-- Iwan Kurniawan
DUNIA sastra Indonesia semakin mendapatkan tempat di hati masyarakat. Pengakuan terhadap sastrawan pun kian mewarnai perjalanan kesusastraan di Tanah Air.
Di era pascareformasi, penyair, cerpenis, hingga novelis anyar banyak bermunculan. Namun, hanya sebagian kecil yang sukses menghasilkan karya-karya yang mampu menembus batas negara hingga benua.
Ada yang menarik dalam perjalanan dunia kesusastraan di Indonesia baru-baru ini. Sekadar menyebut, novelis Andrea Hirata semakin mengukir namanya di kancah literatur dunia. Dia baru saja meraih Internationale Tourismus-Borse Berlin 2013 di Jerman, sepekan silam, untuk karya bukunya, Laskar Pelangi.
Novel tersebut boleh menjadi buku terbaik anak bangsa saat ini. Pasalnya, buku itu telah diterbitkan di 22 negara dalam 19 bahasa. Bahkan ada kabar yang mengungkapkan buku itu sedang diterjemahkan lagi ke dalam beberapa bahasa sehingga diperkirakan lebih dari 30 bahasa asing.
Pada sebuah perbincangan santai, Andrea mengaku ikut dalam proses penerjemahan. Hal itu sedikit membuat dia merasa bosan, tetapi mengasyikkan karena bisa membawa nama Indonesia.
Terlepas dari kesuksesan Andrea dengan Laskar Pelangi-nya, sebenarnya novelis Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925–30 April 2006) beberapa langkah lebih dahulu sudah mengukir nama Indonesia lewat dunia kesusastraan.
Pram bahkan telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Itu sebuah pencapaian yang spektakuler dari seorang Pram saat itu.
Keberanian Pram dalam menggunakan pena sebagai senjata tak bisa terbendung. Karena novel-novelnya dinilai mengandung unsur subversi oleh rezim yang berkuasa di Indonesia saat itu, ia pun harus keluar masuk bui.
Misalnya, novel Gadis Pantai (1962-1965) yang sejatinya merupakan trilogi. Namun lantaran kediktatoran angkatan darat saat itu, dua buku lanjutan Gadis Pantai raib dihempas keganasan penguasa.
Bila mencermati secara mendalam, ada yang menarik dalam novel Gadis Pantai. Meski sudah puluhan tahun diterbitkan, buku itu sepertinya masih memiliki hubungan emosional dengan generasi masa kini.
Tengok saja, pada hlm 152, misalnya, Pram begitu realistis dalam menggambarkan si tokoh bernama Gadis Pantai. ‘Gadis Pantai (itu) naik ke atas dokar kembali diikuti oleh kusir. Dokar membelok ke kanan. Roda dokar tenggelam beberapa sentimeter di dalam pasir dan dengan susah payah kuda menarik beban’.
Nah, menariknya, Pram memasukkan sebuah tembang. Tembang itu dilantunkan sang tukang kusir. Itu mungkin sebagai pelipur untuk si Gadis Pantai atau sebagai bentuk kritikan terhadap priayi.
Tembang itu berbunyi, ‘Duh-duh aduh bayi bocah jadi korbanEmak pikul tanah bapak babat hutanOrang-orang kampung dilarang pulangKejamnya rodi tiada alang kepalang...’
Keberanian
Dengan mencermati sebagian lirik tembang tersebut, Pram jelas menaruh kritikan kepada penguasa saat itu. Tindakan 'pengasingan' pun ia dapati.
Terlepas dari kesadaran bersastra, ideologi seorang sastrawan atau novelis juga sangat memengaruhi tulisan atau karya. Karya-karya Pram memang sangat berpengaruh saat itu. Pram bahkan sempat menjadi salah satu tokoh berpengaruh di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan sayap kiri yang pernah hidup atau mungkin masih ada (?) sekarang ini di Indonesia.
Terlepas dari kontroversi, Pram telah menunjukkan karya-karya berkualitas. Novelnya, Bumi Manusia, salah satu dari tetralogi Buru, bahkan mau diangkat produser Mira Lesmana ke atas layar lebar.
Dulu novel itu dilarang terbit. Namun, pandangan dunia terhadap ideologi tidak lagi bisa didikotomikan, benar-salah, baik-buruk. Karya sastra sejatinya ialah karya intelektual yang hadir dan harus dihargai siapa pun. Ia menghadirkan berbagai makna mendalam, terutama tentang perjalanan kehidupan manusia di muka bumi. Dia bersifat objektif.
Kini, sederet sastrawan sedang menantikan sebuah acara besar dalam dunia kesusastraan Indonesia. Acara tersebut diberi judul Maklumat Hari Sastra Indonesia yang akan dihelat di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 24 Maret mendatang.
Untuk sebagian sastrawan, hajatan itu sangat penting. Apalagi sejumlah tokoh bakal hadir. Tak diayal, seandainya sastrawan Pram masih hidup, apakah dia akan diundang untuk hadir di sana?
Tentu saja hajatan seharusnya dapat menjadi momen untuk merangkul semua sastrawan. Meskipun mereka berbeda ideologi, maklumat itu dapat menjadi momen kebersamaan.
Sejatinya, para sastrawan harus menghilangkan sejenak keegoisan dan keakuan mereka. Menelanjangi diri untuk merayakan pendewasaan kata-kata. Selamat menyongsong Hari Sastra Indonesia. (M-1)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 Maret 2013
DUNIA sastra Indonesia semakin mendapatkan tempat di hati masyarakat. Pengakuan terhadap sastrawan pun kian mewarnai perjalanan kesusastraan di Tanah Air.
Di era pascareformasi, penyair, cerpenis, hingga novelis anyar banyak bermunculan. Namun, hanya sebagian kecil yang sukses menghasilkan karya-karya yang mampu menembus batas negara hingga benua.
Ada yang menarik dalam perjalanan dunia kesusastraan di Indonesia baru-baru ini. Sekadar menyebut, novelis Andrea Hirata semakin mengukir namanya di kancah literatur dunia. Dia baru saja meraih Internationale Tourismus-Borse Berlin 2013 di Jerman, sepekan silam, untuk karya bukunya, Laskar Pelangi.
Novel tersebut boleh menjadi buku terbaik anak bangsa saat ini. Pasalnya, buku itu telah diterbitkan di 22 negara dalam 19 bahasa. Bahkan ada kabar yang mengungkapkan buku itu sedang diterjemahkan lagi ke dalam beberapa bahasa sehingga diperkirakan lebih dari 30 bahasa asing.
Pada sebuah perbincangan santai, Andrea mengaku ikut dalam proses penerjemahan. Hal itu sedikit membuat dia merasa bosan, tetapi mengasyikkan karena bisa membawa nama Indonesia.
Terlepas dari kesuksesan Andrea dengan Laskar Pelangi-nya, sebenarnya novelis Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925–30 April 2006) beberapa langkah lebih dahulu sudah mengukir nama Indonesia lewat dunia kesusastraan.
Pram bahkan telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Itu sebuah pencapaian yang spektakuler dari seorang Pram saat itu.
Keberanian Pram dalam menggunakan pena sebagai senjata tak bisa terbendung. Karena novel-novelnya dinilai mengandung unsur subversi oleh rezim yang berkuasa di Indonesia saat itu, ia pun harus keluar masuk bui.
Misalnya, novel Gadis Pantai (1962-1965) yang sejatinya merupakan trilogi. Namun lantaran kediktatoran angkatan darat saat itu, dua buku lanjutan Gadis Pantai raib dihempas keganasan penguasa.
Bila mencermati secara mendalam, ada yang menarik dalam novel Gadis Pantai. Meski sudah puluhan tahun diterbitkan, buku itu sepertinya masih memiliki hubungan emosional dengan generasi masa kini.
Tengok saja, pada hlm 152, misalnya, Pram begitu realistis dalam menggambarkan si tokoh bernama Gadis Pantai. ‘Gadis Pantai (itu) naik ke atas dokar kembali diikuti oleh kusir. Dokar membelok ke kanan. Roda dokar tenggelam beberapa sentimeter di dalam pasir dan dengan susah payah kuda menarik beban’.
Nah, menariknya, Pram memasukkan sebuah tembang. Tembang itu dilantunkan sang tukang kusir. Itu mungkin sebagai pelipur untuk si Gadis Pantai atau sebagai bentuk kritikan terhadap priayi.
Tembang itu berbunyi, ‘Duh-duh aduh bayi bocah jadi korbanEmak pikul tanah bapak babat hutanOrang-orang kampung dilarang pulangKejamnya rodi tiada alang kepalang...’
Keberanian
Dengan mencermati sebagian lirik tembang tersebut, Pram jelas menaruh kritikan kepada penguasa saat itu. Tindakan 'pengasingan' pun ia dapati.
Terlepas dari kesadaran bersastra, ideologi seorang sastrawan atau novelis juga sangat memengaruhi tulisan atau karya. Karya-karya Pram memang sangat berpengaruh saat itu. Pram bahkan sempat menjadi salah satu tokoh berpengaruh di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan sayap kiri yang pernah hidup atau mungkin masih ada (?) sekarang ini di Indonesia.
Terlepas dari kontroversi, Pram telah menunjukkan karya-karya berkualitas. Novelnya, Bumi Manusia, salah satu dari tetralogi Buru, bahkan mau diangkat produser Mira Lesmana ke atas layar lebar.
Dulu novel itu dilarang terbit. Namun, pandangan dunia terhadap ideologi tidak lagi bisa didikotomikan, benar-salah, baik-buruk. Karya sastra sejatinya ialah karya intelektual yang hadir dan harus dihargai siapa pun. Ia menghadirkan berbagai makna mendalam, terutama tentang perjalanan kehidupan manusia di muka bumi. Dia bersifat objektif.
Kini, sederet sastrawan sedang menantikan sebuah acara besar dalam dunia kesusastraan Indonesia. Acara tersebut diberi judul Maklumat Hari Sastra Indonesia yang akan dihelat di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 24 Maret mendatang.
Untuk sebagian sastrawan, hajatan itu sangat penting. Apalagi sejumlah tokoh bakal hadir. Tak diayal, seandainya sastrawan Pram masih hidup, apakah dia akan diundang untuk hadir di sana?
Tentu saja hajatan seharusnya dapat menjadi momen untuk merangkul semua sastrawan. Meskipun mereka berbeda ideologi, maklumat itu dapat menjadi momen kebersamaan.
Sejatinya, para sastrawan harus menghilangkan sejenak keegoisan dan keakuan mereka. Menelanjangi diri untuk merayakan pendewasaan kata-kata. Selamat menyongsong Hari Sastra Indonesia. (M-1)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 17 Maret 2013
No comments:
Post a Comment