Monday, July 26, 2010

Kekayaan Alam: Nasionalisasikan Sungai Asahan

-- Khaerudin

PADA 28 Juni lalu, secara resmi China Huadian Engineering Co Ltd menyelesaikan pekerjaan konstruksi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air atau PLTA Asahan I yang dimulai sejak 18 Desember 2006.

Selanjutnya, China Huadian Engineering Co Ltd menyerahkan pengoperasian pembangkit berkapasitas 2 x 90 megawatt tersebut kepada China Huadian Operating Company untuk jangka waktu 11 tahun. Setelah itu, pengoperasian akan dilakukan oleh pemilik resmi PLTA Asahan I, PT Bajra Daya Sentra Nusa (BDSN), untuk jangka waktu yang tak terbatas.

Siapakah PT BDSN sehingga punya kewenangan memanfaatkan potensi hidroelektrik Sungai Asahan hingga waktu yang tak terbatas itu? BDSN adalah perusahaan joint venture swasta yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh China Huadian Hongkong. Saham China Huadian Hongkong di BDSN mencapai 70 persen.

Baik China Huadian Hongkong, China Huadian Engineering Co Ltd, maupun China Huadian Operating Company merupakan anak perusahaan China Huadian Corporation, perusahaan milik Pemerintah China yang bergerak di bidang energi listrik, semacam PLN-nya China.

Lantas, selain Pemerintah China, siapa pemilik lain BDSN? Sebanyak 26 persen saham BDSN memang dikuasai Pemerintah Indonesia melalui PT Pembangkitan Jawa Bali yang merupakan anak perusahaan PLN. Namun, dengan skema pembangunan jenis build operate own (BOO), PLTA Asahan I yang sumber penggerak turbinnya adalah aliran Sungai Asahan akan selamanya dikuasai oleh Pemerintah RRC.

”Kecuali kalau kita mampu membeli kembali saham China Huadian Hongkong. Itu pun kalau China Huadian Hongkong suatu saat berniat menjualnya,” ujar Direktur Teknik PT BDSN Muhammad Kamal.

Sebagai pembangkit listrik milik swasta (independent power producer), PLTA Asahan I harus menjual listriknya kepada PLN selaku pemegang monopoli distribusi listrik di Indonesia. Kontrak jual beli listrik PLTA Asahan I dengan PLN berjangka waktu 30 tahun. Harga jual listrik PLTA Asahan I ke PLN sebesar 4,6 sen dollar AS per kWh. Sementara biaya produksi listrik PLTA Asahan I per kWh mencapai 3,5-4 sen dollar AS. Anggaplah PLTA Asahan I bisa meraup untung sekitar 1 sen dollar per kWh, bisa dihitung pendapatan BDSN dari aliran Sungai Asahan itu.

Dengan kapasitas terpasang 2 x 90 MW, menurut Project Director PLTA Asahan I Hendy Rohendi, rata-rata daya listrik yang bisa dihasilkan PLTA Asahan I per bulan mencapai 100 gigawatt jam atau 100 juta kWh. ”Kalikan saja dengan 1 sen dollar AS per kWh, setiap bulan BDSN bisa meraup 1 juta dollar AS,” kata Hendy.

Proyek Asahan

BDSN bukan perusahaan swasta pertama yang tahu betapa menjanjikannya laba dari memanfaatkan aliran Sungai Asahan menjadi tenaga listrik. Lebih dari 30 tahun lalu, 12 perusahaan investasi asal Jepang berani menginvestasikan ratusan juta dollar AS untuk membangun dua PLTA.

Di masa Soekarno, Proyek Asahan sempat ditawarkan kepada Uni Soviet. Namun, baru pada masa pemerintahan Soeharto Proyek Asahan dibangun dengan didanai konsorsium 12 perusahaan asal Jepang. Konsorsium perusahaan Jepang ini kemudian membentuk Nippon Asahan Aluminium.

Pabrik peleburan aluminium PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menjadi salah satu inti Proyek Asahan selain dua PLTA yang dimanfaatkan untuk pengoperasian pabrik. Dua PLTA itu dikenal dengan nama PLTA Siguragura (292,8 MW) dan PLTA Tangga (324,4 MW). PLTA Siguragura dan Tangga kemudian lebih dikenal dengan sebutan PLTA Asahan II (total 617,2 MW), yang merupakan PLTA terbesar di Indonesia.

Kembali ke Proyek Asahan, saat mulai dibangun tahun 1976, komposisi kepemilikan sahamnya 90 persen dikuasai NAA dan 10 persen milik Pemerintah Indonesia. Berbeda dengan pembangunan PLTA Asahan I yang skemanya BOO, Proyek Asahan dibangun dengan skema build operate transfer (BOT) selama 30 tahun. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia pada tahun 2013 atau 30 tahun setelah Proyek Asahan resmi beroperasi memiliki opsi untuk mengambil alih sepenuhnya. Tentu saja Pemerintah Indonesia harus membayar nilai buku yang masih ada di Proyek Asahan kepada NAA.

Badan Otorita Asahan yang merupakan lembaga penghubung antara pemerintah dan NAA memperkirakan, nilai buku Proyek Asahan pada tahun 2009 masih sekitar 750 juta dollar AS. Berdasarkan perjanjian lama kerja sama Proyek Asahan, pemerintah harus membayar 60 persen dari nilai buku pada tahun 2013 jika ingin menguasai sepenuhnya.

Pertanyaannya, mengapa Indonesia harus merasa berkepentingan menguasai Proyek Asahan? Jawaban gampangnya, tentu karena potensi keuntungan dari pengoperasian PLTA Asahan II luar biasa.

Namun, pentingnya pengambilalihan Proyek Asahan sebenarnya bukan hanya soal laba. Proyek Asahan selama ini dinilai sebagai ironi bagi sebagian besar masyarakat Sumut. Meski PLTA Asahan II merupakan PLTA terbesar di Indonesia, listriknya tak dinikmati masyarakat Sumut. Operasional PLTA Asahan II hanya untuk kepentingan pengoperasian pabrik peleburan aluminium PT Inalum.

Maka, saat Sumut mengalami krisis listrik, keberadaan PLTA Asahan II sama sekali tak membantu. Ada sedikit transfer listrik dari PLTA Asahan II ke PLN selama krisis, tetapi itu pun PLN tetap harus membayarnya dengan mengalirkan listrik ke PT Inalum.

Menurut Sekretaris Daerah Provinsi Sumut RE Nainggolan, selama ini pemerintah daerah hanya menikmati annual fee dari PT Inalum Rp 74 miliar per tahun. Jumlah ini tak sebanding seandainya Proyek Asahan dikuasai Pemerintah Indonesia, lalu listrik PLTA Siguragura dan PLTA Tangga dijual ke PLN.

Menurut hitungan Nainggolan, jika listrik PLTA Siguragura dan PLTA Tangga dijual 4,6 sen dollar AS per kWh ke PLN, diperoleh untung hingga 120 juta dollar AS atau Rp 12 triliun setahun.

Tahun 2010 adalah saat ketika masa depan Proyek Asahan dinegosiasikan kembali oleh Pemerintah Indonesia dengan NAA bersama Pemerintah Jepang. Selain Indonesia punya opsi mengambil alih sepenuhnya, ada juga opsi lain untuk tetap meneruskan kerja sama dengan Jepang, tentu disertai perubahan komposisi kepemilikan saham.

Hanya saja, jika opsi meneruskan kerja sama dengan NAA yang diambil, jelaslah Sungai Asahan ternyata bukan ”milik” bangsa ini lagi. Setelah di hulu aliran Sungai Asahan dikuasai China, di hilir sungai yang bermata air di Danau Toba ini dikuasai Jepang.

PLTA Asahan III

Sebenarnya, aliran Sungai Asahan yang bermuara di Selat Malaka diketahui memiliki potensi hidroelektrik sebesar 1.050 MW. Selain dua PLTA yang telah berdiri, PLTA Asahan I dan PLTA Asahan II, dalam waktu dekat juga direncanakan pembangunan PLTA Asahan III. PLTA Asahan III pun jadi rebutan swasta dan pemerintah, dalam hal ini PLN.

PLN ngotot ingin membangun PLTA Asahan III, sementara swasta juga tak kalah ngotot. Perusahaan swasta bahkan telah mengantongi izin lokasi dari Gubernur Sumut, sesuatu yang tak dimiliki PLN. Tanpa izin lokasi, mustahil PLN bisa membangun PLTA Asahan III. Sebaliknya, PLN punya jurus andalan, yakni perjanjian jual beli listrik. Selama swasta tak bisa mendapatkan perjanjian jual beli listrik dari PLN, mereka juga tak bisa membangunnya.

Belakangan, Gubernur Sumut dan PLN telah sepakat. Intinya, PLN selangkah lagi mendapatkan izin lokasi PLTA Asahan III.

PLN telah mendapatkan pendanaan PLTA Asahan III dari kredit lunak Japan Bank for International Cooperation. Justru sumber dana ini yang pada gilirannya memunculkan pertanyaan besar soal ”kedaulatan” Indonesia di Sungai Asahan.

Sebenarnya, kalau pemerintah mau melaksanakan amanat Pasal 33 UUD 1945, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sudah saatnya Sungai Asahan dinasionalisasikan...

Sumber: Kompas, Senin, 26 Juli 2010

No comments: