-- Budi Hatees
ADA banyak kisah yang memicu lahirnya karya-karya besar. Ada banyak kisah yang lahir setelah karya-karya besar diciptakan.
Barangkali, inilah sastra, dunia yang tak bisa diduga-duga. Apa yang diniatkan penulisnya, kadang tak terpenuhi. Sebaliknya, sesuatu yang tak diniatkan, sering terwujud. Perihal-perihal besar, semacam sejarah kekakacauan umat manusia, belum tentu akan menghasilkan karya besar. Begitu juga sebaliknya, perihal-perihal sepele, serupa sesuatu yang kita pikir tak akan menarik dijadikan tema untuk sebuah novel, ternyata melahirkan ketakterhinggaan yang membuat penciptanya tersentak.
Esai ini akan bicara tentang perihal besar, sejarah kekacauan, yang melatarbelakangi Pulang, novel Laila S Chudori. Muncul akhir 2012 lalu, karya jurnalis cum sastrawan ini menjadi pembicaraan banyak kalangan. Puja-puji dilimpahkan, salah satunya sebagai karya sastra terbaik yang berkisah tentang sejarah politik kekacauan atau kekelaman 1965, yang konon mengorbankan 300 ribu-2,5 juta jiwa manusia Indonesia.
‘’Saya mendapatkan apa yang selayaknya diperoleh dari cerita,’’ kata Bagus Takwin dalam makalahnya, ‘’Mencermati Naratif Novel Pulang’’ yang disampaikan saat acara Musyawarah Buku di Serambi Salihara, 29 Januari 2013, ‘’naratif Pulang membantu saya memaknai sebuah bagian hidup bernama Indonesia dan memeriksa kembali keyakinan dan konstruk saya tentang Indonesia.’’
Dalam resensi yang ditulis Bagus di majalah Tempo edisi 18 Desember 2012, pujian yang sama juga diberikan. Intinya, keunggulan Pulang ada pada narasinya, dan Bagus mengapresiasinya begitu luar biasa. Seperti juga Bagus, Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir berjudul “Pulang” terbit di majalah Tempo seminggu setelah peluncuran novel di Gothe Haus Institute pada 12 Desember 2012 adalah novel dengan gaya bahasa yang transparan dan lurus tanpa ambiguitas dan kegelapan yang membuat kita merenung.
Laila S Chudori sendiri, saat peluncuran, mengatakan bahasa dalam novelnya menolak anasir-anasir puisi. Tak seperti bahasa dalam prosa terkini di negeri ini, anasir puisi seakan-akan menjadi tren. Tapi, tentu, perkara anasir puisi dalam novel ini hanya tidak terlalu penting. Yang penting, gagasan yang ditawarkan penulis tentang eksil.
Novel ini berkisah tentang orang-orang eksil. Mereka, bagian dari kekacauan 1965, yang berada di luar negeri pada saat kekacauan terjadi dan tidak bisa pulang. Mereka hidup di luar negeri sambil memendam rindu dendam yang hampir bersamaan kepada negeri asalnya.
Ari Junaedi dalam disertasinya, ‘’Transformasi Identitas dan Pola Komunikasi Para Pelarian Politik di Mancanegara’’, mencatat sekitar 1.500 orang Indonesia masih berada di luar negeri dan tidak bisa kembali ke tanah air akibat dicap komunis oleh rezim Soeharto. Mereka disebut orang-orang yang terusir dari Indonesia (eksil) tragedi 1965.
Mereka pelarian politik tragedi 1965, berasal dari beberapa golongan. Ada diplomat dan keluarganya, mahasiswa ikatan dinas, serta utusan delegasi resmi yang tengah berada di luar negeri. Pada umumnya ‘’sesuai angin politik saat itu’’ mereka dikirim ke sejumlah negara blok komunis seperti Uni Soviet, Cekoslowakia, Polandia, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Bulgaria, serta Kuba, termasuk ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Ketika tragedi 1965 terjadi, mereka terkena pencabutan paspor sehingga tidak bisa pulang ke Tanah Air. Padahal, tidak sedikit pelarian politik tragedi 1965 tersebut yang sama sekali tidak terkait dengan PKI.
Tentu, Laila S Chudori kenal Ari Junaedi sebagai orang yang sama-sama bekerja di majalah Tempo. Sebab itu, menjadi beralasan untuk menyimpulkan bahwa Pulang merupakan sisi fiksi dari disertasi Ari Junaedi. Kisah-kisah para tokoh dalam novel, sama persis seperti kisah yang dialami para eksil dalam disertasi Ari Junaedi. Jadi, jika ingin memahami apa yang hendak disampaikan Laila S Chudori dalam novelnya, akan lebih semakin jelas bila sudah membaca disertasi Ari Junaedi.
Gagasan Pulang tak murni punya Laila S Chudori. Ia hanya perpanjangan tangan dari apa yang hendak disampaikan Ari Junaedi. Dan, sesungguhnya, Ari Junaedi sendiri pun baru mulai memikirkan soal eksil setelah reformasi bergulir di negeri ini. Setelah hagemoni Orde Baru runtuh, perlahan-lahan tema tentang eksil muncul dalam dunia wacana kita.
Diawali dari penerbitan ulang (atau pementasan) atas karya-karya sastra dan drama Utuy Tatang Sontani. Sebut saja memoar Utut Tatan Sontani, Langit Tak Berbintang. Sekali pun jejak memoir itu tidak kita temukan dalam Pulang, tapi kisah hidupnya Utuy sebagai sastrawan yang eksil, punya bias pada tokoh-tokoh Laila. Setidak, karena tokoh-tokoh novel bukan orang yang asing dengan sastra dan sastrawan. Mereka tahu Chairil Anwar, James Joyce, Subagio Sastrowardoyo, Lord Byron, Goenawan Mohamad, John Keats, Pramoedya Ananta Toer, TS Eliot, Rivai Apin, William Shakespeare, WS Rendra, dan Walt Whitman. Dan, sudah umum diketahui, sebagian dari para eksil itu hidup sebagai sastrawan.
Saut Situmorang dalam esainya, “Sastra Eksil, Sastra Rantau” mengatakan eksistensi ‘sastra eksil’ menjadi lebih luas diketahui para pembaca sastra modern Indonesia terutama di Indonesia dengan diterbitkannya sebuah kumpulan puisi bernama Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil oleh Yayasan Lontar. Kumpulan puisi itu memuat 15 penyair yang oleh Ketua Dewan Redaksi Buku, Asahan Alham, yang juga merupakan salah seorang penyair yang puisinya ikut dalam buku, diklaim sebagai ‘sastrawan eksil’ Indonesia.
Bagi para pembaca sastra modern Indonesia dua nama dari kelimabelas penyair yang muncul karya mereka dalam buku ini adalah nama-nama yang memang sudah tidak asing lagi, yaitu Agam Wispi dan Sobron Aidit.
Riwayat para eksil, terutama sastrawan eksil, sepertinya membias dalam diri tokoh-tokoh Pulang. Ada tujuh orang juru kisah di dalam novel ini: Hananto Prawiro, Dimas Suryo, Lintang Utara, Vivienne Deveraux, Segara Alam, Bimo Nugroho, dan orang ketiga di luar cerita. Kecuali narator terakhir yang hanya digunakan Leila pada subbab “Keluarga Aji Suryo” (hlm. 329-363), enam narator lain berbicara mengenai diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya secara personal. Namun, tentu saja porsinya tak sama banyak. Bisa dikatakan, yang paling dominan suaranya dalam novel ini adalah Dimas dan Lintang. Dimas sebagai perwakilan generasi pertama -generasi yang berhubungan secara langsung dengan prahara 1965- dan Lintang sebagai juru bicara generasi kedua, generasi yang terkena imbas masa silam dan diharuskan ikut menanggung beban sejarah.
Sebab itu, apabila Bagus merasa bahwa novel ini kemudian membuatnya ‘’memeriksa kembali keyakinan dan konstruk saya tentang Indonesia’’, sudah bisa dipastikan bahwa ia sudah sampai pada apa yang dihasratkan Laila S Chudori. Tapi, betulkah kisah para eksil ini membuat pembaca goyah terhadap konstruksi Indonesia dalam kepalanya?
Kita tak harus bersepakat dengan simpul itu. Terutama bila konstruksi Indonesia dalam diri setiap warga bangsa memiliki fondasi yang kuat, atau tidak serapuh konstruksi Indonesia yang dimiliki Bagus. Sebab, tokoh-tokoh dalam Pulang beserta segenap pikirannya, sesungguhnya karakteristik warga bangsa yang tak sepenuhnya merasa bagian dari Indonesia. Mereka, merasa dirinya bagian dari sebuah tanah kelahiran, dan bukan dari sebuah bangsa.
Padahal, sebagai sastrawan yang eksil, mereka lebih menarik dibicarakan bukan dalam bingkai romantisme, yang lebih menjurus pada kecengan. Mungkin, cara Sitor Situmorang membicarakan orang-orang eksil, seperti dalam sajak “Si Anak Hilang”, pantas menjadi pembanding. Dalam sajak itu, Sitor Situmorang menceritakan tentang seorang anak yang kembali dari eksil, kembali dari rantau, ke kampung halaman tapi tidak menemukan kampung halaman itu kembali. n
Budi Hatees, Lahir dengan nama Budi Hutasuhut, 3 Juni 1972 di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Menulis, mengajar dan menjadi konsultan bidang komunikasi. Esai, cerpen, sajak, dan hasil penelitian sudah dipublikasikan di berbagai media massa dan jurnal ilmiah. Mantan Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIPOL Universitas Saburai dan dosen matakuliah komunikasi di Universitas Bandar Lampung serta Universitas Lampung ini sekarang bekerja di PT Matakata Mediacitra, perusahaan konsultan dan penerbitan.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 31 Maret 2013
ADA banyak kisah yang memicu lahirnya karya-karya besar. Ada banyak kisah yang lahir setelah karya-karya besar diciptakan.
Barangkali, inilah sastra, dunia yang tak bisa diduga-duga. Apa yang diniatkan penulisnya, kadang tak terpenuhi. Sebaliknya, sesuatu yang tak diniatkan, sering terwujud. Perihal-perihal besar, semacam sejarah kekakacauan umat manusia, belum tentu akan menghasilkan karya besar. Begitu juga sebaliknya, perihal-perihal sepele, serupa sesuatu yang kita pikir tak akan menarik dijadikan tema untuk sebuah novel, ternyata melahirkan ketakterhinggaan yang membuat penciptanya tersentak.
Esai ini akan bicara tentang perihal besar, sejarah kekacauan, yang melatarbelakangi Pulang, novel Laila S Chudori. Muncul akhir 2012 lalu, karya jurnalis cum sastrawan ini menjadi pembicaraan banyak kalangan. Puja-puji dilimpahkan, salah satunya sebagai karya sastra terbaik yang berkisah tentang sejarah politik kekacauan atau kekelaman 1965, yang konon mengorbankan 300 ribu-2,5 juta jiwa manusia Indonesia.
‘’Saya mendapatkan apa yang selayaknya diperoleh dari cerita,’’ kata Bagus Takwin dalam makalahnya, ‘’Mencermati Naratif Novel Pulang’’ yang disampaikan saat acara Musyawarah Buku di Serambi Salihara, 29 Januari 2013, ‘’naratif Pulang membantu saya memaknai sebuah bagian hidup bernama Indonesia dan memeriksa kembali keyakinan dan konstruk saya tentang Indonesia.’’
Dalam resensi yang ditulis Bagus di majalah Tempo edisi 18 Desember 2012, pujian yang sama juga diberikan. Intinya, keunggulan Pulang ada pada narasinya, dan Bagus mengapresiasinya begitu luar biasa. Seperti juga Bagus, Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir berjudul “Pulang” terbit di majalah Tempo seminggu setelah peluncuran novel di Gothe Haus Institute pada 12 Desember 2012 adalah novel dengan gaya bahasa yang transparan dan lurus tanpa ambiguitas dan kegelapan yang membuat kita merenung.
Laila S Chudori sendiri, saat peluncuran, mengatakan bahasa dalam novelnya menolak anasir-anasir puisi. Tak seperti bahasa dalam prosa terkini di negeri ini, anasir puisi seakan-akan menjadi tren. Tapi, tentu, perkara anasir puisi dalam novel ini hanya tidak terlalu penting. Yang penting, gagasan yang ditawarkan penulis tentang eksil.
Novel ini berkisah tentang orang-orang eksil. Mereka, bagian dari kekacauan 1965, yang berada di luar negeri pada saat kekacauan terjadi dan tidak bisa pulang. Mereka hidup di luar negeri sambil memendam rindu dendam yang hampir bersamaan kepada negeri asalnya.
Ari Junaedi dalam disertasinya, ‘’Transformasi Identitas dan Pola Komunikasi Para Pelarian Politik di Mancanegara’’, mencatat sekitar 1.500 orang Indonesia masih berada di luar negeri dan tidak bisa kembali ke tanah air akibat dicap komunis oleh rezim Soeharto. Mereka disebut orang-orang yang terusir dari Indonesia (eksil) tragedi 1965.
Mereka pelarian politik tragedi 1965, berasal dari beberapa golongan. Ada diplomat dan keluarganya, mahasiswa ikatan dinas, serta utusan delegasi resmi yang tengah berada di luar negeri. Pada umumnya ‘’sesuai angin politik saat itu’’ mereka dikirim ke sejumlah negara blok komunis seperti Uni Soviet, Cekoslowakia, Polandia, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Bulgaria, serta Kuba, termasuk ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Ketika tragedi 1965 terjadi, mereka terkena pencabutan paspor sehingga tidak bisa pulang ke Tanah Air. Padahal, tidak sedikit pelarian politik tragedi 1965 tersebut yang sama sekali tidak terkait dengan PKI.
Tentu, Laila S Chudori kenal Ari Junaedi sebagai orang yang sama-sama bekerja di majalah Tempo. Sebab itu, menjadi beralasan untuk menyimpulkan bahwa Pulang merupakan sisi fiksi dari disertasi Ari Junaedi. Kisah-kisah para tokoh dalam novel, sama persis seperti kisah yang dialami para eksil dalam disertasi Ari Junaedi. Jadi, jika ingin memahami apa yang hendak disampaikan Laila S Chudori dalam novelnya, akan lebih semakin jelas bila sudah membaca disertasi Ari Junaedi.
Gagasan Pulang tak murni punya Laila S Chudori. Ia hanya perpanjangan tangan dari apa yang hendak disampaikan Ari Junaedi. Dan, sesungguhnya, Ari Junaedi sendiri pun baru mulai memikirkan soal eksil setelah reformasi bergulir di negeri ini. Setelah hagemoni Orde Baru runtuh, perlahan-lahan tema tentang eksil muncul dalam dunia wacana kita.
Diawali dari penerbitan ulang (atau pementasan) atas karya-karya sastra dan drama Utuy Tatang Sontani. Sebut saja memoar Utut Tatan Sontani, Langit Tak Berbintang. Sekali pun jejak memoir itu tidak kita temukan dalam Pulang, tapi kisah hidupnya Utuy sebagai sastrawan yang eksil, punya bias pada tokoh-tokoh Laila. Setidak, karena tokoh-tokoh novel bukan orang yang asing dengan sastra dan sastrawan. Mereka tahu Chairil Anwar, James Joyce, Subagio Sastrowardoyo, Lord Byron, Goenawan Mohamad, John Keats, Pramoedya Ananta Toer, TS Eliot, Rivai Apin, William Shakespeare, WS Rendra, dan Walt Whitman. Dan, sudah umum diketahui, sebagian dari para eksil itu hidup sebagai sastrawan.
Saut Situmorang dalam esainya, “Sastra Eksil, Sastra Rantau” mengatakan eksistensi ‘sastra eksil’ menjadi lebih luas diketahui para pembaca sastra modern Indonesia terutama di Indonesia dengan diterbitkannya sebuah kumpulan puisi bernama Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil oleh Yayasan Lontar. Kumpulan puisi itu memuat 15 penyair yang oleh Ketua Dewan Redaksi Buku, Asahan Alham, yang juga merupakan salah seorang penyair yang puisinya ikut dalam buku, diklaim sebagai ‘sastrawan eksil’ Indonesia.
Bagi para pembaca sastra modern Indonesia dua nama dari kelimabelas penyair yang muncul karya mereka dalam buku ini adalah nama-nama yang memang sudah tidak asing lagi, yaitu Agam Wispi dan Sobron Aidit.
Riwayat para eksil, terutama sastrawan eksil, sepertinya membias dalam diri tokoh-tokoh Pulang. Ada tujuh orang juru kisah di dalam novel ini: Hananto Prawiro, Dimas Suryo, Lintang Utara, Vivienne Deveraux, Segara Alam, Bimo Nugroho, dan orang ketiga di luar cerita. Kecuali narator terakhir yang hanya digunakan Leila pada subbab “Keluarga Aji Suryo” (hlm. 329-363), enam narator lain berbicara mengenai diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya secara personal. Namun, tentu saja porsinya tak sama banyak. Bisa dikatakan, yang paling dominan suaranya dalam novel ini adalah Dimas dan Lintang. Dimas sebagai perwakilan generasi pertama -generasi yang berhubungan secara langsung dengan prahara 1965- dan Lintang sebagai juru bicara generasi kedua, generasi yang terkena imbas masa silam dan diharuskan ikut menanggung beban sejarah.
Sebab itu, apabila Bagus merasa bahwa novel ini kemudian membuatnya ‘’memeriksa kembali keyakinan dan konstruk saya tentang Indonesia’’, sudah bisa dipastikan bahwa ia sudah sampai pada apa yang dihasratkan Laila S Chudori. Tapi, betulkah kisah para eksil ini membuat pembaca goyah terhadap konstruksi Indonesia dalam kepalanya?
Kita tak harus bersepakat dengan simpul itu. Terutama bila konstruksi Indonesia dalam diri setiap warga bangsa memiliki fondasi yang kuat, atau tidak serapuh konstruksi Indonesia yang dimiliki Bagus. Sebab, tokoh-tokoh dalam Pulang beserta segenap pikirannya, sesungguhnya karakteristik warga bangsa yang tak sepenuhnya merasa bagian dari Indonesia. Mereka, merasa dirinya bagian dari sebuah tanah kelahiran, dan bukan dari sebuah bangsa.
Padahal, sebagai sastrawan yang eksil, mereka lebih menarik dibicarakan bukan dalam bingkai romantisme, yang lebih menjurus pada kecengan. Mungkin, cara Sitor Situmorang membicarakan orang-orang eksil, seperti dalam sajak “Si Anak Hilang”, pantas menjadi pembanding. Dalam sajak itu, Sitor Situmorang menceritakan tentang seorang anak yang kembali dari eksil, kembali dari rantau, ke kampung halaman tapi tidak menemukan kampung halaman itu kembali. n
Budi Hatees, Lahir dengan nama Budi Hutasuhut, 3 Juni 1972 di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Menulis, mengajar dan menjadi konsultan bidang komunikasi. Esai, cerpen, sajak, dan hasil penelitian sudah dipublikasikan di berbagai media massa dan jurnal ilmiah. Mantan Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIPOL Universitas Saburai dan dosen matakuliah komunikasi di Universitas Bandar Lampung serta Universitas Lampung ini sekarang bekerja di PT Matakata Mediacitra, perusahaan konsultan dan penerbitan.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 31 Maret 2013
No comments:
Post a Comment