Saturday, July 31, 2010

[Teroka] Kekuasaan: Adab Pesisir dalam Kuasa Pedalaman

-- Munawir Aziz*

DALAM sejarahnya, relasi intelektual dengan kekuasaan sering kali memberi kabar getir. Masa depan intelektual Indonesia–sebagaimana masa lalunya—belum bisa luput dari kekangan kuasa. Kisah-kisah intelektual sebagai penghamba kuasa melebihi apa yang disebut Gramsci sebagai intelektual organik. Kaum intelektual asketis sering terpojok ketika rombongan intelektual selebriti hadir dalam genggaman citra dan godaan kuasa.

Mental yang terbangun dalam situasi kaum intelektual Indonesia semacam itu memberi kita fakta bahwa warisan sejarah kolonialisme dan kuasa kerajaan pedalaman masih menancap kuat hingga hari ini.

Dalam sebuah studinya, Yudi Latif (2005) pernah coba melacak historiografi intelektual Indonesia untuk membuka fakta bagaimana kerangka pikir dan produk kreatif kaum intelektual. Ia menemukan bagaimana perselingkuhan antara kolonialisme, kuasa, dan kaum intelektual menjadi landasan bagi produk-produk pemikiran abad ke-20.

Dengan kata lain, mental inlander ternyata masih kuat menyelesap di kalbu kaum intelektual Indonesia. Kultur kolonial berhasil membentuk sikap pasrah dan tunduk para intelektual kepada semua titah kuasa. Ruang kuasa disulap sebagai ruang gemerlap yang saling diperebutkan. Sebuah ”arus balik” dari mentalitas elite kita jika dibandingkan, katakanlah, dengan masa Kerajaan Majapahit (pra-kolonialisme Eropa) yang dipenuhi ketangguhan, kemandirian, dan geniusitas yang orisinal.

Semua ”kebesaran” Majapahit itu luntur, bahkan lenyap ketika kekuasaan berpaling ke daerah pedalaman.

Kuasa pedalaman

Kekuasaan pedalaman ditengarai monumen awalnya pada riwayat tampil dan berdirinya kekuasaan Jawa di tangan Jaka Tingkir. Dari jejak kuasa Jaka Tingkir, Kerajaan Mataram jilid dua berjaya hingga kini di beberapa hal tertentu. Para pengamat kerap merujuk masa Mataram untuk menganalisis situasi mutakhir politik Indonesia.

Bangkitnya kekuasaan Jaka Tingkir (cq pemerintahan Mataram) juga mengungkapkan kemunduran kuasa dan adab pesisiran di Pulau Jawa. Sebuah adab kuasa yang dibangun kerajaan-kerajaan purba di Nusantara hingga dimahkotai oleh Majapahit bersama Gadjah Mada dan terakhir dalam kegemilangan Kerajaan Demak—bukti terakhir saat adab maritim masih menjadi pilar utama kekuatan manusia Indonesia.

Jaka Tingkir membangun Pajang dengan kekerasan setelah Demak mundur. Pusat kerajaan digeser lebih ke dalam, ke daerah pegunungan. Sebuah arus balik terjadi: adab maritim menjadi adab pedalaman yang menciptakan konsekuensi pada kehidupan intelektual dan kebudayaan pada umumnya.

Nancy K Florida (2003) mengamati Jaka Tingkir memang berjasa membentuk Kerajaan Pajang lewat bangunan kekuasaan yang mapan di pedalaman. Masa itu Gadjah Mada membangun Majapahit dengan imajinasi pesisiran, dengan mental petarung-pelaut yang gigih menyatukan Nusantara.


Pesisiran: imaji Nusantara

Ruang teritorial Nusantara dalam kuasa Majapahit disatukan dengan imajinasi maritim dan mental pesisiran. Jawadwipa, seperti dijelaskan sejarawan Perancis, Denys Lombard, dalam kitabnya, Nusa Jawa: Silang Budaya, dilukiskan sebagai titik penting—menghubungkan berbagai arus silang kuasa dan budaya. Jawa menjadi ruang persilangan, percampuran, dan hibridasi segala bentuk ekspresi dan produk kultural, ekonomi, politik, dan agama.

Jawa pada masa itu mampu menjadi tonggak dan pusat dalam imajinasi adab dan kultural bangsa-bangsa di Nusantara. Jawa dan pulau lain menjadi kesatuan dalam imajinasi Nusantara. Jejak peradaban Jawa yang panjang dan heroik ini sebenarnya yang menjadi salah satu kunci tentang realitas dan eksistensi manusia Indonesia.

Lombard tetap menempatkan ”pesisiran” sebagai bagian utama tipografi Pulau Jawa, selain Sunda dan Jawa. Analisisnya berdasarkan pada kajian historiografis, sosiologis, dan antropologis menunjukkan, mental pesisiran manusia Indonesia menghadirkan sikap petarung yang kreatif, bloko suto (terbuka), egaliter, dan akomodatif pada kemajuan.

Sementara kultur kuasa di pedalaman cenderung menghadirkan sikap priayi yang feodal, menutup diri, dan takut kehilangan kuasa. Kekuasaan menjadi perebutan dan identitas yang justru memperlemah mental intelektual atau pejuangnya. Goenawan Mohamad (2003) menegaskan, penguasa Jawa cenderung mengejar ”takhta”, tetapi lupa memformulasi ”tata”.

Adab ”takhta” inilah yang kini menindih adab pesisir. Kuasa pedalaman menjadi warisan utama intelektual Indonesia yang terus sibuk dengan godaan kuasa dan gaya selebratikal.

Bisa jadi, pada hal terakhir itulah jalan terbaik kita temukan untuk keluar dari persoalan-persoalan hebat belakangan ini. Untuk merintis masa depan kita yang berjaya. Kita yang sebenarnya.

* Munawir Aziz, Penulis dan Peneliti Independen, Bermukim di Pati, Jawa Tengah

Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Juli 2010

No comments: