Sunday, July 25, 2010

Teater dan Agresi Politik

-- Afrizal Malna

MENURUT Ria Ellysa Mifelsa, sutradara Studiklub Teater Bandung (STB), dari usahanya mengenal lebih dalam visi-visi STB dalam teater, STB merupakan kelompok teater yang tidak mudah terpancing atas isu-isu teater yang sedang berkembang; isu-isu politik ataupun tema-tema lain yang hidup dalam masyarakat. Visi ini didapatkannya lewat pandangan Sugyati Suyatna Anirun, aktor yang memiliki dedikasi dan komitmen yang panjang kepada STB.

Visi seperti itu sekarang menjadi penting, membiarkan teater berhadapan dengan dindingnya sendiri. Dalam sastra, hal yang sama pernah dilakukan Iwan Simatupang ketika sastra kian terseret ke dalam hiruk pikuk politik pada masa demokrasi terpimpin rezim Sukarno. Kemudian Iwan menghasilkan karyanya yang tidak umum di Indonesia waktu itu. Seniman kembali ke "menara gadingnya" sendiri untuk tidak masuk ke dalam agresi dari pembusukan politik.

Keadaan di masa kini jauh lebih rumit lagi. Politik membuat "teater konyol" yang setiap saat bisa kita saksikan, terutama di media TV. Politik dan media TV jadi persekongkolan baru yang mengocok kehidupan publik sebagai sampah media: mengangkat kotoran dalam kemasan gemerlapan dan para selebriti sebagai zombie-zombie publik. Politik membuat sampah antara legislatif dan eksekutif, antara konstitusi dan keadilan. Sampah ini kemudian menjadi agresi baru yang mempermainkan etika publik.

Visi STB dengan tegas menyatakan, teater bukanlah bagian dari pembusukan publik. Visi STB dengan gamblang bisa kita lihat melalui kesetiaannya kepada aktor dan teks yang digunakannya. Teater menghadapi publik tidak sebagaimana TV atau para birokrat pemerintahan. Publik tetap diposisikan sebagai sesuatu yang berjarak, menghindari persuasi langsung untuk tetap terjaganya jarak kesadaran kritis. Persuasi langsung itulah yang justru kini dijalankan oleh CCL Bandung, Laskar Panggung, terutama Teater Casanova.

Pembacaan teater

"Pertemuan Teater Bandung" yang berlangsung 15-17 Juli 2010 merupakan medan menarik untuk membaca strategi teater dalam menghadapi dirinya sebagai "dinding dalam" di tengah kehidupan publik sebagai "dinding luar". Pertemuan ini, oleh W. Christiwan, dikurasi sebagai pertemuan kecil untuk terjadinya pembacaan anatomi teater di Bandung. Kurasi ini memang menghasilkan medan pembacaan yang saling menjelaskan antara pertunjukan STB (Yang Tersisa, sutradara Ria Ellysa Mifelsa), Teater Payung Hitam (Genjer-genjer, sutradara Rahman Sabur), Teater Casanova (sutradara Wail M Irsyad dan Aad Akbar), CCL Bandung (Dibayar Kontan & Monolog The Game, sutradara Iman Soleh), dan Laskar Panggung Bandung (Dari Wak Menuju Tu, sutrara Yusep Muldiyana).

Tahun 2010, hingga Juli, saya sempat menyaksikan tiga peristiwa penting dalam konteks seni pertunjukan. Pertama melalui workshop performance art PALA (Performance Art Laboratory) pada 29 Maret-1 April dan Undisclosed Territoy #4, 2-4 April 2010. Keduanya berlangsung bersamaan di Padepokan Lemah Putih, Solo. Dihadiri seniman-seniman perfomance art mancanegara. Kedua, Festival Monolog di ruang publik pada 20-27 Juni yang diselenggarakan Federasi Teater Indonesia (FTI) dan diikuti 27 monologer. Ketiga, Pertemuan Teater Bandung yang diselenggarakan STSI Bandung jurusan teater. Ketiga pertemuan ini ingin saya gunakan untuk pembacaan anatomi ini.

Politik metafora

Teater Payung Hitam menggunakan strategi visual yang massif dan menekan untuk menggambarkan bagaimana stigma politik terhadap PKI terus dilakukan secara kontinu dan sistematis. Stigma yang direproduksi dari generasi ke generasi. Strategi visual atas stigma ini oleh Payung Hitam dilakukan lewat "manusia berbingkai". Bingkai yang terus menjerat dari generasi ke generasi, hingga generasi paling akhir yang tubuh polosnya sudah menjadi tubuh nothing dengan tatapan mata yang kian kosong. Generasi yang darahnya terus dihisap oleh pembusukan sejarah-sejarah dogmatis.

Di balik strategi visual yang dilakukan Payung Hitam itu, berlangsung prinsip-prinsip kerja metaforis yang biasa digunakan dalam puisi: ikon-ikon tertentu dibawa ke wilayah pembacaan yang telah didistraksi atau didislokasi dari lingkungan pertamanya: sepatu tentara diletakkan di atas kepala, misalnya.

Kerja metaforik ini juga menjadi strategi naratif yang baru dalam performance art. Puisi seakan-akan ditulis melalui pertunjukan. Dalam peristiwa Undisclosed Territoy, Kaori Haba membawa potongan dahan dari sebuah pohon. Dalam pertunjukannya, ia mulai menggergaji dahan itu. Sebelum dahan itu putus, gergaji diikat pada celah dahan yang digergajinya dengan sepotong selendang yang indah. Kemudian mengaitkan tambang antara batu ke kedua ujung dahan pohon itu, melintasi tiang pendopo Lemah Putih. Sisa ujung tambang lainnya dililitkan ke tangannya untuk menarik.

Dalam ketegangan apakah batu itu akan ikut tertarik, atau dahan yang diikat dengan gergaji itu akan putus, atau tubuh Kaori sendiri yang akan ikut terseret, Kaori mulai bercerita dengan senyum yang tak pernah lepas: tahun 1945 Jepang memutuskan tidak akan pernah berperang lagi. Tahun 1947, di Jepang ditemukan lagu Bengawan Solo dalam terjemahan bahasa Jepang. Mungkin lagu itu diterjemahkan oleh tentara Jepang yang selamat dari perang. Mungkin tentara Jepang itu masih muda. Mungkin tentara Jepang itu pernah bertugas di Solo dan jatuh cinta pada Solo. Mungkin tentara Jepang itu jatuh cinta pada gadis Solo, kata Kaori. Terjemahan Bengawan Solo dalam bahasa Jepang itu sangat romantik, lebih mirip lagu cinta. Dan Kaori mulai menyanyikan Bengawan Solo dalam bahasa Jepang itu, melanjutkan menarik tambangnya yang terikat antara batu dan dahan bergergaji itu.

Dalam performance itu, Kaori membuat metafor yang mengubah sejarah menjadi puisi. Ia memindahkan seluruh luka-luka sejarah antara Indonesia dan Jepang ke dalam batu itu.

Pada sisi lain, Jacques van Poppel (performer dari Belanda) membuat "ruang kreol" yang personal. Ruang itu terdiri atas berbagai benda dari berbagai negara dan kebudayaan, saling membaur. Seluruh benda yang memiliki hubungan biografis dengan kehidupan Poppel itu diletakkan di atas lantai dan sebagian lagi di atas meja.

Lalu Poppel mulai berbicara: Belanda cukup banyak membunuh orang-orang kampung di Indonesia dan mendapat banyak uang dari Indonesia. Ketika dia pertama kali datang ke Indonesia, orang-orang Indonesia tidak membencinya, malah memberikan hubungan yang ramah. Orang Belanda yang pernah dijajah Jerman hanya selama lima tahun, sampai kini masih dendam dengan Jerman. Ratu Belanda tidak pernah minta maaf kepada bangsa Indonesia. Lalu atas nama dirinya sendiri, sambil mengangkat kedua telapak tangannya menutupi muka, Poppel meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas sejarah masa lalu.

Poppel dan Kaori, keduanya memeristiwakan puisi dalam performance art yang sangat indah dan mengharukan. Keduanya menggunakan musik (Bengawan Solo dan Tielman Brother) sebagai penanda sejarah. Keduanya juga melakukan distraksi atas sejarah dengan cara personal. Keduanya seperti membuka lubang penyumbat sejarah dan dialirkan menjadi sungai yang menyatu dalam alur biografis mereka. Sebuah etos baru dari puisi dan sejarah yang mereka hadiahkan kepada publik justru lewat performance art.

Kedua kerja metafora itu memang berbeda dengan yang dilakukan Rahman Sabur dalam pertunjukan Genjer-Genjer: menggunakan ikon yang tidak cukup efektif lagi untuk menyampaikan pesan metaforisnya. Sepatu tentara dan tulang-belulang memang merupakan ikon utama untuk stigma politik atas PKI.

Agresi

Sementara itu, bau neraka dari bahasa yang mudah menggantikan akal sehat kita dengan jeritan dari kematian muncul dalam performance art Black Market International dari Jerman. Pertunjukan ini bisa dibaca sebagai ruang dalam kehidupan manusia yang banyak dikuasai nilai-nilai dogmatik (agresi ideologis maupun agama). Kepala dibiarkan menjadi sarang untuk berbagai ikon dogmatik itu. Tubuh juga dikuasai berbagai benda yang mengisi seluruh rutin. Bahasa kemudian berubah menjadi camp konsentrasi yang menyiksa berbagai kegiatan deskriptif maupun konseptual yang kita lakukan.

Abstraksi kemudian mulai diubah menjadi distraksi untuk mengalihkan seluruh sarang pemaknaan kepada ritual yang kosong. Ritual untuk nothing, terutama yang dilakukan Boris Nieslony yang hanya berdiri menghembuskan napasnya ke tiang pendopo. Ritus untuk nothing ini dibawa bergerak keluar pendopo oleh Maclennan yang kepalanya sudah penuh dengan berbagai lilitan dan kacamata yang telah pecah. Elvira Santa Maria Torrens merobek jaring-jaring itu menjadi gulungan besar. Lalu, mereka kembali bergerak ke dalam dirinya sebagai komunitas dari seluruh kesunyian, dalam tanpa dasar. Seperti kita tidak tahu di mana batas antara mata yang saling bertatapan dan mata. Apa yang terjadi dengan diri kita sendiri ketika kaus putih kita ubah menjadi kaus merah.

Aksi mereka sama dengan menumbuhkan agresi dari tubuh juga agresi dari benda-benda yang mereka gunakan. Lalu berbagai jenis agresi ini (termasuk potongan kepala ayam yang dikerubungi lalat) menjadi permainan makna untuk menghasilkan pembacaan.

Agresi seperti ini cenderung dihadapi dengan panik dan liar oleh Aldy Eksplorasi dalam Festival Monolog. Aldy melakukan monolognya di stasiun bis Kalideres, Jakarta Barat. Aldy tampaknya menghadapi cukup banyak kesulitan untuk merespons dan mengelola agresi yang bermunculan dari politik selama monolog yang dilakukannya. Tindakannya menjadi cenderung nekat dengan menaiki atap bis, berlari-lari di atasnya, dan melompat hingga terjadi gangguan pada kakinya. Bahasa juga menjadi neraka baru untuk dikatakan karena harus berhadapan dengan hiruk pikuk bus-bus besar hingga angkot, penumpang, dan kondektur di terminal itu. Apa peran bahasa dan peran tubuh, kehilangan koneksitasnya berhadapan dengan agresi ini.

Sementara dalam Pertemuan Teater Bandung, Teater Casonava yang menggunakan halaman STSI Bandung, dengan sadar memasukkan potensi agresi publik ke dalam disain dan struktur pertunjukan yang telah mereka siapkan. Dua kelompok band dan beberapa ikon publik (mobil, motor, gaya hidup, pasukan tentara) mereka pasang sebagai persuasi menghadapi agresi publik. Hasilnya memang kolaborasi antara pertunjukan dan publik.

Hendra Setiawan dalam Festival Monolog menggunakan strategi yang berbeda. Monolognya dilakukan di terminal bus Damri, Blok M, Jakarta Selatan. Ia hadir dengan tubuh pertamanya sebagai seorang Hendra dengan pakaian sehari-hari yang biasa digunakannya. Dari tubuh pertama itu ia melompat ke tubuh ketiga dengan cara mengikuti dan menirukan seluruh tingkah laku dari seseorang yang berjalan di terminal itu. Lalu tubuhnya ambruk, menjelma menjadi tubuh kedua. Lewat tubuh kedua ini ia mulai melancarkan strategi teksnya di sekitar seseorang yang telah kehilangan dirinya di terminal bus itu ataupun di antara warung-warung kopi di sekitarnya. Permainan tubuh pertama, tubuh kedua dan tubuh ketiga ini menjadi koreografi menarik yang dilakukan Hendra di ruang publik.

Hal yang sama berlangsung pada Rizki Rizkika Riani dalam pertunjukan CCL Bandung, Dibayar Kontan, sutradara Iman Soleh. Akting Riani bermain antara tubuh perempuan, tubuh perempuan yang melawan dan tubuh perempuan berkumis. Perubahan berlangsung dalam jarak yang pendek, karena pertunjukan berada dalam gedung. Pertunjukan ini, terutama pada The Game yang dimainkan aktor Dedi Warsana, juga menggunakan kelompok band sebagai persuasi publik.

Cinta dan sejumlah keributan

Luka-luka manusia berhadapan dengan berbagai agresi nilai yang datang dari dunia luar, berlangsung hampir di seluruh catatan di atas. Hanya Poppel, Kaori, dan Hendra yang menghadapinya dengan strategi berbeda: tidak ikut terseret ke dalam pembusukan ataupun bentuk-bentuk persuasi publik. Metafora mereka ciptakan antara tubuh pertama dan tubuh ketiga, serta menempatkan tubuh kedua sebagai tubuh yang terjaga, termasuk terjaga untuk tidak menjadi "budak kesenian". Tubuh keduanya cenderung menjadi "tubuh workshop" yang mengelola hubungan antara tubuh pertama dan tubuh ketiga. Lewat pengelolaan ini puisi lahir dengan jernih, di luar sampah-sampah bahasa dan politik maupun gaya hidup.

Luka-luka itu dalam pertunjukan STB juga berlangsung sebagai kepalsuan dan kerapuhan domestik lewat naskah yang ditulis Serge Mercier (pengarang Perancis). Sugyati dan Gatot WD yang bermain sebagai suami istri tua harus menghadapi dunia luar dengan konflik-konflik domestik mereka sendiri. Dunia luar bagi mereka menakutkan. Sementara dalam kehidupan domestik, mereka juga menghadapi perang mereka sendiri dengan cinta yang menyimpan sejumlah keributan dan kenangan.

Konflik domestik yang berlangsung lebih parah lagi dalam pertunjukan perjalanan Dari Wak Menuju Tu, Laskar Panggung Bandung: keluarga muda dari kelas bawah yang kian terancam oleh cepatnya angka perceraian karena alasan-alasan ekonomi. Laskar Panggung tidak menggunakan naskah sebagai dinding pertama seperti yang dilakukan STB, melainkan sebagai pipa bercabang yang dibocorkan dimana-mana dan setiap pembocoran menghasilkan dinding baru. Dinding-dinding inilah yang dikoreografi oleh Laskar Panggung Bandung.

Dramaturgi dan kurator teater

Seluruh pembacaan di atas, pada gilirannya lebih untuk memperlihatkan bagaimana teater dibaca lewat fenomenanya sendiri sebagai dinding pertama dan lewat fenomena kehidupan publik sebagai dinding kedua. Pembacaan keduanya bisa dilihat sebagai agresi ataupun sebagai persuasi. Dalam pembacaan ini, peran kurator menjadi penting.

Kurasi di sini tidak semata-mata berfungsi untuk audisi. Lebih dari itu, melalui kurasilah teater mendapatkan visi, tema, ataupun proyeksi yang menantang dirinya sendiri. Akan tetapi, kurasi seperti ini tidak akan berjalan efektif untuk terjadinya progres ketika kelompok-kelompok teater tidak menjalankan fungsi dramaturgi dalam kerja produksi mereka. Peran dramaturgi inilah yang menjadi "mata kedua", datang dari luar disiplin mereka dan membawa mata lain untuk terjadinya progres dalam kerja teater, serta menggabungkan model-model eksplorasi organik di luar desain di awal persiapan dan kerja workhsop untuk lebih mendekatkan desain kepada target gagasan yang mau dicapai. Teater sulit melihat progresnya sendiri, selama ia tertutup dengan mata pertamanya sendiri.***

* Afrizal Malna, penyair

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 25 Juli 2010

1 comment:

BeLLy Blog's said...

Great Blog..!!!! Keep Blogging.... :)

Tetap Berkarya dengan Postingan yang hebat