta memperlihatkan gaya dan kerasnya kehidupan kota. Semuanya bergerak tanpa ruang jeda. Tanpa jarak dan batas. Yang licik, si tukang muslihat, pemegang, dan pengendali kisahlah yang berhak atas hidup. Yang utama adalah menang, menuai hasil tanpa harus berdarah-darah. Ilmu menguasai jauh lebih unggul daripada martabat kerja dan proses. Semua hadir, tumpah-ruah.

Celah-Celah Langit (CCL) Ledeng mepersembahkan dua monolog karya sutradara Iman Soleh. Monolog pertama berjudul Dibayar Kontan yang dimainkan Rizky Riskika dan yang kedua berjudul For The Good Of The Game yang dimainkan aktor Dedi Warsana.

Kedua monolog tersebut memiliki interaksi yang kuat, dengan para pemusik berjumlah sekitar 20 orang. Pemusik sesungguhnya adalah "pemain" dan penonton itu sendiri. Kedua garapan tersebut mencerminkan watak sosial CCL. Tubuh tradisi di belakang aktor dan tubuh modern audiens yang berada di depannya.

Secara tematik misalnya, For The Good Of The Game adalah kisah yang akrab dan bahkan sangat lekat dengan keseharian masyarakat. Lewat sesuatu yang dikenal, renungan kehidupan yang diusung oleh karya seni berawal. Permainan bola adalah refleksi dan miniatur dari kehidupan. Wasit adalah h

Wajah sepak bola kita adalah wajah negara dan kehidupan kita atau barangkali juga sebaliknya. Bisa saling menjelaskan. Aktor, seorang pemain sepak bola, mempersoalkan sejumlah aturan sepak bola, teknik, keanehan, dan sangsi yang dijatuhkan wasit atas dirinya. Panggung menjelma lapangan sepak bola. Dan, Dedi Warsana sebagai aktornya bermain dengan tempo tinggi. Berlintas, berdialog bolak-balik dengan pemusik, dan audiens. Aktor sebagai pemain sepak bola memainkan bola di permainan sandiwara untuk menyoal kehidupan aktual di dunia obyektif kita.

Laskar Panggung membawakan Dari Wak Menuju Tu karya sutradara Yusef Muldiyana. Pertunjukan yang berdurasi 142 menit merupakan ruahan hasrat bermain seorang Yusef Muldiyana. Yusef mengelola permainan. Mempermainkan kata-kata, membelokkan peristiwa. Menghamburkan segalanya di atas panggung. Panggung menjadi medan komposisi. Sajian koreografi gerak, lagu, musik. Panggung menghidupkan potensi bawaan, aktualisasi dari biografi personal, dan kultural para pemainnya.

Panggung mengeksplorasi kata. Serangkaian kalimat yang sama diperkatakan dengan pelbagai bahasa. Ada bahasa Indonesia, Inggris, dan bahasa ceracau yang rusak. Maknanya pada aksentuasi dan irama bunyinya. Jahit-menjahit. Para aktor mencopot perannya dan menggantinya dengan yang lain di atas panggung. Aktor berperan sebagai pintu, kulkas, dan lain sebagainya. Aktor-aktor cilik menyanyi, berakrobat, meroda di atas panggung. Bahkan, di tengah-tengah pertunjukan, pentas berubah menjadi sajian longser berbahasa Sunda. Panggung adalah permainan multiversi peristiwa yang dibiarkan berbelok, melompat ke depan ke belakang. Mengambang di level permukaan. Pertunjukan tidak tergoda menyentuh ke kedalaman. Mencomot pelbagai soal, menyinggung apa saja.

Panggung Dari Wak Menuju Tu adalah panggung campur aduk. Panggung yang membaurkan segala sesuatu tanpa ada pretensi untuk mewujudkannya menjadi sesuatu. Panggung adalah realitas keberbagaian, realitas yang paling plural, dan barangkali juga otentik. Panggung adalah aktualisasi hasrat bermain yang dimiliki anak-anak. Keingintahuan yang senantiasa bertanya. Imagi yang bebas melompat ke sana ke mari. Di sanalah realitas dipandang sebagaimana ia adanya. Menyimpan sejuta keheranan dan ketakjuban.

Silvester Petara Hurit, esais, pemerhati seni pertunjukan

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 25 Juli 2010

No comments: