Sunday, July 11, 2010

Achdiat K. Mihardja (1911-2010): Kita Benar-benar Kehilangan

-- Ajip Rosidi

DUA wartawan dari dua surat kabar terkemuka di Jakarta ketika mewawancarai saya sehubungan dengan meninggalnya Achdiat K. Mihardja di Canberra, Australia, 8 Juli 2010, ternyata belum pernah membaca roman Atheis karya utama almarhum. Suatu hal yang menyedihkan, akibat dari tidak adanya perhatian pemerintah Republik Indonesia terhadap kesusastraan dan perpustakaan. Seharusnya siswa sekolah menengah di seluruh Indonesia sudah membaca karya-karya utama sastra dalam bahasa nasionalnya. Atheis adalah salah satu karya sastra yang menjadi kanon dalam sastra nasional kita seperti Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis, Layar Terkembang (1935) karya S. Takdir Alisjahbana, Belenggu (1940) Armijn Pane, Keluarga Gerilya (1950), Bukan Pasar Malam (1951), dan karya-karya Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, Tambera (1948) dan Awal dan Mira (1952) karya Utuy T. Sontani, Jalan tak Ada Ujung (1952) karya Mochtar Lubis (1952) , dan lain-lain.

Atheis melukiskan konflik kerohanian yang dialami oleh bangsa kita akibat masuknya berbagai paham filsafat dan paham sosial yang berbenturan sesamanya. Pendeknya dalam roman itu Achdiat berhasil memotret dan merekam gejolak masyarakat yang terjadi di Indonesia pada akhir masa penjajahan Belanda sampai zaman Jepang.

Tidak hanya roman Atheis (1949) yang ditulis Achdiat untuk memperkaya sastra Indonesia. Dia pun banyak menulis cerita pendek dan esai. Kumpulan cerita pendeknya Keretakan dan Ketegangan (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional dari BMKN (1957). Di samping itu, ada Kesan dan Kenangan (1960) yang juga merupakan kumpulan cerita pendek. Dia juga banyak menulis drama baik asli maupun saduran, antara lain Bentrokan Dalam Asrama (1952), Keluarga Raden Sastra (1954), Pakaian dan Kepalsuan (1956), Pak Dullah in Extremis (1977), dan lain-lain. Dia jugalah yang menyusun Polemik Kebudayaan (1948) yang memuat berbagai pendapat para bapak pendiri bangsa kita seperti Dr. Soetomo, Sanoesi Pane, S. Takdir Alisjahbana, Ki Hadjar Dewantara, Dr. Amir, Dr. Poerbatjaraka, dan lain-lain mengenai kebudayaan nasional dan hari depan bangsa Indonesia. Tanpa usaha Achdiat mengumpulkannya kita mungkin kehilangan jejak tentang polemik penting yang terjadi pada 1930-an itu.

Pada 1969, Achdiat mendapat Anugerah Seni dari pemerintah Republik Indonesia atas jasanya dalam bidang kesusastraan dengan menulis Atheis.

**

ACHDIAT K. Mihardja dilahirkan di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911. Setelah tamat HIS, melanjutkan ke MULO di Bandung, terus ke AMS-A di Bandung juga. Karena bertengkar dengan salah seorang guru, dia pindah ke AMS-A juga di Solo, tetapi mengambil jurusan Ketimuran, sekelas antara lain dengan Tatang Sastrawiria dan Amir Hamzah.

Para siswa yang pada masa itu belajar di Solo banyak yang aktif dalam gerakan kebangsaan. Achdiat pun bersama dengan Amir Hamzah, Armijn Pane, Tatang Sastrawiria, dan lain-lain aktif dalam organisasi "Indonesia Moeda" yang baru didirikan (30 Desember 1930) sebagai realisasi keputusan Kongres Pemuda (1928) yang membubarkan organisasi-organisasi pemuda daerah seperti Jong Java, Sekar Roekoen (organisasi pemuda Sunda), Jong Celebes, Jong Soematera, dan lain-lain. Meskipun secara resmi Indonesia Moeda tidak ikut-ikutan dalam politik, tetapi organisasi itu merupakan persemaian kesadaran rasa kebangsaan para anggotanya. Setamat AMS (1932), Achdiat pindah ke Jakarta. Mula-mula bekerja sebagai guru Taman Siswa, kemudian menjadi editor surat kabar Bintang Timoer dan majalah Penindjauan bersama Sanoesi Pane dan Armijn Pane. Keduanya milik P.F. Dahler, orang Belanda yang pernah menjadi guru Achdiat di AMS, yang menaruh simpati kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada 1938 Achdiat menikah dan pindah ke Bandung. Dia membuka warung keperluan sehari-hari seperti beras, garam, minyak tanah, ikan asin, gula, dan lain-lain. Meskipun mengantungi ijazah AMS yang kalau bekerja di kantor pemerintah akan mendapat gaji puluhan gulden, Achdiat memilih hidup mandiri.

Pada waktu itulah dia diminta oleh N. Sastramidjaja yang lebih terkenal dengan sebutan "Jaksa Neneng" untuk memimpin majalah yang diterbitkannya dalam bahasa Sunda, yaitu Panoengtoen Kamadjoean. Dia menerima pekerjaan itu sambil tetap menjadi koresponden berbagai surat kabar dan majalah berbahasa Indonesia dan Belanda.

Memilih menjadi tukang warung walaupun sambil menjadi koresponden surat kabar dan majalah (yang pada waktu itu mudah sekali dijebloskan ke dalam penjara karena tulisannya) niscaya bertentangan dengan harapan orang tuanya ketika menyekolahkannya ke tingkat yang cukup tinggi pada masa itu. Memang kemudian Achdiat membeli pabrik roti dan kue yang bangkrut karena kalah berjudi sehingga usahanya lebih besar.

Pada masa itulah Achdiat didatangi oleh R. Satjadibrata yang menjadi hoofdredactuur Balai Pustaka bagian buku bahasa Sunda. Achdiat diminta untuk menjadi anggota redaksi Balai Pustaka. Tentu saja mula-mula dia menolak. Namun karena desakan ayah dan ibunya yang ingin melihat anaknya menjabat sebagai pegawai negeri (seperti ayahnya), juga terpengaruh oleh tulisan Bung Hatta yang ditulis dalam pembuangan di Bandaneira tentang bahaya pemerintah yang fasistis-militeristis, seperti Jerman, Italia, dan Jepang, sehingga menganjurkan para pemimpin pergerakan di Indonesia agar bekerja sama dengan pemerintah Belanda menghadapi kemungkinan serbuan dari negara fasis Jepang, akhirnya Achdiat menerima tawaran R. Satjadibrata untuk menjadi adjunthoofdredactuur Balai Pustaka.

Waktu itu, redaksi (Sidang Pengarang) Balai Pustaka dibagi menjadi tiga yaitu, redaksi buku bahasa Melayu (istilah ini tetap dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda termasuk Balai Pustaka yang tak mau menggunakan istilah "Indonesia") yang dipimpin oleh Noer Sutan Iskandar, bagian buku bahasa Jawa yang dimpimpin oleh Kusrin, dan redaksi buku bahasa Sunda yang dipimpin oleh R. Satjadibrata. Di Balai Pustaka Achdiat bertemu lagi dengan Sanusi Pane dan Armijn Pane yang bekerja di redaksi bahasa Melayu.

Akan tetapi, pada masa Jepang Achdiat keluar dari redaksi Balai Pustaka, mungkin karena mau konsekuen dengan sikapnya yang antifasis. Pada masa revolusi dia bergerilya di lereng Gunung Talagabodas dan karena merasa perlu memberikan penerangan kepada rakyat, dia bersama Tatang Sastrawiria menerbitkan majalah Gelombang Zaman yang kecuali memuat berita dan tulisan tentang politik, juga memuat karya sastra. Dalam majalah itulah di antaranya A.S. Dharta, Suhendi, dan Dodong Djiwapradja memuatkan sajak-sajaknya yang pertama.

Setelah Belanda atas desakan PBB mengadakan perundingan yang dilakukan oleh Mr. Roem dengan van Royen, Achdiat menerbitkan majalah Spektra yang memacu polemik tentang Angkatan 45. Kemudian dia masuk lagi ke Balai Pustaka bersama Tatang Sastrawiria, Utuy T. Sontani, M. Taslim Ali, dan lain-lain. Ketika Pemilihan Umum 1955 dilaksanakan, Achdiat menjadi calon anggota DPRD Jakarta dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin oleh St. Sjahrir.

Waktu Balai Pustaka diubah fungsinya hanya menjadi percetakan (untuk ujian nasional saja), dan tidak lagi menjadi penerbit, sehingga tidak membutuhkan lagi sidang redaksi, Achdiat dan kawan-kawan dipindahkan ke Jawatan Pendidikan Masyarakat. Achdiat kemudian diangkat menjadi Kepala Jawatan Kebudayaan Jakarta. Pada waktu itulah dia diminta menggantikan H.B. Jassin mengajarkan kesusastraan modern pada Fakultas Sastra dan Filsafat Unversitas Indonesia.

Pada 1957, Rukasah S.W. yang menjadi redaktur majalah kebudayan berbahasa Sunda Kiwari mempunyai gagasan membentuk studiklub (Badan Pangulik Budaya) Kiwari yang akan memperkuat redaksi majalah tersebut. Achdiat terpilih sebagai ketuanya. Kegiatannya antara lain mengadakan pertemuan bulanan membahas berbagai segi kebudayaan Sunda.

Akan tetapi, situasi politik di Indonesia menjelang akhir 1950-an itu sangat tegang. Sesudah mengusir Belanda dan menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, kekuatan kiri kian dominan. Pada 1960, partai Masjumi dan PSI dibubarkan karena dituduh terlibat dalam pemberontakan daerah. Kedudukan Achdiat menjadi goyah karena orang tahu dia orang PSI dan orang-orang kiri selalu mencari jalan menyingkirkan orang-orang PSI dan Masjumi dari kedudukannya.

Pada masa itulah datang undangan kepadanya untuk mengajarkan sastra Indonesia dari Australian National University di Canberra. Dia menerima undangan itu dan dia mengajar di ANU sampai pensiun. Setelah pensiun dia memilih tetap tinggal di Australia, mungkin karena anak-anaknya pun semuanya (tiga wanita seorang laki-laki) menetap di sana. Kadang-kadang dia mengunjungi Indonesia untuk beberapa minggu.

Meskipun masih menulis --yang kebanyakan diterbitkan di Singapura-- di antaranya roman Debu Cinta Bertaburan (1973), Belitan Nasib (1975), dan Pembunuhan dan Anjing Hitam (1975). Setelah lama tidak mengumumkan tulisan, pada 2005, Achdiat menerbitkan roman pendek Manifesto Khalifatullah.

Pada 6 Maret 2010, Achdiat genap berusia 99 tahun. Ketika meninggal pada 8 Juli 2010, usianya seratus tahun jalan. Tidak banyak orang Indonesia yang usianya sepanjang itu. Kita benar-benar kehilangan.***

Ajip Rosidi, sastrawan

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 11 Juli 2010

No comments: