Sunday, July 18, 2010

[Refleksi] Achdiat

-- Djadjat Sudradjat

(SEORANG) penulis Atheis wafat dalam suasana religiusitas yang tinggi. Jenazahnya disemayamkan di sebuah masjid dan didoakan banyak jemaah. Di rumahnya, di Canberra, Australia, yang jauh dari tempatnya lahir, ada tahlil digemakan. Mereka meyakini dalam iman yang kuat bahwa doa akan mengantarkan si mati pada pada jenjang yang tinggi.

Dia Achdiat Kartamihardja, yang kita kenal sebagai Achdiat K. Mihardja, seorang Sunda yang tak mungkin disembunyikan. Tak hanya bicara bahasa Indonesia yang kental dialek Bumi Priangannya, tapi juga nilai ke-Sunda-an yang ia bawa. Orang Sunda ini meninggal dan dikuburkan di Negeri Selatan, Australia, yang hampir setengah abad ditinggalinya. Inilah cara Achdiat memberi sumbangsih pada negeri kelahirannya.

Di Negeri Kanguru itu ia mengajar sastra dan budaya Indonesia, dunia yang ia cintai. Dan, ia memang bersedia merantau jauh karena tawaran merintis Indonesian Studies Departement di Australian National University. Ia pun mendedikasikan separuh hidupnya sebagai guru. Ia pensiun sebagai Lektor Kepala di universitas yang kemudian banyak mahasiswa Indonesia belajar di situ.

Almarhum Soe Hok Gie gemar mengutip soal takdir kematian seperti ini: "Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Kedua dilahirkan dan mati muda. Yang terburuk adalah dilahirkan dan berumur panjang."

Saya tak sepenuhnya sepakat. Achdiat dilahirkan dan berumur panjang, 99 tahun. Ia tak sial sama sekali. Ia justru menjadi manusia yang pepak. Pria kelahiran Batu, Garut, Jawa Barat, 11 Maret 1911, ini tak punya riwayat yang cemar. Senarai riwayat hidupnya sejak ia sekolah menengah atas di Bandung dan Solo baik belaka. Juga ketika menjadi pengajar di Perguruan Taman Siswa dan menjadi redaktur Balai Pustaka, Bintang Timur, Paninjauan, Gelombang Zaman, Kemajuan, Spektra, Pujangga Baru, Konfrontasi. Ia terus membaca, mengedit, menulis, dan bergerak di bidang kebudayaan. Aktivitas yang ia yakini sebuah khidmat untuk menyelamatkan peradaban.

Di awal 1960-an itulah ia terbang ke Bumi Kanguru, negeri yang beriwayat dihuni manusia berkarakter jakal. Achdiat berumah dan menutup mata di sana. Sebuah geografi yang kerap memantik kesalahpahaman baik yang laten maupun yang nyata.

Almarhum Subagyo Sastrowardoyo dalam artikel berjudul Polemik tentang Pengkajian Indonesia di Australia (1984), menggambarkan ketegangan itu. "...menurut kesaksian dan pengamatan saya kecenderungan yang kuat yang menguasai pikiran dan sikap di dalam pengkajian Indonesia di Australia mempunyai ciri anti-Indonesia." Tuduhan ini membuat marah sarjana seperti Anton Lucas, J.A.C. Mackie, dan David T. Hill. Indonesia, kata Mackie, selalu mengembuskan kabar buruk bahwa Australia sebagai negeri yang angkuh dan plin-plan (erratic). Dan, seperti biasa, syak wasangka akan melahirkan kesalahpahaman yang lain.

Achdiat seorang diri tentu tak bisa menjadi tirta yang mendinginkan. Tapi, sekurangnya bisa mengurangi agar api tak terlalu besar menyala dan membakar mereka yang bercuriga.

***

SAYA tak mengenal nama Achdiat ketika di sekolah menengah, terlebih lagi ketika sekolah dasar. Sastra Indonesia dalam dunia pendidikan, waktu itu, memang terlalu didominasi nama-nama, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Chairil Anwar. Achadiat adalah nama yang saya kenal kemudian ketika di perguran tinggi.

Jika bukan karena Atheis, mungkin saya tak terlalu terpesona pada penulis ini. (Karya yang lain seperti novel Manifesto Kalifatullah dan beberapa buku kumpulan cerpen, seperti Keretakan dan Ketegangan, Belitan Nasib, Pembunuh dan Anjing Hitam, tak punya bekas yang dalam). Buat saya, Atheis serupa teror atas iman. Atas aksioma agama yang saya pahami dari sebuah dusun di Banyumas, dari guru-guru agama di surau. Mereka adalah orang-orang yang menjelaskan surga-neraka dengan iman yang tunak, warisan turun-temurun yang belum lekang. (Mungkin lebih tepat, karena mereka tak tahu bagaimana sebuah syiar agama yang membuat umat menjadi "berpikir" dan bukan "takluk".

Atheis bercerita seorang alim yang jadi mungkar. Hasan, pelakon utama Atheis, berasal dari keluarga yang menjadikan agama sebagai fondasi. Ayahnya di Garut penganut aliran tarekat. Semula Hasan menekuni pula apa yang dilakukan sang ayah. Tetapi, ketika ia bekerja di Bandung, kelurusan imannya goyah.

Adalah Rusli, Anwar, Parta, orang-orang kiri itu, (juga Kartini) yang menjadi pesona dan membuat hidup Hasan menjadi berubah. Ia melepas keimanannya yang pagan. Ia tak lagi percaya pada agama --yang menurut Karl Marx-- bagai candu itu. Ia pun menentang ayahnya. Ia bahkan mengawini Kartini, penganut kebebasan.

Ada sesal Hasan di akhir cerita berbingkai itu. Sesal pada sang ayah, pembimbing jalan lurus yang menjadi sakit dan berpulang tanpa sudi memaafkan Hasan yang ingkar. Dendamnya yang tak termanai pada mereka yang menyesatkan (terutama Anwar), justru mengantarkan lelaki yang bimbang itu pada kematian. Dengan dendam tinggi, Hasan tak menghirau tanda bahaya. Di malam pekat itu sebutir peluru tentara patrololi (pendudukan Jepang) mengakhiri hidupnya.

"Hasan jatuh tersungkur. Darah menyerobot dari pahanya. Ia jatuh pingsan. Peluru senapan menembus daging pahanya. Darah mengalir dari lukanya, meleleh di atas betisnya. Badan yang lemah itu berguling-guling sebentar di atas aspal, mermandikan darah. Kemudian dengan bibir melepas kata "Allahu Akbar", tak bergerak lagi..."

Sebuah epilog yang tak terduga dari novel yang menggoda. Kaum konservatif menuduh Achdiat sebagai "perusak iman", sedangkan kalangan komunis, menghujat Achdiat melemahkan etos rasionalisme. Dan, begitulah, sastra yang bernilai memang kerap menjadi kontroversi. Wajar jika ia diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan dibicarakan sepanjang zaman, jauh melintasi usia pengarangnya.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Juli 2010

No comments: