Sunday, July 04, 2010

Bahasa yang 'Diimani' dan yang Terkapar

-- Bandung Mawardi

Sastra adalah ruang penciptaan, eksplorasi, dan pembunuhan bahasa. Kodrat ini memungkinkan penulis dan pembaca mengalami bahasa dengan perbedaan ideologi, etnis, agama, atau latar sosial-kultural. Bahasa dalam sastra memberi dan meminta untuk menentukan posisi diri dalam belantara wacana dan proses pembentukan atau keruntuhan negara.

RELASI bahasa dan negara ini lahir belakangan tapi lekas menjadi patokan. Bahasa pun menjadi ekspresi harga diri atau martabat. Sastra menanggung beban itu kendati bakal muncul sekian dilema dan kontradiksi dalam pengalaman bahasa di negeri multikultural.

Sastra dengan bahasa Indonesia di negeri ini seperti biografi kesakitan. Biografi ini kerap mengandung luka politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan kultural karena sejarah panjang pembentukan bahasa Indonesia. Bahasa ini lahir dari keriuhan wacana dan praktek kolonialisme. Pembacaan sejarah bahasa memang meletihkan karena terletak jauh di ujung ingatan ketimbang sejarah pembentukan negara. Bahasa Indonesia dalam urusan ini masih remang-remang karena memerlukan sorotan atas peran sastra dan jurnalistik sejak akhir abad XIX. Benih-benih pembentukan bahasa Indonesia disemaikan dengan pertentangan, kompromi, atau konsensus.

Penghormatan atas sejarah bahasa memang kurang terasakan ketimbang kegandrungan mengurusi sejarah Indonesia sebagai negara-bangsa. Hal ini membuat pelacakan identitas kultural, pengenalan diri, dan afirmasi atas multikulturalisme kurang bisa direalisasi secara utuh. Bahasa Indonesia justru mendekam di gudang tua atau disembunyikan di bawah ranjang. Kondisi ini tidak terselamatkan oleh pengajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia dan program-progam penyuluhan. Bahasa Indonesia justru mengalami pembatuan dan kurang memiliki greget untuk pembaruan.

Sejarah

Afirmasi dan antusiasme untuk mengurusi sejarah bahasa Indonesia membuat orang sadar atas biografi Indonesia dalam tautan-tautan konstruktif. Bur Rasuanto (1981) mengungkapkan bahwa memahami Indonesia tidak bakal sahih jika sekadar dimulai sejak 1945 dalam peristiwa Proklamasi. Rasuanto justru mengatakan, "Indonesia tidak lahir melalui perang-perang gerilya. Indonesia lahir lewat sajak-sajak, lewat novel-novel, lewat tulisan-tulisan Bung Karno, lewat karya-karya musik, lewat ciptaan-ciptaan Wage Supratman, lewat tulisan-tulisan (Muhammad) Yamin dan lain-lain—itu Indonesia. Kalau saya berbicara demikian, yang saya maksud sebenarnya adalah kebudayaan Indonesia. Ekspresi formal pertama Indonesia itu adalah bahasa Indonesia. Indonesia pertama-tama lahir bukan sebagai bangsa, apalagi sebagai negara, melainkan sebagai kebudayaan."

Kesadaran Indonesia melalui kepemilikan pengetahuan fondasi dalam bentuk ekspresi kultural memang kurang digandrungi. Indonesia terlalu sesak dengan sorotan-sorotan politik tapi abai dengan eksistensi negara oleh topangan dari pelbagai ekspresi kultural melalui olah bahasa. Peran bahasa dalam hal ini merupakan kunci dari pewartaan dan pembentukan konsep. Olah bahasa dalam sastra atau jurnalistik pun lekas menyebar untuk proses pembuatan konsensus atas nama nasionalisme, kemelayuan, atau Indonesia. Takdir bahasa ini pun memberi arti besar untuk afirmasi imajinasi bangsa dan utopia Indonesia sejak awal abad XX karena peran kalangan sastrawan, jurnalis, dan intelektual. Bahasa Indonesia lahir dan tumbuh untuk ikut menentukan Indonesia.

Bahasa dalam otoritas kepengarangan di Indonesia merupakan sambungan dan penentuan jalan berbeda untuk mengatakan Indonesia dan lain-lain. Pembacaan atas kontribusi pengarang dalam memerkarakan bahasa Indoensia memang memerlukan intensitas. Perhatian ini tak mungkin sekadar diarahkan pada stilistika, linguistik, atau diacukan pada pembakuan baik dan benar. Produksi teks-teks sastra adalah produksi bahasa tapi masih memerlukan mekanisme lanjutan dari interaksi dengan pembaca. Pemunculan makna dan imajinasi atas Indonesia bergantung pada intimitas dan permainan otoritas penulis atau pembaca.

Peran bahasa Indonesia dalam naungan politik memang telah terasakan sejak pemberlakuan pelbagai kebijakan masa kolonial sampai hari ini. Kebijakan-kebijakan politik mengandung potensi untuk menghidupi, mengembangkan, dan mematikan kodrat bahasa atau jalan takdir para pengarang untuk ikut mengonstruksi Indonesia. Politik seperti jadi tuan tapi kerap lupa diri dan mau menang sendiri. Inilah ironi bahasa Indonesia dalam ketidakberesan melakonkan politik dengan adab dan keterbukaan tanpa trompet kematian. Suara keras dari politik kadang membungkam pengarang dan produksi teks sastra. Bahasa Indonesia dalam olah estetika itu menjelma musuh untuk dibasmi atas nama konstitusi, hantu keresahan sosial, atau momok untuk stabilitas politik.

'Keimanan'

Barangkali kasus Joseph Brodsky bisa dijadikan contoh atas kepemilikan bahasa ketimbang tunduk dengan imperatif politik. Peraih Nobel Sastra 1987 dari Rusia ini memilih meninggalkan negara tapi dengan puja atas kepemilikan bahasa. Pilihan ini seperti takdir hidup dalam teror kematian. Brodsky dalam sebuah surat untuk Brezhnev menulis: "Bahasa lebih tua dan penting ketimbang negara. Saya merupakan bagian dari bahasa Rusia. Walaupun saya kehilangan kewarganegaraan Uni Soviet, saya tak akan pernah berhenti menjadi penyair Rusia. Saya rasa saya akan kembali suatu saat kelak."

Kasus dilematis Brodsky itu mungkin pelik untuk dimengerti dalam kepentingan menempatkan posisi para pengarang di Indonesia dalam memandang bahasa dan negara. Brodksy adalah korban politik tapi tak mati karena memunculkan heroisme bahasa. Kesadaran historis bahasa adalah awal ketimbang negara tentu menjadi modal untuk kompetensi menyuarakan pelbagai hal dengan "keimanan" bahasa untuk proyek pembaruan tapi bukan pembatuan atas nama politik. Ekspresi kultural melalui bahasa mengantarkan pada kesadaran eksistensial dan keberanian memberi kritik atas teror negara.

Nasib bahasa Indonesia jelas tidak sama dengan nasib bahasa Rusia. Peran pengarang Rusia memang telah mendapati ujian zaman untuk bisa mendapati pengakuan dunia sebagai jalan masuk membaca dan menilai zaman. Peran itu belum tampak dalam progresivitas sastra di Indonesia karena masih terjadi kerepotan dalam produksi bahasa dan pemahaman atas peran bahasa Indonesia dalam “rezim bahasa global.” Pemahaman belum tamat atas bahasa Indonesia lekas digoda dengan candu atas bahasa-bahasa asing untuk pamor atau mengurusi ekonomi dan politik. Bahasa Indonesia pun terkapar di rumah sendiri dengan perawatan kuno karena tak sanggup membuka pintu rumah. Bahasa Indonesia bisa masuk angin. Begitu.

* Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Minggu, 4 Juli 2010

No comments: