Jakarta, Kompas - Kasus-kasus kekerasan dan intimidasi terhadap anak yang terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat menunjukkan kondisi anak kian memprihatinkan. Padahal, anak-anak inilah yang menentukan nasib bangsa ini pada masa depan.
Saat ini anak Indonesia tidak lagi bisa memperoleh rasa aman dan nyaman di mana pun ia berada karena haknya terabaikan dan mereka tidak terlindungi.
Demikian dikemukakan Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi dan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait, Selasa (27/7).
”Kekerasan terhadap anak sudah di luar akal sehat, seperti pembunuhan anak oleh ibunya. Selain fisik, anak juga mengalami kekerasan psikis dengan tidak terpenuhinya hak anak untuk bersuara dan berkarya,” ujarnya.
Berdasarkan catatan terakhir Komnas PA, kasus kekerasan terhadap anak pada 2009 meningkat menjadi 1.998 kasus yang diadukan kepada Komnas PA dari 1.736 kasus pada 2008. Sekitar 62,7 persen dari 1.998 kasus itu merupakan kekerasan seksual (sodomi, pemerkosaan, pencabulan, dan incest), sementara sisanya berupa kekerasan fisik dan psikis.
Jika fenomena kekerasan anak terus terjadi, Seto Mulyadi khawatir, anak-anak akan tumbuh dengan rasa dendam dan berperilaku kekerasan.
”Mereka akan sama-sama memaksakan kehendak. Tidak ada budaya dialog. Jika begini terus, kita tinggal tunggu runtuhnya bangsa ini. Saya khawatir Indonesia bisa bubar,” ujarnya.
Sebelum itu terjadi, menurut Seto, cara pandang dan pendekatan dalam menangani anak harus diubah. ”Kita terjebak pada paradigma lama. Mendidik anak dengan kekerasan agar anak disiplin dianggap hal yang wajar. Ini yang keliru dan harus diubah,” ujarnya.
Gerakan nasional
Untuk menciptakan rasa aman dan nyaman bagi anak, kata Arist, perlu ada gerakan nasional melawan kekerasan dan kekejaman terhadap anak yang dimulai dari tingkat RT/RW.
Struktur masyarakat di tingkat itu bisa menyelamatkan anak dengan melaporkan tindak kekerasan anak di dalam keluarga kepada pihak yang berwajib.
”Sayangnya, kesadaran untuk itu masih minim. Persoalan yang terjadi di dalam keluarga dianggap sebagai urusan internal keluarga,” ujar Arist.
”Kalau di sekolah, seharusnya komite sekolahlah yang bisa melindungi anak,” ujarnya.
Sekolah tak melindungi
Jika berbicara soal komite sekolah, Jumono dari Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, menyesalkan, banyak komite sekolah justru tak melindungi dan memperjuangkan hak anak karena menjadi perpanjangan tangan kepala sekolah.
Sekolah yang seharusnya menjadi zona aman dan nyaman bagi anak berbalik menjadi zona penuh ancaman dari guru dan kepala sekolah.
Hal ini terbukti dari kasus intimidasi di Sekolah Dasar Negeri Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional 012 Rawamangun, Jakarta. ”Dari pengaduan para orangtua yang kami terima, intimidasi terhadap anak terjadi ketika orangtua mempertanyakan kebijakan sekolah. Padahal, anak tidak boleh terkena dampak dari urusan orang dewasa,” katanya. (LUK)
Sumber: Kompas, Rabu, 28 Juli 2010
No comments:
Post a Comment