Judul buku : Rahasia Selma
Penulis : Linda Christanty
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, April 2010
Tebal : ix + 121 halaman.
TAK selamanya rumah menjadi wilayah ideal sebagaimana dikonsepsikan banyak orang. Lewat sejumlah media, acap kita pergoki beragam fakta kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang justru terjadi dalam rumah dan dilakukan orang-orang terdekat. Umumnya yang jadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Banyak sastrawan membidik fakta-fakta buruk yang bertaburan macam ini dan membingkainya dalam karya sastra.
April lalu, Linda Christanty menerbitkan kumpulan cerita terbaru, Rahasia Selma. Buku ini merangkum 11 cerpen yang mayoritas sudah dipublikasikan di media massa nasional. Jika dibuat daftar cerpenis perempuan di negeri ini dengan karya-karya yang berkualitas, Linda layak termasuk di dalamnya. Sebelumnya, kumpulan cerpennya Kuda Terbang Mario Pinto meraih Khatulistiwa Literary Award 2004 untuk kategori buku fiksi Indonesia terbaik.
Membaca cerpen pembuka buku ini, berjudul Pohon Kersen, serupa menyaksikan potongan-potongan kisah; tentang tokoh anak yang gemar membaca buku sambil duduk di batang pohon kersen, relasi kakek dan penjual ikan yang bukan lagi sekadar penjual-pembeli, Yu Ani dan Mak Sol yang kalah dalam urusan asmara. Sisi kelam tokoh anak ini adalah dia menjadi korban kekerasan seksual Husni, orang yang dikenal dan tinggal serumah kemudian memanfaatkan tubuhnya dengan imbalan meminjamkan komik atau buku. Cerpen lain yang membongkar ulang konsep ideal tentang “rumah”, bisa disimak dalam cerpen Kesedihan, yang berkisah tentang wanita dan pria yang sudah berpisah tapi masih tinggal serumah.
Lama berdomisili di Aceh, ihwal tanah rencong pun tak luput dari cermatan Linda. Tahun 2008, bukunya yang berjudul Dari Jawa Menuju Atjeh mendapat apresiasi positif dari banyak kalangan. Dalam buku ini pun, ada beberapa cerpen berlatar wilayah yang pernah menjadi ladang permainan konflik itu, misalnya Para Pencerita dan Drama. Dalam kedua cerpen ini, Linda membidiknya dari kacamata penduduk biasa. Penindasan kaum minoritas yang masih terus terjadi di negeri ini, coba diangkat Linda lewat cerpen Kupu-Kupu Merah Jambu. Berkisah tentang seorang waria yang menghidupi diri lewat jalan prostitusi. Hidup di antara tuntutan perut, cemooh orang-orang, dan rentan bahaya, membuatnya teralienasi dari lingkungan. Di akhir kisah, tokoh dalam cerpen ini mengakhiri hidup seorang pelanggan dengan membunuhnya. Dalam cerpen ini, Linda cerdik mengakomodasi napas surealis dengan menggunakan metafora lelaki bertato ular dan si waria bersayap kupu-kupu.
Karakteristik cerpen-cerpen Linda kuat. Linda menganggit narasi teks-teks cerpennya dengan teliti, detail, dan penuh perhitungan. Disusun dengan narasi merambat pelan dan menimbulkan kesan mencekam. Ada tafsir baru di balik lapis cerita-ceritanya yang mengajak kita membuka lagi pemikiran terhadap isu gender dan relasinya dengan norma dan kehidupan sosial.
Ketika dunia kian modern, ditunjang dengan fasilitas teknologi serbacanggih, kecenderungan menjadi individualis menjangkiti manusia, apa pun penyulutnya. Bahkan bisa saja terkesan absurd. Orang-orang kesepian, butuh ruang kosong, ingin berbagi, mencoba menjadi orang lain, menetaskan semacam fenomena masyarakat yang "sakit". Ini bisa ditemukan dalam cerpen penutup berjudul Babe. Cerpen ini berisi narasi tokoh wanita yang berkenalan dengan seorang lelaki, menikah, punya seorang anak yang hilang, serong dengan empat pria berlatar belakang berbeda. Dan aneh (atau sakitnya?), semua itu hanya terjadi di dunia maya, bukan dalam kenyataan.
Sebagian besar tokoh-tokoh perempuan dalam buku ini mengalami nasib atau ingatan buruk. Potongan demi potongan cerita dijalin lamat-lamat oleh Linda dengan komposisi teks dan diksi terukur. Dalam buku ini kita temukan sejumlah cerpen bertema feminisme yang muram dan penuh cekam, bahkan jauh dari hiruk pikuk perjuangan kesetaraan hak dan gender. Dan semua diselesaikan dengan cara mereka sendiri: diam saja, memilih jalan aman yang cenderung perih, menelan dan merahasiakan apa yang dialaminya. Mereka, para korban ini, tak berkeinginan mengadu ke pihak lain demi memperjuangkan haknya. Mengutip kalimat penutup di cerita Pohon Kersen : bahwa kenangan-kenangan selalu kembali; ihwal-ihwal macam inilah yang mungkin saja menjadi luka ingatan dan trauma akut di kemudian hari bagi si korban.
Arman A.Z., Pembaca buku
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Juli 2010
No comments:
Post a Comment