Sunday, March 03, 2013

[Artikulasi] Perjuangkan Tanah Adat hingga Tetes Darah Penghabisan

-- Ratu Selvi Agnesia

Masyarakat adat masih tetap memiliki "semangat bertarung" pantang menyerah, demi menjaga hak tanah adat, warisan kearifan lokal, dan sumber hidup mereka.

MUSIK berirama genderang perang mengiringi Ritual Balian Bulan yang ditafsirkan "kebulatan tekad" dengan simbol ditancapkannya "Gunung Perak" yang terdiri atas janur dan daun kelapa sebagai inisiasi dari harapan, sedangkan tunas pelepah pisang bermakna awal yang baik.

Mardiana D Dana sebagai pembimbing Sanggar Rirung Marange asal Barito Timur-Kalimantan Tengah menancapkan "Gunung Perak" kepada tokoh yang dianggap dapat mewakili harapan baru bagi masyarakat adat Nusantara termasuk masyarakat adat Dayak. Ritual Balian Bulan membuka Dialog Umum, Sarasehan, dan Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 2013 di Gedung Pertemuan Umum (GPU) Tambun Bungai, di bilangan Jalan Ahmad Yani, Palangkaraya-Kalimantan Tengah pada 19 Februari 2013.

Kemudian di panggung itu Mardiana yang berusia 54 tahun bersama Muntai bocah perempuan 12 tahun melanjutkan tariannya. Mereka beda usia memang, tapi tak berbeda keindahan geraknya dalam mempertunjukkan tarian yang mengadopsi nilai leluhur Tanah Dayak. Siapa kira, di luar panggung hiburan, Mardiana juga memasuki panggung konflik, sebagai tokoh wanita di garda terdepan saat menggerakkan massa untuk menuntut hak tanah adat yang diambil oleh pihak perusahaan perkebunan sawit dan pertambangan batu bara.

Sebagai seniman, Mardiana ingin memperkenalkan kesenian dan tarian seperti Tari Mandau yang merupakan warisan leluhur kepada anak-anak seiring mengikuti perkembangan jaman. Karena, sebagai masyarakat adat, Mardiana ingin terus menggali dan mempertahankan apa yang diwarisi. Namun, sebenarnya perempuan multiperan ini mengawali perjuangannya sebagai perawat di Rumah Sakit Barito Timur sejak 1979.

Sejak pukul 4 pagi Mardiana sudah bangun, menaiki sepeda menuju rumah sakit atau sesuai panggilan pasien yang membutuhkan perawatannya. "Jika pasien tidak sembuh saya merasa tidak usah dibayar. Kesembuhan pasien kebahagiaan saya. Kalau musim kemarau, saya nyadap padi, hasilnya itu untuk saya berjuang bersama-sama masyarakat." Namun sejak dua tahun terakhir Mardiana pensiun dan fokus untuk memperjuangkan hak dan pengakuan tanah adat di Kabupaten Barito Timur.

"Kami bersama-sama membuat pernyataan sikap untuk menolak mereka masuk ke wilayah adat karena di sana adalah sumber kehidupan masyarakat," tutur Mardiana. "Dari tahun 2006, kami berjuang dari kelurahan, kecamatan, kabupaten, lalu berkembang sampai ke pusat atau nasional," katanya lagi.

Sumber kehidupan masyarakat yang dimaksud adalah sumber daya alam seperti: kebun karet, kebun rotan, tempat perladangan. Sedangkan tempat-tempat adat adalah hutan milik bersama, hutan penyangga, ada pula hutan anggrek yang langka lalu diubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang diwariskan turun-menurun oleh nenek moyang Barito Timur, Dayak Ma'anya. "Di hutan adat, kita boleh mengambil atau menggunakan hasilnya, tapi jangan dirusak dan dimiliki perseorangan, harus bersama-sama."

Kali ini bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Mardiana memperjuangkan 13 titik hutan seluas 685 hektare. Mereka memperjuangkannya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) tahun 2010-2011. Keputusan dari KOMNAS HAM, 333 hektare dikembalikan ke masyarakat. Namun, sampai sekarang realisasi dari pemerintah daerah untuk turut menangani diakui Mardiana hasilnya tak maksimal meskipun mereka kerapkali mendatangi Pemerintah Daerah dan menunggu tim yang turun ke lapangan.

Mardiana khawatir bila harus berdemo, apalagi dilakukan oleh para orang tua, akan terjadi pertumpahan darah, atau perselisihan berdampak besar. Seperti pada tahun 1993 terjadi konflik fisik antara masyarakat dan pihak perusahaan yang menyebabkan belasan orang meninggal dikarenakan padi milik masyarakat diambil karyawan perusahaan.

Perusahaan penanaman modal asing di Barito Timur terhitung amat banyak bisa melebihi wilayah satu kabupaten. Karena, pertambangan khususnya batu bara, lebih dari 100 tambang, perkebunan sawit lebih dari 50, sedangkan luas perusahaan melebihi dari 20 ribu hektare, oleh karena itu perusahaan masuk ke dalam wilayah perkampungan dan permukiman masyarakat adat.

"Jika masyarakat adat mengambil satu tangkai daun sawit mereka dipenjarakan, tetapi jika perusahaan membabat hutan dan kebun, ke mana pun kita perkarakan, kita selalu ada di pihak yang kalah. Kalau perusahaan tidak ada yang pernah masuk penjara, tapi kalau masyarakat adat keluar masuk penjara. Jadi, keadilannya di mana jika hukum itu tumpul di atas tajam ke bawah," kata Mardiana geram.

Terus Diburu

Sedangkan kebanyakan masyarakat adat mengenal dua hukum: hukum adat dan hukum rimba. Mardiana mengisahkan leluhurnya yang berjuang untuk Kampung Sarapat. Mereka berjuang berkali-kali pindah tempat, selalu ada pertumpahan darah, tetesan air mata dan keringat. Karena tiga kali berpindah tempat, mereka membuat tata batas antara Desa Sarapat dan Desa Morotuhu. Dahulu, salah satu nenek moyang bersedia berkorban dipotong leher demi perdamaian dan darahnya dimasukkan ke dalam pohon berlubang yang menjadi batas dua daerah agar tidak terjadi perebutan daerah antara dua desa. Namun, tata batas situs sejarah itu telah tergerus dan hilang oleh pertambangan.

Sebagai masyarakat beragama, masyarakat Dayak di Barito telah diwariskan nilai untuk menjaga hutan dan kearifan lokal seperti mencari ikan dengan alat sederhana, dari rotan dan bambu. Sekarang, alat berat sebagai raungan-raungan raksasa pembunuh berdarah dingin telah menggerus kekayaan hutan.

"Bagi kami masyarakat adat Dayak, Bumi adalah ibu kami, hutan adalah ayah kami, air adalah darah kami, kalau itu semua hilang, apa yang akan terjadi, benarkah kami akan sejahtera nantinya?" kata Mardiana. Baginya, ini adalah pembunuhan secara perlahan, pemiskinan secara besar-besaran. Sekarang ini karena tuntutan perut, tanpa memikirkan ke depan dan hanya masa sekarang, banyak manusia yang berpikir untuk mengeruk isi Bumi dan sejak masuknya perusahaan, terjadi perselisihan antarkeluarga, antarmasyarakat dengan kepala desa dalam perselisihan antartata-batas.

"Itu kan politik adu domba. Yang ingin memotong kepala saya adalah sepupu saya, karena ketidaktahuan mereka dengan politik, saya tidak akan melaporkan, biarkan alam dan leluhur kita yang membuat teguran untuk mereka," tutur Mardiana dengan mata menerawang.

Kerusakan alam yang terjadi seperti kebakaran hutan dan banjir juga sering dialihkan kepada ulah petani masyarakat adat. Sedangkan di masyarakat adat Dayak, saat membuka hutan, membuka ladang mereka mempunyai ritual tersendiri. Menurut Mardiana, kejadian seperti banjir, itu baru teguran, belum lagi peringatan. Mardiana mengajak merenungkan, sebelum maraknya perusahaan pernah terjadikah banjir lumpur, gempa Bumi, kebarakaran hutan? Sekarang kita merasakannya. "Kiamat itu adalah ulah manusia itu sendiri," katanya berapi.

Secara peraturan, di Provinsi Kalimantan Tengah penegakan hak-hak masyarakat adat ditandai dengan keluarnya peraturan Gubernur No13/2009 tentang tanah adat. Selain itu beberapa produk undang-undang lain: UU No 27 tahun 2007 tentang pesisir dan pulau-pulau kecil, UU No l32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, TAP MPR RI No 9/2001 dan UUD 1945. Namun, pada realisasinya tarik-menarik kepentingan membuat masyarakat adat masih terus menghadapi ancaman dan pelanggaran HAM serius yang amat masif di wilayah-wilayah adatnya sendiri.

"Sebenarnya, untuk mengatasi masalah tanah adat tidak hanya cukup hukum agraria, harus dibuat lembaga atau badan seperti Indonesia mengatasi korupsi karena konflik ini terus meruncing," kata Abdon Nababan, selaku Sekjen AMAN. Dalam Rapat Kerja Nasioan AMAN 2013 di Tumbang Malahoi Kabupaten Gunung Mas juga disusun Rancangan Undang-Undang Pengakuan Masyarakat Adat yang lebih menyuarakan tuntutan masyarakat adat dalam kepemilikan tanah adat.

Bila mengamati secara mendalam, pada saat ini, terdapat dua kubu menyoal masyarakat adat: Pertama masyarakat adat berbasis keraton yang dianggap sebagai munculnya kembali neo-feodalisme, dengan menjadi raja-raja kecil yang menguasai sumber daya daerah. Kedua, masyarakat adat berbasis civil society yang memperjuangkan hak hidup mereka terhadap sumber daya alam (tanah adat).

Dari Rakernas, Mardiana berharap bisa saling berkomunikasi, tukar pendapat, membangun suatu rencana bersama saudara dari manapun sesama masyarakat adat, agar masyarakat adat ini tetap bertahan dengan arif dan bijaksana walaupun tanpa pendidikan. "Nenek moyang kita dulu berjuang tanpa pendidikan, pakai kulit kayu, mereka berjuang untuk mewariskan kepada anak cucunya, tapi sekarang yang pintar berpikir merusak karena aku punya uang, aku punya kemampuan, aku punya kuasa," kata Mardiana.

Di penghujung perbincangan, Mardiana mengingatkan, jika hewan lari ke kota karena tidak ada makanan, masyarakat adat pun nanti lari ke kota minta tidur di rumah pejabat, rumah pengusaha. Mohon jangan diburu kalau itu terjadi, karena siapa lagi yang membuat mereka lari ke kota? Mereka sudah tidak punya tempat tinggal lagi setelah alam tempat tinggal mereka terus diburu.

rselvia@jurnas.com

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 3 Maret 2013

No comments: