PERTEMUAN Teater Bandung (PTB) tampaknya tak berangkat dari suatu tema tertentu, seperti disebut oleh sejumlah pembicara (Benjon dan Afrizal), sehingga penonton diajak ke sebuah target tanpa ada bingkainya. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Bingkainya pertemuan itu sendirian. Dalam teater, manusia bertemu dengan manusia dalam sebuah medan sosial seni. Lebih lanjut dia akan melakukan pertemuan dengan kelompok manusia. Begitu sifat teater yang harus dikerjakan secara ensambel (berkelompok) dan ephemeral, ketika pertunjukan melakukan pertemuannya dengan penonton. Secara performa, teater melakukan pengucapan aksi yang signifikan sehingga dalam pertemuan itu sendiri pemain yang memainkan peran dapat berbagi pada penonton, terutama dalam pemahaman makna kehidupan. Inspirasi itu bisa semanis anggur atau sepahit jamu utuh. Keduanya bermanfaat bagi manusia. Pertunjukan yang berhasil akan mempertemukan penonton dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, ada kegiatan membaca atau reading dalam aktivitas berteater. Rujukan yang diharapkan adalah bagaimana publik dan pemerhati teater dapat membaca teater Bandung.
Gagasan dasarnya, saya melihat aktor atau sutradara berada dalam wilayah pribadi, di mana dalam ruang domestik hadir kelompok teater atau pertunjukan teater yang mempertemukan hal yang pribadi dengan publik yang terdiri atas penonton dan pemerhati teater. Hasil pertemuannya ada pada seminar, ketika mengagas saya juga tak tahu apa yang hendak terjadi. Saya lebih memantau garapan kelompok teater, terutama dari hal teknis. Sejak bertemu mereka aku kan sudah bilang bahwa tugas mereka nonton dan memberikan refleksi pada seminar kecil. Tugas saya bersama teman-teman di jurusan teater adalah mendekatkan hasil bacaan tadi dengan publik serta penggarap teater.
Sebenarnya (jika ada), kurasi sejenis apa yang dipakai dalam PTB?
Kurasi yang saya pakai untuk memilih kelompok teater bertumpu pada kelompok teater yang telah bertahan sekurangnya lima tahun. Memiliki indepedensi dengan tetap berpentas baik membawakan karya orang lain atau karya sendiri. Adanya keragaman estetik dalam tiap kelompok. Studiklub Teater Bandung aku pilih, selain sebagai kelompok teater yang tertua di Bandung, juga dedikasinya yang patut kita hormati terhadap bentuk realisme pada akting pada perkembangan teater modern Indonesia. Atau Kelompok teater Payung Hitam yang cenderung membawakan teater tubuh dengan garis tegas dan gambar-gambar bermetafora keras. CCL kelompok yang memiliki kecenderungan berakar pada masyarakat sekitarnya. Laskar Panggung yang mengalir dengan karya-karya milik sendiri. Teater Cassanova yang memiliki semangat dan energi tinggi terhadap kemungkinan baru dalam mementaskan teater. Rujukan teks tentang proses kreatif dan sejarah teater dan apresiasi langsung terhadap pertunjukan yang mereka pentaskan.
Dengan hanya lima kelompok teater yang mengikuti PTB, bisakah kita menyebut kelima kelompok teater tersebut sebagai representasi dari perkembangan teater di Bandung?
Sedianya lebih dari lima kelompok, tetapi dua kelompok berhalangan pentas karena masalah internal. Jenis kelompok untuk dikategorikan sangat luas, ada teater SMU, teater kampus seni dan nonseni, teater yang menggunakan bahasa daerah, longser mungkin teater jalanan. Namun, pada saat ini aku lebih menekankan pada kelompok teater yang masih eksis dan giat berkreativitas selama kurang lebih lima tahun. Jika untuk merepresentasikan kelompok teater di Bandung, kelima kelompok teater seperti STB, TPH, CCL, Laskar Panggung Bandung, dan Teater Cassanova kayaknya cukup sahih dan saya jamin bahwa mereka adalah kelompok yang signifikan bagi masa depan teater Bandung.
Lalu sebagai penyelenggara, demi jauh ke depan, apa yang diharap lembaga Jurusan Teater STSI Bandung dengan kegiatan ini?
Saya tengah menyunting kegiatan ini, semoga kegiatan semacam ini bisa tetap dipertahankan karena orang dapat melakukan one stop showing untuk melihat teater Bandung. Aku berterima kasih pada STSI Bandung yang memberikan keleluasaan bekerja kepada saya, juga pada rekan-rekan di jurusan teater Herman Effendi dan Nandi Rifandi , kelompok-kelompok teater di Bandung, para pemerhati teater, publik teater, seniman, dan mahasiswa-mahasiswa yang telah menyumbangkan energi mereka tanpa pamrih karena tanpa mereka saya bukanlah apa-apa. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 25 Juli 2010
No comments:
Post a Comment