-- Hardi Hamzah
ANTONNIO Granwiegh, sastrawan Italia yang mengkaji ulang karya Leo Tolstoy dan Boris Pasternak, sampai pada kesimpulan bahwa posisi karya Tolstoy dan Dr. Chivago kenyataannya adalah eksistensialis bergaya ketimuran, dalam arti keduanya bermuara pada idealisme budaya Asia.
Tolstoy, misalnya, melihat kemanusiaan adalah gejala dari sistem sosial yang ada, dan Pasternak tidak jauh darinya, hanya memainkan sistem nilai dalam bahasa ketimuran. Rusia, tempat mana dua sastrawan ini dibesarkan, pada dasarnya berakar dari timur. Dengan ideologi sosialis, Barat hanya berada pada sisi geopolitik untuk melawan AS dalam dimensi perang dingin.
Dalam posisi itu, setidaknya ketika sastra itu dibaca, maka lahirlah eksistensialisme sejati di Prancis, begitu ujar Antonnio yang bukunya dirilis akhir tahun 90-an.
Penulis sengaja mengungkap hal di atas karena di Indonesia saat ini, ketika China sedang gencar-gencarnya menerjemahkan karya Pramoedya Ananta Toer, justru kita mengekang ide-ide sosialisme itu. Sosialisme yang secara ideologis, jauh dari komunisme di Indonesia yang disosialisasikan militer. Kendati kita sadar, Lekra yang court and courth dengan Manikebu adalah juga nilai sosialis itu.
Indonesia yang mengembangkan pasar sastranya melalui pasar global (baca: kapitalisme malu-malu), setidaknya sudah lebih universal. Logika ini didasarkan pada bahwa sesorang yang sosialis sepopuler Tolstoy dan Pasternak telah melansir pakem-pakem ketimuran, sementara kita justru ingin kembali realistis. Katakanlah, melalui Laskar Pelangi, dan beberapa sastra pop sejenisnya. Yang meski tidak terlalu buruk, nun jauh dari semangat orientasi yang bersenyawaan dengan global. Artinya, sastra pop yang dikunyah generasi muda Indonesia cenderung berbahas universal klasik, terkadang kampungan dan ngepop tidak berisi.
Apresiasi terhadap sastrawan, memang bukan kemuskilan, katakan semacam eksistensialisme di Prancis, toh juga tidak terlalu membodohi rakyat, kendati nilai sastra menjadi stagnan dan mengutamakan realitas, mendahulukan arti ketimbang makna. Tengok saja karya Taufik Ismail, Rendra, dan beberapa sastrawan semacam Sitok Sirengenge dan turunannya.
Penulis tidak mau berdiskusi tentang formula sastra Indonesia yang karena tidak antisipatifnya menjadi "hitam putih". Kalau tidak sastrawan angkatan lama, maka muncul sastra baru yang tipis makna.
Padahal, apabila kita melihat karya karya Abdul Hadi W.M., Sapardi Djoko Damono, mereka lebih menarik benang hijau di titik yang berimbang antara klasik dan kemegahan sastrawaan ketimuran, saya yakin karya puisi kedua sastrawan ini belum terkontaminasi oleh internet tetapi lebih pada kontemplasi. Ini artinya, semangat kohesi dari positivisme semangat ketimuran bisa saja diangkat dalam koridor yang tidak pop, meski kemudian pembaca sastra tingkat SLTA menjadikan kejenuhan sebagai upaya melahirkan ke sastra-sastra pop, yang berarti bagi mereka tidak bermakna untuk perkembangan sastra ke depan.
Dari mikroanalisis di atas, penulis ingin membagi dua pola dasar perkembangan sastra di Indonesia yang penulis anggap lebih orientatif, misalnya saja, menjadikan sastra sebagai bacaan wajib, dalam konteks ini sastra yang lebih bernapas netral, semisal karya terakhir pujangga sekaligus politikus Eropa Timur Belswbyik Peter Goan, ini suatu karya yang membangun imajinasi riil. Seorang anak manusia yang bergelut dengan proletarisme di tengah globalisasi. Karya berjudul Marked Teenagers, ini memang unik karya yang menstimulasi penuh anak usia SMA, tetapi mengajak kita tahu bagaimana kesenyawaan antara Timur dan Barat dapat atau mendapatkan padanannya lebih visioner.
Juga karya penulis, Terstexbswoiey, juga dari Eropa Timur, karyanya berjudul Youth of Youth, toh memberi rangsangan tersendiri bahwa di tengah westernisasi terdapat yang meenguatkan kebutuhan remaja, misalnya tentang kepedulian lingkungan dan interaksi dunia maya yang mengajak kaum muda tidak hitam putih dalam memaknai sastra. Ya, "hitam-putih", kalau tidak Barat ya, pop, yang notabene penuh arti tapi tanpa makna ke depan bagi perkembangan sastra di tingkat SMA.
Dengan demikian, sastra kita menjadi sastra yang bervisi, dalam arti transformasi ke institusi tetap diakumulasikan atmosfernya ke dalam birokrasi sehingga elite yang mengurusi masalah kesenian dan kebudayaan tidak hanya berkutat pada sastra kontemporer, atau membiarkan, cuek, bahwa kehidupan sastra kaum remaja kita dalam dilema. Ini yang tentu kita tidak inginkan.
* Hardi Hamzah, Staf Ahli Mahar Foundation Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 3 Juli 2010
No comments:
Post a Comment