-- Iwan Kurniawan
Penjualan aset menjadi pilihan agar Balai Pustaka tetap hidup.
EMPAT potret hitam putih tokoh sastrawan Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, HB Jassin, dan Idrus terpampang rapi di sebuah sudut tembok di dalam Gedung Balai Pustaka (BP), Pulo Gadung, Jakarta.
Di beberapa ruangan, para petugas sedang sibuk dengan aktivitas mereka. Ada yang sedang mengedit dan menyortir buku. Ada pula yang sedang asyik menonton siaran televisi yang sedang menyiarkan kasus Anas Urbaningrum secara langsung.
Suasana kantor seperti biasanya, tapi tidak disangka dalam waktu beberapa bulan lagi mereka harus hengkang dari gedung itu. Pasalnya, Gedung BP di Pulo Gadung akan dijual.
Gedung pertama mereka di Jalan Dr Wahidin akan ditukar guling dengan Kementerian Keuangan. Setelah itu mereka berkantor di Gunung Sahari. Namun, pada 2010, gedung itu pun dilego guna menutupi kerugian yang diderita.
Tahun ini, BP kembali menjual gedungnya, di antaranya unit 1 dan 2 di Pulo Gadung serta sebuah pabrik di Bekasi. Semuanya akan berfokus dan berkantor di Matraman, Jakarta Timur.
"Penjualan aset ini agar kami bisa terkonsolidasi. Ini berguna agar setiap unit dapat bernaung di bawah satu atap," jelas Direktur BP Saiful Bahri.
BP merupakan perusahaan penerbitan dan percetakan milik negara. Didirikan dengan nama Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) oleh pemerintah Hindia-Belanda pada 14 September 1908. Kemudian berubah menjadi Balai Poestaka pada 22 September 1917.
Saat itu, BP menerbitkan kira-kira 350 judul buku per tahun yang meliputi kamus, buku referensi, keterampilan, sastra, sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan.
"Dulunya, saat zaman Belanda, buku-buku diangkut dengan truk. Semua berbondong untuk datang membaca. Sekarang, kami menggunakan mobil," ujarnya seraya menunjukkan beberapa dokumentasi tempo doeloe.
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), BP tetap eksis, tetapi menggunakan nama lain, yaitu Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku (Biro Pustaka Rakyat Pemerintah Militer Jepang).
Bertahan hidup
Dengan menjaga eksistensi, BP telah melakukan transformasi dalam dunia digital. Salah satunya melalui sabak, yakni sebuah buku elektronik (E-book) yang menyimpan puluhan buku mata pelajaran untuk SD hingga SMP.
"Semua penerbit pasti juga sudah menyiapkan E-book. Kami juga mulai memikirkan masa depan. Buku cetak, di Thailand, misalnya sudah dibagikan dalam bentuk PC Tablet," tandasnya.
BP juga menjadi perusahaan security printing yang berhak mencetak dokumen sekuriti. "Pada Pemilu Kada DKI Jakarta dan Jawa Barat, kami yang cetak kartu pemilu," jelas Saiful.
Selain itu, mereka sedang membuat film dari novel terbitan mereka. "Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya HAMKA mau diangkat ke layar lebar. Itu merupakan salah satu novel yang diterbitkan BP pada 1937," ujarnya.
Rajai Penerbitan
Di usia ke-94, BP dinilai masih merajai dunia penerbitan, terutama di era Orde Baru. Itu dibuktikan dari banyaknya orang yang berebutan menjadi penulis BP.
"Jadi, persepsinya, jika dia jadi penulis Balai Pustaka, dia adalah penulis top," ujar Sutaryono, 48, pustakawan UI.
Pada era itu, BP mendominasi penerbitan buku pelajaran sekolah. Dengan begitu, BP seolah jemawa dengan masa lalu. Namun, sekarang persaingan semakin ketat dan penerbitan tertua itu tidak dapat berbicara apa-apa.
Senada dengan Sutaryono, M Deden Ridwan, CEO Noura Books, Kelompok Mizan, mengatakan pemasaran BP kurang profesional karena terlalu banyak disubsidi. Akibatnya, BP tidak bisa mengikuti dinamika pasar yang dinamis.
"Sangat disayangkan sekali karena Indonesia sebenarnya butuh Balai Pustaka sebagai pembangun kebudayaan dan sastra di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Yayasan Lontar masih menilai perlu adanya BP. “Balai Pustaka sebagai penerbitan milik negara memang diperlukan, terutama untuk negara sebesar Indonesia ini. Dan, tentu saja Balai Pustaka harus dijaga dan diatur dengan profesional,” ujar Kestity Pringgoharjono, Executive Director Yayasan Lontar.
Kestity menilai sayang apabila Balai Pustaka harus ditutup. "Balai Pustaka memiliki peran dalam sejarah Indonesia, dan memiliki percetakan negara itu seperti sebuah keharusan,” tukas Kesti. (*/M-5)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 10 Maret 2013
Penjualan aset menjadi pilihan agar Balai Pustaka tetap hidup.
EMPAT potret hitam putih tokoh sastrawan Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, HB Jassin, dan Idrus terpampang rapi di sebuah sudut tembok di dalam Gedung Balai Pustaka (BP), Pulo Gadung, Jakarta.
Di beberapa ruangan, para petugas sedang sibuk dengan aktivitas mereka. Ada yang sedang mengedit dan menyortir buku. Ada pula yang sedang asyik menonton siaran televisi yang sedang menyiarkan kasus Anas Urbaningrum secara langsung.
Suasana kantor seperti biasanya, tapi tidak disangka dalam waktu beberapa bulan lagi mereka harus hengkang dari gedung itu. Pasalnya, Gedung BP di Pulo Gadung akan dijual.
Gedung pertama mereka di Jalan Dr Wahidin akan ditukar guling dengan Kementerian Keuangan. Setelah itu mereka berkantor di Gunung Sahari. Namun, pada 2010, gedung itu pun dilego guna menutupi kerugian yang diderita.
Tahun ini, BP kembali menjual gedungnya, di antaranya unit 1 dan 2 di Pulo Gadung serta sebuah pabrik di Bekasi. Semuanya akan berfokus dan berkantor di Matraman, Jakarta Timur.
"Penjualan aset ini agar kami bisa terkonsolidasi. Ini berguna agar setiap unit dapat bernaung di bawah satu atap," jelas Direktur BP Saiful Bahri.
BP merupakan perusahaan penerbitan dan percetakan milik negara. Didirikan dengan nama Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) oleh pemerintah Hindia-Belanda pada 14 September 1908. Kemudian berubah menjadi Balai Poestaka pada 22 September 1917.
Saat itu, BP menerbitkan kira-kira 350 judul buku per tahun yang meliputi kamus, buku referensi, keterampilan, sastra, sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan.
"Dulunya, saat zaman Belanda, buku-buku diangkut dengan truk. Semua berbondong untuk datang membaca. Sekarang, kami menggunakan mobil," ujarnya seraya menunjukkan beberapa dokumentasi tempo doeloe.
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), BP tetap eksis, tetapi menggunakan nama lain, yaitu Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku (Biro Pustaka Rakyat Pemerintah Militer Jepang).
Bertahan hidup
Dengan menjaga eksistensi, BP telah melakukan transformasi dalam dunia digital. Salah satunya melalui sabak, yakni sebuah buku elektronik (E-book) yang menyimpan puluhan buku mata pelajaran untuk SD hingga SMP.
"Semua penerbit pasti juga sudah menyiapkan E-book. Kami juga mulai memikirkan masa depan. Buku cetak, di Thailand, misalnya sudah dibagikan dalam bentuk PC Tablet," tandasnya.
BP juga menjadi perusahaan security printing yang berhak mencetak dokumen sekuriti. "Pada Pemilu Kada DKI Jakarta dan Jawa Barat, kami yang cetak kartu pemilu," jelas Saiful.
Selain itu, mereka sedang membuat film dari novel terbitan mereka. "Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya HAMKA mau diangkat ke layar lebar. Itu merupakan salah satu novel yang diterbitkan BP pada 1937," ujarnya.
Rajai Penerbitan
Di usia ke-94, BP dinilai masih merajai dunia penerbitan, terutama di era Orde Baru. Itu dibuktikan dari banyaknya orang yang berebutan menjadi penulis BP.
"Jadi, persepsinya, jika dia jadi penulis Balai Pustaka, dia adalah penulis top," ujar Sutaryono, 48, pustakawan UI.
Pada era itu, BP mendominasi penerbitan buku pelajaran sekolah. Dengan begitu, BP seolah jemawa dengan masa lalu. Namun, sekarang persaingan semakin ketat dan penerbitan tertua itu tidak dapat berbicara apa-apa.
Senada dengan Sutaryono, M Deden Ridwan, CEO Noura Books, Kelompok Mizan, mengatakan pemasaran BP kurang profesional karena terlalu banyak disubsidi. Akibatnya, BP tidak bisa mengikuti dinamika pasar yang dinamis.
"Sangat disayangkan sekali karena Indonesia sebenarnya butuh Balai Pustaka sebagai pembangun kebudayaan dan sastra di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Yayasan Lontar masih menilai perlu adanya BP. “Balai Pustaka sebagai penerbitan milik negara memang diperlukan, terutama untuk negara sebesar Indonesia ini. Dan, tentu saja Balai Pustaka harus dijaga dan diatur dengan profesional,” ujar Kestity Pringgoharjono, Executive Director Yayasan Lontar.
Kestity menilai sayang apabila Balai Pustaka harus ditutup. "Balai Pustaka memiliki peran dalam sejarah Indonesia, dan memiliki percetakan negara itu seperti sebuah keharusan,” tukas Kesti. (*/M-5)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 10 Maret 2013
No comments:
Post a Comment