Sunday, March 31, 2013

[Tifa] Membaca Linus, Kesederhanaan dan Kekuatan Lirik Anak Gunung

Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa Ia tak bisa ngomong aktif Indonesia, tapi pasif saja.

Tapi budi bahasa Jawa ngoko dan krama, jangan tanya.

Ia suka mengaliri sawah seperti juga hidupnya.

Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa.

Ia tak pernah lupa kehilangan seorang anaknya.

Ia selalu ingat hari lahir dan hari kematiannya.

Tapi ia selalu lupa besar tebusan bagi hidupnya.

ITULAH sepenggal puisi karya Linus yang dibacakan oleh sahabatnya, Helga Korda, berjudul Ibu di Desa. Helga membacakan puisi itu pada malam hari di sebuah acara khusus untuk mengenang Linus Suryadi AG dalam acara Sastra Bulan Purnama edisi 19, di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul Yogyakarta, Selasa (26/3).

Helga juga membacakan puisi Linus lainnya, Lingga dan Yoni, yang sangat berkesan dalam hidupnya. Karena berawal dari puisi itulah, Helga berkenalan dengan sosok lelaki yang kini menjadi suaminya, Ashadi Siregar, penulis Cintaku di Kampus Biru sebuah novel yang juga fenomenal itu.

"Dan ketika saya diminta untuk membaca puisi karya Linus, saya tidak bisa menolak. Karena dia sahabat yang baik untuk saya," kata Helga Korda sebelum membacakan puisi.

Linus Suryadi AG lahir pada 3 Maret 1951 di kaki Gunung Merapi, Kadisobo, Sleman, Yogyakarta. Sebagai penyair empat generasi, Linus telah melahirkan banyak buku puisi, seperti Rumah Panggung, Kembang Tunjung, dan Tirta Kamdanu. Ada juga beberapa buku kumpulan esai, seperti Regol Megal-Megol, Nafas Kebudayaan Yogya, juga Di Balik Sejumlah Nama.

Dari situlah, Tembi Rumah Budaya mengadakan acara untuk mengenangnya.

"Karena selain Linus ialah penyair yang lahir di empat generasi (1970, 1980, 1990, 2000), karya-karyanya juga banyak memberikan inspirasi kepada generasi tua dan generasi muda," ujar Ons Untoro, koordinator acara Sastra Bulan Purnama.

Malam itu, tak hanya generasi tua yang hadir untuk membacakan puisi-puisi Linus. Ada juga generasi muda yang sama sekali belum pernah bertemu Linus. Namun melalui karya Linus, mereka mulai berkenalan dengan puisi dan sastra.

Seperti Endah Sr yang membacakan dua puisi karya Linus, Ibunda dan Kembang Tunjung. Ia belum pernah kenal bahkan belum pernah bertemu Linus Suryadi, karena dia baru datang ke Yogyakarta pada 1998. Namun, ia mengaku telah mampu mengenali Linus melalui karya-karyanya.

"Karya-karya Linus merupakan puisi lirik yang sangat kuat. Puisinya mampu menginspirasi banyak generasi dan sudah banyak yang diterjemahkan ke berbagai bahasa," ulas Ons yang juga menggemari lirik puisi Linus.

Seperti prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus yang dianggap fenomenal dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Pun, Umar Kayam menyebut karya Linus itu sebagai Centhini modern.

Bagi para seniman, puisi-puisi lirik Linus memiliki kekuatan, realis, dan masih sangat relevan dengan masa sekarang. Untung Basuki,

sastrawan yang pernah bergabung di Bengkel Teater, misal, mengakui lirik-lirik puisi Linus masih hidup. Aku dan Penari merupakan karya Linus yang ia sukai.

Karena lirik prosa puisi itu menghadirkan sebuah realitas sensualitas seorang penari yang dihadirkan secara detail. "Ia mampu menyajikan syair yang realis, detail, dan mampu mendorong generasi muda untuk berkarya. Luar biasa Linus itu," puji Untung.

Membaca Linus, bagi para penyair malam itu, sama saja dengan membaca karya sastra yang lahir dari perasaan yang dalam. "Karya-karya Linus lahir dari hati, sehingga ia bisa meraba dan melihat sesuatu yang akan terjadi, kuat dan tidak kering," kata Bakdi Sumanto, sahabat Linus. (FU/M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 31 Maret 2013

[Tifa] Bianglala di Atas Kanvas

-- Iwan Kurniawan
Persoalan perselingkuhan hingga kerasnya kehidupan di Ibu Kota tersaji erat. Ada sebuah tafsiran makna yang membuat karya-karya itu begitu kuat.

SEORANG perempuan berambut terurai hanya menatap kosong ke depan. Matanya begitu sayu dan mulai berkaca-kaca. Perasaannya seakan hancur karena mendapati kekasihnya tak setia.

Di belakang perempuan itu, ada seorang perempuan lain dengan seorang lelaki sedang berpelukan. Uniknya, corak lukisan orang berpelukan itu berbeda dengan objek utama.

Namun, sesungguhnya kedua objek itu sangat berhubungan erat. Salah satunya harus merasakan sakit karena mendapati cintanya pupus. Sebuah realitas yang tersaji secara sederhana di atas kanvas. Nuansa itu tersirat jelas pada lukisan berjudul Love Song (150x200 cm) karya pelukis Halim yang dipamerkan di Zola Zolu Contemporary Art Gallery, Kemanggisan, Jakarta Barat, pertengahan pekan ini.

Halim menghadirkan teknik lukisan yang mudah dikenal dalam perkembangan seni. Salah satu unsur yang begitu khas, yaitu pada objek orang berpelukan. Dia menghadirkan distorsi sehingga tampak adanya penyederhanaan, transparansi, dan deformasi.

Dari gaya itulah, tak mengherankan jika Halim juga memasukan gaya kubisme. Ada fase analitis yang dilanjutkan dengan fase sintetis. Lewat fase kubisme analitis, misalnya, dia telah membuat pernyataan pada dimensi ruang dan waktu.

Tema dalam karya Love Song lebih variatif. Dia berani untuk meninggalkan sudut pandang yang menjadi ciri khas dalam gaya kubisme.

Namun, terlepas dari unsur kubisme itu, objek perempuan berambut terurai sebenarnya lebih condong ke gaya potrait. Sebuah penggabungan yang menghadirkan sentuhan karya kontemporer.

Pada pameran yang digelar hingga sebulan ke depan itu, sedikitnya ada 50 karya dari belasan pelukis. Para seniman yang ikut berpameran, antara lain Gunawan Hanjaya, Yohanes Dedeo, Sutopo, I Tjwan Ing, Mohammad AK, Nurdami, Agung Yuwono, Nugroho Adi, dan Udin Antara.

Agung menghadirkan karya Jakarta sang Ibu Kota (120x140 cm). Ada sebuah peta yang di atasnya terdapat sepatu hak tinggi. Latar belakang berupa bangunan tinggi dengan Tugu Monas semakin memperjelas kota yang dimaksudkan.

Sepatu sebagai simbol 'ibu', sedangkan gedung-gedung pencakar langit sebagai lambang 'sebuah kota modern'. "Peta tersebut sebagai simbol. Orang dari daerah akan berlomba-lomba untuk datang dan bekerja keras di Jakarta. Tujuannya untuk mengais rezeki," ujar Agung santai.

Berbeda dengan Ahmad Su'udhi. Sebagai kritikan kepada kehidupan warga kota besar, dia bermain dengan unsur kemewahan. Itu terlihat dalam karya berjudul Shopping Manis (150x200 cm).

Dalam karya itu, terlihat seorang ibu muda berbusana seksi sedang duduk di dalam trolley belanjaan. Uniknya, ada lima bayi yang sedang merangkak. Salah satunya sedang berusaha berdiri untuk mendorong trolley.

Persoalan dalam karya itu begitu lekat dengan simbol-simbol konsumtif. Kehadiran barang-barang bermerek masih menjadi ciri khas yang Ahmad sajikan dalam karyanya.

Perdesaan

Terlepas dari karya-karya berlatar metropolis itu, pelukis I Ketut Marra mencoba menghadirkan karya dengan gaya naturalis. Sebuah karya yang begitu menyita perhatian pengunjung, yaitu View from Munduk, Buleleng.

Karya itu mengambil nuansa alam. Ada hamparan pematang sawah, perbukitan, dan dusun kecil sekitar persawahan. Paduan warna hijau sedikit menyegarkan mata.

Ketut juga menghadirkan karya Road Through Penebel (140x207 cm).

Lagi-lagi unsur perdesaan dengan nuansa Bali begitu khas. Dia seakan mau menunjukkan nuansa alam yang masih bertahan di Bali. Sayangnya, tanpa disadari, proses modernisasi sesungguhnya telah merambah ke Penebel.

Bagi lelaki kelahiran 15 Desember 1961 itu, gaya naturalis sudah menjadi ciri khas. Apalagi, dia merupakan pengajar seni di Sekolah Seni Rupa Indonesia, Batu Bulan, Bali.

Saat mencermati dua karya tersebut, Ketut seakan ingin menujukan keagungan Tuhan. Keindahan alam semesta dan tradisi budaya Bali mampu dia wartakan lewat kanvas.

Sementara itu, kehadiran pelukis Kusmana cukup menyita perhatian. Tengok saja pada karya berjudul Hannover Landeshauptstadt, Niedersachsen (120x200 cm).

Terdapat unsur bangunan tua yang lekat dengan sejarah. Secara keseluruhan, pameran bersama ini seakan menghadirkan bianglala kehidupan. Persoalan perselingkuhan, urbanisasi, hingga budaya konsumtif menjadi sebuah realitas yang kita temukan sehari-hari.    (M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 31 Maret 2013

Antara Asas, Puisi, dan Referensi Sejarah

-- Iwan Kurniawan

PENYAIR Zeffry Alkatiri tampak kebingungan saat hendak membacakan sebuah puisi karyanya di depan audiens. Lelaki berperawakan sederhana itu terlihat membolak-balik beberapa halaman dalam buku terbarunya berjudul Post Kolonial & Wisata Sejarah dalam Sajak.

Dia hanya nyengir. Sejurus, Zeffry langsung meletakkan bukunya di atas meja. “Maaf, saya tidak bisa (melihat huruf-huruf) dalam buku ini. Saya lupa membawa kacamata,” ucapnya, sopan, sambil bergegas duduk.

Acara diskusi yang berlangsung di Gedung Salihara, Jakarta Selatan, awal pekan ini, cukup sederhana. Zeffry boleh menjadi ‘raja’ karena menjadi titik sentral malam itu. Karya-karyanya diulas dan dikaji secara historis dan objektif.

Lelaki 54 tahun itu menghadirkan sajak-sajak dalam dua bagian. Bagian pertama, Post Kolonial, berisikan 21 sajak. Dia seakan ingin mengingatkan pembaca tentang sekelumit problem yang terjadi di era-era penting dalam sejarah bangsa ini.

Bahkan, keliaran Zeffry mampu ‘berwisata’ ke berbagai penjuru dunia sehingga dia juga menghadirkan 96 sajak di bagian kedua, Wisata Sejarah. Itu patut mendapat apresiasi, terutama pada proses kreatif Zeffry dalam menulis.

Dia menggunakan pendekatan historis dengan empat dari lima pertanyaan utama, yaitu apa, siapa, kapan, dan di mana. Pertanyaan ‘bagaimana’ tidak dia jabarkan. Hal itu sengaja dilakukan agar pembaca yang menilai dan mengkritik karya-karya tersebut.

Itulah kreativitas yang seakan keluar jalur. Ia cukup berbeda dari kebanyakan penyair yang acap kali harus berlama-lama berpikir hanya untuk mendapatkan kata-kata yang paling pas.

Untuk beberapa sajak, Zeffry seakan mau menguak takdir. Perseteruan hingga pergunjingan sejarah kelam tentang kolonialisme menjadikan karya-karyanya semakin kritis. Dari situ sajak-sajaknya lekat dengan masa lalu, masa kini, dan mungkin saja masa depan.

Sajak berjudul Kapan Kau Datang Lagi, Jaap?, misalnya, begitu kuat dengan upaya untuk mengingat kembali sebuah peristiwa bersejarah. Ia menuliskan puisi itu sebagai sebuah refleksi atas peringatan 410 tahun VOC, pemerintah jajahan Hindia Belanda, dan kemerdekaan RI.

Perihal sejarah, Zeffry memasukkan pertanyaan ‘kapan’ sebagai kata pertama dalam bait pertamanya. Dia mencoba untuk bermain secara liar sehingga menghasilkan sajak yang utuh, tetapi butuh jawaban dari orang yang membaca.

'Kapan kau datang lagi, Jaap? Sebab kau pernah berjanji: ‘Vaarwel, tot betere tijden.’ Kami sabar menunggu Kau tinggalkan kami Seperti seorang ibu meninggalkan anaknya di pintu gereja Itu masih bagus Sesungguhnya kau meninggalkan kami di tengah hutan tanpa perbekalan Kami sadar, kau perlu bezoek (besuk) ibumu yang sedang sakit keras Kakimu begitu berat melangkah seakan sepatumu terpaku Setelah itu, kita tidak pernah lagi bertemu....' Referensi

Terlepas dari penafsiran akan sejarah yang tertuang lewat sajak, ada yang menjadikan sajak-sajak Zeffry cukup berbobot. Dia bahkan menggunakan referensi untuk ‘berpetualang’ dalam menafsirkan setiap kota sebagai 'objek'.

Dia memasukkan nama kota dan tahun di judul-judul sajak untuk mengingatkan kembali sejarah yang terjadi di luar sana. Itu bisa dilihat pada sajak Roma, 290-305. Sajak itu berbunyi, 'Sajak zaman Apostolik orang Kristen menjadi semut Tak habis-habis bersarang di lorong-lorong bawah tanah Menghindar injakan kaki Diocletianus Menunggu lama untuk bernapas lega dalam Basilica'.

Jika menengok bait demi baik dalam sajak tersebut, Zeffry begitu kuat dalam menggunakan referensi. Latar belakang pendidikannya, sastra Rusia, kajian wilayah Amerika, dan ilmu sejarah sangat memengaruhi setiap karyanya.

Persoalan referendum yang terjadi di Timor Timur, misalnya, juga ia hadirkan lewat karya Timor Timur, 1998-1999. Sajak itu berbunyi, 'Seperti pengungsi India dan Pakistan di tahun 1947-1948 Hanya tinggal nyawa terikat di badan Kini Lorosae tercinta pun disimpan dalam peti Tapi sering dilafalkan oleh mereka diam-diam dalam misa hati....' Penggunaan nama kota dan negara begitu lekat dalam sajak-sajak di bagian kedua. Penamaan dalam sejarah memang sangat penting.

Jauh sebelumnya, Paul Ricoeur (1913–2005), seorang filsuf Prancis, pernah mengingatkan. Bahasa orang biasanya berbentuk rule-governed (taat asas), sedangkan bahasa para penyair dapat menjadi rule-changing (menciptakan asas).

Zeffry berhasil menciptakan asas, meski harus bersumber pada kunjungan referensi sejarah semata. (M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 31 Maret 2013

Mengintip Dari Jendela Zaman Ini

-- Griven H Putra

SAAT ini, semakin hari rajutan kata yang jadi puisi di gelanggang sastra kita seolah kian gaib perisa. Setiap kata yang ditenun selalu saja serupa pawai kata-kata nan kering makna. Atau terkadang, sastrawan asyik-masyuk dengan bangunan ide-ide yang kemarau pengucapan atau juga sebaliknya.

Di sebagian media, karya sastra kini hanya seolah daftar hadir bagi para siswa di kelas. Ia ada karena harus ada dan terpaksa ada, bukan ada karena suatu hajat yang besar atau pesan agung sebagai media pencerahan akal budi, akal rasa atau perisa batin yang diadun dan disyiarkan melalui kata-kata nan mengandung makna sublim yang ihwalnya memang terbatas di samudera diri, dan jatinya ia menjadi bahasa dan suara lain dari ‘Tuhan’. Akibatnya amat sering didengar ungkapan dari beberapa penyair kini, bahwa tersebab bukan ingin menjadi Tuhanlah maka karya puisi dibuat panjang, tak tentu arah dengan cara yang bertele-tele tersebut.

Padahal, bukankah fungsi sebuah karya sastra adalah ‘menyambung’ firman Tuhan, yang terkadang memang pendek, rumit dipahami, dalam (dignity), penuh makna dan pesan suci yang tafsirnya aneka ragam di langit diri manusia nan penuh misteri? Bukankah manusia itu adalah puisi Tuhan yang paling elok, simpel, indah dan lengkap serta multi tafsir maknanya? Dan sampai kini, bukankah semua pemikir dan filosof juga masih ragu mendefinisikan secara sempurna siapa manusia itu sebenarnya? Ya, karena manusia adalah puisi besar yang dihajatkan bukan untuk didefinisikan dan dibuat bertele-tele.

Fenomena puisi ‘tele’ ini tidak saja wujud di Indonesia tapi juga merambah di beberapa negeri Melayu yang lain. Tapi sebagai sebuah petualangan dan penuturan batin melalui media kata, maka karya-karya sastra, utamanya puisi yang terdedah di tengah khalayak kini masih padan dan patut untuk dipertimbangkan menjadi bacaan sambil bergolek-gelempang di katil tamadun kita yang memang sudah remuk. Sebab, karya dalam apa pun bentuknya tentulah sebuah media yang berhajat untuk berdialog dengan ihwal yang terjadi kini atau potret dari masa lalu dan masa depan yang senantiasa tiada lazim.

Ketiadaan lazim memandang cermin retak itulah agaknya yang menjadi bagian dari menyembul, eksis dan pentingnya karya sastra. Jika segala sesuatu ditulis dan disajikan dalam bentuk-bentuk lazim, maka apa lagi perbedaan karya sastra dengan berita, pamflet atau slogan-slogan politik yang berserak di sepanjang jalan dan di laman media cetak, elektronik? Akan tetapi jangan pula beraneh-aneh tapi tak ada gunanya (sekadar berbeda saja). Banyak sekali karya-karya sederhana menjadi besar bahkan membukit derajatnya karena kesederhanaannya tersebut, lihatlah puisi-puisi Sapardi Joko Damono dan sebagian puisi Joko Pinurbo dan Taufik Ismail. Walaupun dipahami juga bahwa karya sastra itu memang luas cakupannya, namun ianya sastra agaknya adalah sesuatu yang mengandung yang lain (the other), yang indah, yang dalam, yang sublim, yang bermakna, yang multi tafsir dan yang macam-macam adanya.

From the Window of This Epoch (Dari Jendela Zaman Ini) diambil dari judul puisi Jair Sulai, dan buku ini merupakan antologi puisi 73 penyair Malaysia dan Singapura yang juga sedikit mengandung yang lain itu (the other).

Shamsuddin Othman menjadi pengantar antologi ini. Menurutnya, antologi ini tetap merupakan pemikiran dan suara dari wadah generasi dua negara, berupa proses  kesinambungan  suara resah, gelisah dan protes  terhadap kemelut kehidupan masyarakat yang diasak arus gelombang modernisasi global. Di dalamnya, terang benar kritik terhadap tindak laku korup, ketak-adilan sosial dan politik serta penghianatan terhadap bahasa dan kebangsaan atau bahasa Melayu di dua negara tersebut.

Apa yang disampaikan Samsuddin itu memang bisa dilihat dari beberapa puisi yang ditulis oleh Arif Mohamad seperti ini: they ask who  owns the story of Hang Jebat/nobody answer/because the reflay has never been penned/exept engraved in the heart has died/but sadly the owner of that heart has died // I seek Hang Jebat as a symbol/ as an alama mater of my race being exposed/and evicted... (“I Seek Hang Jebat”). Atau dalam puisi Mohamed Lathif Mohamed yang berjudul “Fire”. Give your little one fire/give him not the whiteness of milk/ nor the pureness of rice/then they will mock the traditions/afraid to face reality//...... therefore give your off spring embers/don’t allow them to embrace the gardenias/let the heat be felt/only then they undrstand/the meaning of nationalism.

Bisa juga ditengok dari puisi Na Vee Sathyamurthi  yang berjudul “The Chair”, ... all the chairs are in vain/except for the chair/ bought from the firts month pension money/on which he was now seated. Atau dalam puisi Nor Usman Abdul Majid yang berjudul “The Sonnet of The Abandoned Child” di halaman 245; today I am an abandoned child without an once of willingness/by a heart as such whose pity shrinks by the adge of the road/fear not then when the dead wake at night/slaying each sleeping body in the pit of thieves// Tomorrow: may my corpse become dust sprinkled over the cemetery/my burning soul demand to attend the retribution! Hal yang sama juga terlihat dalam puisi Ridzuan Harun, “Nadim’s Lament.

Ada juga puisi sederhana yang teduh ditulis oleh Noridah Kamari: Andai aku kuda Semberani/ akan kubawa engkau menjelajah sumbu pelangi/ di mana kegelapan dan bayang-bayang)/ diwarnai tujuh cahaya/ kau tak perlu menggigil ketakutan lagi/hantu-hantumu telah lama mati dipanah sinar gemilang)// Andai aku pergata dilayar/ akan kuhanyutkanmu ke ujung dunia/ di mana ikan-ikan melompat riang berderai tawa/ dan duyung-duyung mendendangkan lagu ceria/ kau tak perlu menahan ombak sengsara lagi/ lautan sudah hilang punca untuk turut berang di hati// Andai aku seekor walimana/ akan kuterbangkanmu ke taman nan indah/ di mana bunga-bunga kembang di tangkai/ dan kumbang-kumbang kekenyangan madu/ sentiasa melimpah ruah/ kau tak perlu mengurut bisa di kaki lagi/ duri-duri sudah lama tumpul dipancung tanjaknya// Sayangnya aku seorang manusia/ hanya mampu menghulurkanmu secebis harapan/ bahawa suratan ada neracanya/ pahit dan manis ada gilirannya.

Nassury Ibrahim yang terkenal berpuisi pendek, padat dan kuat selama ini tampaknya sedikit berubah dalam buku ini. Puisinya yang berjudul “Tanah Ini Merinduimu”  dan “Tugu Suara” tak seperti puisi-puisi terdahulunya yang terangkum dalam kumpulan puisi Di Rumah Wiramal. Puisi Nassury yang terangkum dalam Di Rumah Wiramal, keluar dan lain (the other) dari irama dan corak puisi penyair Malaysia kebanyakan. Kata yang dipakai hemat, makna yang dilaungkan sangat beragam dan luas seolah tiada tepi. Di Rumah Wiramal itu tampak sekali, bahwa Nassury Ibrahim seorang pemberontak cerdas yang terbungkam oleh kekuasaan yang kelam. Ia seperti burung muda yang terkurung di sangkar istana. Kicaunya menjadi pijar api yang seperti bintang-bintang di kejauhan.  

Dalam antologi puisi sekali ini Shamsuddin Othman menyertakan dua puisi yang berjudul “Sekuntum Mawar di Jambangan Syawal” dan puisi “Tanah Nurani”. Satu puisi gelegak seperti yang dilaung dan disergahkan Shamsuddin selama ini. Satu puisi lagi berupa lena munajat seorang renta kepada Yang Kuasa. Dalam “Sekuntum Mawar di Jambangan Syawal”, Syamsuddin menutup puisinya dengan cukup memesona:

sekuntum mawar di jambangan syawal
jika kau duri akulah tajamnya
jika kau cinta akulah rindunya.

Melalui antologi ini, tampaknya penyair perempuan dari dua negara itu mulai bangkit, ini bisa dilihat dari puisi-puisi Siti Raihani Mohamed Saaid, Noridah Kamari, Khairunnasriah Abdul Salam. Selain itu, ada juga puisi Xnier dan Yeng Pway Ngon dari Singapura yang ‘aneh’ dan ganjil dari kebiasaan penyair Singapura dan Malaysia selama ini. Kehadiran Siti Raihani Mohamed Saaid, Noridah Kamari, Khairunnasriah Abdul Salam, Xnier dan Yeng Pway Ngon kelihatannya bakal jadi penanda babak baru kemajuan sastra Singapura dan Malaysia. Ke depan, publik sastra menunggu kehadiran puisi-puisi mereka.

Antologi setebal 471 halaman ini sanggam dibaca oleh kalangan manapun karena di dalamnya menggambarkan pengembaraan rasa para penyair Malaysia dan Singapura dewasa ini. Yang khas dari itu semua, bahwa puisi yang terdedah di sini banyak melaungkan pemberontakan secara sembunyi-sembunyi. Tapi tak jarang juga secara terang-terangan. Dan kelihatannya, kebanyakan puisi di sini memang seperti ngiau anak kucing di musim penghujan, yang menunggu badai entah bila akan berakhir dan sang induk pun entah bila pula kan pulang menyusukan. Selain itu, saya kira, sebagian puisi di sini merupakan suara ‘Tuhan’ yang dilaungkan dengan nada bunyi yang sengau.

Tulisan ini rasanya hanya catatan yang merupakan pandangan subyektifitas dari seorang pembaca yang sangat terbata-bata dan terpatah-patah mengeja penyelaman 73 orang pengelana batin diri di dua negara semenanjung itu. Dan tentu saja, ini hanya berupa sketsa pantulan dari sebuah cermin yang kusau.

Dari Jendela Zaman Ini
Dari Jendela zaman ini/kulihat di kota bahagia itu/penghuninya sedang tekun menenun/benang-benang air mata/sementara di daerah sepi itu/penghuninya sedang tekun mengutip/persik-persik sinar/lalu kudengar keluh kesah. n

Griven H Putra, dikenal sebagai cerpenis dan novelis Riau. Karyanya banyak dimuat di berbagai media massa, baik cerpen maupun esai. Bermastautin di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 31 Maret 2013

Keberpihakan Pulang kepada Eksil

-- Budi Hatees

ADA banyak kisah yang memicu lahirnya karya-karya besar.  Ada banyak kisah yang lahir setelah karya-karya besar diciptakan.

Barangkali, inilah sastra, dunia yang tak bisa diduga-duga. Apa yang diniatkan penulisnya, kadang tak terpenuhi. Sebaliknya, sesuatu yang tak diniatkan, sering terwujud. Perihal-perihal besar, semacam sejarah kekakacauan umat manusia, belum tentu akan menghasilkan karya besar. Begitu juga sebaliknya, perihal-perihal sepele, serupa sesuatu yang kita pikir tak akan menarik dijadikan tema untuk sebuah novel, ternyata melahirkan ketakterhinggaan yang membuat penciptanya tersentak.

Esai ini akan bicara tentang perihal besar, sejarah kekacauan, yang melatarbelakangi Pulang, novel Laila S Chudori. Muncul akhir 2012 lalu,  karya jurnalis cum sastrawan ini menjadi pembicaraan banyak kalangan. Puja-puji dilimpahkan, salah satunya sebagai karya sastra terbaik yang berkisah tentang sejarah politik kekacauan atau kekelaman 1965, yang konon mengorbankan 300 ribu-2,5 juta jiwa manusia Indonesia.

‘’Saya mendapatkan apa yang selayaknya diperoleh dari cerita,’’ kata Bagus Takwin dalam makalahnya, ‘’Mencermati Naratif Novel Pulang’’ yang disampaikan saat acara Musyawarah Buku di Serambi Salihara, 29 Januari 2013, ‘’naratif Pulang membantu saya memaknai sebuah bagian hidup bernama Indonesia dan  memeriksa kembali keyakinan dan konstruk saya tentang Indonesia.’’  

Dalam resensi yang ditulis Bagus di  majalah Tempo edisi 18 Desember 2012,  pujian yang sama juga diberikan. Intinya, keunggulan Pulang ada pada narasinya, dan Bagus mengapresiasinya begitu luar biasa. Seperti juga Bagus, Goenawan Mohammad  dalam Catatan Pinggir berjudul “Pulang” terbit di majalah Tempo seminggu setelah peluncuran novel di Gothe Haus Institute pada 12 Desember 2012 adalah novel dengan gaya bahasa yang transparan dan lurus tanpa ambiguitas dan kegelapan yang membuat kita merenung. 

Laila S Chudori sendiri, saat peluncuran, mengatakan bahasa dalam novelnya menolak anasir-anasir puisi. Tak seperti bahasa dalam prosa terkini di negeri ini, anasir puisi seakan-akan menjadi tren. Tapi, tentu, perkara anasir puisi dalam novel ini hanya tidak terlalu penting. Yang penting, gagasan yang ditawarkan penulis tentang eksil.

Novel ini berkisah tentang orang-orang eksil. Mereka, bagian dari kekacauan 1965, yang berada di luar negeri pada saat kekacauan terjadi dan tidak bisa pulang. Mereka hidup di luar negeri sambil memendam rindu dendam yang hampir bersamaan kepada negeri asalnya. 

Ari Junaedi dalam disertasinya, ‘’Transformasi Identitas dan Pola Komunikasi Para Pelarian Politik di Mancanegara’’, mencatat sekitar 1.500 orang Indonesia masih berada di luar negeri dan tidak bisa kembali ke tanah air akibat dicap komunis oleh rezim Soeharto. Mereka disebut orang-orang yang terusir dari Indonesia (eksil) tragedi 1965.

Mereka pelarian politik tragedi 1965, berasal dari beberapa golongan. Ada diplomat dan keluarganya, mahasiswa ikatan dinas, serta utusan delegasi resmi yang tengah berada di luar negeri. Pada umumnya ‘’sesuai angin politik saat itu’’ mereka dikirim ke sejumlah negara blok komunis seperti Uni Soviet, Cekoslowakia, Polandia, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Bulgaria, serta Kuba, termasuk ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Ketika tragedi 1965 terjadi, mereka terkena pencabutan paspor sehingga tidak bisa pulang ke Tanah Air. Padahal, tidak sedikit pelarian politik tragedi 1965 tersebut yang sama sekali tidak terkait dengan PKI.

Tentu, Laila S Chudori kenal Ari Junaedi sebagai orang yang sama-sama bekerja di majalah Tempo. Sebab itu, menjadi beralasan untuk menyimpulkan bahwa Pulang merupakan sisi fiksi dari disertasi Ari Junaedi. Kisah-kisah para tokoh dalam novel, sama persis seperti kisah yang dialami para eksil dalam disertasi Ari Junaedi. Jadi, jika ingin memahami apa yang hendak disampaikan Laila S Chudori dalam novelnya, akan lebih semakin jelas bila sudah membaca disertasi Ari Junaedi.

Gagasan Pulang tak murni punya Laila S Chudori. Ia hanya perpanjangan tangan dari apa yang hendak disampaikan Ari Junaedi.  Dan, sesungguhnya, Ari Junaedi sendiri pun baru mulai memikirkan soal eksil setelah reformasi bergulir di negeri ini. Setelah hagemoni Orde Baru runtuh, perlahan-lahan tema tentang eksil muncul dalam dunia wacana kita.

Diawali dari penerbitan ulang (atau pementasan) atas karya-karya sastra dan drama Utuy Tatang Sontani. Sebut saja memoar Utut Tatan Sontani, Langit Tak Berbintang. Sekali pun jejak memoir itu tidak kita temukan dalam Pulang, tapi kisah hidupnya Utuy sebagai sastrawan yang eksil, punya bias pada tokoh-tokoh Laila. Setidak, karena tokoh-tokoh novel bukan orang yang asing dengan sastra dan sastrawan. Mereka tahu Chairil Anwar, James Joyce, Subagio Sastrowardoyo, Lord Byron, Goenawan Mohamad, John Keats, Pramoedya Ananta Toer, TS Eliot, Rivai Apin, William Shakespeare, WS Rendra, dan Walt Whitman. Dan, sudah umum diketahui, sebagian dari para eksil itu hidup sebagai sastrawan.

Saut Situmorang dalam esainya, “Sastra Eksil, Sastra Rantau” mengatakan eksistensi ‘sastra eksil’ menjadi lebih luas diketahui para pembaca sastra modern Indonesia terutama di Indonesia dengan diterbitkannya sebuah kumpulan puisi bernama Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil oleh Yayasan Lontar. Kumpulan puisi itu memuat 15 penyair yang oleh Ketua Dewan Redaksi Buku, Asahan Alham, yang juga merupakan salah seorang penyair yang puisinya ikut dalam buku, diklaim sebagai ‘sastrawan eksil’ Indonesia.

Bagi para pembaca sastra modern Indonesia dua nama dari  kelimabelas penyair yang muncul karya mereka dalam buku ini adalah nama-nama yang memang sudah tidak asing lagi, yaitu Agam Wispi dan Sobron Aidit.

Riwayat para eksil, terutama sastrawan eksil, sepertinya membias dalam diri tokoh-tokoh Pulang. Ada tujuh orang juru kisah di dalam novel ini: Hananto Prawiro, Dimas Suryo, Lintang Utara, Vivienne Deveraux, Segara Alam, Bimo Nugroho, dan orang ketiga di luar cerita. Kecuali  narator terakhir yang hanya digunakan Leila pada subbab “Keluarga Aji Suryo” (hlm. 329-363), enam narator lain berbicara mengenai diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya secara personal. Namun, tentu saja porsinya tak sama banyak. Bisa dikatakan, yang paling dominan suaranya dalam novel ini adalah Dimas dan Lintang. Dimas sebagai perwakilan generasi pertama -generasi yang berhubungan secara langsung dengan prahara 1965- dan Lintang sebagai juru bicara generasi kedua, generasi yang terkena imbas masa silam dan diharuskan ikut menanggung beban sejarah.

Sebab itu, apabila Bagus merasa bahwa novel ini kemudian membuatnya ‘’memeriksa kembali keyakinan dan konstruk saya tentang Indonesia’’, sudah bisa dipastikan bahwa ia sudah sampai pada apa yang dihasratkan Laila S Chudori. Tapi, betulkah kisah para eksil ini membuat pembaca goyah terhadap konstruksi Indonesia dalam kepalanya?

Kita tak harus bersepakat dengan simpul itu. Terutama bila konstruksi Indonesia dalam diri setiap warga bangsa memiliki fondasi yang kuat, atau tidak serapuh konstruksi Indonesia yang dimiliki Bagus. Sebab, tokoh-tokoh dalam Pulang beserta segenap pikirannya, sesungguhnya karakteristik warga bangsa yang tak sepenuhnya merasa bagian dari Indonesia. Mereka, merasa dirinya bagian dari sebuah tanah kelahiran, dan bukan dari sebuah bangsa. 

Padahal, sebagai sastrawan yang eksil, mereka lebih menarik dibicarakan bukan dalam bingkai romantisme, yang lebih menjurus pada kecengan. Mungkin, cara Sitor Situmorang membicarakan orang-orang eksil, seperti dalam sajak “Si Anak Hilang”, pantas menjadi pembanding. Dalam sajak itu, Sitor Situmorang menceritakan tentang seorang anak yang kembali dari eksil, kembali dari rantau, ke kampung halaman tapi  tidak menemukan kampung halaman itu kembali. n

Budi Hatees, Lahir dengan nama Budi Hutasuhut, 3 Juni 1972 di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Menulis, mengajar dan menjadi konsultan bidang komunikasi. Esai, cerpen, sajak, dan hasil penelitian sudah dipublikasikan di berbagai media massa dan jurnal ilmiah. Mantan Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIPOL Universitas Saburai dan dosen matakuliah komunikasi di Universitas Bandar Lampung serta Universitas Lampung ini sekarang bekerja di PT Matakata Mediacitra, perusahaan konsultan dan penerbitan.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 31 Maret 2013

[Alinea] Bahasa Menunjukkan Bangsa

-- Yanti Riswara

PEPATAH lama mengatakan, “Bahasa menunjukkan bangsa.” Sepintas, peribahasa ini terlihat sangat sederhana, tetapi sesungguhnya memiliki makna yang sangat luas. Bahasa, dalam bentuk tuturan atau ucapan, sering menjadi petunjuk utama dalam pengidentifikasian seseorang. Di Indonesia, misalnya, identitas kesukuan seseorang—di  samping dapat dikenali melalui bahasa yang digunakan—juga dapat dengan mudah dikenali melalui tuturannya: pada umumnya orang Batak tidak fasih melafalkan bunyi /e/ pepet; orang Aceh dan Bali tidak fasih melafalkan bunyi /t/; orang Melayu tidak fasih melafalkan bunyi /r/; dst.

Sebagai salah satu penanda identitas, ternyata bahasa juga mencerminkan kedudukan/posisi penutur dalam tata kemasyarakatannya. Itulah sebabnya, dalam kajian sosiolinguistik, diyakini bahwa bahasa memang tidak dapat dipisahkan dari kondisi dan latar belakang sosial penuturnya. Latar belakang sosial penutur yang berbeda akan membuat bahasa yang digunakannya berbeda pula. Pada penutur yang berpendidikan tinggi, misalnya, akan terlihat perbedaan karakter penggunaan bahasanya dengan penutur yang tidak berpendidikan/berpendidikan rendah, sekalipun mereka menggunakan bahasa yang sama.

Umumnya, pada penutur yang berpendidikan tinggi akan terlihat penggunaan bahasa yang baik dan benar: sesuai dengan situasi pemakaian dan kaidah bahasa. Logat mereka cenderung standar (tidak menunjukkan ciri kelompok/suku tertentu) serta pilihan katanya tepat, sesuai dengan konteks. Sebaliknya, penutur yang tidak berpendidikan cenderung menunjukkan penggunaan bahasa yang abai terhadap kaidah. Logat mereka medok, memperlihatkan ciri kelompok/suku tertentu. Pemilihan kata (diksi)-nya pun terkesan apa adanya (tidak kreatif).

Dalam banyak kasus, bahasa sering dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mempertegas identitas kelompoknya agar terkesan (lebih) eksklusif. Kelompok-kelompok itu biasanya melakukan “pelanggaran-pelanggaran berbahasa” sebagai bentuk ekspresi yang mereka yakini akan membedakannya dengan kelompok lain. Kelompok selebritas, misalnya, gemar menggunakan istilah-istiah/kata-kata asing (terutama Inggris). Bahkan, beberapa di antara mereka bertutur dalam bahasa Indonesia dengan logat asing, keinggris-inggrisan.

Sementara itu, kelompok waria melakukan “manipulasi” unsur-unsur kebahasaan dengan sistem tertentu (yang berkemungkinan hanya dipahami oleh anggota kelompoknya). Sebagai akibatnya, muncullah “bahasa-bahasa baru”: seperti bahasa Gaul dan bahasa Alay. Entah apa penyebabnya, kini kedua bahasa baru itu, dengan berbagai variasinya, berkembang pesat penggunaannya di kalangan remaja. Belakangan ini, bahkan, muncul “jenis bahasa” baru yang lain lagi: Baby Talk ‘Celoteh Bayi’. Konon, penggunaan bahasa yang meniru-tiru logat balita itu justru digandrungi oleh orang-orang dewasa.

Beberapa dekade terakhir ini di dunia akademik berkembang sebuah kajian yang mengaitkan penggunaan bahasa dengan latar budaya masyarakat. Kajian itu (dikenal dengan beberapa sebutan: antropologi bahasa, antropolinguistik, atau etnolinguistik) memfokuskan analisisnya pada penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan budaya kelompok penuturnya, terutama tentang nilai-nilai budaya yang ditunjukkan melalui penggunaan bahasa. Cara pengekspresian (melalui penggunaan bahasa) nilai-nilai budaya masyarakat/suku tertentu biasanya tidak sama dengan cara yang dilakukan oleh masyarakat/suku lain.

Cara yang dilakukan masyarakat/suku Minangkabau dalam mengekspresikan nilai kesantunan dan/atau kesopanan, misalnya, berbeda dengan cara yang dilakukan masyarakat/suku Batak. Pada umumnya, masyarakat/suku Minangkabau memilih menggunakan ungkapan tidak langsung (indirect speech) untuk menyampaikan maksud-maksud tertentu, sedangkan masyarakat/suku Batak memilih menggunakan ungkapan langsung (direct speech). Ketika bertamu, misalnya, orang Minangkabau akan menyindir tuan rumah dengan berkata, “Panas betul udara di sini,” atau “Jauh betul tempat ini,” agar segera disuguhi minuman. Hal seperti itu tidak lazim dilakukan oleh masyarakat/suku Batak karena kebiasaan mereka tidak menyukai basa-basi. Dalam hal ini, masyarakat/suku Batak tidak merasa segan/malu untuk mengatakan haus atau lapar kepada tuan rumah.

Begitulah, melalui bahasa, seluruh aspek kehidupan manusia (baik secara personal maupun komunal) dapat dibaca. Di sinilah pepatah: Bahasa menunjukkan bangsa itu menemukan relevansinya. Ibarat cermin, bahasa mampu memperlihatkan segala sesuatu yang ada di depannya dengan sempurna. Dengan kata lain, bahasa merupakan potret diri penggunanya.

Nah, bagaimana dengan bangsa Indonesia? Sudahkah bangsa ini memiliki kesadaran penuh bahwa bahasa menunjukkan bangsa? Jawabannya pasti beragam. Sebagai penutup, mari kita renungkan makna bidal berikut ini.

Yang kurik ialah kundi, yang merah ialah saga.

Yang baik ialah budi, yang indah ialah bahasa
. n


Yanti Riswara,  Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 31 Maret 2013

Saturday, March 30, 2013

[Buku] Darori Wonodipuro:Suka-Duka Menjadi Penjaga Hutan

Judul     : Kesan dan kesaksian perjuangan Darori Wonodipuro (Penuturan sahabat, kolega, dan keluarga)
Penulis    : Agung Nugraha

Pengantar : Zulkifli Hasan dan Sri Sultan Hamengku Buwono X

Penerbit  : Wana Aksara

Edisi     : Maret 2013

Tebal     : 500 halaman

JARANG-JARANG seorang pegawai negeri mau mengisahkan secara lengkap perjalanan suka dan dukanya semasa mengabdi. Pasalnya, cerita umum pegawai negeri di Indonesia selalu didominasi cerita muram, karena rendahnya standar gaji, tingginya tuntutan hidup secara lagsung memberi pengaruh beragam dalam pengabdiannya.

    Tetapi, beda dengan pengalaman Darori Wonodipuro. Pegawai negeri kelahiran Banyumas (Jateng) yang mengawali karer kepegawaiannya di Tarutung, Sumetara Utara, setelah mengantongi gelar Insinyur dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada ini menghabiskan pengabdiannya mengawasi hutan. Memulai karer pegawai negeri kehutanan dari eselon paling rendah, sampai kini menjadi Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan.

    Pegabdiannya yang gigih dan pantang menyerah, terutama jika sudah menghadapi oknum-onkum pengusaha dan pejabat tinggi negara yang berdiri di belakang praktik perusakan hutan di sejumlah tempat di negeri ini, membuat koleganya, saudara,sampai sejumlah menteri kehutanan memuji seorang Darori Wonodipuro.

    Pujian dan kesaksian perjuangan pria berdarah biru inilah yang kemudian diungkapkan dalam 30 judul tulisan yang penuh warna di buku ini. Tulisan tersebut antara lain ditulis oleh putra-putrinya, sahabat, dan teman permainan. Juga dilengkapi sejumlah foto-foto kenangan saat pegawai ini dipercaya mendampingi satu per satu Menteri Kehutanan ke daerah, juga melihat hutan-hutan yang botak dirusak oknum pengusaha hutan dan direkomendasi pejabat tinggi di daerah.

    "Pengabdian pegawai negeri sebagai perawat hutan itu sangat berat. Penuh dengan resiko. Kalau akhirnya saya bisa menjalaninya hingga di ujung masa pengabdian, modalnya hanya DUIT. Bukan uang, tapi Doa, Usaha, Ikhlas dan Tawakal.

    Tanpa DUIT, mustahil saya bisa mengabdi hingga mengalami penggantian menteri kehutanan sebanyak 10 kali," tutur Darori kepada sejumlah wartawan di ruang kerjanya, lantai 8 Gedung Kehutanan Manggala Wanabhakti, Jakarta, Senin lalu.

    Sehari kemudian setelah berbincang dengan wartawan di ruang kerjanya, sosok yang rendah hati ini menyatakan mundur dari karir kepegawaiannya. Selanjutnya dia ingin berkarir di pentas politik. Namun rahasia pengabdiannya bisa Anda petik melalui buku ini. Selamat membaca! (Ami Herman)

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 30 Maret 2013

Dinamika Sastra Pop Pesantren

-- Linda S Priyatna

SECARA kualitatif, dinamika sastra pesantren bisa kita analisis. Salah satunya adalah melalui pelbagai macam perubahan serta pergeseran corak orientasi paradigmatik yang menjadi substansi dalam karya sastra yang bersangkutan. Maka, bertambahlah 'spesies' baru, khazanah sastra pesantren mutakhir; sastra pop pesantren dan sastra pesantren yang subversif. Keberadaan dua spesies baru ini tidak hanya melengkapi dan menemani kanon sastra pesantren yang sudah ada, tetapi juga di banyak sisi menyimpan suatu potensi dialektis dan kritis baginya; intertextual clash (benturan intertekstual).

    Sebagaimana kita kenal dari jejak historisnya, sastra pesantren kita dikenal sebagai genre sastra yang giat mengangkat tema-tema nilai esoterik keagamaan; Cinta Illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos).

    Mayoritas begitu kental dengan nuansa religius. Ini terlihat begitu jelas dalam karya-karya sastrawan pesantren tahun 90-an Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron, Zainal Arifin Toha, Jamal D Rahman, Abi-dah el-Khaeliqi, Kuswaidi Syafi'ie, Faizi L. Kaelan dan sastrawan-sastrawan lain yang ruang kreasi mereka bertempat di lingkungan geografis yang bernama pesantren.

    Akibat kentalnya nuansa tasawwuf, sastra pesantren sering di-identikan dengan sastra sufistik atau sastra profetik (nubuwwah). Dengan kata lain, karakter sastra sufistik telah menjadi kanon sastra (mainstream literature) dalam tradisi kesusasteraan pesantren. Dengan Cinta Ilahiyyah dan spirit religius yang menjadi grand theme, paradigma estetika utama dalam etos berkreasi, sastra pesantren sebenarnya membawakan relevansi yang cukup signifikan terhadap vitalitas tradisi keilmuan di pesantren itu sendiri; sastra pesantren menjadi salah satu media alternatif bagi para apresian untuk mengenal dunia tasawwuf.

    Dengan apresiasi yang kontinyu, paling tidak sedikit demi sedikit nilai estetika dan kearifan humanis-teologis yang inheren dalam karya sastra dapat membentuk suatu sikap yang eklektik dalam beragama bagi para apresian, salah satunya dicirikan dengan terbangunnya sinergitas pemahaman terhadap fiqih dan tasawwuf.

    Dengan kentalnya nuansa Cinta Illahiyah ini pula, lengkaplah sudah sastra pe-santren sebagai subjek mayoritas dari keluarga besar sastra Indonesia yang mengusung dan meng-eksplorasi simbol-simbol serta nilai religiusitas (Islam). Sekalipun tentu saja, secara hakiki nilai-nilai sufistik dan profetik tidak bersifat ekslusif untuk golongan tertentu, melainkan juga terbuka luas untuk kalangan non-pesantren.

    Dewasa ini ada perkembangan yang cukup menarik; bahwa kalangan sastrawan pesantren ternyata tidak hanya menjadikan ke-tasawwuf-an sebagai grand theme dalam etos kreativitasnya; satu persatu mulai terlihat adanya keliaran, muntahan-muntahan kegelisahan untuk merambah ke sisi-sisi lain. Sastra pesantren berada dalam kegelisahan yang panas. Di sinilah saya melihat munculnya genre sastra pesantren yang subversif.

    Yang paling ekstrim barangkali adalah novel Mairil (Pilar Media, Yogyakarta; 2005) karangan Syarifuddin yang sedemikian berani mengangkat sisi gelap pesantren; yakni abnormalitas perilaku seksual yang terjadi di pesantren (mairil; homoseksual). Detail-detail ilustrasi peristiwa yang diangkat dari fakta itu dina-rasikan sedemikian vulgar.

    Boleh dika-ta-kan novel ini subversif terhadap tradisi pesantren; bukankah seksualitas dan cinta lawan jenis menjadi suatu hal yang (di) tabu (kan) di pesantren? Faktanya; pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor uta-ma dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Meskipun tidak bisa tidak, di sisi lain novel ini potensial menciptakan suatu bias eksternal; dimana ia mengundang stigma buruk kalangan masyarakat terhadap pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama.

    Sayangnya, kritisitas novel Mairil ini tidak diimbangi dengan kebaruan corak dan wawasan estetika. Prestasi dari novel Mairil adalah kualitas dokumenter (Faruk HT, 2000) dimana ia berhasil mendongkrak sisi tersembunyi pesantren sebagai suatu sistem yang dinamis, dan bukan kualitas literer; kualitas stilistika, capaian estetika sastrawinya masih cenderung nge-pop.

    Namun, inilah satu bentuk muntahan otokritik baru. Revolusioner terhadap kultur pesantren yang mayoritas cenderung patriarkhal dan mono-referen (hanya terpaku pada sistem referensi pemahaman tunggal). Secara implisit, dapat kita interpretasikan bahwa kehadiran novel Mairil berusaha membuka cakrawala baru pemahaman tentang cinta; bahwa Cinta Illahiyah -yang sufistik- tidak begitu saja dengan gampang diraih secara instant.

    Demi kesuksesan dalam perjalanan mendaki tangga-tangga cinta, seorang insan mesti sabar dalam melewati tahapan-tahapan dimensional dari Jalan Cinta. Bukankah Ibn 'Arabi, sang maestro sufi itu pernah memberikan formulasi tentang Jalan Cinta; Cinta alami (cinta lawan jenis dan unifikasi makrokosmis), Cinta Ruhani, dan Cinta Illahi. Dan Cinta Alami menempati posisi yang amat vital; bukankah Ibn Arabi juga mampu menelurkan banyak karya lantaran motivasi psikologis yang kuat dari Nidzam, seorang wanita Baghdad yang dicintainya?

    Karenanya jatuh cinta terhadap lawan jenis adalah manusiawi dan tak bisa ditinggalkan. Di wilayah sosio-internal, novel Mairil kiranya layak untuk mendapat perhatian dari kalangan elite pesantren. Suatu tantangan untuk berintrospeksi; bagaimana merekontruksi dan merevisi kembali penataan lingkungan pergaulan (millieu) antar lawan jenis, atau mulai mempertimbangkan pendidikan seksual yang efektif dan proporsional bagi santri-santrinya. Secara kuantitatif, sastra pop pesantren semakin menyemarakkan industri perbukuan.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 30 Maret 2013

Monday, March 25, 2013

Deklarasi Hari Sastra Indonesia

Pembacaan “Deklarasi Hari Sastra Indonesia” di Solo oleh Wowok Hesti Prabowo, salah seorang redaktur boemipoetra.
1. Menolak hari sastra Indonesia yang berdasarkan tanggal lahir Abdul Moeis, yang digagas Taufiq Ismail dkk, karena pengarang Abdul Moeis adalah anak dari Balai Pustaka yakni institusi penerbitan pemerintah kolonial Belanda.

2. Untuk itu, kami dari Jurnal Sastra boemipoetra beserta simpatisannya mendeklarasikan Hari Sastra Indonesia jatuh pada tanggal 6 Februari. Pemilihan tanggal ini berdasarkan tanggal lahir sastrawan terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yaitu pada tanggal 6 Februari 1925.

Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang karya-karyanya mengandung semangat kebangsaan Indonesia, anti kolonialisme, anti feodalisme dan bersifat kerakyatan. Selain itu, Pramoedya Ananta Toer juga satu-satunya sastrawan Indonesia yang berkali-kali dinominasikan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra.

3. Kami mendeklarasikan Hari Sastra Indonesia ini sebagai penolakan atas gagasan Taufiq Ismail dkk yang tidak historis, tidak menggambarkan realitas sastra Indonesia yang sebenarnya dan ngawur!

4. Kami menghimbau kepada seluruh sastrawan Indonesia untuk juga menolak gagasan hari sastra Indonesia versi Taufiq Ismail dkk di atas.

22 Maret 2013

Taman Budaya Surakarta, Solo

Jurnal Sastra boemipoetra dan simpatisan

Sumber: Boemiputra (http://boemipoetra.wordpress.com), 23 Maret 2013

Wamendikbud Sambut Maklumat Hari Sastra

BUKITTINGGI (Lampost) Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Windu Nurianti menyambut Maklumat Hari Sastra Indonesia yang dinyatakan sedikitnya 70 sastrawan di SMAN 2 Bukittingi, Minggu (24-3) pagi.

Maklumat dibacakan penyair Upita Agustin (Raudha Thaib). Penyair Taufiq Ismail, salah seorang penggagas, menyebutkan Indonesia memiliki tradisi sastra yang luhur, dikembangkan oleh para sastrawan terkemuka, salah satunya adalah Abdoel Moeis, kelahiran Bukittinggi 3 Juli 1883.

Maklumat Hari Sastra Indonesia digagas karena selama ini Indonesia belum mempunyai Hari Sastra. Hal ini untuk mengenang karya dan jasa para sastrawan yang telah ikut mengangkat nama bangsa. Wakil Menteri Dikbud RI Windu Nurianti menyambut baik maklumat ini. Indonesia, katanya, perlu ditetapkan adanya Hari Sastra untuk mengenang dan membangkitkan kecintaan membaca karya sastra.

Windu Nurianti mengatakan pada 2016 kelak Indonesia akan mendirikan rumah budaya di berbagai kota di luar negeri. Program ini guna mengangkat Indonesia menjadi negara adidaya di bidang kebudayaan.

"Pada program rumah budaya di luar negeri itu, juga akan diterbitkan buku-buku sastra dan kebudayaan dalam terjemahan bahasa Inggris. Kelak kami akan berdiskusi dengan sastrawan ihwal penerjemahan buku sastra ini, yang akan dipamerkan di rumah budaya-rumah budaya," kata dia.

Pada kesempatan Maklumat Hari Sastra Indonesia, Windu Nurianti sekaligus menetapkan 3 Juli sebagai Hari Sastra Indonesia. Isbedy Stiawan Z.S., penyair Lampung yang diundang dalam maklumat itu, mengatakan Hari Sastra Indonesia termasuk penting tatkala ada hari-hari lain yang diperingati oleh negara. "Saya kira kita perlu Hari Sastra agar negara dan masyarakat Indonesia menghargai karya sastra, mengenal, dan mengingat para sastrawan Indonesia," katanya.

Setelah Hari Puisi Indonesia yang dideklarasikan di Riau dan menurujuk hari kelahiran Chairil Anwar, dengan Hari Sastra Indonesia semakin marak kegiatan-kegiatan sastra di Tanah Air.

Sastrawan Gol a Gong menyambut Hari Sastra Indonesia ini. ?Jika ada yang lain menetapkan Hari Sastra yang mengacu sastrawan lain, mesti kita hargai, agar bervariasi dan banyak kita untuk memperingati dan menghargai karya sastra dan sastrawan," kata penulis buku Balada Si Roy ini.

Sejumlah sastrawan yang ikut Maklumat Hari Sastra Indonesia di antaranya Fakhrunnas M.A. Jabbar, L.K. Ara, Damiri Mahmud, Chavchay Syaifullah, Budi Darma, D. Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Aspar Paturusi, Darman Moenir, Yusrizal K.W., Harris Effendi Thahar, Dorothea Rosa Herliani, Helvy Tiana Rosa, Tuti Herati Noerhadi, Rusli Marzuki Saria, Jamal D. Rahman, Joni Ariadianata, Yetti A. Ka.    (UZK/S-3)

Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Maret 2013

Sunday, March 24, 2013

Proses Kreatif Ediruslan Pe Amanriza

-- Dessy Wahyuni

BAHASA dan sastra adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahasa dan sastra  merupakan jasad dan ruh yang hidup bersama. Bahasa tanpa muatan sastra, tidak akan terlihat semangat di dalamnya. Dalam sastralah terlihat harapan dan cita-cita sebuah masyarakat. Melalui muatan sastra tersebut akan tercermin kehidupan masyarakatnya. 

Pandangan seperti itu memberikan pengertian bahwa kreativitas sastra memiliki peranan penting dalam berbahasa. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Emha Ainun Najib bahwa sastra dapat memelihara kelembutan hati,  kepekaan perasaan, ketajaman intuisi, kedalaman jiwa, kearifan sifat sosial, dan keluasan pandangan hidup (Iskandar Kamar, Majalah Budaya Sagang Nomor 3, 1998: hal. 41). Oleh sebab itu, tidak sepatutnya sastra ditempatkan hanya sebagai pelengkap saja. 

Dengan menempatkan sastra pada posisi utama, maka akan terbentuk muatan pribadi manusia yang harmonis. William Buttler Yeats, sastrawan pemenang Nobel Sastra dari Irlandia, berpendapat bahwa sebuah negeri yang ideal adalah sebuah negeri yang di dalamnya terdapat nyanyian, puisi, dan balada pada satu sisi, dan sistem pemerintahan yang baik pada sisi lainnya (Chaidir, Majalah Budaya Sagang Nomor 109, 2007: hal. 7). Pendapat itu mempertegas bahwa untuk mendapatkan sebuah simfoni kehidupan  yang ideal harus dibarengi dengan muatan sastra di dalamnya.

Riau, sebagai pewaris bahasa dan sastra Melayu, sesungguhnya memiliki potensi yang luar biasa. Beberapa sastrawan besar telah lahir di Bumi Lancang Kuning ini, seperti Raja Ali Haji, Raja Aisyah Sulaiman, Tuan Guru Abdurahman Sidik, Soeman H.S., Sariamin Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, dan banyak lagi sastrawan muda potensial lainnya. Dengan ide-ide kreatif, mereka telah menggubah berbagai dimensi tradisi Melayu menjadi karya yang luar biasa. Semua ini tentu saja melalui proses kreatif.

Ediruslan Pe Amanriza adalah salah seorang sastrawan yang pernah ikut serta menggegapgempitakan proses kreatif di dunia Melayu. Sastrawan kelahiran Bagansiapi-api, Rokan Hilir, Riau, pada 17 Agustus 1947 ini telah beberapa kali menjadi salah satu pemenang dalam Sayembara Penulisan Novel Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Novel-novel yang pernah memenangi sayembara tersebut adalah Jembatan: Kekasih Sampai Jauh (1976), Nahkoda (1977), Ke Langit (1978), Koyan (1979), Panggil Aku Sakai (1980), dan Dikalahkan Sang Sapurba (menjadi juara II dalam sayembara yang sama pada 1998), yang kemudian dimuat secara bersambung di Kompas, dan diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Riau (2000). Novel-novel Ediruslan lainnya  dimuat secara bersambung di surat-surat kabar Padang dan Pekanbaru, seperti “Di Bawah Matahari”, “Taman Stasiun Kecil di Kaki Bukit”, “Jakarta”, “Di Manakah Umi Sri” (juga diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia), “Umi Kalsum”, “Istana yang Kosong”, “Rakhman Ya Rakhman”, “Perang Bagan”, dan “Pendatang Haram”. Selain menulis novel, Ediruslan juga menulis puisi, cerpen, dan esai. Ediruslan juga pernah melakukan pengkajian budaya Melayu. Salah satu hasil kajian berjudul Koba, Sastra Lisan Orang Riau (diterbitkan oleh IDKD, 1989), dilakukannya bersama Tenas Effendi dan Sudarno Mahyudin. Pada tahun 2000, Pemerintah Provinsi Riau bersama Dewan Kesenian Riau, menerbitkan hasil kajian Ediruslan lainnya yang berjudul  Senarai Upacara Adat Perkawinan Melayu Riau (Ensiklopedia Sastra Riau, 2011).

Bukan hanya itu. Seni pertujukan atau teater juga sangat digandrunginya. Di masa muda, terutama saat bergabung dengan Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI) Bandung, dia mementaskan sejumlah naskah Islam berkeliling di beberapa kota di Jawa Barat. Ketika pindah ke Pekanbaru tahun 1975, bersama Armawi K.H., ia mendirikan teater Pitik. Tahun 1976-1978, dia mendirikan bengkel Teater Indonesia di Padang, dan berpentas secara rutin di Pusat Kesenian Padang (PKP) bersama seniman teater kota Padang. 

Proses kreatif yang dilalui Ediruslan patut ditiru. Dia telah mampu mengembangkan semua ide dan gagasannya ke dalam berbagai karya secara leluasa. Dia juga telah berhasil menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap aspek yang mendukung munculnya ide kreatif. Serangkaian gagasan abstrak telah diramunya sedemikian rupa yang kemudian ditransformasikannya menjadi sebuah realitas, yakni karya-karya yang telah dihasilkannya tersebut.

Novel Dikalahkan Sang Sapurba misalnya, merupakan salah satu novel yang sangat kental dengan nuansa Melayu Riau. Persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Melayu, baik yang berhubungn dengan masyarakat itu sendiri maupun persoalan yang muncul akibat interaksi dengan masyarakat luar, disinggung dalam novel ini. Ediruslan menggambarkan konflik lahan antara masyarakat di sekitar hutan dengan pihak perusahaan yang membuka lahan perkebunan di Desa Mahato. Hal ini diangkat dari kasus lahan yang terjadi di Riau. Akibat ulah pengusaha yang mengambil alih tanah masyarakat secara paksa, konflik antara PT Torganda dengan masyarakat beberapa kali telah terjadi di Riau. Dalam hal ini, dengan kemampuan berimajinasi yang dimiliki, Ediruslan telah mampu memunculkan unsur fiksionalitas dalam karyanya. Inilah yang disebut dengan proses kreatif itu.

Pada 1999, Ediruslan pernah bercerita panjang lebar mengenai proses kreatif di dunia Melayu (Majalah Budaya Sagang, Nomor 8). Proses kreatif menurutnya tidak hanya terbatas pada kesenian dan ilmu pengetahuan, tetapi juga terjadi pada bidang ekonomi dan kehidupan sosial. Semuanya seperti tampak berbeda, tetapi dalam proses kreatif mekanismenya sama. Dalam melihat Riau, menurut Ediruslan proses kreatif itu telah, sedang, dan akan terus berlangsung searah dengan perkembangan yang terjadi. Ediruslan berpendapat bahwa di setiap generasi selalu lahir manusia-manusia kreatif. Setiap saat selalu saja ada manusia yang berjiwa mencipta, manusia yang mempergunakan kecerdasannya dalam memandang zaman. Proses kreatif tidak mengenal puncak. Proses itu terus berubah, tumbuh, dan berkembang. Proses itu merupakan sebuah evolusi dalam organisasi kehidupan subjektif manusia.

Pada 3 Oktober 2001, Ediruslan meninggal dunia di Rumah Sakit Islam Asifah, Sukabumi, Jawa Barat. Meskipun telah wafat, karya-karya Ediruslan telah banyak mengilhami karya yang lahir setelahnya. Selain memperingati hari wafatnya setiap tahun, meniru jejak langkahnya dalam berkreasi merupakan sebuah proses kreatif yang patut dibudayakan.***

Dessy Wahyuni, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Maret 2013

Puisi Tinju Muhammad Ali

-- Iwan Nurdaya-Djafar

 
TEMA puisi bisa beraneka warna. Ada penyair yang menulis tentang daun gugur, ihwal kerinduannya terhadap Tuhan, perihal asyik-masyuknya percintaan, dan entah apa lagi. Tapi di tangan Muhammad Ali, seorang petinju peraih gelar Juara Tinju Kelas Berat Dunia sebanyak tiga kali yang rupanya berbakat menulis puisi, dia mengacungkan tinju sebagai tema puisi. Maka jadilah apa yang disebutnya puisi tinju!

Ali mulai menulis puisi tinju buat kali pertama ketika dia bertanding tinju dengan Archie Moore:

Kala kau datang untuk bertanding
Jangan tutup jalanan di antara deretan tempat duduk
Dan jangan tutup pintu
Karena kau benar-benar bisa pulang
Setelah empat ronde.

Puisi bernada ramalan itu ternyata memang terbukti. “Aku menang bertanding tinju pada ronde keempat, seperti yang ingin aku ramalkan,” tandas Ali, seraya menimpali, “ dan melampaui tahun demi tahun, tujuh belas dari dua puluh satu ramalanku terbukti. Itu sebuah mukjizat. Aku tak tahu bagaimana aku melakukannya. Aku mulai membuat ramalan-ramalan untuk menjual tiket dan ramalan-ramalanku mulai terbukti.”

Sepulang dari Olympiade Roma yang dalamnya Muhammad Ali berhasil meraih gelar Juara Tinju Kelas Berat Dunia untuk kali pertama, setiba di Louisville kampung halamannya, berjalan ke luar pesawat seraya memakai medali emas, di hadapan ibu, ayah, adik lelakinya serta pers dan rombongan kecil dia membaca keras-keras agar semua mendengar apa yang akan menjadi puisi tinjunya yang pertama diterbitkan. Dia memberinya judul:


Bagaimana Cassius Mengambil Roma

Menjadikan Amerika yang terbesar adalah tujuanku
Maka aku pukul orang Rusia, dan kupukul orang Polandia,
Dan demi Amerika Serikat yang memenangi Medali Emas.
Orang-orang Italia berkata, “Kau lebih besar daripada Cassius Lama.”
Kami suka namamu, kami suka pertandinganmu,
Maka jadikan Roma rumahmu jika kausudi.
Aku bilang aku menghargai keramahtamahanmu yang baik hati,
Namun Amerika Serikat tetaplah negaraku,
Karena mereka sedang menunggu tuk menyambutku di Louisville.

Casius Marcellus Clay adalah nama lama Muhammad Ali sebelum dia memeluk agama Islam Sunni, nama yang diberikan Elijah Muhammad, pemimpin Nation of Islam, organisasi kaum Muslim Negro, yang oleh pers Amerika secara sinis disebut Black Muslim dan sekte pembenci kulit putih. Muhammad berarti yang terpuji dan Ali berarti sangat tinggi. Ali sendiri tidak menyukai nama lamanya seperti dituturkannya berikut ini, “Bahkan namaku sendiri, Cassius Marcellus Clay, bukan benar-benar namaku. Marcellus Clay adalah seorang pria kulit putih dari Kentucky yang memiliki para budak. Maka, aku dinamai menurut seorang pemilik budak, dan bagiku namaku mewakili ratusan tahun ketidakadilan dan perbudakan.”

Aku yang Terbesar!

Pada 25 Februari 1964, Ali yang masih memakai nama (Cassius Marcellus) Clay bertanding tinju melawan Sonny Liston. Sebelum pertandingan itu, dia menulis sebuah puisi tentang bagaimana dia akan memukul Liston. Puisi tersebut semula ditulis dalam bahasa Inggris di bawah titel “I am the Greatest” yang terjemahan Indonesianya kita sajikan di bawah tajuk ‘Aku yang Terbesar.”

Aku yang Terbesar

Clay menyatakan diri untuk menghadapi Liston
Dan Liston mulai mundur
Pabila Liston mundur lebih jauh lagi
Dia akan berakhir di kursi pinggir gelanggang
Clay mengayunkan tangan kiri
Clay mengayunkan tangan kanan
Saksikanlah Cassius nan muda
Memenangi pertandingan tinju
Liston terus menerus mundur
Namun tak cukup ruang di sana
Tinggal persoalan waktu
Sebelum Clay menurunkan ledakan
Kini Clay mengayunkan tangan kanan
Satu ayunan nan indah nian
Dan pukulan menyebabkan beruang itu
Meninggalkan gelanggang
Liston masih tegak
Dan  sang wasit mengerutkan dahi
Karena dia tak memulai hitungan
Sampai Sonny turun ke bawah
Kini Sonny lenyap dari pandangan
Kerumunan itu kalut
Tapi di luar stasiun radar menangkap dirinya
Di manapun dia di atas Atlantik
Yang akan berpikir
Ketika mereka menonton pertandingan tinju
Karena mereka menyaksikan peluncuran
Satelit manusia
Ya kerumunan itu tak bermimpi
Saat mereka korbankan uang mereka
Karena akan mereka lihat
Gerhana total Sonny.
Akulah yang Terbesar!

Terbukti, Ali memenangi kejuaraan kelas berat dunia pada ronde ketujuh. Itulah kali pertama Ali menjadi juara dunia tinju kelas berat. Terhadap hal itu, Ali berkomentar, “Aku baru saja memasuki usia dua puluh dua, dan ramalanku menjadi juara dunia pada usia dua puluh satu salah dengan hanya beberapa minggu. Aku tahu bahwa aku pasti menjadi yang terbesar, dan aku tak menghabiskan waktu yang manapun untuk menyatakan kepada dunia.”

Kemenangan Ali tak lepas dari kedekatannya dengan Tuhan. Setelah pertandingan yang berhasil mengalahkan Liston itu, Howard Cosell naik ke atas gelanggang dan bertanya padanya apakah pelatih Angelo Dundee telah memberinya rencana pertandingannya. Atas pertanyaan itu Ali berujar, “Aku bilang tidak, karena aku tahu aku menguasai Liston sejak ronde pertama karena Tuhan Yang Mahakuasa ada bersamaku.”

Kedekatan Ali dengan Tuhan memang melambari keyakinan dan kemampuannya di dalam mengalahkan lawannya bertinju, seperti termaktub pada puisinya berikut ini:

Aku berdoa kepada Tuhan setiap hari
Jika Tuhan ada bersamaku
Tak seorang pun bisa mengalahkanku,

Dalam puisi lain, Ali mencatat kesannya atas sejumlah pertandingan untuk meraih medali emas seperti tersaji di bawah ini:

Pertandingan Emasku

Dari semua orang yang aku tandingi
Liston yang paling menakutan.
Foreman yang paling kuat.
Patterson yang paling piawai.
Yang paling keras adalah Joe Frazier.

Ali adalah petinju istimewa, selain tampan dan bermulut besar. “Selagi aku muda, aku tak pernah berpikir tentang efek sindiran dan pembualanku terhadap orang-orang. Aku terlampau sibuk menjual tiket, berkeluyuran, dan berusaha mengembangkan pertandingan tinjuku dengan aset terbesar mulutku! Aku tak pernah memedulikan lawan bicara secara serius. Itu pemain pertunjukan belaka, yang kuperlajari dari orang terbaik, juara gulat Gorgeous George. Demikianlah yang terjadi manakala aku benar-benar mulai berteriak, ‘Aku tampan, akulah yang terbesar. Aku tak bisa dipukul, aku yang tercepat di atas dua kaki, dan aku mengambang laksana seekor kupu-kupu dan menyengat seumpama seekor lebah,’” tandasnya.

Ali bukan sekadar bertinju. Baginya, pertandingan tinju memiliki suatu tujuan yang lebih mulia, apalagi saat itu Amerika Serikat masih menerapkan politik segregasi terhadap warga kulit hitam. “Aku bertanding tinju untuk meraih gelar kelas berat dunia agar aku bisa ke luar di jalanan dan menuturkan pikiranku. Aku ingin mendatangi orang-orang, yang pengangguran, pemakai obat-obatan terlarang, dan kemiskinan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Aku ingin menjadi seorang juara yang memiliki akses kepada setiap orang. Aku berharap mengilhami orang lain untuk mengendalikan hidup mereka dan hidup dengan rasa bangga dan ketetapan hati. Menurutku mungkin jika mereka melihat bahwa aku menjalani hidupku sesuai cara yang kupilih untuk menjalaninya – tanpa rasa takut dan dengan ketetapan hati – mereka mungkin berani mengambil risiko yang bisa membuat mereka bebas,” ujar Ali.

Betapapun berharganya tinju bagi Ali, toh dia menghayatinya sebagai pekerjaan belaka sebagaimana kawanan burung terbang, rumputan tumbuh, dan ombak memukul-mukul pasir, seperti terekam dalam puisinya berikut ini:

Ini hanya pekerjaan.
Kawanan burung terbang.
Rumputan tumbuh.
Ombak memukul-mukul pasir.
Aku memukul orang.

Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Maret 2013

[Buku] Teenlit Naik Daun, Kian Menjamur

-- Tita Tjindarbumi


DI hampir semua toko buku novel bergenre teenlit sedang jadi primadona. Hampir setiap minggu muncul judul baru, yang covernya segar, cute dan unyu. Tak hanya novel baru, tetapi penulisnya pun baru. Dan banyak ditulis oleh generasi muda.

Melihat banyaknya bermunculan penulis muda, tentu ini menggambarkan bahwa minat baca semakin baik sinergi dengan minat menulis yang kian terasa semangatnya di kalangan anak muda. Kendati begitu, tak berarti penulis senior sudah benar-benar meninggalkan bermain-main kata di genre teenlit. Novel teenlit kini menjadi ladang yang luas bagi penulis dan kemajuan literasi di Indonesia.

Mengapa Teenlit

Siapa yang paling menentukan novel genre apa yang paling bagus dan Boom di pasaran? Penerbitkah? Penulisnya? Atau, pembaca?

Berdasarkan pengamatan saya, sepertinya pembacalah yang paling dominan menentukan buku apa yang bisa laris di pasaran dan menjadi best seller. Mungkin perlu dibuat survey yang lebih serius yang berkaitan dengan minat baca masyarakat, meski hasil jalan-jalan saya ke toko buku dan melihat postingan di Facebook, cukup bisa membuktikan bahwa genre teenlit lebih sering muncul dibandingkan genre lainnya.

Dunia perbukuan di Indonesia adalah industri kapitalis, yang selalu mengejar keuntungan. Bagi pelaku bisnis perbukuan yang penting buku mereka laku, laris manis dan best seller. Cetak ulang berkali-kali. Soal isi, katakanlah mutu, itu urusan nomor sekian.

Tetapi sungguhkah mutu selalu diletakkan di nomor sekian setelah urusan pendistribusian? Jawabannya bisa iya dan tidak. Sebab masih cukup banyak penerbit yang peduli pada kemauan literasi Indonesia sehingga tidak hanya mengedepankan soal bisnis semata.

Lalu buku apa yang paling laris untuk era sekarang?

Di Gramedia Tunjungan Plaza Surabaya, buku teenlit penjualannya bagus dibandingkan buku atau novel genre lain. Terbilang 500 eksemplar terjual tiap bulan. Menurut petugas yang tak mau disebut namanya, tingginya angka penjualan novel bergenre teenlit karena penerbit dan penulisnya gencar promo di sosial media, seperti Facebook, twitter dan lainnya sehingga novel mereka dicari oleh pembaca yang tentu kaum remaja.

Lalu mengapa novel teenlit menjadi booming, sebagian besar penerbit memfokuskan bidikannya pada novel teenlit? Penerbit yang semula bermain-main di novel hantu yang tidak serem tetapi ngocol, gokil kini juga menerbitkan buku novel bergenre teenlit?

Sanie B Kuncoro, penulis senior yang cerpennya sudah bertebaran di berbagai media, mengatakan, remaja adalah pasar yang potensial dan besar untuk berbagai hal. Mereka adalah kelompok yang konsumtif ,maka berbagai produk untuk remaja sangat laku. Termasuk buku.

Bagi penulis senior untuk menulis kisah remaja relative tidak mudah karena dibutuhkan pemahanam dan penyesuaian gaya yang pas. Merubah gaya menulis juga bukan hal yang sederhana. Meski pun Sanie B Kuncoro yang di tahun 1980-an juga memulai dengan menulis cerpen teenlit, ia juga harus berusaha beradaptasi ketika harus menulis novel bergenre teenlit. Novel Silang Hati , novel bergenre teenlit yang ditulis Sanie duet dengan patner nulisnya, adalah novel teenlit-nya setelah sekian tahun meninggalkan dunia remaja.

Bisa jadi bagi penulis senior menulis cerita remaja, harus merubah gaya menulis, belajar dan memahami kebiasaan para remaja atau istilah-istilah yang biasa dipakai para remaja. Tetapi hal itu sepertinya tidak terjadi pada Kurnia Effendi yang telah banyak memenangkan lomba menulis cerpen dll di berbagai ajang lomba. Baginya menulis remaja di saat usia tidak remaja tidak menjadi persoalan.”Mungkin karena pernah mengalami masa remaja, ketika menulis remaja ya nyetel aja langsung di kepala.”

Keff juga tidak merasa kesulitan soal istilah yang biasa dipakai oleh remaja, sebab ia bisa bertanya pada anak-anaknya yang sudah remaja dan teman-teman  cewek di kantornya yang gadget minded,”Mendengarkan radio remaja di mobil juga membantu saya untuk menyesuaikan gaya dan istilah anak-anak zaman sekarang,” kata Keff.

Enteng, Mudah Dicerna

Penulis, penerbit dan pembaca adalah komponen yang tak bisa berjalan sendiri-sendiri. Apalagi di era industri seperti saat ini. Penulis jika ingin menerbitkan buku, maka mau tak mau harus mengikuti maunya penerbit. Dan penerbit tak akan menerbitkan buku yang tidak akan dibeli oleh pembaca. Penulis bisa saja menerbitkan bukunya sendiri, jika memang hanya untuk aktualisasi diri dan kepuasan hati semata, bukan untuk mencari keuntungan dari penjualan buku-bukunya.

Lalu mengapa belakangan ini novel remaja banyak diterbitkan?

Yang pasti karena remaja adalah pasar yang potensial untuk industri apa pun, termasuk buku.  Remaja bukan hanya konsumtif tetapi mereka juga potensial untuk segala macam bentuk kreatifitas di antaranya menulis. Di usia pubertas mereka butuh tempat untuk mencurahkan seluruh kegalauan hati dan jiwa mereka. Maka bermunculanlah penulis-penulis baru dari kalangan remaja yang tentu tulisan mereka banyak digemari oleh kaum remaja, karena ketika membaca novel remaja tersebut, pembaca remaja terbawa dan seakan mereka lah yang ada di dalam cerita novel tersebut.
   
Alasan sederhana lainnya mengapa novel remaja dicari-cari,”Karena ringan, membacanya nggak usah pakai mikir,” ujar Sasya, mahasiswa semester 5 sebuah Universitas di Surabaya.
   
Tita Tjindarbumi, penulis

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Maret 2013

[Jejak] Arena Wati Berjaya di Rantau


MUHAMMAD Dahlan bin Abdul Biang, Andi Mohalan Andi Beang atau lebih dikenali sebagai Arena Wati lahir 30 Juli 1925 dan meninggal dunia 25 Januari 2009 merupakan Sasterawan Negara Malaysia pada 1988. Nama pena lainnya adalah Duta Muda dan Patria.

Arena Wati dilahirkan pada 30 Julai 1925 di Kalumpang Kabupaten, Jeneponto, Makassar, Indonesia. Arena mendapat pendidikan awal di sekolah Belanda, Hollands Indische School, sebelum meletus Perang Dunia II.

Semasa Perang Dunia II, ia memulakan kerjayanya sebagai pelaut pada 1943. Pengalamannya dalam bidang ini meningkatkan lagi kemampuannya dalam penulisan dan menghasilkan novel yang baik. Dia menamatkan pengajian menengahnya di Makassar pada 1953.
Selepas tamat persekolahan, Arena bekerja dengan syarikat penerbitan di Singapura, dan kemudiannya ke Johor Baru dan Brunei. Dalam tempo ini, beliau telah menjadi warganegara Malaysia dan antara 1962 hingga 1974, beliau bertugas di Pustaka Antara, Kuala Lumpur.

Arena Wati terjun dalam dunia kewartawanan sekitar 1954 dan pernah menjadi editor di Pustaka Antara dan akhirnya menerima anugerah Sasterawan Negara pada 1988. Kebanyakan karya Arena Wati berbentuk akademik, imiginatif, mencabar minda dan kritikannya pedas dan berbisa.

Isterinya Halimah Sulong dan enam orang anak, Rahmahwati, Hiryati, Ilhamuddin, Ratna Siti Akbari, Hasanudin dan Kamaluddin Rostov. Novelnya yang pertama ialah Kisah Tiga Pelayaran pada 1959 di Singapura.

Selepas itu itu dia terus menulis termasuk: Lingkaran (1962), Sandera (1971), Rontok (1980), Bunga dari Kuburan (1987), Kuntum Tulip Biru (1987), Sakura Mengorak Kelopak (1987), Panrita (1993). Selain itu, Sukma Angin (1999), Cakra Waruga (KN), Sebuah Trilogi Tiga Genre (KT), Trilogi Busa-Busa Hati, Trilogi Busa - Busa Sukma, Trilogi Busa-Busa Kalbu, Trilogi Armageddon: Mandala (2004), Trilogi Armageddon: Menorah, Trilogi Armageddon: Pentagon dan Warna Sukma Usia Muda.

Lain-lain karyanya ialah Eno (1985), Syair Pangeran Syarif (1989), Syair Pangeran Syarif Hasyim Al-Qudsi (1989), Syair Perang Cina di Monterado (1989), Burung Badai (1990), Turina (1991), Citra (1991), Memoir Arena Wati Enda Gulingku (1991), Ombak Samudera (1992), Meniti Kala by Arena Wati (1993), Panrita (1993), Sudara (1994), Mevrouw Toga (1995), Begawan (1996), Jejak Kreatif oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (1996), Koleksi Terpilih Arena Wati (1996), Sukma Angin (1999), Getar-Getir Maya, Kumpulan Cerpen (2000), Trilogi Busa (2002).

Armageddon (2004), Kutukan dari Langit (2004), Langkah Pertama Kumpulan Cerpen Awal, 1954-1959 (2004), Tujuh Tegak Bersama (2005), Warna Sukma Usia Muda (2005) dan yang terakhir Cakra Waruga (2006).

Kebanyakan karya beliau mempunyai tema permasalahan kelompok bawahan dan berkisar mengenai nasib atau pembelaan terhadap golongan tertindas yang digarap dari pengalaman merantau dari pulau ke pulau di Nusantara.

Novel Sandera menjadi teks kajian Sastera SPM sekitar 1980-an. Trilogi Bara-Baraya yang disiapkan ketika dirawat di HUKM berkisar mengenai perjuangan Melayu Nusantara. Rekannya A Samad Said menyifatkan Arena Wati sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam arena sastra.

Pencapaian yang pernah diraihnya SEA Write Award (1985), Anugerah Sasterawan Negara (1987), Sukma Angin (1999) memenangi Hadiah Sastera Perdana Malaysia 1998/99, Anugerah Penulisan Asia Tenggara 1985 (SEA Write Award) daripada Paduka Raja Thai dan Pemenang Hadiah Sastera Majlis Sastera Asia Tenggara (Hadiah Mastera) 2003.

Saat meninggal dunia dan jenazah Arena Wati dibawa ke Masjid Wilayah Persekutuan di Jalan Duta untuk disembahyangkan dan dikebumikan di Tanah Perkuburan Islam Bukit Kiara. Beliau dirawat di Hospital HUKM Bandar Tun Razak sejak 20 September 2008 karena barah paru-paru.(fed/berbagai sumber)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Maret 2013

Sunday, March 17, 2013

Kesusastraan tanpa Kehadiran (Apresiasi) Sastra

-- M. Taufan Musonip
 
SECARA ekstrem apakah dapat dikatakan sebuah krisis kebudayaan dapat disebabkan manusia kurang memperhatikan sastra sebagai produk kebudayaan di antara produk lain yang berkembang dalam masyarakat? Sastra Tanpa Kehadiran Sastra sebagaimana ditulis oleh Wiratmo Soekito (Sastra dan Kekuasaan: 1984) dalam kacamata hari ini bisa jadi merupakan gambaran kondisi masyarakat yang dilingkupi karya sastra, pada situasi tanpa keterjalinan komunikasi sehingga gagasan-gagasan yang dibangun dalam sebuah karya sastra mengenai kebaikan, melalui hantaran daya estetik belum menjadi tempat rujukan lain dalam usaha membangun pencerahan.

Simak saja, misalnya, telaah Ikram dalam Filologia Nusantara terhadap empat karya naskah sastra kuno dalam dua bab, di antaranya Hikayat Sri Rama, Hikayat Pocut Muhamat, Serat Panji Jayakusuma dan satu bab mengenai Cerita Panji, tentang adanya kandungan makna soal kekuasaan yang langsung dihadapkan dengan narasi modern tentang kepemimpinan. Tapi jangankan sastra lama yang sulit dijangkau dan terkadang dianggap kolot itu, kehadiran sastra kontemporer pun terlihat masih kurangnya minat, apa sebab?

Tiga Sebab

Kalangan sastra pun banyak yang mengatakan bangsa ini lahir dari tradisi lisan, padahal jika menengok sejarah Sastra Nusantara, tradisi tulis bangsa Melayu bahkan tercatat dimulai sejak abad 6 M, dalam prasasti Telaga Batu (Mu?jizah, 2012). Indonesia juga punya naskah sastra terpanjang di dunia, yaitu La Galigo dari Bugis, Syair-syair Hamzah Fansuri, saduran/salinan naskah-naskah kuno dan penulisan cerita rakyat (folklor) di beberapa daerah.

Pada masa penjajahan, Indonesia juga meneruskan tradisi membaca melalui terbitnya koran Medan Prijaji sebagai rintisan Tirto Adhi Surjo dan beberapa karya sastra yang ditulis Moehamad Moesa seperti Panji Wulung dan beberapa wawacan, di daerah Garut Jawa Barat.

Sastra merupakan ruang yang menampung segala peristiwa, ketika koran dan majalah kekurangan ruang menuliskannya. Tak ayal pada masa-masa sulitnya pergerakan pers, maka karya sastra paling depan mencatat berbagai peristiwa melalui caranya sendiri, walaupun terdapat risiko besar di dalamnya, sebagaimana dialami para pengarang di masa-masa pemerintahan otoriter.

Pada masa kebebasan kreatif sekarang ini, tentunya sastra tak pernah berhenti membicarakan banyak hal, hanya saja kali ini dia kehilangan apresiasi pembaca, yang pada sejarahnya disebabkan oleh adanya kekuatan politik yang memengaruhinya di antaranya sebagai berikut: (1) masa awal kolonialisme dan ekspansi bisnis kaum Eropa yang mengatakan timur sebagai jaman kegelapan, dengan merujuk pada studi antropologi Radcliffe-Brown (2012, dalam etnohistori.org), yang menyebut studinya sebagai antropologi tanpa sejarah, demi kepentingan perluasan wilayah jajahan.

(2) masa kolonialisme terutama pada masa politik etis, yang hendak menyatukan dua benua secara berjauhan (Belanda dan Indonesia) dengan bias politik balas budi penjajah, salah satunya melalui pendirian Komisi untuk Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Volkslectuur), membentuk kasta buku bacaan, karya sastra yang lahir di luar lembaga itu disebut sebagai bahan bacaan dari kaum rendahan.

(3) Kehadiran Balai Pustaka tentu tak mengubur aktivitas sastra di luar arus mainstream hingga pascakemerdekaan, akan tetapi pada masa orde baru gairah itu ditumbangkan dengan pembredelan buku dan media massa yang tak sejalan dengan kebijakan politiknya. Minat baca masyarakat tergusur dalam hal ini karena tradisi kritik sosial dalam sastra kemudian absen.

Proses

Memang ada proses yang mesti dijalani?selain pendekatan sejarah tradisi tulis di Indonesia?dimulai dari perlunya retrospeksi adanya berbagai konvensi sebagai tandingan dari menara mahzab yang pada saat ini menjulang berdiri. Mahzab itu masih seputar karya sastra sebagai ?seni untuk seni? berhadapan langsung dengan budaya populer sebagai jerat kegairahan membaca.

Sebuah keadaan yang menuntut digelarnya kembali sejarah hujah antarkonvensi dari landasan mimetik, pragmatisme dan sosiolinguistik terhadap kajian formalisme dan close reading sebagaimana pernah terjadi pada masa lalu dalam sastra dunia.

Untuk menggairahkan itu, perlu dibuka kembali tradisi kritik sastra yang selama ini pingsan setelah buku Sebuah Pertemuan karya Arif Budiman terhadap Chairil Anwar termasuk kritik Dami N. Toda kepada tiga buku novel Iwan Simatupang itu. Hadirnya konvensi-konvensi sastra dalam diskursus kritik sastra menerbitkan warna-warna baru penulisan sastra, pararel dengan penciptaan berbagai horison harapan pembaca.

Akan tetapi, tantangan terberatnya justru bagaimana mengimbangi budaya populer yang semakin mencengkeram akhir-akhir ini, oleh itu mungkin diperlukan semacam konvensi baru sastra Indonesia, muncul dari tradisi kritik yang mulai dibangun kembali.

M. Taufan Musonip
, Bersama Forum Sastra Bekasi (FSB) merintis buletin sastra dan kebudayaan Jejak.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Maret 2013
 

[Buku] Muslihat Perang Melawan Tembakau


Data buku
Muslihat Kapitalis Global


Okta Pinanjaya & Waskito Giri

Indonesia Berdikari, 2012

197 hlm.

BISNIS tembakau merupakan bisnis besar yang melibatkan banyak aktor di banyak negara. Di Indonesia, tembakau merupakan komoditas yang memiliki daya tahan terhadap krisis ekonomi sebagaimana terjadi pada 1997-1998. Bahkan, komoditas ini mampu mendongkrak devisa negara.

Tidaklah mengherankan jika kemudian beberapa negara menerapkan kebijakan yang dirasa mampu menopang bisnis tembakau dalam negeri mereka. Amerika Serikat, misalnya, menerapkan family smoking prevention and tobacco control act, sebuah kebijakan yang secara eksplisit menunjukkan pemberlakuan hambatan nontarif terhadap produk tembakau impor. (Hlm. 4)

Ironisnya, Pemerintah Indonesia memiliki sikap yang berbeda dengan negara-negara tersebut. Pemerintah tidak memiliki aturan khusus dalam industri dan pertanian tembakau. Hal ini pula yang menyebabkan banyaknya perusahaan multinasional tembakau yang leluasa beroperasi di negara ini.

Padahal, tembakau memiliki peran yang cukup nyata dalam perekonomian nasional sebagai sumber penerimaan negara dan cukai. Tercatat, Rp51 triliun masuk ke kas negara pada 2008 dan pada 2011 menjadi Rp60,7 triliun. Sayangnya, peningkatan tersebut disebabkan kebijakan peningkatan harga jual eceran, sementara produksi rokok cenderung menurun.

Karya Okta Pinanjaya dan Waskito Giri ini mengungkap perselingkuhan perusahaan rokok dengan industri farmasi di Amerika Serikat serta peran seorang Michael Bloomberg yang begitu piawai mengemas kepentingan kapitalisme global melalui isu kesehatan masyarakat. Dengan kekuatan lobi politik serta finansialnya, beserta para koleganya ia berhasil menggerakkan berbagai organisasi dunia bahkan negara untuk turut serta dalam perang melawan tembakau yang dikobarkannya.

Bloomberg, selain menjabat sebagai wali kota New York, juga merupakan salah satu penguasa di industri media dan layanan data keuangan di dunia dengan jaringan yang tersebar hampir di seluruh dunia. Majalah Forbes menempatkannya sebagai salah seorang terkaya di dunia. (Hlm. 52)

Tidak sekadar itu, ia juga dinobatkan oleh The Chronicle of Philanthropy, sejak 2004, masuk daftar 50 penyumbang paling top di Amerika dengan total nilai donasi lebih dari 1,4 miliar dolar AS. Pada 2010, bahkan posisi tersebut naik menjadi peringkat kedua setelah George Soros, yang makin mengukuhkan namanya sebagai filantropis papan atas Amerika.

Untuk memuluskan programnya, dana sebesar 300 juta dolar AS juga digelontorkannya kepada John Hopkins University yang sejarah pendirian dan kebesarannya dekat dengan tradisi medis, menjadi salah satu bagian dari dinamika industri kesehatan modern.

Faktanya, agenda perang global antirokok dan tembakau yang dipelopori Amerika, lebih ditujukan pada pengendalian industri, yang sebetulnya bertolak belakang dengan klaim bahaya rokok bagi kesehatan. Kampanye tersebut hanyalah sebuah retorika yang memanfaatkan ketergantungan publik terhadap otoritas kesehatan. Tujuannya menciptakan rasa takut dari bahaya merokok.

Teror tersebut kemudian menghasilkan demand bagi kebutuhan yang muncul untuk menghadapi rasa takut. Hal itu menciptakan sebuah peluang pasar untuk produk pengganti nikotin (NRT) yang diproduksi industri farmasi, yang notabene para pemiliknya memiliki hubungan baik secara langsung, baik tidak langsung dengan Rockefeller-Morgan, sekutu dekat Bloomberg. (hlm. 93)

Meskipun demikian, tentu saja gerakan kampanye antitembakau tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Bagaimanapun proses indoktrinasi melalui informasi-informasi mengenai bahaya merokok yang keliru sudah membentuk sebuah sistem kepercayaan yang cenderung fanatik pada gerakan antitembakau global, termasuk Indonesia dan negara-negara sasaran lainnya.

Buku ini mengajak para pembaca agar wacana bahwa entitas tembakau adalah senyawa berbahaya penyebab epidemik modern, perlu disikapi secara kritis dan bijaksana. Bukan hanya karena kebenaran ilmiahnya masih dianggap debatable, tetapi motif-motif tersembunyi para donator dan penggagas utama kampanye antirokok pun perlu diselidiki lebih dalam, apalagi kebanyakan dari mereka merupakan penganut kapitalisme.

Noval Maliki, Direktur Demi Buku Institute, tinggal di Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Maret 2013

[Tifa] Indonesia Kaya Karya Seni, tapi Miskin Apresiasi

SALAH satu sudut ruangan Galeri Langgeng Art Foundation (LAF), Yogyakarta, terlihat ramai. Beberapa pelukis dari Indonesia dan Malaysia duduk melingkar bersama orang-orang yang hadir dan berbagi cerita tentang perjalanan di balik Nafas Residensi Showcase 2012, Kamis (14/3).

Residensi merupakan program pertukaran seniman antarnegara dan di Nafas Residensi Showcase 2012 ini, ada 3 seniman dari Indonesia dan 3 seniman dari Malaysia. Mereka berkarya dari pengalaman yang mereka dapatkan selama proses residensi.

Rocka Radipa, 37, ialah pelukis dari Indonesia yang ikut dalam program menggambarkan betapa dihargainya seorang seniman di negara Malaysia. Ia merasakan benar adanya dukungan penuh dari pemerintah dan lembaga swasta saat menjalani program.

Itu berbeda dengan di Indonesia yang pemerintahnya kurang apresiatif dan kurang memperhatikan seniman. Ia merasa banyak sekali seniman di beberapa daerah yang piawai, tapi mereka kesulitan memperoleh apresiasi karya seni. “Jujur, yang saya ungkapkan itu," ujar Rocka.

Namun Indonesia, menurutnya, lebih unggul karena memiliki banyak seniman berbakat. Mereka juga mampu menghasilkan karya yang kaya imajinasi dan sangat kreatif. Hal itu lebih disebabkan sejarah Indonesia yang memiliki kultur seni tinggi sejak dahulu kala, termasuk seniman Raden Saleh yang sudah kondang.

Ia mencontohkan berkesenian di Indonesia terutama di Yogyakarta memiliki gairah yang tinggi. Hal itu juga diakui Mariana Saleh, pelukis dari Malaysia yang ikut dalam program Nafas Residensi.

“Betul, saya mendapatkan kekuatan kembali untuk berkarya di Indonesia, terutama di Yogyakarta,” aku Mariana kepada Media Indonesia.

Selama berada di Indonesia, Mariana mengaku hanya konsen pada karya-karyanya sehingga belum bisa merasakan support dan apresiasi pemerintah Indonesia terhadap seni. Namun, ia mengakui pemerintah negaranya sangat memperhatikan seniman terutama dalam hal pendokumentasian karya.

“Memang, saya sendiri melihat adanya perbedaan hal itu. Penghargaan terhadap karya seni di Malaysia lebih tinggi daripada di Indonesia,” kata Rusnoto Susanto, kurator Nafas Residensi Showcase 2012.

Di Malaysia, ujar Rusnoto, karya-karya seni yang dihasilkan didokumentasikan secara rapi. Mereka yang berkarya juga diapresiasi sehingga mampu hidup dari berkesenian.

Karya dua negara

Di LAF, mereka yang hadir tak hanya bisa mendapatkan cerita dari enam seniman dua negara. Mereka juga bisa melihat langsung karya-karya yang para seniman itu hasilkan dari proses Nafas Residensi Showcase 2012, yang dipamerkan hingga 24 Maret. Umumnya karya yang dipajang menceritakan apa yang mereka dapatkan.

Seperti Mariana, ia melukis seorang anak lelaki yang tak lain ialah anaknya sendiri. Dalam lukisannya yang berjudul Mimpi Biru di Jogja, Mariana ingin mengatakan betapa nyaman hidup di Yogyakarta.

Karya seniman Malaysia lainnya misalnya lukisan Ruzzeki Harris yang melukiskan pernak-pernik Yogyakarta berjudul Gurih. Di lukisan itu, Harris menceritakan gorengan atau makanan kecil yang biasa dijajakan di sepanjang jalan. Di lukisan itu terdapat seorang berkacamata dan beberapa cabai serta tempe yang seolah siap disantap.

Devie Triasari, manajer Nafas, mengaku dengan diadakannya program Nafas Residensi Showcase 2012, semoga kebebasan ekspresi dalam keragaman budaya makin maju.

Tak kalah penting ialah apresiasi seni semakin meningkat, geliat kesenian tak hanya dirasakan di perkotaan, dan Asia Tenggara menjadi bagian dari seniman dunia. (FU/M-1
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 Maret 2013
 

[Tifa] Mengutuk Koruptor lewat Simbol Celeng

-- Iwan Kurniawan

Permainan tekstur dan gaya lukisan menjadikan karya-karya Aris kaya akan estetika. Ia mampu mengabadikan celeng sebagai simbol koruptor, bukan tikus.


ALUNAN sebuah instrumen mengiringi langkah tiga perempuan setengah baya untuk melihat-lihat ke sederet karya Aris Budiono Sadjad, malam itu.

Salah satu perempuan berkebaya terlihat serius. Dia tampak mengarahkan pandangan ke sebuah karya berjudul Wayang Dewi Themis. Sejurus, sang perempuan itu pun melangkah ke deretan lukisan lainnya.

Seakan ada sebuah kegelisahan dalam melihat berbagai kasus korupsi yang kian meriap di negeri ini. Lewat pameran tunggal Perang Suci Melawan Korupsi di Bentara Budaya Jakarta, 15-23 Maret, Aris mencoba menghadirkan puluhan karya lukis terbaru yang ia kerjakan dalam dua tahun terakhir ini.

Ada ciri khas dalam setiap karya. Sang pelukis menghadirkan idiom wayang, idiom babi, dan mitologi klasik yang berpaku pada kisah Mahabharata, Ramayana, dan pekeliran Jawa.

Karya-karya yang begitu kuat dengan dunia pewayangan Jawa terlihat pada karya Punakawan Menggotong Celeng (145x145 cm). Aris memvisualisasikan Petruk, Gareng, Semar, dan Bagong yang sedang mengarak seekor celeng--babi hutan berwarna hitam dan bertaring tajam--secara jenaka.

Petruk, Gareng, dan Bagong menggotong, sedangkan Semar terlihat tengah memukul kendang. Ada pula dua perempuan lainnya sedang meniup suling dan memainkan kecrek-kecrek.

Sentuhan kelucuan tergambar jelas. Aris juga menghadirkan gradasi warna keemasan pada latar belakang objek utama (celeng). Ada gedung-gedung pencakar langit yang megah.

Bila dicermati, bayangan Punakawan dibuat tidak sesuai. Bayangan objek celeng adalah seorang manusia. Tak mengherankan, pembiasan yang sengaja disamarkan itu sebenarnya mengandung kritikan lewat permainan simbol.

Pemilihan idiom celeng sebagai bentuk untuk menggambarkan para koruptor yang sudah tidak bermoral lagi.

“Simbol babi sebagai tafsiran akan kerakusan yang paling tinggi,” ujar Aris di sela-sela pembukaan pameran, pertengahan pekan ini. Dia sepertinya sengaja menggantikan simbol koruptor yang biasa disimbolkan tikus dengan babi hutan. "Koruptor bukan tikus lagi, melainkan sudah menjadi babi liar dan ganas," jelas lelaki kelahiran Brebes, Jawa Tengah, 13 September 1960, itu.

Peralihan gaya

Kehadiran celeng sebagai simbol menjadikan karya-karya Aris semakin kuat dengan tema yang ia usung. Ada pertarungan antara kejahatan dan kebaikan yang sangat ditonjolkan dalam pameran tersebut.

Karya Hanoman Storm Fury (145x145) menghadirkan seekor kera putih, Hanoman, sedang bertarung melawan tiga ekor celeng. Hanoman dengan gesit mencekik leher salah satu celeng.

Ada yang menarik karena salah satu celeng (semacam si Togog) berkemeja, berdasi, dan bersepatu necis sedang bersembunyi di atas pohon dengan menggenggam segepok uang.

Itu seperti mengingatkan perjuangan melawan koruptor tak bisa dilakukan seketika mungkin. Butuh banyak orang jujur untuk menindak koruptor secara tegas dan adil.

Pada karya Hanoman Samurai (145x145), Aris menghadirkan gaya sadis. Dia menghadirkan tokoh Hanoman yang sedang marah dan merobek perut seekor celeng. Darah-darah mengucur lewat pedang samurai yang ia gunakan.

Karya lain yang menggelitik juga terdapat pada karya seperti Bhatara Guru Mengusir Hama Celeng (145x250 cm), Over Populasi (145x145), dan Kelompok Ronggeng Celeng ((145x250 cm).

Dalam pameran itu, terdapat dua karya timbul berupa permainan tekstur. Itu menjadi salah satu peralihan dari gaya lama Aris berupa ‘gua-gua’ yang abstrak ke gaya sekarang--mendekati ekspresionis--penuh dengan simbol.

Karya berupa tekstur itu terlihat jelas pada karya Celeng Whisperer (145x145) dan Bima Jagal Abilawa (145x145).

Kritikus seni Agus Dermawan T, dalam komentarnya, menyatakan menatap celeng-celeng dalam karya Aris bisa membuat emosi, tetapi juga bisa membuat akrab. Pasalnya, di balik ‘makian’ visual, sesungguhnya tersembunyi simbol yang umum dan dekat dengan kita.

“Celeng mengingatkan orang Indonesia kepada celengan, wadah uang untuk menyimpan receh tabungan. Di dunia Barat dikonotasikan imut-imut (piggy bank). Jadi, hubungan celengan dengan para maling berdasi memang begitu dekat,” ungkap Agus.

Keberanian Aris dalam menyimbolkan koruptor dalam bentuk celeng patut mendapatkan apresiasi. Dia seakan mau mengingatkan agar koruptor diberangus, digantung, bahkan dihukum mati.

Terlepas dari tema yang mampu menarik pengunjung karena kejenakaannya, gaya lukisan pada beberapa karya Aris masih datar, terutama permainan pada hampir setiap tarikan garis-garis yang begitu tebal dan sama. Itu membuat karya-karya tersebut terlihat sedikit membosankan. (M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 Maret 2013
 

[Figura] Maklumat Sastra dan Pendewasaan Sastrawan

-- Iwan Kurniawan

DUNIA sastra Indonesia semakin mendapatkan tempat di hati masyarakat. Pengakuan terhadap sastrawan pun kian mewarnai perjalanan kesusastraan di Tanah Air.

Di era pascareformasi, penyair, cerpenis, hingga novelis anyar banyak bermunculan. Namun, hanya sebagian kecil yang sukses menghasilkan karya-karya yang mampu menembus batas negara hingga benua.

Ada yang menarik dalam perjalanan dunia kesusastraan di Indonesia baru-baru ini. Sekadar menyebut, novelis Andrea Hirata semakin mengukir namanya di kancah literatur dunia. Dia baru saja meraih Internationale Tourismus-Borse Berlin 2013 di Jerman, sepekan silam, untuk karya bukunya, Laskar Pelangi.

Novel tersebut boleh menjadi buku terbaik anak bangsa saat ini. Pasalnya, buku itu telah diterbitkan di 22 negara dalam 19 bahasa. Bahkan ada kabar yang mengungkapkan buku itu sedang diterjemahkan lagi ke dalam beberapa bahasa sehingga diperkirakan lebih dari 30 bahasa asing.

Pada sebuah perbincangan santai, Andrea mengaku ikut dalam proses penerjemahan. Hal itu sedikit membuat dia merasa bosan, tetapi mengasyikkan karena bisa membawa nama Indonesia.

Terlepas dari kesuksesan Andrea dengan Laskar Pelangi-nya, sebenarnya novelis Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925–30 April 2006) beberapa langkah lebih dahulu sudah mengukir nama Indonesia lewat dunia kesusastraan.

Pram bahkan telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Itu sebuah pencapaian yang spektakuler dari seorang Pram saat itu.

Keberanian Pram dalam menggunakan pena sebagai senjata tak bisa terbendung. Karena novel-novelnya dinilai mengandung unsur subversi oleh rezim yang berkuasa di Indonesia saat itu, ia pun harus keluar masuk bui.

Misalnya, novel Gadis Pantai (1962-1965) yang sejatinya merupakan trilogi. Namun lantaran kediktatoran angkatan darat saat itu, dua buku lanjutan Gadis Pantai raib dihempas keganasan penguasa.

Bila mencermati secara mendalam, ada yang menarik dalam novel Gadis Pantai. Meski sudah puluhan tahun diterbitkan, buku itu sepertinya masih memiliki hubungan emosional dengan generasi masa kini.

Tengok saja, pada hlm 152, misalnya, Pram begitu realistis dalam menggambarkan si tokoh bernama Gadis Pantai. ‘Gadis Pantai (itu) naik ke atas dokar kembali diikuti oleh kusir. Dokar membelok ke kanan. Roda dokar tenggelam beberapa sentimeter di dalam pasir dan dengan susah payah kuda menarik beban’.

Nah, menariknya, Pram memasukkan sebuah tembang. Tembang itu dilantunkan sang tukang kusir. Itu mungkin sebagai pelipur untuk si Gadis Pantai atau sebagai bentuk kritikan terhadap priayi.

Tembang itu berbunyi, ‘Duh-duh aduh bayi bocah jadi korbanEmak pikul tanah bapak babat hutanOrang-orang kampung dilarang pulangKejamnya rodi tiada alang kepalang...’

Keberanian

Dengan mencermati sebagian lirik tembang tersebut, Pram jelas menaruh kritikan kepada penguasa saat itu. Tindakan 'pengasingan' pun ia dapati.

Terlepas dari kesadaran bersastra, ideologi seorang sastrawan atau novelis juga sangat memengaruhi tulisan atau karya. Karya-karya Pram memang sangat berpengaruh saat itu. Pram bahkan sempat menjadi salah satu tokoh berpengaruh di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan sayap kiri yang pernah hidup atau mungkin masih ada (?) sekarang ini di Indonesia.

Terlepas dari kontroversi, Pram telah menunjukkan karya-karya berkualitas. Novelnya, Bumi Manusia, salah satu dari tetralogi Buru, bahkan mau diangkat produser Mira Lesmana ke atas layar lebar.

Dulu novel itu dilarang terbit. Namun, pandangan dunia terhadap ideologi tidak lagi bisa didikotomikan, benar-salah, baik-buruk. Karya sastra sejatinya ialah karya intelektual yang hadir dan harus dihargai siapa pun. Ia menghadirkan berbagai makna mendalam, terutama tentang perjalanan kehidupan manusia di muka bumi. Dia bersifat objektif.

Kini, sederet sastrawan sedang menantikan sebuah acara besar dalam dunia kesusastraan Indonesia. Acara tersebut diberi judul Maklumat Hari Sastra Indonesia yang akan dihelat di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 24 Maret mendatang.

Untuk sebagian sastrawan, hajatan itu sangat penting. Apalagi sejumlah tokoh bakal hadir. Tak diayal, seandainya sastrawan Pram masih hidup, apakah dia akan diundang untuk hadir di sana?

Tentu saja hajatan seharusnya dapat menjadi momen untuk merangkul semua sastrawan. Meskipun mereka berbeda ideologi, maklumat itu dapat menjadi momen kebersamaan.

Sejatinya, para sastrawan harus menghilangkan sejenak keegoisan dan keakuan mereka. Menelanjangi diri untuk merayakan pendewasaan kata-kata. Selamat menyongsong Hari Sastra Indonesia. (M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 Maret 2013