HANYA beberapa jam setelah upacara pemakamannya, Senin (5/7), sejumlah seniman dan aktivis kesenian di Bandung berkumpul di Taman Cikapayang Dago, Bandung. Seolah belum cukup mengucapkan doa di Sirnaraga, mereka merasa perlu berkumpul di taman itu demi melakukan doa bersama. Doa bagi seseorang yang telah pergi lebih dulu. Seseorang yang mereka sebut sebagai kawan, sahabat, kakak, bahkan guru. Seseorang yang tak henti memikirkan bagaimana hendaknya agar kota kelahirannya, Bandung, benar-benar menjadi kota dengan identitas budayanya. Seseorang, yang demi itu semua, terus diganggu oleh berbagai ide dan kerja untuk menciptakan agar seni dan budaya itu benar-benar menjadi event di tengah warga kotanya.
Seseorang itu bernama Wawan Juanda. Nama yang tak bisa dipisahkan dari sejumlah event seni budaya yang terjadi di Bandung. Bahkan, yang telah menjadi penanda penting dari identitas kota ini, dari mulai Dago Festival, Braga Music Day, Festival Bambu, Festival Rempah-rempah, dan sejumlah event seni budaya lainnya di Bandung. Nama yang selalu meninggalkan kesan tersendiri di antara para seniman dan aktivis budaya.
Dari mulai sosok tubuhnya yang tegap, suara tertawanya yang keras, atau kehangatannya menyapa dan mengajak siapa pun bercakap-cakap tentang ide-ide agar kota ini sungguh menjadi kota yang memiliki identitas budaya yang kreatif. Ia selalu meyakini bahwa sebagai kota urban, Bandung menyimpan banyak potensi kreatif seni budaya. Ia selalu bersemangat menyebut bahwa potensi inilah yang harus digerakkan oleh warga kotanya. Tidak melulu terus menggerutui berbagai institusi yang memang mesti dimaklumi keterbatasan dan kodrat kecerdasannya.
Bahkan, dua tahun sebelum banyak orang kini demam "Bandung 200 Tahun", setiap pagi ia sudah berada di Toko You milik Sonny Soeng di kawasan Dago. Ia mengirim SMS dan menelefon sejumlah orang untuk mengundangnya datang pada acara yang dinamakannya "Jamu Morning". Minum jamu pagi-pagi sambil bertukar gagasan tentang sejumlah event untuk menjadi dua abad Kota Bandung.
Untuk yang satu ini, tak ada yang bisa melayani gagasan Wawan Juanda. Ide-ide dalam kepalanya tak ubahnya sumur yang tak pernah kering. Menariknya, tak hanya berhenti pada ide, dia mewujudkannya. Demi mewujudkan sejumlah ide itu, dia tak tertarik pada berbagai pandangan yang "mencurigainya", termasuk juga pada penilaian bahwa event yang diselenggarakannya itu kurang berhasil. Bagi Wawan, tampaknya bekerja mewudkan ide jauh lebih penting ketimbang memikirkan apa dan bagaimana orang memandang kerjanya serta menilai hasil akhirnya.
Di sini dia seolah mengajarkan bahwa hasil akhir bukanlah segala-galanya di hadapan keperluan mewujudkan ide tentang Kota Bandung, yang lebih sering hanya sekadar jargon. Bahkan, dia pun tetap tenang hati ketika sejumlah ide dan gagasannya "diambil" pihak-pihak lain. Baginya, melaksanakan ide jauh lebih penting ketimbang mempertengkarkan dari mana dan siapa yang menelurkan ide itu.
Festival Kota (City Festival) merupakan mimpinya agar kota ini memiliki penanda yang tegas untuk menyebut dirinya Kota Seni Budaya. "Bandung ini rumit karena kegamangannya. Pengalaman saya di Jakarta, itu sangat jelas, misalnya, pendekatannya lebih bisnis. Ini ada dana sekian, bisa dikeluarkan silakan, bisa dipakai dan silakan jalan. Mereka full support. Di Yogyakarta lain lagi, pemerintah daerah memfasilitasi penuh, "Silakan mau bikin apa, kami bantu, termasuk tempat dan perizinannya." Kalau mereka tidak bisa berikan uangnya, mereka mengidentifikasi sumbernya dari mana saja. Nah, kalau di Bandung ini kegamangannya tidak terbuka seperti itu. Tidak berani profesional bisnis pendekatannya, keterbukaannya tidak ada, dan lebih banyak ketertutupannya," katanya mengeluh suatu hari.
Bertemu dan berbincang-bincang dengan Wawan Juanda adalah semangatnya yang selalu meluap ketika menyinggung percakapan tentang Bandung dan festival. Ia tampaknya selalu merindukan kota ini bisa memiliki penanda yang bisa menjadi penanda dari Kota Bandung. Sebaliknya ia juga selalu tertawa terbahak ketika banyak orang membuat berbagai acara keramaian untuk lantas memberinya label "festival".
"Tidak semua keramaian harus jadi festival, kendati memang kata ’festival’ artinya pesta," ujar alumnus Fakultas Hubungan Internasional Unpad yang kerap mengunjungi berbagai negara untuk menghadiri berbagai festival ini.
Lalu, di Taman Cikapayang sore itu, satu per satu seniman mengemukakan sejumlah pandangannya ihwal sosok Wawan Juanda dan hubungannya dengan Kota Bandung. Di mata Tisna Sanjaya, lewat Dago Festival, Wawan Juanda adalah orang pertama yang telah membuat kota ini macet oleh kesenian, setelah setiap hari Bandung dibuat macet oleh budaya konsumsi. Bahkan Tisna merasa perlu menamsilkan Wawan Juanda dengan striker elegan Argentina, Messi, pembagi bola yang andal, mesin berbagai program seni budaya di Bandung.
Mendekati malam, setelah menuliskan usulan agar Taman Cikapayang yang terletak di Jln. Ir. H. Djuanda itu diubah namanya menjadi Taman Wawan Juanda, acara ditutup dengan doa dan teriakan serempak dalam lingkaran yang khusyuk, seolah memanggil seseorang yang telah lebih dulu pergi, "Kawan!!" Selamat jalan, Kang, maafkan kami. Segera menyusul, masih berbenah seperti juga kota yang kita sayangi ini. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 11 Juli 2010
No comments:
Post a Comment