Monday, July 26, 2010

Biaya Sekolah: Liberalisme Pendidikan Kikis Nilai Budaya

SEMARANG (Lampost): Pendidikan di Indonesia seharusnya menjadi pengawal peradaban. Namun, berbagai nilai budaya Indonesia kini mulai terkikis oleh praktek liberalisme pendidikan.

"Contoh tentang praktek liberalisme pendidikan yakni menyangkut mahalnya biaya sekolah negeri. Padahal, sekolah negeri seharusnya lebih merakyat," kata mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang Eko Budiharjo, Sabtu (24-7).

Menurut dia, komersialisasi pendidikan telah lama didengungkan, tetapi masih saja banyak sekolah yang menarik biaya yang sangat tinggi.

Ia menjelaskan pendidikan merupakan salah satu ranah sosial pemerintah dalam menjamin kebutuhan dasar warga negara. Biaya pendidikan yang mahal, ujarnya, akan mengaburkan kesempatan setiap anak untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Selain itu, kata dia, kurikulum pendidikan nasional harus segera disesuaikan dengan tantangan era kesejagatan.

"Pendidikan nasional telah menjurus kepada pendidikan massal. Perbandingan jumlah siswa dan tenaga pengajar di kelas tidak sehat lagi," kata dia.

Seharusnya, ujar dia, tenaga pengajar mengampu relatif sedikit siswa agar fokus terhadap materi dan anak didiknya.

"Dengan demikian, kegiatan belajar-mengajar menjadi efektif karena guru mengetahui kelemahan dan kekuatan yang dimiliki anak didiknya sehingga dapat menerapkan perlakuan yang tepat," kata dia.

Perhatian guru yang lebih fokus terhadap anak didik, ujarnya, akan mendorong siswa untuk mengetahui bakatnya. "Anak akan tahu bakat apa yang dimilikinya, � ujar Eko.

Eko Budiharjo mengemukakan beberapa kesalahan paradigma pendidikan relatif banyak mengorbankan para siswa. "Kini pendidikan hanya berkutat kepada cara menguatkan intelektual anak. Seharusnya hal ini diimbangi dengan kekuatan moral," kata Eko.

Persoalan itu, ujarnya, akan diusungnya pada suatu diskusi di Badan Nasional Standar Pendidikan akhir Juli 2010.

Ia mengatakan penekanan pada intelektual tanpa diimbangi dengan penanaman nilai-nilai moral yang kuat dikhawatirkan membuat peserta didik tidak menggunakan kepandaian sebagaimana mestinya. Pada usia anak-anak, kata dia, mereka akan dapat menyerap penanaman moral secara baik.

"Terlambat bila menanamkan moral ketika mereka menginjak usia remaja atau dewasa," kata dia. (ANT/S-1)

Sumber: Lampung Post, Senin, 26 Juli 2010

No comments: