-- Herry Dim
PAGI itu, Senin (21/6), pukul 9.09 WIB, telefon berdering. Terdengar suara Wali Kota Bandung Dada Rosada di seberang sana. Sebagai rakyat biasa, ada keterkejutan manakala menerima telefon tersebut, berikutnya segera beralih kepada pikiran bahwa mungkin ada hal penting maka ia menelefon secara pribadi. Atas undangan via telefon itulah saya keesokan petangnya ikut berkumpul di sebuah pesanggrahan asri di Pasir Madur, Pacet, Ciparay, Kabupaten Bandung.
Acara dibuka oleh Juniarso Ridwan dengan narasumber lainnya, Yayat Hendayana dan Dada Rosada sendiri. Tampak hadir di sana Ayi Vivananda, Dede Mariana, Aom Kusman, Dana Setia, Dadang Bainur, Bucky Wikagoe, Bambang Subarnas, Edi Siswadi, Tjetje Hidayat Padmadinata, jajaran pemerintahan, serta Bappeda Kota Bandung. Petang itu pula baru diketahui bahwa acara berpokok kepada pembahasan lanjutan dari semiloka budaya yang telah berlangsung sebelumnya tentang pembentukan panitia persiapan pembangunan sentra seni di daerah Ujungberung yang sebelumnya "dirangsang" dengan pedaran hasil penglihatan Juniarso Ridwan dan Yayat Hendayana pada gedung seni serta area wisata Shenzhen di subprovinsi Cina Selatan.
Saya yang semula hanya bisa duduk di luar forum karena "terusir" oleh petugas dan tak dapat mengikuti forum pembicaraan mencatat sekurangnya tiga hal.
Pertama, terasa ada energi kesungguhan dari Dada Rosada untuk merealisasikan iktikadnya membangun sentra seni Kota Bandung. Ini dibuktikan dengan pertemuan petang di Madur yang berjarak sekitar tujuh tahun lalu dengan pembicaraan pertama di kantor balai kota. Pada pertemuan 2002-2003, saya termasuk yang menolak rencana pembangunan tersebut; mengingat seperti yang kemudian masih banyak juga disitir sejumlah teman seniman lain, bahwa sejumlah gedung seni yang ada relatif terbengkalai serta sejumlah alasan lain. Melihat konsistensi hingga pertemuan Madur tersebut, setidaknya terpahami bahwa Dada Rosada tidaklah main-main dan/atau beriktikad besar untuk memajukan kesenian, kehidupan seniman, serta pariwisata Kota Bandung.
Kedua, sesungguhnya banyak, terutama dari pernyataan Dada Rosada, tetapi dengan langsung saja melihat rujukan pembicaraan seperti petang hingga malam itu kepada Shenzhen; setidaknya terbaca bahwa ada semacam gagas/rancangan besar sekaligus jangka panjang di balik keinginan membangun Ujungberung itu.
Ketiga, mulailah tampak bahwa pusat persoalannya ternyata bukanlah pada menerima atau menolak iktikad tersebut, melainkan dan/atau yang jauh lebih penting adalah tentang apa dan bagaimana kiranya itu bisa diwujudkan.
**
PADA petang hingga larut malam di Madur, Dada Rosada beberapa kali menyatakan bahwa dia bersama jajarannya melakukan studi banding ke Shenzhen itu bukan artinya akan membuat Ujungberung menjadi Shenzhen. "Ini sebagai rangsangan saja bahwa orang lain bisa membuat seperti itu. Kita memiliki sumber daya seni yang melimpah mestinya bisa pula berbuat seperti mereka," katanya sambil menambahkan bahwa hendaknya yang direncanakan tetap dengan melihat potensi diri kita sendiri. Itu senada dengan yang dinyatakannya pada "Silaturahmi Seniman dan Budayawan" di lapang Alun-alun Kecamatan Ujungberung, Minggu (17/2/2008). Wali Kota yang saat itu mempersembahkan tanah seluas 10 hektare bagi masyarakat seni menyatakan, "Agar seniman dan budayawan di Bandung bisa melakukan kegiatan seperti warga Kota Shenzhen. Pusat seni Kota Shenzhen sangat menarik wisatawan untuk datang, sehingga tidak kurang 24 juta wisatawan datang tiap tahun ke sana, dan itu sumber pendapatan yang cukup besar."
Polyteater Shenzhen yang dikunjungi Dada Rosada, Juniarso Ridwan, dan Yayat Hendayana, adalah gedung yang terletak di Jalan Houhaibin, Distrik Nanshan; merupakan bagian dari pusat budaya sekaligus wilayah komersial di Shenzhen. Gedung berkapasitas 1.500 tempat duduk itu dilengkapi dengan tiga teras dan delapan balkon yang mengelilingi pentas utama. Luas keseluruhannya 1.700 meter persegi. Sumber ChinaTourNet menyebutkan, seluruh bagian panggung polyteater tersebut dilapisi reflektor akustik sehingga bisa menghasilkan efek suara yang sempurna.
Kelompok korporasi China Poly yang berpusat di Beijing, menurut ChinaTourNet, menginvestasikan jutaan dolar AS untuk gedung teater baru di Shenzhen ini, dan pembangunannya memakan waktu tiga tahun. Sumber yang sama menyebutkan bahwa bersamaan dengan pendewasaan dan pertumbuhan masyarakat lokal serta pertumbuhan kebutuhan akan seni dan hiburan, Shenzhen kini menjadi pasar pertunjukan bernilai tinggi bahkan menjadi penyelia hiburan nomor wahid bagi Cina.
Yang perlu dicatatkan di sini, Polyteater Shenzhen bukanlah "benda" yang terpencil dan apalagi berdiri sendiri, melainkan salah satu bagian dari sebuah penataan menyeluruh di keluasan wilayah 2.020 kilometer yang terdiri atas enam kabupaten yang letaknya tak jauh dari perbatasan Hong Kong. Wilayah yang semula dikenal sebagai tempat pemancingan ini, mulai 1979 memang dibangkitkan oleh kepemimpinan Deng Xiaoping untuk menjadi Zona Ekonomi Khusus (SEZ) yang utama di Cina manakala Hong Kong masih menjadi bagian teritorial Inggris. Sejak jauh hari, wilayah Shenzhen sudah dijadikan tanah percobaan untuk mempraktikkan pasar kapitalisme yang disandingkan dengan idealisme sosialis yang menjadi karakteristik Cina.
Itulah gambaran yang betul-betul serba sekilas, tetapi demikian bisalah kiranya memberikan gambaran bahwa "gedung kesenian" yang kita bicarakan itu ternyata merupakan salah satu dari sebuah rancangan besar, bagian dari evolusi perkotaan yang berlangsung selama tak kurang dari 30 tahun. Di balik itu adalah kepemimpinan Deng Xiaoping yang visioner sekaligus mengefektifkan betul kekuatan garis perintah polit-biro sehingga semua masyarakat pengusaha hingga jelata "manut" kepada garis perintahnya.
**
KITA sendiri sudah mulai sering mempercakapkan rangkaian kata "industri kreatif". Tak kurang dari Marie Elka Pangestu yang menjadi Menteri Perdagangan Kabinet Indonesia Bersatu hingga sejumlah menteri dan pejabat pemerintahan lainnya kerap pula mengucapkan kata "industri kreatif" tersebut. Anehnya, semua nyaris berlaku sama dengan mengucapkan kata tersebut akan serta merta menjadi tuah lantas segera menjadi kenyataan.
Semuanya pun sama memusatkan perhatiannya kepada produk kreatif dengan pandangan seolah nantinya akan muncul keajaiban berupa lahirnya produk unggulan yang bisa menembus dan menjadi kenyataan. Padahal persoalan utamanya bukanlah pada produk seni. Dalam berbagai hal, negeri kita ini berkelimpahan karya seni. Ini berarti bahwa produk kreatifnya sendiri sudah melimpah, yang sempit dan tak juga membuka adalah ruang hidup dan/atau pasar bagi kelimpahan produk seni tersebut.
Maka, pada zaman baru seperti sekarang ini, yang harus dilihat bahwa seni yang melimpah tersebut ke depannya mau tak mau akan menjalani dua cara hidup yang berbeda. Kepada pengertian "industri kreatif", itu akan lebih berkenaan dengan jalan seni yang terencana. Yang dimaksud terencana di sini, tidak semata-mata berpusat kepada keseniannya melainkan perencanaan menyeluruh yang bisa menyangkut berbagai segi kehidupan. Contoh Shenzhen pada pembicaraan kita, jelas sekali memperlihatkan logika perencanaan ini. Di balik polyteaternya itu ternyata melibatkan kebijakan politik dari polit-biro hingga pengembangan unsur-unsur kehidupan lainnya.
Sementara materi keseniannya, dalam beberapa hal bersumberkan kepada seni yang pada awal mulanya tumbuh secara alamiah, yaitu kesenian-kesenian tradisi Cina. Akan tetapi karena ia berada pada suatu tataran rencana (desain) besar, sumber-sumber alamiah tadi mengalami redesain, penataan baru, cara penyajian yang serba baru, cara mempromosikan, dan menjual yang baru.
Sesungguhnya semua yang diinginkan itu amat mungkin menjadi kenyataan di Bandung. Namun bergantung pada ada atau tidak adanya sejumlah orang yang siap jadi "domba adu" sebagai metafora bagi mereka yang memiliki daya tahan, memiliki konsep yang kuat, serta bisa meyakinkan bahwa yang direncanakan itu akan bermanfaat bagi publik. Faktor berikutnya adalah "waktu". Seperti yang juga saya katakan malam itu bahwa masa jabatan wali kota itu tak akan cukup, membutuhkan keberlanjutan proses panjang yang sekurang-kurangnya 20 tahun ke depan. Deng Xiaoping yang mendesain Shenzhen pun tak sempat mengenyam hasilnya karena keburu wafat pada 19 Februari 1997.***
Herry Dim, pelukis, pekerja teater, pengamat kebudayaan Bandung
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 11 Juli 2010
No comments:
Post a Comment