Saturday, July 31, 2010

[Teroka] Kekuasaan: Adab Pesisir dalam Kuasa Pedalaman

-- Munawir Aziz*

DALAM sejarahnya, relasi intelektual dengan kekuasaan sering kali memberi kabar getir. Masa depan intelektual Indonesia–sebagaimana masa lalunya—belum bisa luput dari kekangan kuasa. Kisah-kisah intelektual sebagai penghamba kuasa melebihi apa yang disebut Gramsci sebagai intelektual organik. Kaum intelektual asketis sering terpojok ketika rombongan intelektual selebriti hadir dalam genggaman citra dan godaan kuasa.

Mental yang terbangun dalam situasi kaum intelektual Indonesia semacam itu memberi kita fakta bahwa warisan sejarah kolonialisme dan kuasa kerajaan pedalaman masih menancap kuat hingga hari ini.

Dalam sebuah studinya, Yudi Latif (2005) pernah coba melacak historiografi intelektual Indonesia untuk membuka fakta bagaimana kerangka pikir dan produk kreatif kaum intelektual. Ia menemukan bagaimana perselingkuhan antara kolonialisme, kuasa, dan kaum intelektual menjadi landasan bagi produk-produk pemikiran abad ke-20.

Dengan kata lain, mental inlander ternyata masih kuat menyelesap di kalbu kaum intelektual Indonesia. Kultur kolonial berhasil membentuk sikap pasrah dan tunduk para intelektual kepada semua titah kuasa. Ruang kuasa disulap sebagai ruang gemerlap yang saling diperebutkan. Sebuah ”arus balik” dari mentalitas elite kita jika dibandingkan, katakanlah, dengan masa Kerajaan Majapahit (pra-kolonialisme Eropa) yang dipenuhi ketangguhan, kemandirian, dan geniusitas yang orisinal.

Semua ”kebesaran” Majapahit itu luntur, bahkan lenyap ketika kekuasaan berpaling ke daerah pedalaman.

Kuasa pedalaman

Kekuasaan pedalaman ditengarai monumen awalnya pada riwayat tampil dan berdirinya kekuasaan Jawa di tangan Jaka Tingkir. Dari jejak kuasa Jaka Tingkir, Kerajaan Mataram jilid dua berjaya hingga kini di beberapa hal tertentu. Para pengamat kerap merujuk masa Mataram untuk menganalisis situasi mutakhir politik Indonesia.

Bangkitnya kekuasaan Jaka Tingkir (cq pemerintahan Mataram) juga mengungkapkan kemunduran kuasa dan adab pesisiran di Pulau Jawa. Sebuah adab kuasa yang dibangun kerajaan-kerajaan purba di Nusantara hingga dimahkotai oleh Majapahit bersama Gadjah Mada dan terakhir dalam kegemilangan Kerajaan Demak—bukti terakhir saat adab maritim masih menjadi pilar utama kekuatan manusia Indonesia.

Jaka Tingkir membangun Pajang dengan kekerasan setelah Demak mundur. Pusat kerajaan digeser lebih ke dalam, ke daerah pegunungan. Sebuah arus balik terjadi: adab maritim menjadi adab pedalaman yang menciptakan konsekuensi pada kehidupan intelektual dan kebudayaan pada umumnya.

Nancy K Florida (2003) mengamati Jaka Tingkir memang berjasa membentuk Kerajaan Pajang lewat bangunan kekuasaan yang mapan di pedalaman. Masa itu Gadjah Mada membangun Majapahit dengan imajinasi pesisiran, dengan mental petarung-pelaut yang gigih menyatukan Nusantara.


Pesisiran: imaji Nusantara

Ruang teritorial Nusantara dalam kuasa Majapahit disatukan dengan imajinasi maritim dan mental pesisiran. Jawadwipa, seperti dijelaskan sejarawan Perancis, Denys Lombard, dalam kitabnya, Nusa Jawa: Silang Budaya, dilukiskan sebagai titik penting—menghubungkan berbagai arus silang kuasa dan budaya. Jawa menjadi ruang persilangan, percampuran, dan hibridasi segala bentuk ekspresi dan produk kultural, ekonomi, politik, dan agama.

Jawa pada masa itu mampu menjadi tonggak dan pusat dalam imajinasi adab dan kultural bangsa-bangsa di Nusantara. Jawa dan pulau lain menjadi kesatuan dalam imajinasi Nusantara. Jejak peradaban Jawa yang panjang dan heroik ini sebenarnya yang menjadi salah satu kunci tentang realitas dan eksistensi manusia Indonesia.

Lombard tetap menempatkan ”pesisiran” sebagai bagian utama tipografi Pulau Jawa, selain Sunda dan Jawa. Analisisnya berdasarkan pada kajian historiografis, sosiologis, dan antropologis menunjukkan, mental pesisiran manusia Indonesia menghadirkan sikap petarung yang kreatif, bloko suto (terbuka), egaliter, dan akomodatif pada kemajuan.

Sementara kultur kuasa di pedalaman cenderung menghadirkan sikap priayi yang feodal, menutup diri, dan takut kehilangan kuasa. Kekuasaan menjadi perebutan dan identitas yang justru memperlemah mental intelektual atau pejuangnya. Goenawan Mohamad (2003) menegaskan, penguasa Jawa cenderung mengejar ”takhta”, tetapi lupa memformulasi ”tata”.

Adab ”takhta” inilah yang kini menindih adab pesisir. Kuasa pedalaman menjadi warisan utama intelektual Indonesia yang terus sibuk dengan godaan kuasa dan gaya selebratikal.

Bisa jadi, pada hal terakhir itulah jalan terbaik kita temukan untuk keluar dari persoalan-persoalan hebat belakangan ini. Untuk merintis masa depan kita yang berjaya. Kita yang sebenarnya.

* Munawir Aziz, Penulis dan Peneliti Independen, Bermukim di Pati, Jawa Tengah

Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Juli 2010

Unescoitalia: Potret Kepedulian Warisan Budaya

Jakarta – Menjaga warisan budaya bukanlah hal mudah, namun juga bukanlah hal yang sulit dilakukan. Dibutuhkan pemahaman yang benar tentang betapa berharganya warisan budaya tersebut untuk dijaga turun-temurun.

Sebagian negara berhasil melakukannya, namun sebagian lagi tidak. Alhasil, tidak jarang warisan budaya itulah yang menarik minat wisatawan ataupun dijadikan model utama dalam pengembangan budaya masa kini.
Sebut saja Italia. Negara ini telah berhasil menjaga warisan peradaban lampau dan akan mewariskan kembali peradaban masa sekarang kepada ge­nerasi mudanya. Di negara ini terdapat 44 situs yang terdaftar dalam warisan budaya kemanusiaan UNESCO.

Situs yang dimiliki Italia ini merupakan yang terbanyak di dunia. Di dalam pameran “unescoitalia” di Galeri Foto Jurnalistik Antara yang digelar sejak 23 hingga 31 Juli ini, sebanyak 135 foto artistik karya fotografer Italia memperlihatkan kepedulian besar terhadap warisan budayanya.

Menara miring Pisa, Colo­seum, Basilika, dan bangunan serta taman-taman gaya Ro­mawi lainnya hanyalah bangunan yang sebenarnya sudah keropos dan terkesan angker.

Jika bukan karena usaha perawatan yang sedemikian rupa, dunia tidak akan mau mengaguminya dan menjadikannya tempat wisata favorit. Tidak hanya bangunan, melalui foto-foto tersebut dapat dilihat juga bahwa Italia memang mempertahankan suasana “jadul” penataan kota dan alam agar ikon sebagai kota peradaban Romawi Kuno melekat pada mereka.

Bangunan-bangunan bersejarah tersebut tidak berdiri gagah begitu saja. Ada unsur seni di dalamnya, baik dengan dinding yang digambar relief, lukisan-lukisan besar di atap-atap kaca, pemilihan warna dan pernak-pernik interior yang me­wah, sampai kepada struktur atap yang hampir selalu menye­rupai kubah. Terlihat juga bah­wa hampir semua bangunan bersejarah tersebut terbuat dari bebatuan. Hingga tak heran ada bagian dari beberapa bangunan dalam foto-foto tersebut keropos dan bahkan hilang.

Estetis

Uniknya, walaupun terlihat sudah tidak utuh lagi, ba­ngunan tua yang seolah-olah ingin runtuh tersebut tetap terlihat menarik berkat hadirnya tempat-tempat relaksasi dan juga belanja. Inilah estetika kebudayaan nenek moyang di masa silam.

Di dalam foto berjudul “City of Ferona” dan “Genoa: Le Strade Nuove and the System of Palazzi dei Rolli”, diperlihatkan bagaimana kedua bangunan yang sangat berbeda nuansanya, berdiri akur berdampingan. Yang kuno di­biarkan tetap menunjukkan kedewasaannya dan yang mo­dern sengaja didirikan agar yang kuno tadi tetap menarik untuk dikunjungi. Inilah yang membuat bangunan warisan tadi tidak memberi kesan menyeramkan dan membosankan untuk dikunjungi.

Satu hal yang menarik un­tuk dilihat di foto-foto ini ada­lah soal kebersihan. Hampir di semua sudut tempat warisan bersejarah Italia itu terlihat bersih dan terawat. Tidak terlihat sampah bertaburan atau­pun jamur khas bangunan tua yang lembab serta tata ruang kota yang apik menambah de­retan bukti kepedulian pemerintah dan masyarakat Italia akan warisan budaya mereka.

Indonesia harus belajar banyak. Jika peduli, Indonesia mungkin akan melewati pencapaian Italia untuk 44 situs ber­sejarahnya. Semoga saja. (cr-12)

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 31 Juli 2010

Pematung Nyoman Nuarta, Dapat Dukungan dari Cucu

-- Noor Amanah

MESKI menghadapi masalah pembongkaran patung "Tiga Mojang" karya miliknya, pematung Indonesia, I Nyoman Nuarta menyatakan dikuatkan oleh kata-kata cucunya yang berkata agar dirinya selalu bersabar dan mengharapkan sang kakek tetap berkarya meski saat ini sedang dirundung masalah.

"Awalnya saya tidak ambil pusing atas pembongkaran ini, namun setelah menerima telepon dari cucu yang masih bersekolah di Taman Kanak- Kanak, saya menjadi bersemangat dan akan memberi pencerdasan kepada mereka yang telah membuat preseden buruk bagi kesenian dan kebudayaan Indonesia," ujar Nyoman Nuarta, Sabtu saat diwawancarai lewat telepon selularnya.

Nyoman yang merupakan seniman Bali namun sebagian besar hidupnya dihabiskan di Bandung setelah lulus dari Institut Teknologi Bandung ini juga menyatakan akan memikirkan masalah ini ke jalur hukum. "Saya sangat terenyuh atas kata-kata cucu saya dan akan berjuang untuk dukungan yang diberikannya," ujarnya.

Selain dukungan dari cucu, istri dan anak-anaknya, Nyoman juga mendapat dukungan dari berbagai pihak di antaranya para politisi dan teman-teman untuk berjuang melawan perbedaan persepsi ini yang berujung pada pembongkaran patung "Tiga Mojang" yang dibuatnya dua tahun lalu. "Jika saya diam saja maka tidak mustahil patung-patung saya akan dibongkar dan ini akan menodai kebudayaan dan kesenian bangsa Indonesia, saya akan melawan dalam arti mencerdaskan dan memberi pelajaran tentang budaya dan berkesenian" ujarnya.

Ia menegaskan "Tiga Mojang" bukanlah patung "Bunda Maria" dan dirinya sama sekali tidak ada niat untuk melakukan "Kristenisasi" kepada masyarakat. "Patung ini adalah gambaran mojang priangan yang memakai kemben sebagai pakaian tradisional bukan Bunda Maria yang selalu dicerminkan memakai kerudung," katanya.

"Dari mana kristenisasinya, saya sangat tidak mengeri hal ini dan jika saya memang membuat patung Bunda Maria, apa salahnya karena Indonesia adalah Negara Pancasila meskipun dalam hal ini "Tiga Mojang" bukanlah "Bunda Maria"," tuturnya.

Nyoman yang dalam setiap wawancaranya selalu berapi-api tentang budaya dan kesenian Indonesia ini selalu menegaskan bahwa kebudayaan merupakan peluru yang paling ampuh untuk meningkatkan citra Indonesia di mata internasional yang selama ini seringkali dinilai terpuruk oleh bangsa lain dalam sisi politik, ekonomi dan keamanan. Pada Sabtu lalu, "Tiga Mojang" yang berada di perumahan elite Medan Satria Kota Bekasi, Jawa Barat akhirnya dibongkar setelah menjadi kontroversi karena dituding sebagai perlambangan Trinitas dan dianggap menyinggung perasaan umat Islam dan tidak memiliki izin. "Akhirnya patung thogut itu dilengserkan juga dan ini harus menjadi pelajaran bagi pengembang agar tidak seenaknya membuat patung yang menyinggung perasaan umat Islam apalagi tidak ada izin," demikian ungkap Ahmad dari Forum Anti Permurtadan Kota Bekasi yang merupakan salah satu unsur massa yang memprotes patung tersebut.

Patung yang telah dibongkar pada Sabtu pagi pekan lalu itu baru berhasil dirobohkan pada pukul 07.30 WIB dan baru pukul 10.00 WIB selesai proses pemindahan. Setelah digusur dari Bekasi, kini patung tersebut menjadi ikon sebuah hotel di Yogyakarta.

Anda sudah mengenal siapa Nyoman Nuarta?

Nyoman Nuarta, Merupakan salah satu sosok pematung terbaik yang di miliki bangsa Indonesia. Lahir di Tabanan, Bali, 14 November 1951. Putra Ke enam dari sembilan bersaudara, anak dari pasangan Wirjamidjana dengan Semuda ini mengawali karirnya di dunia seni ketika jurusan Seni Rupa ITB tahun 1972. Namun awalnya Nuarta Muda lebih memilih seni lukis. Tetapi perkuliahannya sudah berjalan dua tahun,

Nuarta pindah ke jurusan seni patung, Hal ini dikarenakan Nyman Nuarta merasa bakat serta kemampuan nya lebih berkembang di seni patung.

Karirnya melesat drastis ketika berhasil memenangkan lomba Patung Proklamator Republik Indonesia pada tahun 1979. Sejak saat itu beberapa karya fenomenal telah ia bangun yang tersebar hampir di seluruh Nusantara.

Salah satunya adalah Monumen Jalesveva Jayamahe, Karya Nyoman Nuarta ini terletak diujung Utara Surabaya, menggambarkan sosok Perwira TNI Angkatan Laut berpakaian PDU - 1 lengkap dengan pedang kehormatan menatap kearah laut berdiri tegak di atas bangunan gedung dengan ketinggian keseluruhan mencapai 60,6 m.

Monumen ini menggambarkan generasi penerus dengan penuh keyakinan dan kesungguhan siap menerjang ombak badai menuju arah yang telah ditunjukkan yaitu cita-cita bangsa Indonesia.

Garuda Wisnu Kencana, merupakan salah satu karya terbesar dari seorang Nyoman Nuarta, Pembangunan GWK ini memang benar-benar layak disebut mega proyek. Monumen GWK dibangun diatas kawasan taman budaya Garuda Wisnu Kencana yang terletak di Desa Ungasan, Jimbaran, Bali. Taman budaya Garuda Wisnu Kencana mempunyai luas keseluruhan sekitar 200 hektare. Monumen GWK ini diperkirakan tingginya sekitar 75 meter dan akan diletakkan di atas fondasi setinggi 70 meter. Dengan demikian, total tingginya akan mencapai 145 meter. Garudanya sendiri diperkirakan punya lebar bentangan sayap sebesar 66 meter. Kesemuanya secara total mempunyai berat sekitar 4000 ton.

Monumennya sendiri menggambarkan sosok Dewa Wisnu "Dewa penyelamat bagi umat Hindu" yang sedang mengendarai burung Garuda burung yang sering ada di mitos-mitos terinspirasi dari kisah Adi Parwa. Dari kisah ini yang diambil adalah episode Garuda yang memberikan kesetiaan dan pengorbanannya untuk menyelamatkan ibunya dari belenggu perbudakan. Hal itu dilakukannya dengan mengabdi kepada Dewa Wisnu, menjadi kendaraan bagi sang Dewa. Pada tahun 2000 Nyoman Nuarta juga mendirikan sebuah Taman Sculpture di daerah Bandung, NuArt Sculpture Park. Taman ini menempati lahan seluas 3 hektar, yang terdiri dari Sculpture Park, Gallery, Craft Boutique, Work Shop dan juga N CafC.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 31 Juli 2010

Friday, July 30, 2010

Media Massa: Kembangkan Bahasa Tak Tergantung Pusat Bahasa

Jakarta, Kompas - Bahasa Indonesia dalam pengembangan dan pengayaannya tidak boleh hanya bergantung pada Pusat Bahasa. Bahkan, setiap individu yang peduli bisa turut serta mengembangkan bahasa Indonesia, terutama dalam menemukan beragam istilah atau kata.

Demikian disampaikan Anton M Moeliono, Guru Besar Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa, dalam diskusi tentang bahasa jurnalistik yang digelar Forum Bahasa Media Massa (FBMM) bersama dengan Lembaga Kantor Berita Negara (LKBN) Antara di Jakarta, Kamis (29/7). Narasumber lainnya adalah Ketua Umum FBMM TD Asmadi dan Direktur Pemberitaan LKBN Antara Moehamad Saiful Hadi.

Anton memisalkan frasa ’pasar swalayan’, yang adalah pengindonesiaan dari supermarket, bukan ditemukan dan disosialisasikan Pusat Bahasa. Kata itu—dan juga banyak kata baru lain—merupakan bagian dari upaya warga dan institusi yang peduli dengan pengembangan bahasa Indonesia. Media massa memiliki peran yang penting dalam pengembangan bahasa Indonesia.

Oleh sebab itu, Anton meminta media massa memakai bahasa Indonesia yang dipakai masyarakat secara luas dan bukan menonjolkan dialek. Bahasa Indonesia saat ini dipergunakan dengan tak kurang dari 52 dialek.

Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang lebih luas, lanjut Anton, media massa sekaligus bisa mewujudkan idealismenya untuk mencerdaskan rakyat.

Asmadi mengakui, meski memiliki peran penting dalam pengayaan bahasa Indonesia, media massa masih acap kali melakukan kesalahan. Karena itu, wartawan sudah sepatutnya memahami benar bahasa sehingga tak melakukan kesalahan. (tra)

Sumber: Kompas, Jumat, 30 Juli 2010

Peluncuran Buku: Ashadi Siregar, Guru Kehidupan Banyak Tokoh

ASHADI Siregar, nama yang melegenda selama beberapa dasawarsa, Kamis (29/7) malam di Auditorium TVRI Pusat, Jakarta, benar-benar dikubak (dibedah) habis oleh kolega dan orang-orang yang pernah berguru kepadanya.

Dalam acara Bincang-bincang Malam bertajuk ”Dari Kampus Biru Memperadabkan Publik” yang isinya adalah membedah buku Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru yang diluncurkan semalam, tiga nama sumber, Pemimpin Redaksi Prisma Daniel Dhakidae, Direktur Yayasan SET Garin Nugroho, dan budayawan Emha Ainun Nadjib, mengakui kehebatan Ashadi Siregar.

Dipandu anggota Dewan Pers Agus Sudibyo, Dhaniel mengatakan sempat mempertanyakan kenapa pada judul buku ada kata penjaga akal sehat..., ”Padahal pekerjaan kami dulu merusak akal sehat. Tak pernah bermimpi dan berniat menjaga akal sehat. Tidak terlalu percaya perguruan tinggi bisa membuat kami cerdas sehingga kami buat kurikulum sendiri berupa seminar-seminar.”

Garin, yang mengaku berkali-kali membaca novel Cintaku di Kampus Biru (1974) dan berkali-kali menonton filmnya, menilai sosok Ashadi sebagai simbol Punakawan yang menghidupkan sosok ke-jawa-an dengan cara-cara dia.

”Melihat Ashadi dari depan seperti Semar, dari belakang seperti sosok Bagong, dari kanan menyerupai Petruk, dan dari kiri seperti Gareng,” katanya melukiskan.

Emha juga mengaku banyak berguru kepada Ashadi. ”Ashadi kebaikannya tidak ditampakkan kepada orang, tetapi orang yang harus mengejarnya,” katanya.

Menurut Emha, mempunyai kebanggaan tersendiri bisa bersama Ashadi. Kebanggaan yang sangat bersungguh-sungguh. Bangga atas kenyataan sejarah Ashadi Siregar dan keputusan-keputusan hidup beliau.

Sejumlah hadirin yang juga tokoh, ketika memberikan testimoni, juga mengakui Ashadi adalah guru kehidupan yang tidak menggurui. (NAL)

Sumber: Kompas, Jumat, 30 Juli 2010

Thursday, July 29, 2010

Wapres: Radikalisme dan Liberalisme Harus Diwaspadai

Jakarta, Kompas - Wakil Presiden Boediono mengingatkan agar di satu sisi para pelajar mewaspadai ajaran-ajaran radikalisme yang menyusup dalam dunia pendidikan. Akan tetapi, di sisi lain juga ikut mewaspadai bahaya liberalisme di berbagai hal, khususnya dalam bidang budaya.

Pandangan Wapres Boediono tersebut disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) Ahmad Syauqi saat ditanya pers seusai bertemu Wapres Boediono di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (28/7).

”Arahan Wapres, selain kita harus mewaspadai ancaman radikalisme agama yang bisa diinfiltrasi melalui dunia pendidikan, kita juga harus mewaspadai bahaya liberalisme yang salah satu contohnya adalah muncul video porno sehingga merusak karakter bangsa,” ujar Ahmad Syauqi.

Menurut Ahmad Syauqi, sebelumnya PP IPNU menyampaikan rencana Rapat Kerja Nasional PP IPNU yang akan membahas masalah ancaman radikalisme dalam dunia pendidikan, dekadensi moral, dan optimalisasi alokasi anggaran 20 persen untuk pendidikan.

”Ancaman radikalisme agama di domain pendidikan menghadapi tantangan baru, yaitu suburnya nilai-nilai radikalisasi melalui institusi intrasekolah yang berkedok bagian kerohanian. Organisasi di bawah OSIS di wilayah kajian keagamaan kini menjadi ruang potensial bagi suburnya penanaman nilai-nilai ajaran garis keras dengan pemahaman kaku. Pemahaman kaku dan parsial terhadap nilai keagamaan dapat mengancam fondasi nasionalisme dan kontraproduktif dengan semangat kebinekaan,” ujarnya.

Ahmad Syauqi juga mengatakan, beredarnya video porno artis menimbulkan keresahan dan harus diatasi segera agar tidak menimbulkan dekadensi moral dan karakter bangsa.

Tentang anggaran pendidikan 20 persen, Ahmad Syauqi juga menyatakan, alokasi anggaran pendidikan masih banyak dialokasikan untuk anggaran rutin dan bukan untuk substansi pendidikan. ”Akibatnya, besarnya alokasi dana pendidikan tidak berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusia pelajar kita,” ungkap Ahmad Syauqi.

(HAR)

Sumber: Kompas, Kamis, 29 Juli 2010

Wednesday, July 28, 2010

Festival Krakatau: Pesta Warga Lampung

-- Wisnu Aji Dewabrata

RIBUAN warga memenuhi Lapangan Saburai, Bandar Lampung, dan jalan-jalan di sekitarnya, Sabtu (24/7). Mereka antusias melihat arak-arakan Festival Krakatau XX yang panjangnya lebih dari 2 kilometer. Warga sudah menunggu sejak pukul 13.00 walaupun arak-arakan baru dimulai pukul 15.00.

Arak-arakan dalam Festival Krakatau XX, Sabtu (24/7) di Bandar Lampung, Lampung, diikuti parade gajah. Arak-arakan itu diikuti ribuan peserta dari 14 kabupaten/kota di Lampung. Festival Krakatau digelar untuk memperingati letusan Gunung Krakatau tahun 1883 dan menarik wisatawan ke Lampung. (KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA)

Bagi warga Lampung, Festival Krakatau merupakan salah satu agenda yang selalu dinantikan setiap tahun. Festival yang sudah diselenggarakan selama 20 tahun itu masih memiliki daya tarik yang besar hingga saat ini.

Festival Krakatau diselenggarakan untuk memperingati letusan Gunung Krakatau pada tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883.

Letusan Gunung Krakatau menimbulkan awan panas setinggi 70 kilometer dan tsunami setinggi 40 meter. Letusan gunung yang terletak di Selat Sunda, tetapi secara administratif masuk wilayah Lampung, tersebut menewaskan sekitar 36.000 orang.

Selain untuk memperingati tragedi yang memilukan itu, Festival Krakatau juga bertujuan menarik wisatawan berkunjung ke Provinsi Lampung.

Festival Krakatau XX berlangsung pada Sabtu-Minggu (24-25/7). Tahun ini Festival Krakatau agak berbeda dengan kegiatan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya.

Festival kali ini diwarnai dengan pemberian gelar adat kepada Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, Ketua DPRD Lampung Cik Marwan Hasan, dan Ketua Majelis Penyeimbang Adat Lampung Qadarsah Irsa.

Prosesi pemberian gelar berlangsung di Mahan Agung, yaitu rumah dinas Gubernur Lampung di Bandar Lampung. Prosesi dilakukan dengan serangkaian upacara adat Lampung, di antaranya mengarak para penerima gelar menggunakan kereta kuda.

Adapun arak-arakan Festival Krakatau dimulai dari Jalan Jenderal Sudirman, kemudian masuk ke Lapangan Saburai. Di lapangan tersebut telah berdiri panggung utama dengan ornamen kepala gajah.

Di depan panggung utama berdiri tenda VIP. Di tenda tersebut duduk para tamu undangan, di antaranya Duta Besar Yunani, Brunei, Filipina, Belgia, dan Singapura.

Lebih meriah

Zainudin (64), warga Bandar Lampung, mengutarakan, Festival Krakatau tahun 2010 lebih meriah ketimbang Festival Krakatau tahun sebelumnya.

”Festival Krakatau tahun ini lebih meriah karena diikuti peserta dari 14 kabupaten/kota. Tahun sebelumnya jumlah peserta karnaval tidak sebanyak tahun ini,” kata Zainudin yang setiap tahun selalu menonton Festival Krakatau bersama cucunya.

Menurut Zainudin, akan lebih baik kalau Festival Krakatau diselenggarakan dua kali setahun. ”Sebenarnya kami ini haus hiburan. Kalau bisa diselenggarakan lebih dari sekali dalam setahun juga bagus,” ujarnya.

Evi (38), juga warga Bandar Lampung, mengutarakan, karnaval Festival Krakatau akan lebih menarik jika para pesertanya melakukan atraksi. Evi melihat para peserta karnaval hanya berjalan kaki atau menari dan memainkan musik seperlunya. ”Kalau cuma jalan kaki, terlihat kurang menarik,” katanya.

Evi menyayangkan kurangnya publikasi mengenai Festival Krakatau XX. Seandainya publikasi lebih gencar, Festival Krakatau tahun ini dipastikan lebih meriah, kata Evi.

Melihat Krakatau

Puncak acara Festival Krakatau adalah melihat Gunung Anak Krakatau hari Minggu (25/7). Para tamu undangan menggunakan kapal feri dari Pelabuhan Bakauheni menuju ke Gunung Anak Krakatau.

Di perairan sekitar Gunung Anak Krakatau, perahu-perahu kecil yang dihiasi bendera telah disiapkan untuk menyambut kedatangan para tamu.

Namun, feri yang mengangkut tamu tidak bisa mendekat ke Gunung Anak Krakatau sehingga para tamu VIP hanya bisa menikmati keindahan gunung dari kejauhan.

Siang itu Gunung Anak Krakatau terlihat indah dengan semburan asap yang tingginya mencapai ratusan meter. Asap berwarna kelabu bergulung-gulung ke angkasa.

Di kaki Gunung Anak Krakatau, puluhan warga Pulau Sebesi yang merupakan pulau terdekat dengan Gunung Anak Krakatau dengan antusias menunggu kedatangan feri.

Festival Krakatau disambut dengan sukacita oleh warga Lampung di Bandar Lampung dan di tengah lautan, seperti warga Pulau Sebesi. Festival Krakatau adalah pestanya warga Lampung!

Sumber: Kompas, Rabu, 28 Juli 2010

Pindahkan Ibu Kota

-- A Sonny Keraf*

KEMACETAN Jakarta dan sekitarnya, yang menjadi sorotan utama Kompas dalam beberapa hari terakhir, kiranya tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomis (Kompas, 26/0710). Kerugian yang dialami juga menyangkut kerugian sosial dan psikis.

Secara psikis, Jakarta sangat tidak sehat, bukan saja karena terjadi polusi yang parah, melainkan juga karena kemacetan di jalan raya menimbulkan berbagai tekanan psikologis atau stres.

Demikian pula, secara sosial, kemacetan di jalan membuat relasi sosial menjadi penuh konflik, tidak saja di antara para pengendara di jalan, tetapi juga berdampak sampai ke kantor dan rumah tangga. Hubungan sosial penuh ketegangan akibat beban psikis yang dialami di jalan.

Oleh karena itu, sesungguhnya Jakarta bukan hanya sebuah kota yang sangat tidak ramah lingkungan, melainkan juga sangat tidak ramah secara sosial dan psikis. Dengan kondisi seperti itu, kiranya pembenahan transportasi umum, termasuk perluasan, penambahan, dan keterpaduan atau sinergi transportasi umum tidak akan banyak membawa hasil memadai. Itu hanya solusi jangka pendek sementara.

Yang dibutuhkan untuk jangka panjang adalah terobosan lebih radikal dan revolusioner. Kami mengusulkan tiga solusi. Sembari membenahi transportasi umum dan solusi lain yang bersifat tambal sulam, kendati sangat perlu, ketiga solusi harus segera diputuskan pemerintah pusat.

Pindahkan ibu kota

Usul pertama, pindahkan ibu kota. Ini usul dan langkah paling radikal. Banyak negara melakukan itu dan berhasil mengatasi kemacetan di ibu kota negaranya. Bung Karno, presiden pertama, telah berpikiran visioner menyiapkan Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sebagai calon ibu kota RI sejak 1960-an.

Melanjutkan visi Bung Karno, sebaiknya ibu kota baru berada di luar Jawa, khususnya di Indonesia bagian timur. Ada banyak keuntungan positif untuk itu.

Pertama, pemindahan ibu kota jangan dilihat sebagai beban ekonomi karena besarnya dana yang dialokasikan. Ini harus dilihat sebagai peluang ekonomi yang sangat menggiurkan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang yang akan mengerjakan persiapan, pembangunan, dan relokasi ibu kota tersebut. Akan dibutuhkan waktu 5-10 tahun untuk realisasi, dan itu peluang ekonomi yang sangat baik.

Kedua, dari segi politik, pemindahan ibu kota ke luar Jawa dan Indonesia bagian timur (IBT) akan serta-merta menggeser episentrum pembangunan nasional dari Jawa dan Indonesia bagian barat (IBB). Ini akan menjadi sebuah langkah dan peluang pemerataan pembangunan ke IBT untuk memberi kesempatan lebih besar bagi berkembangnya wilayah luar Jawa, khususnya IBT.

Ketiga, selain untuk mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya, ini sekaligus menjadi peluang untuk membangun sebuah ibu kota baru dengan tata ruang, jaringan, dan pola transportasi yang jauh lebih ramah lingkungan, ramah secara sosial dan psikis, atau jauh lebih manusiawi.

Kita bangun ibu kota baru dengan sistem transportasi multimoda yang ramah lingkungan, nyaman, aman, dan mudah dijangkau. Kita bangun sebuah ibu kota baru dengan hutan kota yang asri, tempat-tempat rekreasi umum yang ramah secara sosial, dengan berbagai fungsi sosial yang futuristik untuk kehidupan modern tetapi dengan warna etnik yang khas.

Pilihan di Kalimantan lebih diutamakan mengingat Kalimantan bebas dari pusat gempa.

Penyebaran kementerian

Usul kedua yang jauh lebih moderat, semua kementerian disebar ke berbagai wilayah RI sesuai dengan kondisi berbagai provinsi kita. Ambil saja sebagai contoh, Kementerian Kehutanan di Kalimantan atau Papua. Kementerian Kelautan dan Perikanan di Ambon. Kementerian Perindustrian di Surabaya. Kementerian Pendidikan di Yogyakarta.

Kemudian Kementerian Pariwisata di Bali. Kementerian Perdagangan di Jakarta atau Batam. Kementerian ESDM di Kalimantan atau Sumatera. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal di IBT agar benar-benar fokus pekerjaannya lebih diarahkan untuk pembangunan daerah tertinggal di IBT. Dan seterusnya.

Cara ini akan menarik berbagai pihak untuk mendesentralisasikan usaha atau minimal kantor pusatnya mengikuti kantor kementerian tadi untuk memudahkan kegiatan usahanya. Maka, tak lagi semua perusahaan berkantor pusat di Jakarta.

Dari segi tata kelola pemerintahan, tidak ada banyak kendala karena berbagai rapat kabinet bisa dilakukan secara jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi komunikasi modern.

Pembatasan

Kalau usulan kedua masih dianggap merepotkan karena berbagai kendala teknis menyangkut koordinasi lintas kementerian, usul ketiga yang sangat soft adalah pembatasan pembangunan di beberapa bidang. Namun, ini merupakan sebuah keharusan paling minim yang tidak boleh tidak segera dilaksanakan.

Tepatnya, usul ini berupa larangan bagi pembangunan baru untuk minimal tiga bidang. Pertama, tidak boleh ada lagi penambahan pembangunan mal atau pusat perbelanjaan baru di Jakarta. Apabila perlu, tidak boleh ada lagi penambahan mal baru di Jabodetabek. Dengan larangan ini, tidak akan ada lagi penambahan urbanisasi tenaga kerja baru ke Jakarta untuk bekerja di pusat-pusat perbelanjaan dan pertokoan tersebut.

Kedua, tidak boleh ada lagi hotel baru dibangun di Jakarta. Dengan otonomi daerah, seharusnya berbagai kegiatan pemerintahan telah dilaksanakan di daerah. Oleh karena itu, seharusnya daerahlah yang didorong membangun hotel baru sejalan dengan bergeraknya uang ke daerah.

Ketiga, sudah saatnya pembangunan universitas baru dilarang di Jakarta dan sekitarnya. Dengan jalan itu, pemerintah berketetapan untuk mengembangkan universitas baru, negeri dan swasta, yang berkualitas dan murah di daerah. Tenaga-tenaga dosen muda di daerah diberi kesempatan memperoleh pendidikan lanjutan di luar negeri untuk kembali mengajar di daerah.

Sementara dosen-dosen berkualitas di Jawa diberi kesempatan mengajar di daerah dan tidak perlu berpusat di Jakarta atau Jawa. Dengan jalan ini, putra-putra daerah, para calon mahasiswa, bisa mendapat peluang memperoleh pendidikan tinggi di daerahnya sekaligus mengabdi di daerahnya setelah lulus kelak.

Ketiga usulan mengandaikan persoalan kemacetan Jakarta harus diputuskan pada level pemerintah pusat, presiden dan kabinet, dengan melibatkan DPR. Ini harus menjadi sebuah keputusan politik nasional yang akan sangat menentukan nasib Jakarta dan nasib bangsa seluruhnya ke depan.

A Sonny Keraf, Pemerhati Lingkungan Hidup, Dosen Universitas Atma Jaya Jakarta

Sumber: Kompas, Rabu, 28 Juli 2010

Mengenang Muhammad Syaifullah: Mengingatmu, Teringat Jurnalisme Investigasi

Mengingatmu, teringat segala ilmu dan pengalaman yang engkau ajarkan tentang hidup, fakta, dan jurnalisme investigasi. Selamat jalan Bang...

Demikian komentar salah seorang temannya dalam akun Facebook Muhammad Syaifullah (43), Kepala Biro Kompas Kalimantan, yang Senin (26/7) ditemukan di rumah dinasnya di Balikpapan, Kalimantan Timur, dalam kondisi sudah meninggal dunia.

Keluarga dan kerabat serta warga mengikuti proses pemakaman wartawan Kompas Muhammad Syaifullah di makam keluarga Desa Gambah Dalam Barat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Selasa (27/7). Muhammad Syaifullah ditemukan meninggal Senin, 26 Juli 2010, di rumah dinas di Balikpapan, Kalimantan Timur. (BANJARMASIN POST/APUNK ANWAR)

Lebih dari 100 ucapan belasungkawa yang muncul di akunnya itu. Semua mengenang dan mendoakan almarhum agar diterima di sisi-Nya.

Ucapan belasungkawa tersebut mengalir mengiringi kepergian Syaifullah, anak sulung dari tiga bersaudara.

Jenazah Ful—demikian panggilan akrabnya di Kompas—kemarin pukul 10.45 dimakamkan di samping makam ayahnya, Haji Sabran, di pemakaman keluarga di Desa Gambah Dalam Barat, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Lebih dari 100 warga dan kerabat hadir pada acara itu. Kandangan adalah tanah kelahirannya.

Jenazah almarhum diberangkatkan dari Rumah Sakit Bhayangkara, Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin pukul 21.30, melalui jalan darat. Sekitar pukul 09.00 jenazah tiba di rumah duka di Jalan Ahmad Yani, Kilometer 125 Simpang Lima, Tumpangtalu, Kandangan.

Sekitar pukul 10.00 jenazah dibawa ke Mushala Darur Falah untuk dishalatkan. Dari sini jenazah kemudian diberangkatkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir, yang berjarak sekitar 2 kilometer.

Ibu almarhum, Maahrita (68), istri almarhum, Isnainijah (41), serta sejumlah keluarga ikut mengiringi. Isnainijah sempat tidak sadarkan diri selepas melihat peti suaminya dibuka, sebelum dimasukkan ke liang lahat. Ibu almarhum pun demikian. Ia sempat pingsan begitu proses pemakaman dan doa selesai dilakukan.

M Ridwan, paman almarhum, menuturkan, keluarga pada prinsipnya menerima kepergian Syaifullah dengan ikhlas. ”Semua yang terjadi sudah menjadi kehendak dan suratan Tuhan Yang Mahakuasa. Semua sudah ada waktunya untuk berangkat ke hadapan Ilahi.”

Masalah lingkungan

Menjadi bagian dari harian Kompas pada tahun 1996, dan selanjutnya ditugaskan menjadi Kepala Biro Kalimantan per 15 Februari 2008, Syaifullah bisa dibilang kemudian menjadi ”faktor” Kalimantan.

Kami menggunakan istilah faktor karena sejak ia memimpin teman-teman Kompas di Kalimantan, topik besar tentang kerusakan lingkungan, termasuk yang berkaitan dengan pertambangan batu bara awal tahun ini, dapat diangkat secara nasional.

Berita itu sekaligus membuktikan bahwa kerusakan lingkungan alam yang parah memang terjadi di Kalimantan, terutama di Kalimantan Timur. Hasil investigasinya bersama teman-teman Biro Kalimantan tergolong berhasil memengaruhi kebijakan pengelolaan lingkungan di tingkat nasional.

Namun, tulisan-tulisan soal lingkungan yang tajam itu tak mustahil pula membuat sejumlah kalangan gerah.

Topik lain berskala nasional yang antara lain juga dapat dipanggungkannya dan berdampak nasional adalah terkait penerbangan di seluruh Kalimantan. Sejumlah kota dan kabupaten akhirnya bisa mengembangkan jaringan penerbangan meskipun masalah transportasi udara bukan masalah sederhana dan cepat selesai.

Laboratorium forensik

Kepergiannya yang mendadak memang banyak yang mempertanyakannya. Oleh karena itu, otopsi pun dilakukan.

Hingga kini penyebab meninggalnya masih terus diselidiki di Surabaya, Jawa Timur. Kepala Polresta Balikpapan Ajun Komisaris Besar Aji Rafik, kemarin siang, mengizinkan Kompas menyertakan dokter untuk memantau proses pengujian.

Pukul 14.15, dua anggota Polresta Balikpapan, yakni Inspektur Satu Teguh Sanyoto dan Brigadir Iswanto, yang disertai seorang wartawan Kompas berangkat dengan pesawat Batavia Air ke Pusat Laboratorium Forensik Surabaya dengan membawa sampel 19 organ tubuh Syaifullah. Sampel diterima di Puslabfor Surabaya pukul 14.55 waktu setempat.

”Kami sudah menerimanya dan akan melakukan pemeriksaan kira-kira dua hari,” kata Kepala Puslabfor Cabang Surabaya Komisaris Besar Bambang Wahyu Suprapto.

Sebagai langkah awal, pihaknya terlebih dulu mengecek daftar jenis sampel organ dan jaringan yang sudah diterima. Pemeriksaan baru bisa dilakukan setelah sampel tersebut dikeringkan dari rendaman alkohol.

Pemeriksaan, menurut Bambang, dilakukan di dua tempat. Selain di Puslabfor Cabang Surabaya, sebagian organ diperiksa di Instalasi Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum dr Soetomo, Surabaya.

Kenangan tentang Ful semalam juga dilangsungkan di Redaksi Kompas, Jakarta.

Selamat jalan Ful... semoga engkau juga menemukan kedamaian yang abadi....

(WER/AHA/BEE/HRD/MUL)

Sumber: Kompas, Rabu, 28 Juli 2010

Kekerasan pada Anak: Keruntuhan Bangsa Tinggal Tunggu Waktu

Jakarta, Kompas - Kasus-kasus kekerasan dan intimidasi terhadap anak yang terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat menunjukkan kondisi anak kian memprihatinkan. Padahal, anak-anak inilah yang menentukan nasib bangsa ini pada masa depan.

Saat ini anak Indonesia tidak lagi bisa memperoleh rasa aman dan nyaman di mana pun ia berada karena haknya terabaikan dan mereka tidak terlindungi.

Demikian dikemukakan Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi dan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait, Selasa (27/7).

”Kekerasan terhadap anak sudah di luar akal sehat, seperti pembunuhan anak oleh ibunya. Selain fisik, anak juga mengalami kekerasan psikis dengan tidak terpenuhinya hak anak untuk bersuara dan berkarya,” ujarnya.

Berdasarkan catatan terakhir Komnas PA, kasus kekerasan terhadap anak pada 2009 meningkat menjadi 1.998 kasus yang diadukan kepada Komnas PA dari 1.736 kasus pada 2008. Sekitar 62,7 persen dari 1.998 kasus itu merupakan kekerasan seksual (sodomi, pemerkosaan, pencabulan, dan incest), sementara sisanya berupa kekerasan fisik dan psikis.

Jika fenomena kekerasan anak terus terjadi, Seto Mulyadi khawatir, anak-anak akan tumbuh dengan rasa dendam dan berperilaku kekerasan.

”Mereka akan sama-sama memaksakan kehendak. Tidak ada budaya dialog. Jika begini terus, kita tinggal tunggu runtuhnya bangsa ini. Saya khawatir Indonesia bisa bubar,” ujarnya.

Sebelum itu terjadi, menurut Seto, cara pandang dan pendekatan dalam menangani anak harus diubah. ”Kita terjebak pada paradigma lama. Mendidik anak dengan kekerasan agar anak disiplin dianggap hal yang wajar. Ini yang keliru dan harus diubah,” ujarnya.

Gerakan nasional

Untuk menciptakan rasa aman dan nyaman bagi anak, kata Arist, perlu ada gerakan nasional melawan kekerasan dan kekejaman terhadap anak yang dimulai dari tingkat RT/RW.

Struktur masyarakat di tingkat itu bisa menyelamatkan anak dengan melaporkan tindak kekerasan anak di dalam keluarga kepada pihak yang berwajib.

”Sayangnya, kesadaran untuk itu masih minim. Persoalan yang terjadi di dalam keluarga dianggap sebagai urusan internal keluarga,” ujar Arist.

”Kalau di sekolah, seharusnya komite sekolahlah yang bisa melindungi anak,” ujarnya.

Sekolah tak melindungi

Jika berbicara soal komite sekolah, Jumono dari Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, menyesalkan, banyak komite sekolah justru tak melindungi dan memperjuangkan hak anak karena menjadi perpanjangan tangan kepala sekolah.

Sekolah yang seharusnya menjadi zona aman dan nyaman bagi anak berbalik menjadi zona penuh ancaman dari guru dan kepala sekolah.

Hal ini terbukti dari kasus intimidasi di Sekolah Dasar Negeri Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional 012 Rawamangun, Jakarta. ”Dari pengaduan para orangtua yang kami terima, intimidasi terhadap anak terjadi ketika orangtua mempertanyakan kebijakan sekolah. Padahal, anak tidak boleh terkena dampak dari urusan orang dewasa,” katanya. (LUK)

Sumber: Kompas, Rabu, 28 Juli 2010

Indonesia Mencemaskan

JAKARTA, KOMPAS - Kondisi Indonesia dewasa ini dan ke depan amat mencemaskan. Banyak kalangan masyarakat kita bertahun-tahun belakangan ini merasakan dan mengeluhkan tentang martabat bangsa yang mengalami kemerosotan signifikan dalam berbagai bidang.

Akibatnya, banyak di antara warga bangsa tidak lagi merasa bangga sebagai bagian integral negara bangsa Indonesia. Mereka mengalami dislokasi dan disorientasi dalam kehidupannya. Banyak kalangan masyarakat tak lagi tahu tempatnya yang sepatutnya sehingga berbenturan satu sama lain penuh sikap curiga.

Ketua Palang Merah Indonesia HM Jusuf Kalla dalam pidatonya pada Memorial Lecture Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang digelar Akademi Jakarta, Selasa (27/7) malam di Taman Ismail Marzuki, memaparkan dengan jernih tentang lunturnya martabat bangsa.

”Hanya dengan kemajuan ekonomi yang mendorong kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya, bangsa kita bisa memiliki kebanggaan diri dan martabat yang baik ke dalam maupun ke tengah pergaulan antarbangsa. Karena itu, perlu dikoreksi dan diluruskan arah pembangunan ekonomi kita,” katanya.

Jusuf Kalla menegaskan, tinggi rendahnya martabat bangsa juga terkait pencapaian dalam bidang-bidang lain yang harus didukung kemajuan dan kekuatan ekonomi. Kita akan disegani bangsa-bangsa lain dan memiliki martabat tinggi jika unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertolak dari riset-riset serius. Juga karya-karya seni budaya yang agung serta kehidupan agama dan spiritualitas yang istikamah, juga prestasi olahraga.

”Kita hendaknya melakukan riset tidak hanya untuk kepentingan ilmu, tetapi lebih-lebih untuk meningkatkan nilai tambah berbagai produk kita sendiri sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

Menurut mantan Wakil Presiden ini, pendidikan kita semestinya menanamkan cara pandang dunia yang positif, mencerahkan, dan visioner tentang kekayaan seni-budaya, tradisi, dan kebudayaan bangsa. Pendidikan lebih dari sekadar transfer ilmu pengetahuan, keahlian, dan keterampilan. Pendidikan merupakan tempat dan lokus sangat strategis untuk menyemai serta menanamkan harkat dan martabat diri sejak dini dan berkelanjutan.

Pendidikan dasar semestinya lebih berorientasi ke dalam, tidak berorientasi keluar melalui eksperimen semacam sekolah bertaraf internasional yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.

Seharusnya pendidikan dasar lebih menekankan penggunaan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan. Bahasa bukan sekadar soal bertutur kata yang baik, melainkan menyangkut kemampuan menyusun logika, alur pikiran atau sistematika berpikir, sehingga dapat dipahami orang lain dengan baik.

Hanya pendidikan dasar yang berorientasi ke negeri sendiri yang bisa memberi penanaman nilai-nilai menyangkut karakter, jati diri, dan martabat bangsa.

Menurut dia, kita memerlukan kepemimpinan bermartabat (leadership with dignity) yang pada gilirannya memainkan peran sangat penting dalam membangun harkat dan martabat diri bangsa keseluruhan.

Untuk itu, setiap pemimpin mesti memiliki kepercayaan diri kuat yang membuat dia berani mengambil keputusan dan tindakan. Siap menanggung risiko dari setiap langkah dan keputusannya. Pemimpin yang dapat membangun martabat bangsa adalah pemimpin yang mampu menjadi inspirasi, sekaligus membangkitkan imajinasi kreatif warga bangsa. (NAL)

Sumber: Kompas, Rabu, 28 Juli 2010

Tuesday, July 27, 2010

Obituari: Wartawan yang Santun Itu Telah Tiada

BALIKPAPAN, KOMPAS - Wartawan sekaligus Kepala Biro Kompas Kalimantan Muhammad Syaifullah kembali ke hadapan-Nya pada usia 43 tahun. Almarhum ditemukan telah meninggal dunia di rumah dinasnya di Perumahan Balikpapan Baru Blok S II Nomor 7, Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (26/7) pagi.

Muhammad Syaifullah (BANJARMASIN POST)

Almarhum pertama kali ditemukan oleh Wahyu Hidayat, rekan almarhum (mantan wartawan Trans TV di Balikpapan) dan Tri Widodo (wartawan SCTV di Balikpapan), sekitar pukul 09.00, dalam posisi telentang di atas karpet di depan televisi di ruang keluarga. Tangan kanan almarhum masih memegang remote televisi. Wajahnya membiru, serta keluar busa dari mulut dan sedikit darah dari hidung.

”Saya ditelepon Pak Benny B Prasetyo (wartawan RCTI di Samarinda) pukul 07.30. Lalu pukul 08.00 ditelepon Mbak Isnainijah (istri almarhum). Keduanya meminta saya menengok rumah yang ditempati Mas Ful karena teleponnya tidak diangkat oleh almarhum,” ujar Wahyu, yang kemudian menelepon Tri Widodo. Keduanya lalu memeriksa ke rumah dan mendapati almarhum sudah tiada.

Almarhum tinggal sendiri di rumah itu sejak diangkat sebagai Kepala Biro Kompas Kalimantan dua tahun lalu. Istrinya, Isnainijah Sri Rohmani (41), serta dua putri mereka, Nadila Amajida (12) dan Najmi Izza Sabrina (6), masih tinggal di Banjarmasin.

Syaifullah, yang menunaikan ibadah haji dua tahun lalu, kerap menulis masalah lingkungan dan pertambangan di Kalimantan, terutama kerusakan hutan, penebangan kayu liar, dan penambangan batu bara.

Syaifullah terakhir kali mengirim berita ke Redaksi Kompas di Jakarta tentang tanah longsor di Tarakan, Sabtu lalu pukul 19.15. Pada hari Minggu pukul 15.00, Syaifullah tidak dapat dihubungi ketika dikontak dari Desk Nusantara di Jakarta.

Sementara Isnainijah melakukan kontak terakhir dengan almarhum Sabtu pukul 22.00. Namun, hari Minggu hingga malam, ia tidak dapat menghubungi telepon seluler Syaifullah. Telepon rumah pun tidak diangkat.

Senin pagi, Isnainijah meminta beberapa wartawan rekan almarhum di Balikpapan dan Samarinda mengecek rumah.

Menurut Isnainijah, sebelum meninggal almarhum tidak menyampaikan keluhan. ”Namun, ia memiliki penyakit hipertensi,” ujarnya.

Semalam, pukul 21.22, jenazah Syaifullah diberangkatkan dari Balikpapan menuju kampung halaman di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, melalui jalan darat, untuk dimakamkan di sana pada hari ini.

Dalam perjalanan yang akan memakan waktu 10 jam itu, Isnainijah mengatakan, ia ikhlas menerima kepergian suaminya.

Penyakit lama

Bagian Kedokteran dan Kesehatan Rumah Sakit Bhayangkara Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Timur menyatakan, Muhammad Syaifullah meninggal dunia karena penyakit lama. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban.

Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Rumah Sakit Bhayangkara Kepolisian Daerah Kaltim Komisaris Besar Djoko Ismoyo menyatakan itu Senin malam. ”Ini masih hasil sementara karena masih menunggu hasil pemeriksaan organ di bagian forensik Surabaya,” katanya.

Dari otopsi ditemukan adanya penggumpalan darah di otak, yang memicu pecahnya pembuluh darah. ”Dengan melihat kondisi jantung dan ginjal, kami sementara ini menyimpulkan bahwa penyebab kematian adalah karena penyakit kronis yang diderita sejak lama,” tutur Djoko.

Terkait dengan busa di mulut Syaifullah, menurut Djoko, karena lidahnya menyumbat tenggorokan.

Di Jakarta, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi mengungkapkan, dari 18 item hasil otopsi, tim forensik tidak menemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuh Syaifullah.

Kepala Polresta Balikpapan Ajun Komisaris Besar A Rafik mengatakan, di tubuh almarhum tidak ditemukan tanda-tanda bekas penganiayaan. Di dekat jasad almarhum terdapat obat sakit kepala dan gelas berisi sedikit sirup.

Barang-barang almarhum diamankan polisi, antara lain tas berisi dua kamera, dompet, dua telepon seluler, dan obat-obatan.

Selidiki serius

Sehubungan dengan meninggalnya Syaifullah, beberapa kalangan menduga hal itu terkait dengan berita yang dibuatnya. Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers Agus Sudibyo, misalnya, meminta Polri serius menyelidiki dan mengungkap kasus kematian Syaifullah.

”Sekarang kan banyak kecurigaan terutama di masyarakat. Kematian Syaifullah ada kaitannya dengan pemberitaannya selama ini soal perusakan lingkungan hidup dan aktivitas pertambangan batu bara yang merusak hutan,” ujar Agus.

Secara terpisah, Ketua Bidang Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin, di Jakarta, menyatakan prihatin atas meninggalnya Syaifullah. ”Sebaiknya menunggu hasil otopsi. Polri harus terbuka dan menyampaikan hasil penyelidikan apa adanya,” katanya.

Ketua Umum Perhimpunan Jurnalis Indonesia Ismed Hasan Putro pun mengharapkan meninggalnya Syaifullah diinvestigasi. Sementara Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mengatakan turut berbelasungkawa.

(AHA/WER/FER/DWA/ TRA/SF/MAM/ARN)

Sumber: Kompas, Selasa, 27 Juli 2010

Presiden: Jangan Takut Kehabisan Seniman

Gianyar, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono optimistis bangsa Indonesia tidak akan pernah kehabisan seniman dan budayawan. Karena itu, Presiden berharap pendidikan setingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu pengetahuan, tetapi juga tempat membangun karakter bangsa.

”Jangan khawatir kekurangan seniman. Karena itu, anak-anak di sekolah TK (taman kanak-kanak), SD (sekolah dasar), dan SMP (sekolah menengah pertama) tidak hanya diisi dengan pengetahuan saja, tetapi juga meningkatkan karakter menjadi manusia unggul,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pidato Lomba Cipta Seni Pelajar Tingkat Nasional V di Istana Tampak Siring, Gianyar, Bali, Senin (26/7).

Di sela-sela perlombaan, Presiden dan Ibu Ani Yudhoyono berkeliling melihat anak-anak berkarya. Sebanyak 231 anak SD dan SMP dari 33 provinsi berlomba di empat kategori, yakni cipta lukis, cipta lagu, cipta puisi, dan cipta batik. Tema lomba adalah Dengan Seni dan Budaya Membangun Karakter Bangsa.

Suasana pengumuman pemenang menjadi kacau setelah Ketua Dewan Juri Putu Wijaya salah membacakan salah satu nama pemenang dari lomba cipta lagu tingkat SMP. Kesalahan ini menyebabkan Agustina Eka Wulandari dari SMP 1 Wonosari, Yogyakarta, menangis dan kecewa. Ibu Ani Yudhoyono memeluk Eka dan menenangkannya.

Presiden menjanjikan semua anak akan mendapat penghargaan setara pemenang. ”Semua karya adalah luar biasa,” kata Presiden. Ketua Dewan Juri Putu Wijaya mengaku bersalah dan meminta maaf. (AYS)

Sumber: Kompas, Selasa, 27 Juli 2010

Beli Lisensi Asing Tidak Tepat

Jakarta, Kompas - Keinginan pemerintah membeli lisensi asing untuk didistribusikan ke seluruh rintisan sekolah bertaraf internasional bukan jawaban tepat. Persoalan yang mendasar di sekolah jenis itu adalah ketidaksesuaian antara kualitas dan tingginya biaya pendidikan.

Demikian ditegaskan Lody Paat dari Koalisi Pendidikan ketika dihubungi, Senin (26/7) di Jakarta. ”Yang harus dievaluasi pemerintah justru kualitas pendidikannya. Bukan hanya pada tata kelolanya. Solusinya bukan dengan membeli lisensi asing. Sebelum membeli, harus dikritisi terlebih dahulu apakah kurikulum asing itu sesuai dengan budaya kita,” ujarnya.

Dunia pendidikan, terutama sekolah, kini menjadi arena bisnis jual-beli, termasuk jual-beli kurikulum asing untuk sekolah-sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Hasil evaluasi sementara menunjukkan, biaya pendidikan RSBI mahal, antara lain, karena harus membeli lisensi asing.

Oleh karena itu, salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah adalah pembelian lisensi asing oleh pemerintah yang kemudian akan didistribusikan ke semua RSBI. Namun, langkah ini kurang tepat karena tak menyentuh persoalan mendasar RSBI, yakni mutu pendidikan yang tidak sesuai dengan mahalnya biaya pendidikan RSBI.

Kurikulum asing yang digunakan di RSBI, kata pengamat pendidikan Jimmy Paat, kerap digunakan mentah-mentah tanpa disesuaikan lebih dahulu dengan budaya Indonesia. Padahal, di setiap kurikulum pendidikan selalu berlandaskan budaya negara di mana kurikulum itu dibuat.

”Ini kacau sekali. Pemerintah tidak memerhatikan siapa yang akan menggunakan kurikulum asing ini. Apakah guru betul-betul memahami kurikulum asing itu?” kata Jimmy.

Ade Irawan dari Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch juga menilai, pembelian lisensi asing oleh pemerintah langkah yang keliru karena biaya pendidikan RSBI yang mahal itu bukan semata-mata karena pembelian lisensi atau kurikulum asing. ”Penggunaan anggaran sekolah, apalagi di RSBI, tidak pernah jelas dan ini yang menyebabkan kerap terjadi korupsi di RSBI. Saya khawatir pembelian lisensi asing itu hanya akal-akalan pemerintah agar ada lagi proyek yang bisa menjadi lahan mencari uang,” ujarnya.

Ade mengingatkan pemerintah untuk lebih memerhatikan peningkatan kualitas guru dan sistem pendidikan dengan menggunakan anggaran pendidikan yang ada.

Menteri Pendidikan Nasional M Nuh, Minggu (25/7) di Surabaya, mengatakan, Kementerian Pendidikan Nasional masih mengkaji penyebab tingginya biaya pendidikan di RSBI. Namun, diduga penyebabnya adalah lisensi kurikulum dan ujian dari lembaga pendidikan asing.

Selama ini, untuk ujian Cambridge, siswa harus membayar sekitar Rp 1 juta per mata pelajaran. Ujian umumnya mencakup lima mata pelajaran. (LUK/INA)

Sumber: Kompas, Selasa, 27 Juli 2010

Monday, July 26, 2010

Kekayaan Alam: Nasionalisasikan Sungai Asahan

-- Khaerudin

PADA 28 Juni lalu, secara resmi China Huadian Engineering Co Ltd menyelesaikan pekerjaan konstruksi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air atau PLTA Asahan I yang dimulai sejak 18 Desember 2006.

Selanjutnya, China Huadian Engineering Co Ltd menyerahkan pengoperasian pembangkit berkapasitas 2 x 90 megawatt tersebut kepada China Huadian Operating Company untuk jangka waktu 11 tahun. Setelah itu, pengoperasian akan dilakukan oleh pemilik resmi PLTA Asahan I, PT Bajra Daya Sentra Nusa (BDSN), untuk jangka waktu yang tak terbatas.

Siapakah PT BDSN sehingga punya kewenangan memanfaatkan potensi hidroelektrik Sungai Asahan hingga waktu yang tak terbatas itu? BDSN adalah perusahaan joint venture swasta yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh China Huadian Hongkong. Saham China Huadian Hongkong di BDSN mencapai 70 persen.

Baik China Huadian Hongkong, China Huadian Engineering Co Ltd, maupun China Huadian Operating Company merupakan anak perusahaan China Huadian Corporation, perusahaan milik Pemerintah China yang bergerak di bidang energi listrik, semacam PLN-nya China.

Lantas, selain Pemerintah China, siapa pemilik lain BDSN? Sebanyak 26 persen saham BDSN memang dikuasai Pemerintah Indonesia melalui PT Pembangkitan Jawa Bali yang merupakan anak perusahaan PLN. Namun, dengan skema pembangunan jenis build operate own (BOO), PLTA Asahan I yang sumber penggerak turbinnya adalah aliran Sungai Asahan akan selamanya dikuasai oleh Pemerintah RRC.

”Kecuali kalau kita mampu membeli kembali saham China Huadian Hongkong. Itu pun kalau China Huadian Hongkong suatu saat berniat menjualnya,” ujar Direktur Teknik PT BDSN Muhammad Kamal.

Sebagai pembangkit listrik milik swasta (independent power producer), PLTA Asahan I harus menjual listriknya kepada PLN selaku pemegang monopoli distribusi listrik di Indonesia. Kontrak jual beli listrik PLTA Asahan I dengan PLN berjangka waktu 30 tahun. Harga jual listrik PLTA Asahan I ke PLN sebesar 4,6 sen dollar AS per kWh. Sementara biaya produksi listrik PLTA Asahan I per kWh mencapai 3,5-4 sen dollar AS. Anggaplah PLTA Asahan I bisa meraup untung sekitar 1 sen dollar per kWh, bisa dihitung pendapatan BDSN dari aliran Sungai Asahan itu.

Dengan kapasitas terpasang 2 x 90 MW, menurut Project Director PLTA Asahan I Hendy Rohendi, rata-rata daya listrik yang bisa dihasilkan PLTA Asahan I per bulan mencapai 100 gigawatt jam atau 100 juta kWh. ”Kalikan saja dengan 1 sen dollar AS per kWh, setiap bulan BDSN bisa meraup 1 juta dollar AS,” kata Hendy.

Proyek Asahan

BDSN bukan perusahaan swasta pertama yang tahu betapa menjanjikannya laba dari memanfaatkan aliran Sungai Asahan menjadi tenaga listrik. Lebih dari 30 tahun lalu, 12 perusahaan investasi asal Jepang berani menginvestasikan ratusan juta dollar AS untuk membangun dua PLTA.

Di masa Soekarno, Proyek Asahan sempat ditawarkan kepada Uni Soviet. Namun, baru pada masa pemerintahan Soeharto Proyek Asahan dibangun dengan didanai konsorsium 12 perusahaan asal Jepang. Konsorsium perusahaan Jepang ini kemudian membentuk Nippon Asahan Aluminium.

Pabrik peleburan aluminium PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menjadi salah satu inti Proyek Asahan selain dua PLTA yang dimanfaatkan untuk pengoperasian pabrik. Dua PLTA itu dikenal dengan nama PLTA Siguragura (292,8 MW) dan PLTA Tangga (324,4 MW). PLTA Siguragura dan Tangga kemudian lebih dikenal dengan sebutan PLTA Asahan II (total 617,2 MW), yang merupakan PLTA terbesar di Indonesia.

Kembali ke Proyek Asahan, saat mulai dibangun tahun 1976, komposisi kepemilikan sahamnya 90 persen dikuasai NAA dan 10 persen milik Pemerintah Indonesia. Berbeda dengan pembangunan PLTA Asahan I yang skemanya BOO, Proyek Asahan dibangun dengan skema build operate transfer (BOT) selama 30 tahun. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia pada tahun 2013 atau 30 tahun setelah Proyek Asahan resmi beroperasi memiliki opsi untuk mengambil alih sepenuhnya. Tentu saja Pemerintah Indonesia harus membayar nilai buku yang masih ada di Proyek Asahan kepada NAA.

Badan Otorita Asahan yang merupakan lembaga penghubung antara pemerintah dan NAA memperkirakan, nilai buku Proyek Asahan pada tahun 2009 masih sekitar 750 juta dollar AS. Berdasarkan perjanjian lama kerja sama Proyek Asahan, pemerintah harus membayar 60 persen dari nilai buku pada tahun 2013 jika ingin menguasai sepenuhnya.

Pertanyaannya, mengapa Indonesia harus merasa berkepentingan menguasai Proyek Asahan? Jawaban gampangnya, tentu karena potensi keuntungan dari pengoperasian PLTA Asahan II luar biasa.

Namun, pentingnya pengambilalihan Proyek Asahan sebenarnya bukan hanya soal laba. Proyek Asahan selama ini dinilai sebagai ironi bagi sebagian besar masyarakat Sumut. Meski PLTA Asahan II merupakan PLTA terbesar di Indonesia, listriknya tak dinikmati masyarakat Sumut. Operasional PLTA Asahan II hanya untuk kepentingan pengoperasian pabrik peleburan aluminium PT Inalum.

Maka, saat Sumut mengalami krisis listrik, keberadaan PLTA Asahan II sama sekali tak membantu. Ada sedikit transfer listrik dari PLTA Asahan II ke PLN selama krisis, tetapi itu pun PLN tetap harus membayarnya dengan mengalirkan listrik ke PT Inalum.

Menurut Sekretaris Daerah Provinsi Sumut RE Nainggolan, selama ini pemerintah daerah hanya menikmati annual fee dari PT Inalum Rp 74 miliar per tahun. Jumlah ini tak sebanding seandainya Proyek Asahan dikuasai Pemerintah Indonesia, lalu listrik PLTA Siguragura dan PLTA Tangga dijual ke PLN.

Menurut hitungan Nainggolan, jika listrik PLTA Siguragura dan PLTA Tangga dijual 4,6 sen dollar AS per kWh ke PLN, diperoleh untung hingga 120 juta dollar AS atau Rp 12 triliun setahun.

Tahun 2010 adalah saat ketika masa depan Proyek Asahan dinegosiasikan kembali oleh Pemerintah Indonesia dengan NAA bersama Pemerintah Jepang. Selain Indonesia punya opsi mengambil alih sepenuhnya, ada juga opsi lain untuk tetap meneruskan kerja sama dengan Jepang, tentu disertai perubahan komposisi kepemilikan saham.

Hanya saja, jika opsi meneruskan kerja sama dengan NAA yang diambil, jelaslah Sungai Asahan ternyata bukan ”milik” bangsa ini lagi. Setelah di hulu aliran Sungai Asahan dikuasai China, di hilir sungai yang bermata air di Danau Toba ini dikuasai Jepang.

PLTA Asahan III

Sebenarnya, aliran Sungai Asahan yang bermuara di Selat Malaka diketahui memiliki potensi hidroelektrik sebesar 1.050 MW. Selain dua PLTA yang telah berdiri, PLTA Asahan I dan PLTA Asahan II, dalam waktu dekat juga direncanakan pembangunan PLTA Asahan III. PLTA Asahan III pun jadi rebutan swasta dan pemerintah, dalam hal ini PLN.

PLN ngotot ingin membangun PLTA Asahan III, sementara swasta juga tak kalah ngotot. Perusahaan swasta bahkan telah mengantongi izin lokasi dari Gubernur Sumut, sesuatu yang tak dimiliki PLN. Tanpa izin lokasi, mustahil PLN bisa membangun PLTA Asahan III. Sebaliknya, PLN punya jurus andalan, yakni perjanjian jual beli listrik. Selama swasta tak bisa mendapatkan perjanjian jual beli listrik dari PLN, mereka juga tak bisa membangunnya.

Belakangan, Gubernur Sumut dan PLN telah sepakat. Intinya, PLN selangkah lagi mendapatkan izin lokasi PLTA Asahan III.

PLN telah mendapatkan pendanaan PLTA Asahan III dari kredit lunak Japan Bank for International Cooperation. Justru sumber dana ini yang pada gilirannya memunculkan pertanyaan besar soal ”kedaulatan” Indonesia di Sungai Asahan.

Sebenarnya, kalau pemerintah mau melaksanakan amanat Pasal 33 UUD 1945, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sudah saatnya Sungai Asahan dinasionalisasikan...

Sumber: Kompas, Senin, 26 Juli 2010

Buruh Indonesia: Evolusi Romusa di Tanjung Uncang

-- Laksana Agung Saputra

BUKAN bermaksud mendramatisasi jika diksi yang dipilih adalah romusa. Tujuannya satu, agar setiap nurani kemanusiaan risi karena romusa sebagai tragedi sejarah bangsa Indonesia sejujurnya mengalami repetisi dalam bentuknya yang baru; buruh galangan kapal di Batam.

Sejumlah buruh galangan kapal berkumpul di depan tempat indekos mereka di kawasan rumah liar diTanjung Uncang, Batam, Rabu (28/4). Buruh selama ini dieksploitasi tenaganya, sedangkan hak normatifnya dibabat habis-habisan.(KOMPAS/LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

Lebih dari 60.000 buruh Indonesia bekerja di sedikitnya 60 perusahaan galangan kapal di Tanjung Uncang, Batam. Mayoritas buruh bekerja di level pesuruh hingga tukang. Hanya beberapa yang levelnya mandor ke atas sehingga lebih tampak sebagai figuran di sela-sela para tenaga kerja asing.

Ada tiga kategori status buruh di setiap galangan kapal, yakni buruh subkontraktor perusahaan utama, buruh paruh waktu di perusahaan utama, dan buruh organik atau karyawan tetap. Di antara ketiganya, buruh subkontraktor yang terbanyak dan paling rentan dieksploitasi.

Sekadar contoh, PT Drydocks World Graha (DWG). Dari sekitar 9.000 buruh, hanya 1.915 buruh atau 21 persen yang berstatus karyawan tetap. Sisanya adalah buruh subkontraktor dan paruh waktu.

Hubungan industrial pada buruh organik dan paruh waktu terbilang lumayan jelas. Sementara pada buruh subkontraktor, sebagian besar absurd karena perusahaan subkontraktor banyak yang tak kompeten. Buktinya, hampir semua tak terdaftar di Dinas Tenaga Kerja Kota Batam.

Parahnya lagi, tak sedikit yang sebenarnya hanya makelar penyalur tenaga kerja perseorangan berkedok perusahaan subkontraktor. Makelar itu diduga kuat adalah oknum dalam perusahaan atau orang luar yang berjejaring dengan oknum dalam perusahaan.

Slamet (25), bukan nama sebenarnya, pernah mengecek perusahaan subkontraktor yang merekrut dia karena tidak pernah mendapat tunjangan kesehatan. Ternyata, perusahaan tersebut fiktif.

Kontrak kerja yang membabat banyak hak buruh tak pernah dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja Kota Batam. Buruh hanya diminta menandatangani kontrak kerja tanpa diberi dokumennya.

Fondasi hukum yang sedemikian rupa menimbulkan rentetan penindasan atas buruh. Persoalan klasik pun kembali bergaung. Demi pekerjaan yang sulit dicari, buruh pasrah menerima perlakuan tak adil.

Setali tiga uang, pengawasan pemerintah pun melempem. Dari keterangan buruh, mobil berpelat merah sering keluar- masuk perusahaan. Entah apa misi petugasnya, yang jelas tak pernah ada penertiban atas pelanggaran hak buruh setelahnya.



Mati-matian

Bekerja di galangan kapal, menurut istilah buruh, mati- matian, bahkan sampai mati dalam arti harfiah. Kasus kematian sebagai kecelakaan kerja terjadi hampir setiap tahun.

Pada 19 Januari 2009, Rahman (27) tewas seketika akibat tertimpa pelat besi di PT ASL. Ia adalah buruh perusahaan subkontraktor CV Citra Karyasindo Prakarsa.

Terakhir, 6 Maret, Jokiper, buruh PT Citra Karya Mandiri, yang merupakan subkontraktor mitra kerja PT DWG, juga tewas akibat kecelakaan kerja. Ia meninggalkan seorang istri dan tiga anak.

Risiko itu menghantui buruh dalam kerjanya di bawah terik matahari selama seharian. Sebagian buruh bekerja sampai 9 jam per hari tanpa perhitungan waktu dan upah lembur.

Padahal, berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 102 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur, jika waktu kerja yang diterapkan 8 jam per hari, Sabtu dan Minggu harus dihitung libur atau jika masuk kerja, harus atas kesepakatan dengan buruh, dengan perhitungan upah lembur.

Dalam kondisi itu, hak buruh dikebiri habis-habisan. Sekadar menyebut beberapa, upah rendah, tunjangan nihil, Jamsostek tak jelas, dan status kontrak dilestarikan dengan cara buruh dipingpong dari perusahaan subkontraktor satu ke perusahaan subkontraktor lainnya.

Ketua Konsulat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Kota Batam Nurhamli menyatakan, terjadi ketimpangan antara tuntutan dan risiko kerja di satu sisi dengan imbalan di sisi lain. Buruh di mata perusahaan hanya dinilai sebagai mesin produksi sehingga biayanya harus ditekan seminimal mungkin. Artinya, hubungan kerja yang terjadi adalah model pengisapan.

Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batam Riky Indrakari menyatakan, telah terjadi eksploitasi dan perdagangan terhadap buruh galangan kapal. Lemahnya pengawasan mulai dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sampai Dinas Tenaga Kerja Kota Batam menyebabkan pelanggaran terus terjadi.

”Bahkan, saya berani bilang telah terjadi perbudakan atas buruh galangan kapal. Dan ini dilakukan secara serentak oleh berbagai oknum yang mencari keuntungan pribadi,” kata Riky.

Paradoks

Perusahaan galangan kapal boleh jadi jenis usaha level dunia. Teknologinya mutakhir, melibatkan pemikir-pemikir kelas wahid, dan ordernya triliunan rupiah. Namun, ironisnya, begitu urusannya menyangkut buruh, rasanya tak ada satu item pun yang bisa dibanggakan atau linier dengan pamor itu semua.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, romusa adalah orang-orang (Indonesia) yang dipaksa bekerja berat pada zaman penjajahan Jepang, 1942-1945.

Dalam ruang sejarah, romusa dieksploitasi tenaganya habis- habisan untuk kepentingan penjajah. Romusa yang tertindas secara struktural tak berdaya. Di mata penjajah, romusa tak lagi berwajah manusia, tetapi mesin produksi semata.

Jika halnya demikian, apa bedanya dengan buruh galangan kapal. Kelihatannya saja bekerja tanpa paksaan dan dibayar, tetapi sebenarnya buruh dipaksa oleh keadaan dan dieksploitasi kepentingan ”raksasa-raksasa” ekonomi dan makelar-makelar lokal.

Maka, tragedi romusa sejatinya tak pernah benar-benar terkubur dalam buku-buku sejarah. Kendati dimensi waktu telah bergeser 65 tahun, kisah romusa terus berevolusi dalam bentuk baru.

Karl Marx dalam salah satu karyanya menyebutkan, faktor yang menentukan sejarah bukan politik atau ideologi, melainkan ekonomi. Maka, kini Indonesia memilih membiarkan repetisi tragedi romusa lagi atau menjadi bermartabat dalam tatanan ekonomi global.

Sumber: Kompas, Senin, 26 Juli 2010

Novel Grafis: Mengenalkan Wayang kepada Remaja

ANAK-ANAK dan remaja sangat akrab dengan bacaan komik dan novel. Saking akrabnya, mereka mengidolakan tokoh-tokoh superhero dalam bacaan mereka itu. Sementara dalam khazanah kebudayaan kita, seperti cerita pewayangan, ada banyak tokoh yang pantas diteladani, tetapi mereka tak mendapatkan cerita itu.

Mengisi kekosongan bacaan yang digali dari kekayaan budaya bangsa sendiri itu, Bentara Budaya Jakarta (BBJ), bekerja sama dengan Jagad Pustaka Publishing, Sabtu (24/7), meluncurkan dan membedah buku novel grafis Abimanyu Anak Rembulan karya Dwi Klik Santosa (36).

”Abimanyu Anak Rembulan merupakan naskah klasik cerita wayang purwa yang diadaptasi dari berbagai sumber. Abimanyu figur seorang ksatria muda yang memiliki kepolosan dan keberanian.

Sosok belia yang cerdas, tangguh, mumpuni, optimis, dan cemerlang. Kita merindukan anak-anak kita tumbuh begitu,” kata Simon Puji Widodo dari Jagad Pustaka.

Menurut dalang Sudjiwo Tedjo, yang membedah novel grafis Abimanyu Anak Rembulan bersama kolektor (buku) wayang Henry Ismono, ada banyak sumbangan wayang untuk masa depan. ”Melalui tokoh-tokoh pewayangan, kita bisa mengkritisi dan membedah persoalan bangsa serta memberikan alternatif solusinya,” katanya.

Ke depan, orang mencari spiritualitas. Dalam kondisi seperti itu, tantangannya adalah bagaimana membuat pesan melalui wayang. ”Wayang yang merupakan peradaban adiluhung bangsa yang sarat nilai dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa,” ujar Sudjiwo Tedjo.

Kerinduan masyarakat


Henry Ismono mengatakan, belakangan ada kerinduan masyarakat untuk membaca komik-komik wayang. Karena itu, karya-karya Teguh Santosa dan Kosasih, misalnya, diterbitkan kembali dengan kemasan buku yang lebih menarik.

”Hadirnya seri novel grafis, dengan tokoh pewayangan dalam ceritanya, bisa menjadi bacaan alternatif yang pada akhirnya mencintai wayang dan kekayaan tradisional lainnya,” katanya.

Menurut wartawan senior Kompas dan cerpenis Bre Redana, dalam komentarnya di buku yang diluncurkan itu, transformasi wayang ke pakeliran novel grafis membuat pembaca akrab, eksploratif, tetapi pakem tetap terjaga. ”Klasisisme wayang tidak pernah pudar. Abimanyu Anak Rembulan membuktikannya,” kata Bre Redana.

Penulis novel Dwi Klik Santosa mengungkapkan, Abimanyu Anak Rembulan bercerita tentang kelahiran dan perjalanan Abimanyu, putra Arjuna, beserta sifat-sifatnya yang pantas diteladani.

Wayang urban

Pada peluncuran novel grafis, Sabtu malam, digelar pertunjukan Wayang Urban dengan dalang Nanang Hape. Pertunjukan relatif unik dan menarik. Cerita tentang Arjuna, bapaknya Abimanyu yang gagah dan sakti, auranya terang dan bicaranya lembut menyenangkan, disampaikan secara naratif dalam bahasa Indonesia. Juga ada tembang dengan alat-alat musik modern.

Penonton berkali-kali dibuat tertawa karena Nanang menyelipkan humor-humor segar. Pada sesi berikutnya, baru Nanang memainkan wayang dalam bahasa Jawa.

Pameran wayang, peluncuran buku novel grafis wayang, dan pertunjukan wayang yang digelar BBJ adalah upaya untuk memperkenalkan wayang kepada anak muda dan remaja perkotaan.

”Mengenal wayang, mengenal jati diri bangsa. Pameran dan pertunjukan wayang hingga 30 Juli mendatang adalah sebuah upaya untuk merayakan wayang dengan sasaran utama kaum muda perkotaan,” ungkap Direktur Eksekutif Bentara Budaya Efix Mulyadi. (NAL)

Sumber: Kompas, Senin, 26 Juli 2010

Penyelenggaraan Pendidikan: Jabar Evaluasi RSBI

Bandung, Kompas - Dinas Pendidikan Jawa Barat bekerja sama dengan Badan Akreditasi Provinsi Jawa Barat sedang melakukan proses akreditasi terhadap 145 sekolah negeri rintisan sekolah berstandar internasional atau RSBI. Tujuannya, melihat apakah sekolah itu sudah memenuhi standar yang disyaratkan.

”Setelah dilakukan evaluasi, bukan tidak mungkin akan ada sekolah yang statusnya diturunkan menjadi sekolah reguler apabila standar yang ditetapkan tidak terpenuhi,” kata Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Wahyudin Zarkasyi di Bandung, Jumat (23/7).

Di Jabar, RSBI telah diselenggarakan sejak dua tahun lalu. Sebanyak 145 RSBI yang akan diakreditasi itu tersebar di sejumlah kota/kabupaten di Jabar, mulai dari tingkat SD, SMP, hingga SMA dan SMK.

Wahyudin mengatakan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sekolah RSBI. Di antara syarat yang utama adalah melakukan kerja sama pendidikan dengan negara lain serta pengajaran menggunakan metode berbahasa Inggris.

”Kami berharap agar semua sekolah itu bisa memenuhi standar yang ditetapkan. RSBI sangat positif meningkatkan daya saing siswa. Setelah proses ini diselesaikan, tahun ini akan langsung dilanjutkan dengan RSBI swasta,” ujarnya.

Humas Dewan Pendidikan Kota Bandung Iwan Hermawan mengatakan, pelaksanaan RSBI di Jawa Barat masih jauh dari rasa keadilan masyarakat dalam mendapatkan pendidikan. Alasannya, syarat masuk RSBI masih kental dengan persoalan dana. RSBI sering dijadikan alasan oleh sekolah untuk memungut dana dari masyarakat dan sampai saat ini tidak jelas patokannya.

”Meski ada kuota bagi masyarakat tak mampu, saya rasa tidak seimbang dengan jumlah siswa yang ingin merasakan pengajaran yang berkualitas,” ujarnya.

(CHE)

Sumber: Kompas, Senin, 26 Juli 2010

Biaya Sekolah: Liberalisme Pendidikan Kikis Nilai Budaya

SEMARANG (Lampost): Pendidikan di Indonesia seharusnya menjadi pengawal peradaban. Namun, berbagai nilai budaya Indonesia kini mulai terkikis oleh praktek liberalisme pendidikan.

"Contoh tentang praktek liberalisme pendidikan yakni menyangkut mahalnya biaya sekolah negeri. Padahal, sekolah negeri seharusnya lebih merakyat," kata mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang Eko Budiharjo, Sabtu (24-7).

Menurut dia, komersialisasi pendidikan telah lama didengungkan, tetapi masih saja banyak sekolah yang menarik biaya yang sangat tinggi.

Ia menjelaskan pendidikan merupakan salah satu ranah sosial pemerintah dalam menjamin kebutuhan dasar warga negara. Biaya pendidikan yang mahal, ujarnya, akan mengaburkan kesempatan setiap anak untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Selain itu, kata dia, kurikulum pendidikan nasional harus segera disesuaikan dengan tantangan era kesejagatan.

"Pendidikan nasional telah menjurus kepada pendidikan massal. Perbandingan jumlah siswa dan tenaga pengajar di kelas tidak sehat lagi," kata dia.

Seharusnya, ujar dia, tenaga pengajar mengampu relatif sedikit siswa agar fokus terhadap materi dan anak didiknya.

"Dengan demikian, kegiatan belajar-mengajar menjadi efektif karena guru mengetahui kelemahan dan kekuatan yang dimiliki anak didiknya sehingga dapat menerapkan perlakuan yang tepat," kata dia.

Perhatian guru yang lebih fokus terhadap anak didik, ujarnya, akan mendorong siswa untuk mengetahui bakatnya. "Anak akan tahu bakat apa yang dimilikinya, � ujar Eko.

Eko Budiharjo mengemukakan beberapa kesalahan paradigma pendidikan relatif banyak mengorbankan para siswa. "Kini pendidikan hanya berkutat kepada cara menguatkan intelektual anak. Seharusnya hal ini diimbangi dengan kekuatan moral," kata Eko.

Persoalan itu, ujarnya, akan diusungnya pada suatu diskusi di Badan Nasional Standar Pendidikan akhir Juli 2010.

Ia mengatakan penekanan pada intelektual tanpa diimbangi dengan penanaman nilai-nilai moral yang kuat dikhawatirkan membuat peserta didik tidak menggunakan kepandaian sebagaimana mestinya. Pada usia anak-anak, kata dia, mereka akan dapat menyerap penanaman moral secara baik.

"Terlambat bila menanamkan moral ketika mereka menginjak usia remaja atau dewasa," kata dia. (ANT/S-1)

Sumber: Lampung Post, Senin, 26 Juli 2010

Sunday, July 25, 2010

Sastra Indonesia dan Agama

-- Ahmad Kekal Hamdani*

SASTRA Indonesia mutakhir telah menunjukkan sebuah kecenderungannya yang bisa dibilang jumud, yakni stagnasi modernitas yang nihil obat dan terapi kesembuhannya, kecuali kembali kepada yang selama ini ditinggalkan dan sengaja dipalingkan dari pembicaraan; religiositas dan kepedulian sosial. Dengan merdekanya kembali "Manifes Kebudayaan" bersama tumbangnya Demokrasi Terpimpin pada 1966, usaha pembebasan sastra dari politik serta pengibaran semboyan seni untuk seni ternyata mengalami kedodoran dan menciptakan lubang-lubangnya sendiri dalam tragedi kemanusiaan belakangan ini. Hal ini menjadi celah bagi degradasi hubungan integratif antara yang profan dan yang transenden, antara yang personal dan yang sosial, sehingga menaruh sastra dalam sebuah kotak kaca dan lumpur hisap yang hanya mampu berputar di kubangannya sendiri.

Hal ini misalnya dapat kita lihat lewat puisi-puisi urban Afrizal Malna yang menawarkan ikatan kecemasan benda-benda dan personal, tetapi tidak menawarkan apa-apa bagi dahaga kemanusiaan kecuali kegelisahan personal yang dipelintir perih ke dalam hal eksistensial dan terasing. Di wilayah proses kreatif tentu hal ini sebuah pencapaian yang langka dalam kesusastraan Indonesia. Namun dalam kesusastraan bagi transformasi sosial dan mentalitas tentu perlu dipertanyakan kembali kedudukannya. Atau bahkan juga kita bisa melihat terhadap lirisisme yang abai terhadap fenomena sosial, hanya tentang personal soliter yang sedang mengembara dan kesepian di sebuah kota.

Semakin tidak populernya (kecuali dalam lingkaran-lingkarannya sendiri) karya-karya semisal sajak alam D. Zawawi Imron, religiositas Abdul Hadi W.M., Acep Zamzam Noor, dan yang lebih muda Jamal D. Rahman (hal ini begitu kentara dalam hal bagaimana kegagalan sastra-sastra sufistik melahirkan generasi penerusnya) juga menjadi penanda dari problema ini. Tentu saja bukan tiada sama sekali puisi-puisi bernapaskan agama ataupun religiositas di media massa, tetapi wacana untuk pengembangan dan pendongkraknya bisa dikatakan tiada.

Merebaknya wacana modernitas dan pascamodernitas dalam kesusastraan Indonesia telah mengenyampingkan hakikat penghambaan dan menciptakan dunia yang "di sini" semata, yang pada umumnya sedikit sekali mempertimbangkan peranan religius sastra serta enggan mempertanyakan kembali hubungan antara politik dengan moral dan agama yang retak semenjak modernisme dicanangkan. Agama, bagaimanapun juga merupakan sumber dari bangunan budaya manusia yang membantu dalam memberikan kriteria dan identitas pada nilai-nilai yang mesti berkembang dalam suatu komunitas. Penyair Prancis, T.S. Eliot berpendapat, kebudayaan tidak akan dapat mengalami masa cerah tanpa dilandasi nilai-nilai keagamaan yang profetik.

Sastra Islam (sufisme) mengalami kesulitan menyambungkan benang merah dalam alur sejarah kesusastraan Indonesia pasca 1970-an ketika projek "pembangunan" menjadi satu-satunya mesin cuci otak yang hampir tidak memiliki tandingannya. Di lapangan pendidikan, modernisasi berhasil menciptakan kegamangan di dunia pesantren yang melahirkan degradasi dan peralihan dari nilai-nilai asketik (zuhudisme) kepada nilai progresifitas materialistik yang dalam istilah Koentjaraningrat adalah mental-mental menerabas sebagai paradoks dari projek "pembangunan" rezim Soeharto. Pengaruh pembangunan Orde Baru telah sedikit banyak membawa perubahan terhadap subkultur yang biasa kita kenal dengan pesantren ini.

Di lapangan ideologi pendidikan, modernitas yang notabene dibawa oleh para pembaru di tingkatan wacana nasional juga sedikit banyak telah menghilangkan kearifan-kearifan lokal yang memiliki kekayaan tradisi mistik dan religiositas-sosial tinggi. Kita juga tentu ingat tentang bagaimana usaha beberapa sastrawan untuk memasukkan sastra sebagai kurikulum wajib di sekolah. Hal ini juga terjadi dalam persoalan ilmu-ilmu keagamaan yang mengalami pengesampingan sejak pendidikan model Barat dicanangkan dan digembor-gemborkan oleh "pembangunan".

Di awal 2000-an, ketika muncul wacana "sastra pesantren", bagi beberapa kalangan pengamat kesusastraan hal ini justru dianggap sebagai suatu usaha strategi citra dan terkesan mengada-ada. Namun tentu saja yang kita bincangkan pada artikel ini bukan perihal pelabelan, tetapi "hilangnya" wacana dan eksplorasi lanjutan dari estetika yang diwarnai dan lahir dari rahim ideologi agama-agama. Di mana, generasi kesusastraan mutakhir tidak memiliki usaha penyadaran akan fungsi dari hubungan antara nilai-nilai samawi itu dan kesusastraan.

Kepedulian sosial dan langit-langit religiositas tidak dapat dipisahkan begitu saja, termasuk juga hubungannya dalam penciptaan nilai-nilai ideal kemanusiaan, dalam hal ini lewat kesusastraan. Tardji boleh saja mengatakan kata harus dibebaskan dari beban ambisi menerangkan dan kembali kepada mantra (tetapi apakah mantra bebas dari sebuah kepentingan?). Sayangnya, manusia tidak diciptakan untuk bebas dari perhatian sosial dan kebutuhan akan yang transenden dan esoteris. Menyadari kesusastraan sebagai sesuatu yang politis dan memiliki peranannya dalam sosial adalah hal yang mendesak dan menuntut usaha-usaha perumusannya kembali.

Sastra profetik mengalami pemiskinan dan agama tampil sebagai formalisasi-formalisasi simbol yang kering, disebabkan sikap mendua lembaga-lembaga agama menyikapi modernitas serta cita-cita pembersihan khurafat yang nyaris tidak dapat membedakan dan menarik akar historis dari babakan tradisi ataupun kebudayaan Indonesia. Tentu hal ini bukan hanya disebabkan oleh faktor-faktor internal kesusastraan itu sendiri, tetapi juga bersumber dari anomi para pemuka agama dan tokoh sosial (formal maupun non-formal) terhadap kebudayaan, lebih-lebih kesusastraan.

Bagaimanapun, selain daripada filsafat dan kesusastraan, agama juga merupakan sumber-sumber nilai dari dinamika kemanusiaan, antara hubungan vertikal dan horizontal terhadap alam. Nilai-nilai religiositas yang miskin perbincangan di dunia kesusastraan tentu sebuah problem. Kecurigaan ini tentu dapat ditarik dari matinya nilai-nilai agamis dalam berkehidupan sosial masyarakat Indonesia modern dan pascakolonialitas. Kini, di antara roda waktu yang berputar, kesusastraan terus melajukan arahnya ke alam "mungkin" yang tidak dapat kita terka ujungnya, dan di sisi lain nilai-nilai agamis mengalami sekaratnya!***

Ahmad Kekal Hamdani, penyair, staf peneliti di Lab. Religi dan Budaya Fak. Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 25 Juli 2010

"Saba Sastra" Sebagai Energi

TAHUN 2005, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan kebijakan penerapan bahasa Sunda sebagai muatan lokal (mulok) wajib bagi seluruh pelajar di tingkat Jawa Barat, mulai dari SD sampai SMA. Namun sama halnya dengan beberapa kebijakan lain, penerapan mulok bahasa Sunda belum diikuti dengan kesiapan sarana dan prasarana pendukung kebijakan tersebut.

Terbukti, hampir semua guru bidang studi bahasa Sunda bukan berlatar pendidikan bahasa Sunda. Padahal, kalau merujuk kebijakan pemerintah terkait sertifikasi guru yang menyebutkan bahwa profesionalitas guru dilihat dari materi pelajaran yang diberikan guru harus sesuai dengan latar pendidikan guru tersebut, maka tentu belum profesional dan tersertifikasi bila guru pendidikan jasmani (penjas) malah mengajar bahasa Sunda.

Namun, justru begitulah potret pelajaran bahasa Sunda di Jawa Barat. Di Wilayah Galuh Selatan-Ciamis, misalnya. Di kawasan ini, sedikitnya ada tujuh SMA/SMK, tetapi hanya seorang guru bahasa Sunda yang mengajar sesuai dengan bidang studi bahasa Sunda. Sisanya, mengajar dengan latar belakang pendidikan yang bukan bahasa Sunda.

Dampak yang terjadi, guru tidak punya pegangan cara mengajar. Mengajar jadi proses sambilan. Akibatnya, hasil yang diperoleh tidak maksimal. Bahasa Sunda hanya dianggap sebagai bahasa sehari-hari. Siswa ataupun guru tidak mendapat "nilai tambah" dari sekadar pelajaran bahasa Sunda. Padahal, khazanah kearifan lokal, moral, dan etika yang terdapat dalam bahasa Sunda dapat menjadi landasan manusia Sunda dalam berbudaya.

Terlebih posisinya yang strategis diberikan sebagai mata pelajaran mulok wajib bagi siswa yang sedang bertumbuh di tengah kepungan budaya global. Namun, nasib setiap kebijakan yang dibuat memang selalu hanya bertumpu pada kertas, tidak diikuti dengan pemenuhan kebutuhan bagi terealisasikannya kebijakan tersebut.

Ajip Rosidi pernah berkomentar keras saat Kota Bandung akan memberlakukan kebijakan mulok bahasa Sunda pada 2007. Kebijakan pemberlakukan bahasa Sunda sebagai mulok dipandang Ajip sebagai kemunduran. Padahal, seharusnya bahasa Sunda justru menjadi bahasa pengantar ilmu pengetahuan sehingga derajat bahasa Sunda menjadi terangkat. Guru-guru mau mempelajari lebih jauh bahasa Sunda.

Namun, pandangan ideal memang sering kali berseberangan dengan dunia nyata. Guru mengajar tidak sesuai dengan program studi (prodi) yang diberikan, ketersediaan buku sebagai bahan ajar juga minim. Tak mengherankan bila antusiasme guru pada acara "Saba Sastra" yang diselenggarakan Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS) di Ciamis-Pangandaran, Selasa-Rabu (20-21/7), di Ciamis dan Pangandaran, sangat tinggi. Guru seperti mendapatkan "energi baru bagi perjalanan mengajar mereka.

Guru membaca

Persoalan mendasar guru mengajar menurut pengarang dan wartawan senior H.M. Usep Romli bertumpu pada minat guru dalam membaca. Semakin tinggi kecenderungan guru mau membaca buku, semakin banyak peluang variasi dalam mengajar. Dengan membaca, guru bukan saja mendapat menambah ilmu dan wawasan, tetapi juga membuka ruang kreasi dalam pemikiran-pemikirannya.

Persoalan lain yang tampaknya sepele tetapi juga berarti dalam membangun situasi mengajar yang kondusif di kelas adalah gaul. Guru harus gaul. Seorang guru yang gaul dengan guru yang hanya mengandalkan mengajar pada sumber bahan ajar, hasilnya akan jauh berbeda dengan guru yang gaul. Guru gaul dapat menimba banyak pengalaman dari orang lain melalui pergaulannya. Kendati begitu, potret bahasa Sunda saat ini memang dalam posisi pabaliut. Banyak unsur serapan lain yang masuk ke dalam bahasa Sunda dan digunakan begitu saja tanpa mengindahkan etika berbahasa. Kondisi ini ditengarai karena semakin bercampurbaurnya berbagai kebudayaan manusia sebagai dampak globalisasi.Akibatnya, bukan semata mengundang senyum, tetapi juga memengaruhi perilaku dan kepribadian anak-anak tersebut secara budaya. Kondisi ini notabene tidak dapat dihindari, mengingat keberadaan bahasa memang sifatnya senantiasa berubah, selayaknya bagian dari budaya yang sedang berubah.

Dalam kaca mata Dr. Safrina Noorman, hambatan guru mengajar bergantung pada teks yang digunakan. Bila teks (bahan ajar) yang digunakan hanya bersumber terbatas, jangan mengharapkan "feedback" lebih dari guru saat mengajar. Teks bahan ajar yang variatif akan menjadikan pelajaran itu menarik. Akan tetapi persoalannya, Safrina mengakui, sangat sedikit sumber ataupun bahan ajar yang beragam. Apalagi pelajaran bahasa Sunda juga dikategorikan sebagai muatan lokal (mulok) sehingga sangat terbatas para penulis yang mau menulis untuk kepentingan tersebut.

Potret ini, menurut pupuhu PPSS Dra. Etti R.S., M.S., dapat ditengahi dengan adanya kebijakan pemerintah untuk mendukung penerbitan buku-buku sumber yang lebih beragam. Pada tahun 2008, Pemprov Jabar pernah mengundang sejumlah penerbit untuk memberikan buku-buku yang pantas direkomendasikan sebagai bahan ajar dan sumber pendukung pembelajaran bahasa Sunda di sekolah. Namun sampai sekarang, buku-buku yang sudah dikirimkan penerbit untuk direkomendasikan pemerintah belum muncul.

Pemprov Jabar belum (juga) memberikan rekomendasi bagi buku-buku sebagai bahan ajar dan sumber yang pantas untuk digunakan guru. Padahal kebijakan tersebut, menurut Etti, cukup strategis. Secara budaya, guru lebih mau membeli buku yang direkomendasikan pemerintah dibandingkan dengan membeli buku atas inisiatif sendiri. Budaya ini mestinya menjadi alasan bagi pemerintah untuk mempercepat proses pembubuhan rekomendasi tersebut. Keuntungan lainnya, pembubuhan rekomendasi dapat merangsang para penulis untuk lebih bergiat melahirkan buku dan karya terbaru.

Siswa berkarya

Berbeda dari "Saba Sastra" sebelumnya, "Saba Sastra" yang ke VIII ini diisi dengan lokakarya untuk pelajar. Dalam workshop yang digelar di Pangandaran, pelajar dari tujuh SMA/SMK dapat mengapresiasi karya dari para pelaku sastra, seperti Dian Hendrayana yang membahas musikalisasi puisi, Asep Ruhimat (penulisan karya sastra), dan Rosyid E. Abby (pengadaptasian karya sastra ke dalam drama).

Ruang baru "Saba Sastra" ini bukan hanya mengenalkan bahasa dan sastra Sunda lebih dekat kepada siswa, tetapi juga menjadikan karya sastra sebagai karya yang "hidup" untuk diapresiasi. Dian Hendrayana misalnya, bukan hanya mengenalkan karya sastra dan bukan karya sastra. Akan tetapi, ia juga menjadikan karya sastra sebagai karya seni yang dapat dinikmati banyak orang. Sebuah puisi yang baik, menurut Dian, tampak dari pemilihan kata (diksi) yang digunakan dan makna (pesan) yang disampaikan. Sebuah puisi akan dapat menjadi lagu melalui pemaknaan kata dari puisi tersebut. Contoh, kata cipanon (air mata-red.) tentulah akan menggambarkan sebuah kesedihan atau suasana sedih sehingga melodi yang dipilih pun harus mampu menggambarkan kesedihan itu.

Di dunia drama begitu juga. Sutradara Rosyid E. Abby yang telah mengerjakan banyak pementasan berhasil menyulut semangat siswa untuk mendedah satu puisi karya W.S. Rendra menjadi naskah drama. Hasilnya, sebuah monolog menarik dengan vokal teruji yang dipergelarkan siswa. Semua kerja kreatif ini tentu saja menjadi atmosfer baru yang menarik bagi siswa yang notabene sama hausnya dengan para guru dalam mendapatkan hal-hal baru berkenaan dengan bahasa dan sastra Sunda.

Dalam pendangan Heri Heriadi, pengarang dan penulis skenario, lokakarya seperti ini sesungguhnya jauh lebih efektif dibandingkan dengan diklat yang diberikan kepada guru. Hal itu dapat dilihat dari tingkat antusiasme dan sikap spontan siswa saat mengikuti kegiatan. Siswa juga dapat memilih kecenderungannya pada bahasa dan sastra. Dengan demikian, pembelajaran bahasa dan sastra Sunda yang notabene cenderung monoton justru jauh lebih "hidup" dan berenergi.

Apalagi pada "Saba Sastra" kali ini dihadirkan pula sejarahwan Prof. Dr. Nina Herlina Lubis yang membahas tentang sejarah Galuh dan perannya dalam sejarah kesundaan. Wawasan-wawasan seperti itu yang diinginkan para guru. Selain terdapat kepentingan untuk bahan ajar, juga ada kedekatan secara emosional terhadap potensi kedaerahannya.

Sayang, karena "Saba Sastra" ini hanya digelar sehari di masing-masing tempat, energi yang diberikan masih tercerai-berai. Padahal, bila saja Pemprov Jabar, Unpad, dan Yayasan Masyarakat Sejarah Indonesia (YMSI) selaku pendukung acara memberikan waktu lebih, dipastikan akan terbentuk klub-klub baru pecinta bahasa dan sastra di Galuh Selatan, yang tentu saja tidak lagi sebatas mempelajari bahasa dan sastra Sunda tetapi juga micinta dan mikanyaah (mencintai dan menyayangi) bahasa dan sastra Sunda. (Eriyanti/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 25 Juli 2010

Teater dan Agresi Politik

-- Afrizal Malna

MENURUT Ria Ellysa Mifelsa, sutradara Studiklub Teater Bandung (STB), dari usahanya mengenal lebih dalam visi-visi STB dalam teater, STB merupakan kelompok teater yang tidak mudah terpancing atas isu-isu teater yang sedang berkembang; isu-isu politik ataupun tema-tema lain yang hidup dalam masyarakat. Visi ini didapatkannya lewat pandangan Sugyati Suyatna Anirun, aktor yang memiliki dedikasi dan komitmen yang panjang kepada STB.

Visi seperti itu sekarang menjadi penting, membiarkan teater berhadapan dengan dindingnya sendiri. Dalam sastra, hal yang sama pernah dilakukan Iwan Simatupang ketika sastra kian terseret ke dalam hiruk pikuk politik pada masa demokrasi terpimpin rezim Sukarno. Kemudian Iwan menghasilkan karyanya yang tidak umum di Indonesia waktu itu. Seniman kembali ke "menara gadingnya" sendiri untuk tidak masuk ke dalam agresi dari pembusukan politik.

Keadaan di masa kini jauh lebih rumit lagi. Politik membuat "teater konyol" yang setiap saat bisa kita saksikan, terutama di media TV. Politik dan media TV jadi persekongkolan baru yang mengocok kehidupan publik sebagai sampah media: mengangkat kotoran dalam kemasan gemerlapan dan para selebriti sebagai zombie-zombie publik. Politik membuat sampah antara legislatif dan eksekutif, antara konstitusi dan keadilan. Sampah ini kemudian menjadi agresi baru yang mempermainkan etika publik.

Visi STB dengan tegas menyatakan, teater bukanlah bagian dari pembusukan publik. Visi STB dengan gamblang bisa kita lihat melalui kesetiaannya kepada aktor dan teks yang digunakannya. Teater menghadapi publik tidak sebagaimana TV atau para birokrat pemerintahan. Publik tetap diposisikan sebagai sesuatu yang berjarak, menghindari persuasi langsung untuk tetap terjaganya jarak kesadaran kritis. Persuasi langsung itulah yang justru kini dijalankan oleh CCL Bandung, Laskar Panggung, terutama Teater Casanova.

Pembacaan teater

"Pertemuan Teater Bandung" yang berlangsung 15-17 Juli 2010 merupakan medan menarik untuk membaca strategi teater dalam menghadapi dirinya sebagai "dinding dalam" di tengah kehidupan publik sebagai "dinding luar". Pertemuan ini, oleh W. Christiwan, dikurasi sebagai pertemuan kecil untuk terjadinya pembacaan anatomi teater di Bandung. Kurasi ini memang menghasilkan medan pembacaan yang saling menjelaskan antara pertunjukan STB (Yang Tersisa, sutradara Ria Ellysa Mifelsa), Teater Payung Hitam (Genjer-genjer, sutradara Rahman Sabur), Teater Casanova (sutradara Wail M Irsyad dan Aad Akbar), CCL Bandung (Dibayar Kontan & Monolog The Game, sutradara Iman Soleh), dan Laskar Panggung Bandung (Dari Wak Menuju Tu, sutrara Yusep Muldiyana).

Tahun 2010, hingga Juli, saya sempat menyaksikan tiga peristiwa penting dalam konteks seni pertunjukan. Pertama melalui workshop performance art PALA (Performance Art Laboratory) pada 29 Maret-1 April dan Undisclosed Territoy #4, 2-4 April 2010. Keduanya berlangsung bersamaan di Padepokan Lemah Putih, Solo. Dihadiri seniman-seniman perfomance art mancanegara. Kedua, Festival Monolog di ruang publik pada 20-27 Juni yang diselenggarakan Federasi Teater Indonesia (FTI) dan diikuti 27 monologer. Ketiga, Pertemuan Teater Bandung yang diselenggarakan STSI Bandung jurusan teater. Ketiga pertemuan ini ingin saya gunakan untuk pembacaan anatomi ini.

Politik metafora

Teater Payung Hitam menggunakan strategi visual yang massif dan menekan untuk menggambarkan bagaimana stigma politik terhadap PKI terus dilakukan secara kontinu dan sistematis. Stigma yang direproduksi dari generasi ke generasi. Strategi visual atas stigma ini oleh Payung Hitam dilakukan lewat "manusia berbingkai". Bingkai yang terus menjerat dari generasi ke generasi, hingga generasi paling akhir yang tubuh polosnya sudah menjadi tubuh nothing dengan tatapan mata yang kian kosong. Generasi yang darahnya terus dihisap oleh pembusukan sejarah-sejarah dogmatis.

Di balik strategi visual yang dilakukan Payung Hitam itu, berlangsung prinsip-prinsip kerja metaforis yang biasa digunakan dalam puisi: ikon-ikon tertentu dibawa ke wilayah pembacaan yang telah didistraksi atau didislokasi dari lingkungan pertamanya: sepatu tentara diletakkan di atas kepala, misalnya.

Kerja metaforik ini juga menjadi strategi naratif yang baru dalam performance art. Puisi seakan-akan ditulis melalui pertunjukan. Dalam peristiwa Undisclosed Territoy, Kaori Haba membawa potongan dahan dari sebuah pohon. Dalam pertunjukannya, ia mulai menggergaji dahan itu. Sebelum dahan itu putus, gergaji diikat pada celah dahan yang digergajinya dengan sepotong selendang yang indah. Kemudian mengaitkan tambang antara batu ke kedua ujung dahan pohon itu, melintasi tiang pendopo Lemah Putih. Sisa ujung tambang lainnya dililitkan ke tangannya untuk menarik.

Dalam ketegangan apakah batu itu akan ikut tertarik, atau dahan yang diikat dengan gergaji itu akan putus, atau tubuh Kaori sendiri yang akan ikut terseret, Kaori mulai bercerita dengan senyum yang tak pernah lepas: tahun 1945 Jepang memutuskan tidak akan pernah berperang lagi. Tahun 1947, di Jepang ditemukan lagu Bengawan Solo dalam terjemahan bahasa Jepang. Mungkin lagu itu diterjemahkan oleh tentara Jepang yang selamat dari perang. Mungkin tentara Jepang itu masih muda. Mungkin tentara Jepang itu pernah bertugas di Solo dan jatuh cinta pada Solo. Mungkin tentara Jepang itu jatuh cinta pada gadis Solo, kata Kaori. Terjemahan Bengawan Solo dalam bahasa Jepang itu sangat romantik, lebih mirip lagu cinta. Dan Kaori mulai menyanyikan Bengawan Solo dalam bahasa Jepang itu, melanjutkan menarik tambangnya yang terikat antara batu dan dahan bergergaji itu.

Dalam performance itu, Kaori membuat metafor yang mengubah sejarah menjadi puisi. Ia memindahkan seluruh luka-luka sejarah antara Indonesia dan Jepang ke dalam batu itu.

Pada sisi lain, Jacques van Poppel (performer dari Belanda) membuat "ruang kreol" yang personal. Ruang itu terdiri atas berbagai benda dari berbagai negara dan kebudayaan, saling membaur. Seluruh benda yang memiliki hubungan biografis dengan kehidupan Poppel itu diletakkan di atas lantai dan sebagian lagi di atas meja.

Lalu Poppel mulai berbicara: Belanda cukup banyak membunuh orang-orang kampung di Indonesia dan mendapat banyak uang dari Indonesia. Ketika dia pertama kali datang ke Indonesia, orang-orang Indonesia tidak membencinya, malah memberikan hubungan yang ramah. Orang Belanda yang pernah dijajah Jerman hanya selama lima tahun, sampai kini masih dendam dengan Jerman. Ratu Belanda tidak pernah minta maaf kepada bangsa Indonesia. Lalu atas nama dirinya sendiri, sambil mengangkat kedua telapak tangannya menutupi muka, Poppel meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas sejarah masa lalu.

Poppel dan Kaori, keduanya memeristiwakan puisi dalam performance art yang sangat indah dan mengharukan. Keduanya menggunakan musik (Bengawan Solo dan Tielman Brother) sebagai penanda sejarah. Keduanya juga melakukan distraksi atas sejarah dengan cara personal. Keduanya seperti membuka lubang penyumbat sejarah dan dialirkan menjadi sungai yang menyatu dalam alur biografis mereka. Sebuah etos baru dari puisi dan sejarah yang mereka hadiahkan kepada publik justru lewat performance art.

Kedua kerja metafora itu memang berbeda dengan yang dilakukan Rahman Sabur dalam pertunjukan Genjer-Genjer: menggunakan ikon yang tidak cukup efektif lagi untuk menyampaikan pesan metaforisnya. Sepatu tentara dan tulang-belulang memang merupakan ikon utama untuk stigma politik atas PKI.

Agresi

Sementara itu, bau neraka dari bahasa yang mudah menggantikan akal sehat kita dengan jeritan dari kematian muncul dalam performance art Black Market International dari Jerman. Pertunjukan ini bisa dibaca sebagai ruang dalam kehidupan manusia yang banyak dikuasai nilai-nilai dogmatik (agresi ideologis maupun agama). Kepala dibiarkan menjadi sarang untuk berbagai ikon dogmatik itu. Tubuh juga dikuasai berbagai benda yang mengisi seluruh rutin. Bahasa kemudian berubah menjadi camp konsentrasi yang menyiksa berbagai kegiatan deskriptif maupun konseptual yang kita lakukan.

Abstraksi kemudian mulai diubah menjadi distraksi untuk mengalihkan seluruh sarang pemaknaan kepada ritual yang kosong. Ritual untuk nothing, terutama yang dilakukan Boris Nieslony yang hanya berdiri menghembuskan napasnya ke tiang pendopo. Ritus untuk nothing ini dibawa bergerak keluar pendopo oleh Maclennan yang kepalanya sudah penuh dengan berbagai lilitan dan kacamata yang telah pecah. Elvira Santa Maria Torrens merobek jaring-jaring itu menjadi gulungan besar. Lalu, mereka kembali bergerak ke dalam dirinya sebagai komunitas dari seluruh kesunyian, dalam tanpa dasar. Seperti kita tidak tahu di mana batas antara mata yang saling bertatapan dan mata. Apa yang terjadi dengan diri kita sendiri ketika kaus putih kita ubah menjadi kaus merah.

Aksi mereka sama dengan menumbuhkan agresi dari tubuh juga agresi dari benda-benda yang mereka gunakan. Lalu berbagai jenis agresi ini (termasuk potongan kepala ayam yang dikerubungi lalat) menjadi permainan makna untuk menghasilkan pembacaan.

Agresi seperti ini cenderung dihadapi dengan panik dan liar oleh Aldy Eksplorasi dalam Festival Monolog. Aldy melakukan monolognya di stasiun bis Kalideres, Jakarta Barat. Aldy tampaknya menghadapi cukup banyak kesulitan untuk merespons dan mengelola agresi yang bermunculan dari politik selama monolog yang dilakukannya. Tindakannya menjadi cenderung nekat dengan menaiki atap bis, berlari-lari di atasnya, dan melompat hingga terjadi gangguan pada kakinya. Bahasa juga menjadi neraka baru untuk dikatakan karena harus berhadapan dengan hiruk pikuk bus-bus besar hingga angkot, penumpang, dan kondektur di terminal itu. Apa peran bahasa dan peran tubuh, kehilangan koneksitasnya berhadapan dengan agresi ini.

Sementara dalam Pertemuan Teater Bandung, Teater Casonava yang menggunakan halaman STSI Bandung, dengan sadar memasukkan potensi agresi publik ke dalam disain dan struktur pertunjukan yang telah mereka siapkan. Dua kelompok band dan beberapa ikon publik (mobil, motor, gaya hidup, pasukan tentara) mereka pasang sebagai persuasi menghadapi agresi publik. Hasilnya memang kolaborasi antara pertunjukan dan publik.

Hendra Setiawan dalam Festival Monolog menggunakan strategi yang berbeda. Monolognya dilakukan di terminal bus Damri, Blok M, Jakarta Selatan. Ia hadir dengan tubuh pertamanya sebagai seorang Hendra dengan pakaian sehari-hari yang biasa digunakannya. Dari tubuh pertama itu ia melompat ke tubuh ketiga dengan cara mengikuti dan menirukan seluruh tingkah laku dari seseorang yang berjalan di terminal itu. Lalu tubuhnya ambruk, menjelma menjadi tubuh kedua. Lewat tubuh kedua ini ia mulai melancarkan strategi teksnya di sekitar seseorang yang telah kehilangan dirinya di terminal bus itu ataupun di antara warung-warung kopi di sekitarnya. Permainan tubuh pertama, tubuh kedua dan tubuh ketiga ini menjadi koreografi menarik yang dilakukan Hendra di ruang publik.

Hal yang sama berlangsung pada Rizki Rizkika Riani dalam pertunjukan CCL Bandung, Dibayar Kontan, sutradara Iman Soleh. Akting Riani bermain antara tubuh perempuan, tubuh perempuan yang melawan dan tubuh perempuan berkumis. Perubahan berlangsung dalam jarak yang pendek, karena pertunjukan berada dalam gedung. Pertunjukan ini, terutama pada The Game yang dimainkan aktor Dedi Warsana, juga menggunakan kelompok band sebagai persuasi publik.

Cinta dan sejumlah keributan

Luka-luka manusia berhadapan dengan berbagai agresi nilai yang datang dari dunia luar, berlangsung hampir di seluruh catatan di atas. Hanya Poppel, Kaori, dan Hendra yang menghadapinya dengan strategi berbeda: tidak ikut terseret ke dalam pembusukan ataupun bentuk-bentuk persuasi publik. Metafora mereka ciptakan antara tubuh pertama dan tubuh ketiga, serta menempatkan tubuh kedua sebagai tubuh yang terjaga, termasuk terjaga untuk tidak menjadi "budak kesenian". Tubuh keduanya cenderung menjadi "tubuh workshop" yang mengelola hubungan antara tubuh pertama dan tubuh ketiga. Lewat pengelolaan ini puisi lahir dengan jernih, di luar sampah-sampah bahasa dan politik maupun gaya hidup.

Luka-luka itu dalam pertunjukan STB juga berlangsung sebagai kepalsuan dan kerapuhan domestik lewat naskah yang ditulis Serge Mercier (pengarang Perancis). Sugyati dan Gatot WD yang bermain sebagai suami istri tua harus menghadapi dunia luar dengan konflik-konflik domestik mereka sendiri. Dunia luar bagi mereka menakutkan. Sementara dalam kehidupan domestik, mereka juga menghadapi perang mereka sendiri dengan cinta yang menyimpan sejumlah keributan dan kenangan.

Konflik domestik yang berlangsung lebih parah lagi dalam pertunjukan perjalanan Dari Wak Menuju Tu, Laskar Panggung Bandung: keluarga muda dari kelas bawah yang kian terancam oleh cepatnya angka perceraian karena alasan-alasan ekonomi. Laskar Panggung tidak menggunakan naskah sebagai dinding pertama seperti yang dilakukan STB, melainkan sebagai pipa bercabang yang dibocorkan dimana-mana dan setiap pembocoran menghasilkan dinding baru. Dinding-dinding inilah yang dikoreografi oleh Laskar Panggung Bandung.

Dramaturgi dan kurator teater

Seluruh pembacaan di atas, pada gilirannya lebih untuk memperlihatkan bagaimana teater dibaca lewat fenomenanya sendiri sebagai dinding pertama dan lewat fenomena kehidupan publik sebagai dinding kedua. Pembacaan keduanya bisa dilihat sebagai agresi ataupun sebagai persuasi. Dalam pembacaan ini, peran kurator menjadi penting.

Kurasi di sini tidak semata-mata berfungsi untuk audisi. Lebih dari itu, melalui kurasilah teater mendapatkan visi, tema, ataupun proyeksi yang menantang dirinya sendiri. Akan tetapi, kurasi seperti ini tidak akan berjalan efektif untuk terjadinya progres ketika kelompok-kelompok teater tidak menjalankan fungsi dramaturgi dalam kerja produksi mereka. Peran dramaturgi inilah yang menjadi "mata kedua", datang dari luar disiplin mereka dan membawa mata lain untuk terjadinya progres dalam kerja teater, serta menggabungkan model-model eksplorasi organik di luar desain di awal persiapan dan kerja workhsop untuk lebih mendekatkan desain kepada target gagasan yang mau dicapai. Teater sulit melihat progresnya sendiri, selama ia tertutup dengan mata pertamanya sendiri.***

* Afrizal Malna, penyair

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 25 Juli 2010