Sunday, July 11, 2010

Cinta "Pabaliut" dan Maut

-- Matdon

LASKAR Panggung Bandung (LPB) kembali mementaskan naskah teater karya/sutradara Yusef Muldiyana, Jumat (16/7) pukul 20.00 WIB di Gedung Sunan Ambu STSI Bandung berjudul "Dari Wak Menuju Tu". Sebelum membicarakan itu, ada baiknya kita membicarakan Yusef Muldiyana sang sutradara, karena nama ini nyaris tak bisa dipisahkan dari LPB. Tak berlebihan jika disebut Yusef adalah LPB, dan LPB adalah Yusef.

Ia sosok pekerja teater yang gelisah, tak pernah berhenti berkarya. Melalui LPB, ia terus melahirkan karya unik dan menarik, gaya penyutradaraannya mengingatkan kita pada almarhum Arifin C. Noer. Darah sang guru kemudian membawa nama Yusef disebut-sebut sebagai "Neo Arifin C. Noer".

Memang sepeninggal Arifin pada Mei 1995, dunia teater nasional sangat kehilangan tokoh sutradara yang "nakal" dalam pemanggungan peristiwa, jika masih ada Nano Riantiarno tentu gaya keduanya berbeda. Sampai akhirnya lahir LPB pada 20 November 1995 dengan format gaya "Arifinisme", bukan meniru tetapi memaknai jiwa naskah Arifin. Bahkan, selama lima belas tahun LPB berkiprah dalam dunia teater, selalu memiliki ciri khas yang tidak dimiliki kelompok teater lainnya di Bandung khususnya.

Yusef Muldiyana, salah seorang pendirinya, sekaligus penulis skenario dan sutradara, menggiring LPB menjadi teater dengan tarian, nyanyian, dan gerakan yang khas, selama itu pula Yusef dikenal publik teater nasional sebagai "Neo Arifin C. Noer". LPB termasuk kelompok paling lama bertahan dan berkarya setelah STB dan AUL.

Tampuk penyutradaraan LPB sempat diserahkan kepada Kemal Ferdiansyah dan Ria Mifelsa, meski akhirnya Yuseflah yang kembali menjadi "ahli waris"-nya. Ini menakjubkan sekaligus juga menjadi pemikiran. Menakjubkan karena tenaga kuda Yusef belum mampu diikuti Kemal dan Ria, dan sebagai pemikiran pula karena tampaknya Yusef harus mulai memikirkan, eksistensi sutradara dalam kelompok teater begitu penting. Regenerasi sutradara di tanah air menjadi penting juga, sebab tanpa regenerasi, kelompok teater akan mati bersama kematian sutradaranya. Contoh ke arah situ sudah banyak. Teater Ketjil hilang ditelan sejarah seiring meninggalnya Arifin, Teater Populer tenggelam begitu Teguh Karya wafat, terakhir STB, hingga hari ini kesulitan mencari sutradara sekelas Suyatna Anirun.

**

PILIHAN nama Laskar Panggung Bandung menunjukkan hasrat perjuangan dengan kesadaran bahwa perjuangan itu panjang, melelahkan, dan memerlukan ketekunan. Seperti petani yang dengan gigih mengolah sawah dan hasilnya bisa berguna bagi siapa saja yang menikmati. Sejak didirikan oleh Yusef Muldiyana, Deddy Koral, dan Aendra H. Medita, LPB terus-menerus berkarya ke arah situ. Para aktornya silih berganti datang dan pergi, sejak melakukan aksi teatrikal di jalanan saat lengser Presiden Soeharto 1998 hingga sekarang.

Kali ini LPB bicara soal cinta yang terjadi di masyarakat, kisah manusia yang lupa diri dan serakah. "Dari Wak Menuju Tu" berkisah tentang seorang suami pengangguran bernama Rajabela, setiap malam mabuk dan ugal- ugalan, akibatnya sang istri bernama Sulastri minta cerai. Sang suami menginsyafi kesalahannya lalu bekerja sebagai Satpol PP dan bertunangan dengan Dasilva.

Hubungannya dengan Dasilva tidak lama, karena Dasilva memilih menikah dengan seorang guru bernama Chris Kelana. Namun, perkawinan Dasilva tidak langgeng, ia pun bercerai dengan Chris Kelana.

Cerita lucu terus bergulir, Chris Kelana memilih menjadi petinju pascaperceraiannya dengan Dasilva. Dia kemudian bertunangan dengan Juleha, janda yang juga penari, tetapi tidak sampai ke pernikahan karena terjadi perselisihan antara mereka. Juleha menikah dengan pelukis bernama Gani S., meski akhirnya bercerai karena Juleha tidak bisa mengikuti gaya hidup Gani.

Kisah cinta pabaliut ini makin mengasyikkan ketika Gani S. melakukan pendekatan pada Rosmawati, tetapi hubungannya kandas di tengah jalan karena Rosmawati menikah dengan Tugar, seorang laki-laki dari tanah seberang. Rumah tangga Rosmawati acak-acakan dan bercerai karena ternyata Tugar seorang penjahat.

Tugar lalu berpacaran dengan Misda, tetapi tidak jadi menikah karena Tugar kepergok menipu orang. Misda berpacaran dengan Janggo, dan hubungannya ini tidak langgeng. Janggo bertemu dengan wanita lain yang lebih cantik dan beberapa wanita lain hingga bertemu dengan wanita sakit yang merupakan istri dari pengusaha bernama Harkat Sukaharta. Harkat Sukaharta menyerahkan istrinya pada orang tuanya karena tidak tahan. Lalu, Harkat menikah dengan Yumiati, tetapi bercerai karena sering bertengkar.

Kisah cinta makin tak keruan ketika perempuan bisu bernama Mimi cerai dari suaminya, Hambali. Hambali mendekati Sulastri (mantan istri Rajabela), tetapi Sulastri menolak karena ia merasa hidupnya telah berubah dan tidak mungkin cocok dengan Hambali. Ya Sulastri tiba-tiba menjadi pemabuk, sampai akhirnya Rajabela datang pada Sulastri yang mati bunuh diri.

Kisah cinta dalam pementasan "Dari Wak Menuju Tu" mungkin biasa terjadi dalam kehidupan, tetapi pengemasan gaya LPB menjadi dara tarik tersendiri. Pementasan berdurasi seratus menit ini menampilkan gerakan, nyanyian, dan dialog konyol. Naskah ini sebenarnya sudah dipentaskan dua bulan lalu di kampus Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, tetapi Yusef mengubahnya kembali sesuai dengan ide yang tiba-tiba datang.

Dari naskah ini kita belajar kembali merenungi makna cinta dan kehidupan, belajar kembali mengisi kesempatan emas untuk menginventarisasi kebajikan dan kebijakan, karena waktu adalah peluang untuk kontrol diri. Dari waktu ke waktu kita disuguhi berbagai peristiwa yang juga pabaliut, baik menimpa diri sendiri maupun orang lain.

Waktu sering menipu kita, padahal kesempatan hidup mengisi waktu hanya sekali setelah itu mati, seperti Sulastri dalam kisah ini.***

Matdon, penyair, tinggal di Bandung

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 11 Juli 2010

No comments: