DALAM sejarah sastra nusantara, pantun termasuk jenis puisi klasik dalam kategori sastra lisan. Jika dalam perkembangannya kemudian dituliskan dalam bentuk buku, itu tidak lebih dari upaya pendokumentasian. Hingga kini pantun sebagai sastra lisan yang sifatnya spontan diucapkan masih hidup di kalangan masyarakat di berbagai pelosok di Indonesia. Berikut ini merupakan salah satu contoh pantun Melayu yang isinya mengandung nasihat sekaligus nilai-nilai filosofis dalam hidup bermasyarakat dan bahkan bernegara. Sirih junjung sirih pinang/ Sirih kami susun bertingkat/ Adat dijunjung pusaka dikenang/Bangsa berbudi hidup muafakat.//
Di tatar Sunda, jenis puisi demikian disebut dengan sisindiran. Sebab yang disebut pantun dalam sastra Sunda, dalam hal ini carita pantun, adalah sejenis prosa lirik yang di dalamnya mengandung unsur-unsur magis dalam tubuh pengisahan, misal Pantun Lutung Kasarung. Contoh: Aya roda dina tanjakan,/ katinggang ku pangpung jengkol./ Aya ronda gogoakan,/katinggang ku hulu kohkol.//
Sejenis pantun di dalam sastra Sunda ada juga yang disebut paparikan. Kata (kecap) paparikan berasal dari kata parék yang berarti "dekat" dalam pengertian bahwa kata-kata yang dirakit dalam dua baris pertama (sampiran) dan dua baris kedua (isi) memiliki kedekatan bunyi (rima) yang ketat pula hitungan suku kata yang dipakainya. Boboko ragrag di imah,/ Ninggang kana pileuiteun/ Mun bogoh montong ka sémah/ Ari anggang sok leungiteun.//
Lepas dari persoalan tersebut, dalam perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia modern, jejak pantun masih bisa kita rasakan dalam puisi yang ditulis oleh penyair dari Angkatan Pujangga Baru, dengan tokohnya antara lain Amir Hamzah. Namun dalam puisi Amir Hamzah apa yang disebut sampiran (dua baris pertama) dan isi (dua baris kedua) dalam pantun, tidak sejelas pantun dimana sampiran dan isi saling bertautan, sekalipun apa yang ditulis dalam sampiran tak ada hubungannya dengan isi selain diikat oleh rima sebagai benang merahnya. Dalam puisi Amir Hamzah, kalau tidak isi ya sampiran semuanya. Apa yang dipertahankan dalam puisinya itu hanya napas pantun.
**
Berkait dengan pantun, Rabu kemarin (30/6), wartawan senior H. Sofyan Lubis meluncurkan buku yang diberi judul Pantun Asal-asalan ala Bang Sofyan di Hotel Kedaton, Jln. Suniaraja, Bandung. Pantun yang ditulis mantan Ketua PWI Pusat ini adalah jenis puisi klasik nusantara. Sampiran dan isi saling bertautan dengan rima yang terjaga. Salah satu pantun: Kecubung batu dari Asahan/ Cantik disanding dengan berlian/ Berhubung segera mulai ramadhan/ Salah dan khilaf mohon dimaafkan.//
Dalam percakapannya, H. Sofyan Lubis mengatakan, dewasa ini pantun masih digunakan orang untuk berbagai kepentingan, baik untuk kepentingan meminang maupun untuk kepentingan menutup acara-acara penting yang bermuatan politik atau tidak. Sebagai contoh pada 9 Februari 2010 lalu di Palembang, dalam Hari Pers Nasional, terjadi perang pantun antara Ketua Umum PWI Margiono, yang saat menutup laporannya berujar: Sri Mulyani makan sirih/ Sampai di sini terima kasih//.
"Gubernur Sumsel Alex Nurdin tak ingin kalah gengsi dalam menutup pidatonya, lalu ia pun berujar: Bunga Selasih di atas nampan/ Terima kasih wartawan//. Demikian juga Menteri Kominfo Tifatul Sembiring tak ingin kalah gengsi mengucap pula pantun: Bulan Ramadan bulan selamat/ Bulan Zulhijah bulan haji/ Kalau salam tidak dijawab/ Kita ulangi sekali lagi// yang dilanjutkan dengan ucapan: Pak Sofyan membawa tasbih/ Cukup sekian terima kasih//" tutur Sofyan Lubis.
Menurut dia, Presiden Bambang Susilo Yudhoyono dalam kesempatan itu juga tak ingin kalah bersaing, ia berpantun pula: Burung kedasih dari Pagaralam/ Hinggap ke Sekayu/ Terima kasih para wartawan/ Dan thank you//. "Pantun tidak mati, masih hidup. Ia kekayaan budaya kita," kata Sofyan Lubis menutup pembicaraannya. (Soni Farid Maulana/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 11 Juli 2010
No comments:
Post a Comment