TUMBUHNYA media massa baru, dalam hal ini seperti jejaring sosial Facebook, telah memberikan dorongan tersendiri bagi perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia modern, khususnya untuk penulisan cerita pendek dan puisi, yang ditulis oleh kaum perempuan. Terbitnya antologi puisi Perempuan Dalam Sajak yang ditulis oleh sembilan perempuan penyair pada bulan Mei 2010, bermula dari perkenalan di dunia maya.
Sembilan penyair yang dimaksud adalah Faradina Idhihary, Kwek Li Na, Helga Worotitjan, Nona Muchtar, Pratiwi Setyaningrum, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K., dan Weni Suryandari dengan editor Kurniawan Junaedhie, serta kata pengantar dari Maman S. Mahayana, yang kini menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.
"Setiap orang bisa mengeks-presikan karyanya di dunia Facebook, ketika mereka tidak bisa menembus media massa cetak. Saya mengamati dengan tekun, ternyata di media jeja-ring sosial ini banyak sekali puisi yang ditulis oleh kaum perempuan. Saya mengusulkan kepada mereka untuk berhimpun dan menerbitkan kumpulan puisi. Ajakan saya disambut," ujar Kurniawan Junaedhie dalam percakapannya dengan penulis di Bandung, baru-baru ini, saat meluncurkan antologi cerita pendek Burung Gagak dan Tukang Kebun, di salah satu toko buku di Bandung.
Tidak puas dengan antologi puisi bersama, Susy Ayu pada pertengahan Juni 2010 menerbitkan kumpulan puisi tunggal yang diberi judul Rahim Kata-kata. Buku puisinya ini pada 19 Juni 2010 lalu diluncurkan di PDS H.B. Jassin dengan pembicara penyair Eka Budianta. Peluncuran buku tersebut mendapat sambutan luar biasa dari berbagai kalangan penulis, baik yang yang sering menulis di media massa cetak, maupun di dunia maya. Para perempuan pengarang di atas, sebagian besar tinggal di Jawa Barat dan Kota Jakarta, meski ada juga yang tengah mengembara di Hong Kong, yakni Kwe Li Na.
Tentu saja perempuan pe-ngarang di atas, dalam hal ini perempuan penyair, hanya sebagian kecil yang sering memublikasikan karyanya di dunia maya. Masih ada sejumlah perempuan lainnya yang puisi-puisinya menarik untuk diapresiasi seperti yang ditulis oleh penyair Desiyanti Wirabrata yang saat ini bermukim di Bandung. seperti puisinya di bawah ini yang diberi judul "Kau" (2009): kau/ tak bisa henti bicara/ tentang sepenggal kisah cinta nestapa/ terbungkus manis gulagula.// kau menjaja cerita luka/ pada mereka punya telinga/ cuma supaya nampak bermakna.// tak bosankah engkau, nona?//
Kritik yang terdalam dalam puisi tersebut tidak hanya ditujukan kepada kaum perempuan saja, tetapi juga kepada kaum laki-laki, yang luka oleh cinta, khianat yang pedih dan sebagainya, sambil mempertanyakan apa makna dari semua itu bila secara terus-menerus diomongkan?
Puisi yang ditulis Desiyanti Wirabrata cukup jernih, sebagaimana yang ditulis oleh penyanyi kondang Trie Utami, yang memublikasikan sejumlah puisi yang ditulisnya di jejaring sosial yang sama, seperti di bawah ini diberi judul " Sahabat Abhayagiri 45", berbunyi: benar apa kata rakaiku, bukan di sini tapi di loka tempat peradaban itu pernah luhur dan belum/ terendam sejarah. tak kukatakan itu sebagai swarnabhumi tapi ini, di mana i-tsing dengan/ gagah menatah kertas lontar dengan pena hanya untuk mengatakan bahwa shilifosi adalah/ ruang ajar dunia, tempat dimana atisha mendatangi dharmakitri untuk mesastra mengenal/ aksara agar dapat membaca kitab. benar apa kata rakaiku, bukan di sini tapi di loka tempat/ gunung kosmos dibangun dan belum seorangpun dapat memaknainya. tak kukatakan itu/ sebagai nusantara tapi ini, dimana bhinneka bukan cuma kata namun nyata sebagai simbol/ harmoni dan tunggal ika bukan hanya dogma tapi nampak dalam tujuan penya-tuan masa/ mendatang. benar apa kata rakaiku, bukan di sini tapi di loka tempat supra mandala telah/ diwujudkan dan tak ada yang da-pat menguraikan chakranya sampai hari ini. tak kukatakan itu/ sebagai indonesia tapi ini, di mana ramalan jayabaya lambat laun mulai terbukti dan tak semua/ orang mau berkaca dengannya, dimana semua telunjuk mengarah kesini dan tak seorangpun/ tersadar bahwa di sinilah itu, gugus semua carita dan muasal segenap langkah sejarah yang/ perlahan mulai menampakkan rautnya di wajah orang-orang janggal yang perkasa dan tangguh/ berdiri di atas noktah jejaring zaman. benar apa kata rakaiku, bukan di sini tapi ini.// (2010)
Dalam percakapannya dengan penulis Trie pernah mengatakan, dengan menulis puisi, ada sesuatu yang terbebaskan di dalam dirinya. Apakah puisi yang ditulisnya itu akan dibaca orang atau tidak, itu tidak penting. "Yang paling utama adalah saya mendapatkan pencerahan," kata Trie Utami, yang menurutnya menulis puisi sejak masih kanak-kanak. Sebagian dari puisi yang ditulisnya itu ada juga yang dibuat jadi lagu.
Membanjirnya puisi yang ditulis oleh kaum perempuan maupun kaum laki-laki, pada satu sisi membuat pengamat sastra Indonesia, Berthold Damshauser yang kini tinggal di Jerman merasa kewalahan untuk membacanya. Berthold Damshauser juga aktif di Facebook. Hubungannya dengan para pengarang di Indonesia terjalin dengan baik.
Lepas dari soal puisi, pe-ngarang perempuan sekelas Laela S. Chudori juga memublikasikan sejumlah cerita pendek yang ditulis di Facebook, sebelum dibukukan. Petikan cerita pendek 9 Dari Nadira pernah dipublikasikan di Facebook, selain dipublikasikan di majalah sastra Horison. Demikian juga pengarang Faradina Idhihary yang datang kemudian. Cerpen yang ditulisnya, selain dipublikasikan di Facebook juga dimuat di majalah sastra Horison.
**
MENYINGGUNG soal munculnya penyair perempuan di jejaring sosial Facebook, Maman S. Mahayana mengatakan, fenomena munculnya penyair perempuan tentu saja harus disikapi secara positif. Ada beberapa hal menarik atas fenomena itu: (1) penyair perempuan itu lahir bukan dari komunitas sastra yang kepenyairannya lahir lantaran pergaulannya dalam komunitas itu, (2) mereka sebagian ibu rumah tangga atau setidaknya, secara sosial sudah hidup mapan, (3) kelahiran kepenyairan mereka pada mulanya dari menulis puisi sekadar curhat di ruang Facebook (fb). Lalu terjadi dengung puja-puji dari komunitas FB ini.
Dalam konteks komunikasi di ruang fb, kedewasaan dan penyikapan yang bijaksana, sangat menentukan: apakah ruang fb sekadar ajang ekspresi yang apa pun boleh dikeluarkan, termasuk fitnah, penyebaran kebencian, atau ajang komunikasi yang tidak sekadar berbagi, tetapi juga saling dukung, dan mempermahir tindak seleksi: memilih dan memilah. Apakah semuanya dapat direkatkan dalam ajang perkawanan atau terpaksa menutup pintu ketika kita mulai membaui aroma fitnah dan suara penghuni kebun binatang. Dalam hal itulah, para perempuan yang secara sosial sudah mapan itu memperlihatkan kematangan dan kedewasaannya. Ruang FB menjadi ajang meluaskan perkawanan--persahabatan dalam makna yang sesungguhnya. Mereka dapat menepis segala isu, mulai dari yang berbau comberan, murahan, sampai pada sesuatu yang memang dicarinya: belajar dari "guru" yang memang berilmu dan tak kikir mendermakan ilmunya.
"Di antara berseliweran segala isu itu, mereka (para perempuan itu) menyelusupkan curhat dalam bentuk puisi. Sebagai sesama teman dengan keinginan menjaga tenggang rasa, pilihan paling aman adalah pujian. Jadilah, hampir semua komentar atas puisi mereka itu ditanggapi dengan gambar jempol, pujian, dan tak ada yang coba melakukan kritik. Kalaupun ada, masukannya tanpa dasar, tanpa argumen. Segala tanggapan itu cukup disampaikan dalam satu-dua kalimat. Selesai! Di situlah uniknya. Di antara rasa senang mendapat pujian itu, mereka juga merasa itu sekadar basa-basi, pujian model Tino Sidin. Mereka haus masukan (kritik). Lalu berkeliaranlah mereka mencari penyair mapan dan meminta komentarnya. Sebagian dari para perempuan itu, ada yang cuma dengar nama penyair itu sayup-sayup dan belum sekalipun membaca karyanya. Sebagian ada yang sudah membaca karyanya. Sebagian lain --yang agak serius-- justru menempatkan penyair itu sebagai sosok yang dikaguminya. Untunglah, mereka berjumpa dengan penyair yang rendah hati, yang mau berbagi ilmunya, yang tak cemas tersaingi, yang betul-betul memberi support positif," ujar Maman dalam percakapannya dengan penulis lewat fb.
Maman menegaskan, para perempuan itu sungguh beruntung berjumpa dengan Penyair dengan huruf P besar. Penyair besar yang berjiwa besar dengan wawasan besar, bergagasan besar, dan punya semangat besar untuk membesarkan sastra Indonesia. Terus terang, sebagai pengajar sastra yang harus selalu mengamati perkembangan sastra Indonesia, sebagian waktu terpaksa ditumpahkan untuk mencermati perkembangan sastra Indonesia yang terjadi dalam dunia maya ini. Saya mencermati, sejumlah penyair menempatkan dirinya sebagai Penyair dengan huruf P besar.
"Saya sebut (secara alfabetis) beberapa nama: Abdul Hadi W.M., Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahda Imran, Ahmadun Y. Herfanda, Cecep Samsul Hari, Dharmadi, Dimas Aria Miharja, Isbedi Stiawan, Jamal D. Rahman, Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedhie, Remi Novaris, Soni Farid Maulana, dan beberapa nama lain yang sudah dikenal sebagai penyair yang cukup rajin memberi komentar atau masukannya. Komunikasi dengan para penyair itulah yang menjadikan para perempuan itu memperoleh energi positif, dan komentar mereka dipercaya lantaran para penyair itu tidak coba mengkultuskan diri atau menebar benci. Sebagai penyair, mereka juga sudah membuktikan diri dengan sejumlah karya yang memang patut dan pantas digunakan untuk menyerap model metafora, style, dan ekspresi persajakannya. Di situlah sesungguhnya proses belajar para perempuan itu dimulai. Terjadilah dialog positif di ruang fb. Interaksi yang baik di antara mereka itulah proses belajar yang menggelindingkan para penyair perempuan itu menulis puisi dengan kesungguhan, serius, tak sekadarnya, dan membaca karya-karya penyair lain. Langkah Kurniawan Junaedhie malah lebih jauh dari itu. Ia bertungkus lumus, mengumpulkan, mengedit, dan menerbitkannya," kata Maman.
Begitulah, ruang fb telah menjadi ajang lain yang positif ketika para pemakainya menggunakan untuk segala kepentingan yang juga positif. Jadi, bagaimanapun, proses kelahiran para penyair perempuan yang berangkat dari ruang fb, tidaklah sekali jadi. Di sebaliknya, ada proses belajar yang intens dari para penyair mapan. Di sana, juga ada kesungguhan untuk menulis puisi bukan sekadar curhat. Para perempuan yang punya kesadaran itulah yang memperlihatkan perkembangan yang makin matang. Maka, menulis puisi bagi mereka kini, tidak lagi sebagai sekadar curhat, tetapi mewartakan kegelisahan tentang perjalanan hidup dalam kehidupannya berkebudayaan.
Persoalannya kini, apakah para perempuan yang memanfaatkan ruang fb untuk proses belajar dapat mengantarkannya sebagai penyair? Semuanya terpulang pada diri mereka. Tanpa proses belajar (dari Penyair dengan P besar itu), mereka tetap akan berkutat pada kepuasan puja-puji model Tino Sidin.
Persoalan lain adalah, sejauh mana pula para Penyair dengan P besar itu tetap konsisten dengan sikap kepenyairannya dengan P besar itu atau tergelincir pada semangat mengultuskan diri atau menyebar benci atau menarik diri dan cuma mau mengurusi dirinya sendiri. Persoalan berikutnya adalah perlunya kesadaran para penyair perempuan itu untuk tidak menempatkan karya pertamanya itu sebagai prestasi puncak karya terakhirnya.
Tulisan ini merupakan contoh kecil dari perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia modern yang pertumbuhannya tidak hanya dipublikasikan di media massa cetak. Memang antara media massa cetak dan Facebook ada perbedaan yang cukup mendasar, yakni di Facebook yang setiap orang bisa memublikasikan karyanya itu tidak butuh editor. Namun, ini tidak berarti bahwa yang tidak ada editornya itu, tidak ada mutunya. Paling tidak, bila diadakan penelitian lebih lanjut, dan kita tekun untuk berselancar, karya sastra Indonesia akan semakin beragam bentuk pengucapan yang dikreasi oleh para pengarangnya dari zaman ke zaman. (Soni Farid Maulana/"PR")
Sumber: Pikiran Rakyat, Kamis, 1 Juli 2010
No comments:
Post a Comment