Sunday, July 25, 2010

Membangun Kembali Tradisi Kritik Sastra

-- Tjahjono Widarmanto

Untuk menumbuhkan tradisi kritik sastra diperlukan masyarakat luas yang apresiatif terhadap karya sastra karena kritik sastra tak hanya untuk sastrawan, tapi juga bagi masyarakat. Persoalannya, masyarakat kita belum menjadi masyarakat pembaca (reading society).

/1/

Studi sastra mencakup tiga ranah, yaitu ranah teori sastra, ranah sejarah sastra, dan ranah kritik sastra. Dalam ranah teori sastra, kesusastraan dilihat sebagai sebuah sistem yang berstruktur dan memiliki logika sendiri. Teori sastra membicarakan sistem, logika, dan struktur yang harus ada dalam teks sastra. Oleh sebab itu, teori sastra merupakan studi prinsip, kategori, dan kriteria yang menentukan sebuah teks bisa digolongkan sebagai sastra atau tidak.

Kritik sastra merupakan wilayah studi sastra yang berusaha memberikan penilaian dan penghakiman terhadap sebuah teks sastra berdasarkan sebuah analisis dengan menggunakan seperangkat teori. Kritik sastra merupakan tahapan memahami, penghayatan, apresiatif, dan berakhir pada penilaian. Sebuah kritik sastra pada hakikatnya akan menunjukkan sisi-sisi keunggulan karya sastra sekaligus menunjukkan pula kelemahan dari karya sastra tersebut.

Ketiga ranah studi sastra tersebut di atas dalam terapannya tak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain. Tak mungkin disusun sebuah teori sastra tanpa melibatkan kritik sastra dan sejarah sastra. Demikian juga dalam kajian sejarah sastra, dalam mengindentifikasikan style, aliran, dan estetika dalam periode sastra tertentu akan mkengfgunakan keranka teori sastra. Sedangkan teori sastra jelas hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra. Kriteria, kategori, dan penemuan teori-teori baru dalam kesastraan tidak mungkin diciptakan secara in vacuo (tanpa pijakan). Mustahil pula, ada kritik sastra tanpa sistem pemikiran teori, acuan, atau generalisasi tertentu. Dengan kata lain, pisau bedah kritik sastra untuk mencapai penilaian dan penghakiman yang objektif adalah teori sastra dan sejarah sastra.

/2/

Kesusastraan Indonesia mustahil bisa berkembang jika mengabaikan ketiga studi sastra tersebut.Dari segi produktivitas karya sastra, jelas bahwa kesusastraan Indonesia terus tumbuh dan berkembang. Apalagi kalau kita merujuk tumbuhnya cerpenis-cerpenis dan penyair-penyair yang terus bermunculan dalam dasawarsa terakhir. Boleh dikatakan dalam dasawarsa terakhir ini, sejak tahun 1980-an hingga 2004 saat ini telah terjadi booming puisi dan cerpen. Tak hanya bisa dilacak dalam majalah sastra saja namun bisa diamati pula dalam koran dan surat kabar.

Sayang sekali, pertumbuhan produktivitas sastra Indonesia itu tak diikuti dengan pertumbuhan dan perkembangan krtitik sastra. Sepeninggal “Paus Sastra Indonesia”, H.B. Yassin, kritik sastra Indonesia seakan-akan mandek. Sebetulnya sepeninggalnya Yassin, masih tercatat nama-nama beberapa kritikus, yang paling menonjol adalah Corrie Layun Rampan. Dengan sangat teliti, ia mengikuti berbagai perkembangan dan kemunculan generasi-generasi terbaru kesusastraan Indonesia. Namun, memasuki tahun 2002, ia seakan-akan menghilang dan hanya satu dua tulisannya yang masih muncul di Horizon sedang di media lain nyaris tulisannya tak bisa dijumpai lagi.

Boleh dikatakan, tumbuhnya sastra Indonesia seperti bayi tanpa pengasuh. Banyak sekali karya sastra Indonesia terkini yang sebenarnya berkilauan. Namun, karena kritik sastra yang tak berjalan, sisi-sisi cemerlang itu tak bisa tampak. Memang masih ada beberapa artikel atau esai yang menyoroti dan mengulas beberapa karya sastra di media massa, tapi tulisan-tulisan tersebut hanya “sentuhan-sentuhan” ringan yang hanya sampai permukaannya saja. Barangkali ini disebabkan karena media massa memiliki kolom yang terbatasnya. Celakanya, penerbit-penerbit yang ada jarang bahkan nyaris tak ada yang berani menerbitkan telaah-telaah, kritik-kritik, dan kajian-kajian ilmiah yang mengkritisi sebuah karya sastra.

/3/

Tatkala banyak pihak meneriakkan stagnasi kritik sastra, fakultas-fakultas sastra yang ada di berbagai universitas terkemuka masih menelurkan berbagai skripsi, tesis, dan disertasi yang berisi kajian terhadap karya sastra. Pun, setiap tahun puluhan sarjana-sarjana sastra diluluskan. Akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya, sarjana sastra tersebut tak pernah lagi memunculkan telaahan sastra. Telaahan sastra yang ditulisnya agaknya hanya skripsinya yang kini tinggal menjadi onggokan berdebu di perpustakaan kampus yang paling-paling dijadikan ajang mengutip oleh mahasiswa lain yang sedang menyelesaikan skripsinya.

Di sisi lain ada anggapan bahwa telaah-telaah sastra akademis tersebut tidak sesuai dengan konsusmsi media massa dan surat kabar umum, sedangkan di sisi lain majalah-majalah kebudayaan dan majalah-majalah sastra terbatas keberadaannya. Kritik sastra akademis tersebut sering kali dinilai terlalu teknis karena sangat terikat oleh aturan-aturan penulisan ilmiah, cenderung menitikberatkan pada hal-hal yang formal, dan lebih mengedepankan logika dibanding menghadapi sastra sebagai seni sehingga hasilnya dianggap mencabut sastra dari ruhnya.

Di samping kritik sastra akademis, ada kritik sastra nonakademis. Para penulisnya kebanyakan otodidak, tidak secara formal mempelajari teori-teori sastra, pendekatan yang dilakukan lebih bersifaf ekspresif, dan tidak mementingkan metode. Kehadirannya seringkali dikonfrontasikan dengan kritik akademik dengan dianggap subjektif, perkoncoan, bahkan psudo ilmiah yang menyesatkan.

Dengan adanya konfrontasi dua jenis kritik tersebut jelas semakin menghambat perkembangan kritik sastra. Harus disadari bahwa dua macam kritik sastra tersebut memiliki habitat tersendiri yang semestinya bisa saling melengkapi. Yang satu bermain di wilayah jurnal dan majalah-majalah sastra sedang satu yang lain berkembang di wilayah surat kabar dan majalah umum.

/4/

Untuk menumbuhkan tradisi kritik sastra diperlukan masyarakat luas yang apresiatif terhadap karya sastra karena kritik sastra tak hanya untuk bagi sastrawan, tapi juga bagi masyarakat. Persoalannya, masyarakat kita belum menjadi masyarakat pembaca (reading society).

Untuk membangun masyarakat pembaca ini mau tidak mau harus melibatkan dunia pendidikan. Kritik sastra harus diupayakan untuk dikomsumsi oleh para pelajar. Sudah saatnya lembaga-lembaga negara yang mengurus kebudayaan dan bahasa semacam Balai Bahasa, Pusat Pembinaan Bahasa, dinas perbukuaan memikirkan bagaimana buku-buku tentang telaah sastra sampai ke tangan siswa. Sudah saatnya penerbit-penerbit swasta dan negara mulai meluncurkan berbagai telaah sastra. Mereka bisa bekerja sama dengan pihak akademis, kampus misalnya, untuk memburu skripsi, tesis, ataupun disertasi yang dianggap layak diterbitkan sebagai buku. Berbagai telaah sastra nonakademis yang muncul di berbagai media bisa pula diterbitkan sebagai sebuah bunga rampai telaah sastra. Kedua jenis kritik dan telaah ini akan hadir sebagai buku yang saling melengkapi.

Dengan berbagai upaya itu diharapkan kehadiran kritik sastra akan marak. Maraknya kritik sastra pasti akan diikuti dengan maraknya produksi karya sastra yang bermutu sekaligus membuka peluang terciptanya teori-teori baru kesusastraan sehingga tidak menutup peluang di suatu saat kelak kita mempunyai teori sastra yang khas Indonesia. Dan yang lebih penting lagi, dengan kehadiran kritik sastra akan membantu masyarakat luas untuk mengkonsumsi karya sastra sehingga kebutuhan akan sastra semakin meningkat.

* Tjahjono Widarmanto, penyair, tinggal di Ngawi, sedang menyelesaikan studi pascasarjana

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Juli 2010

3 comments:

Rita Erniawati said...

Blognya bagus,apik,indah, memukau,bisa tukar link.kami akan berkunjung lagi ke blog ini besok! Sebagai referensi bisa dikunjugi www.majalah-sastra.blogspot.com

uzk said...

silakan, mas.

Rita Erniawati said...

Saya sudah menulis link cabiklunik di blog saya, silahkan lihat! Tinggal anda mencantumkan link saya, terimakasih