SEPANJANG sejarahnya, kebudayaan dan karya seni tak pernah berhenti menghadirkan kesadaran ihwal tubuh. Tubuh sebagai tema atau objek kebentukan, senantiasa hadir seolah mempertegas apa yang selama ini diyakini, bahwa tubuh adalah jalan masuk untuk memahami misteri manusia dan hubungannya dengan segala sesuatu yang tak terjamah. Dengan kata lain, tubuh tidak melulu dimaknai sebagai semacam wadah. Melainkan juga suatu kehadiran yang membayangkan misteri manusia itu sendiri. Tubuh lalu dibaca sebagai representasi dari suatu kehadiran, mungkin juga metafora atau simbol dari kesadaran yang ada di baliknya. Tubuh dipahami sebagai bentuk yang mewakili berbagai kesadaran ihwal dunia transenden.
Akan tetapi, tubuh manusia dengan struktur anatominya, juga adalah biografinya sendiri bersama konteks alam yang melingkupinya. Alam dengan segala ritme geraknya menjadi keniscayaan yang bersatu dengan tubuh manusia. Atau mungkin juga bisa sebaliknya, tubuh manusia merupakan biografi yang mengikuti biografi tubuh alam itu sendiri. Tubuh alam inilah yang sesungguhnya ada dalam tubuh manusia bersama seluruh karakter dan ritmenya. Ritme dan budaya urban, misalnya, telah menjadi biografi tubuh manusia yang berlainan dari biografi tubuh manusia yang dibesarkan oleh ritme dan budaya primordial yang agraris.
Di situ, tubuh manusia menjadi tubuh alam itu sendiri. Gerak, bahkan, gejala kebentukannya mengikuti ritme alam yang melingkupinya. Ia bukanlah subjek otonom yang melainkan dirinya dari alam. Akan tetapi pada sisi yang lain, struktur anatomi tubuh manusia juga menawarkan berbagai imajinasi yang menarik. Imajinasi yang tak hanya melakukan distorsi, tetapi juga pemiuhan pada berbagai pola komposisi dan keseimbangan anatomi tubuh.
Tubuh manusia di situ, hadir sebagai eksplorasi kebentukan yang mengejutkan, yang membuka berbagai kemungkinan ihwal bentuk-bentuk berikutnya yang ditawarkan oleh tubuh manusia. Tentu dibutuhkan semacam "kenakalan" imajinasi untuk menghadirkan tubuh semacam ini. Tubuh manusia yang digelembungkan, dengan skala porsi bentuk yang menyimpang dari tubuh yang sesungguhnya. Kadang terasa juga menjadi semacam "perlawanan" pada bentuk tubuh ideal manusia sebagaimana budaya industri mengajarkannya, langsing dan tegap.
Inilah yang dihadirkan oleh perupa Swedia Richard Winkler dalam pameran tunggalnya bertajuk "A Tropical Journey" di Galeri Zola Zulu Bandung, 2-6 Juli 2010. Dengan warna-warna cerah alam tropis, kanvas Winkler selalu menampilkan kesatuan yang menarik antara tubuh manusia dan alam. Dalam pamerannya kali ini, selain memamerkan sejumlah lukisannya, pelukis kelahiran Noorkoping Swedia, 1959 ini, juga menghadirkan karya-karya patung. Keduanya sama-sama berangkat dari eksplorasi kebentukan ihwal tubuh.
**
TUBUH manusia di atas kanvas Richard Winkler adalah tubuh yang bulat dan gemuk yang setiap lekuknya mengingatkan orang pada buah-buahan. Ia terkadang tampak lucu dan naif, seperti tubuh yang terbuat dari balon. Akan tetapi, seluruh kelucuan dan kenaifan bentuk tubuh itu merepresentasikan kesadaran ihwal hubungan manusia dan alam. Tubuh di situ dipandang dan dimaknai tak ubahnya sebagai penjelajahan imajinasi demi mencari berbagai kemungkinan berikutnya tentang misteri tubuh manusia itu sendiri. Atau mungkin juga ihwal misteri imajinasi itu sendiri.
Seperti tajuk pamerannya, sejumlah karya Richard Winkler memang cenderung berkonsentrasi pada pencarian bentuk tubuh manusia di tengah ritme alam budaya agraris. Di situ tak ada lagi jarak yang tegas antara manusia dan alam, mengurai batas antara subjek dan objek. Dalam "Purple Mountains", misalnya, kaki para petani yang berada di sawah tampak menjadi sesuatu yang tumbuh dan muncul dari permukaan air. Demikian pula dalam sejumlah karyanya yang lain, tubuh manusia tak ada yang menjejakkan kakinya di atas tanah, tetapi melesap ke atau dari dalam tanah.
Dalam pamerannya kali ini, Richard Winkler juga menampilkan sejumlah karyanya yang membiarkan tubuh sebagai figur yang otonom. Tubuh manusia yang dihadirkan menyendiri dalam berbagai pose, memperlihatkan eksplorasi imajinatif pada unsur kebentukan. Pada karya-karya ini, terasa bagaimana Richard Winkler memaknai tubuh manusia sebagai ruang yang leluasa yang dipiuhkan, diubah struktur dan pola komposisi keseimbangan anatominya.
Bahkan pada beberapa karya, seperti Bather`s Dance atau Reclining Woman, eksplorasi bentuk yang dilakukan nyaris melenyapkan penanda bahwa itu adalah tubuh manusia. Tubuh itu dihadirkan dalam bentuk-bentuk oval yang saling bertautan dan menindih menyerupai gulungan sosis. Meski penandanya sebagai tubuh manusia nyaris samar, tetapi orang bisa menduga bahwa itu adalah bentuk anatomi manusia. Karya ini seakan merupakan representasi dari penjelajahan Winkler ke dalam ruang tubuh manusia demi mencari berbagai kemungkinan estetika bentuk yang tersumbunyi dalam tubuh.
Tak puas hanya mengeksplorasinya di atas kanvas, Winkler membawa imajinasi ihwal tubuh itu ke studio patung. Maka lahirlah sejumlah karya tiga dimensi dengan media perunggu. Patung-patung itu berupa figur tubuh manusia dalam berbagai pose, sehingga mendekati style bentuk abstrak.
"Setelah objek itu saya pindahkan menjadi karya patung, saya merasa objek itu bukan hanya sekarang hadir dalam tiga dimensi. Akan tetapi juga saya dihadapkan pada tantangan dan pengalaman baru. Patung-patung itu memang berangkat dari lukisan, dan saya menikmati proses mengalihkannya," ujar pelukis yang pernah belajar seni murni di Sekolah Desain Beckmans di Stockholm, Swedia ini.
Sebagai pelukis, Richard Winkler merupakan generasi pelukis Eropa terkini setelah Arie Smith yang menetap dan berkarya di Bali. Ia kali pertama menggelar pameran tunggal pada 1992 di Linden Gallery, Norrkoping, Swedia. Jauh ke belakang, kehadiran para pelukis ekspatriat Eropa di Bali bisa ditelusuri sejak periode tahun 1920 dan 1930-an, sejak generasi Walter Spies, Rudolf Bonnet, atau Willem Hofker. Tak bisa disangkal, para pelukis ekspatriat Eropa ini telah meninggalkan jejak yang panjang dalam memberi sudut penanda dalam perkembangan seni lukis modern di Indonesia.
Sebelum menetapkan pilihannya tinggal dan berkarya di Bali, Winkler sempat menetap dan berkarya di Sri Lanka. Di situ ia meneruskan eksplorasi dalam unsur kebentukan yang berkonsentrasi pada upaya menemukan bentuk distorsi tubuh manusia dan hubungannya dengan tumbuhan tropis. Ini berbeda dengan eksplorasi yang dilakukannya selama di Swedia, saat figur tubuh manusia yang bulat hadir dalam karakteristik lukisan abstrak. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 11 Juli 2010
1 comment:
i`m sorry your article is not clear
Post a Comment