-- F. Moses
DIKSI merupakan kata atau bila digabungkannya menjadi sebentuk frasa-frasa yang cenderung memberi ruang pemaknaan bagi puisi itu sendiri. Bila kata-kata dipilih lalu disusun dengan pelbagai cara hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajinasi estetik, dapat dikatakan itulah diksi puitis (kalau boleh kita menyepakatinya demikian)?mendapatkan kepuitisan serta mendapatkan nilai estetik.
Oleh karena itu, secara langsung, bahwa penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya. Subtil. Dapat dianggap juga begini (mungkin): penyair sebelum menjalankan misi pencapaian usaha kepuitisan terhadap puisi yang hendak ditunaikan, telah dipertimbangkan semasak mungkin.
Lalu, dalam pencitraan puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk memberi suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan juga untuk menarik perhatian, penyair mengembankan gambaran-gambaran angan (pikiran), selain alat kepuitisan yang lain.
Tidak lain dapat dikatakan pula, sumber daya puisi dalam pencapaian kinerja puisi ke dalam pengonkretannya terhadap keabstrakan, dirasa perlu menggunakan angan-angan serupa perumpamaan; dengan itu orang harus mengerti arti kata-kata, yang dalam hubungan ini juga harus dapat mengingat sebuah pengalaman inderaan objek-objek yang disebutkan atau diterangkan, atau secara imajinatif membangun semacam pengalaman di luar hal-hal yang berhubungan sehingga kata-kata akan secara sungguh-sungguh berarti kepada kita. Hal itu secara tidak langsung melunakkan pembaca menanggapi perihal pengalaman dalam teks, adanya ketersediaan kekayaan imaji tersimpan.
Dalam seni berpuisi, cara menyampaikan pikiran atau perasaan maupun maksud lain juga menimbulkan gaya bahasa. Gaya bahasa dari susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis. Hal itulah yang sekiranya muara fokus atas penimbulan suatu perasaan tertentu dalam benak pembaca.
Tiap pengarang tentu mempunyai gaya bahasa sendiri, sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-masing pengarang; gaya (termasuk gaya bahasa) merupakan cap seorang pengarang, gaya yang merupakan idiosyncrasy (keistimewaan, kekhususan) seorang penulis, pun gaya dalam bagian orang sendiri. Jadi, meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan ciri sendiri dalam melahirkan pikiran, tetaplah sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa dipergunakan. Sebuah jenis bentuk yang biasa dikatakan sebagai sarana retorika (rhetorical devices).
Syahdan, dalam etos kerja puisi, gaya bahasa tautologi, yang tidak lain sebagai sarana untuk menyatakan hal atau lebih (dua kali), bermaksud supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengarnya. Kemudian, keterangan berulang, penguatan suatu pernyataan, paralelisme yang mengulang isi kalimat dari maksud tujuan serupa, penggunaan titik-titik banyak untuk meleburkan perasaan yang tidak terungkapkan, retorika hiperbola sebagai sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan, maupun retorika paradoks yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, kalau boleh dikatakan, ekstremnya, adalah semacam penyegaran anomali. Usaha menakik dari keterbiasaan menjadi ketakbiasaan. Kecuali ketaksaan, sulit berterima lantaran pemborosan belaka.
Setelah puisi siap dihidangkan, penyair yang tanpa sadar terusik oleh titik keberangkatan itu semua, yakni tema; sesuatu yang bisa saja akhirnya terumuskan sebagai masalah atau objek tertentu atau kejadian tertentu yang menjadi acuan penyajak saat menulis atau merekonstruksi sajak. Maksudnya, jadi tidak mungkin ada sajak yang tanpa tema.
Meskipun bisa saja saat penyair mulai menulis ia secara sadar menyiapkan temanya; kajian makna yang terkandung, di dalamnya terdapat tawaran makna. Oleh karena itu, masalahnya adalah makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Dari situlah kiranya keterampilan pemahaman kenyataan tandingan penyair (setidaknya) teruji.
Kemudian, dapat dikatakan juga, sesuatu yang tersirat kemudian muncul ke permukaan terhadap sebuah tanggapan pokok pikiran (baca: pergumaman) seorang penyair atau pembaca tatkala hendak memulai (penyair) dan setelah membaca (pembaca). Berujung menjadi perlakuan hermeneutika (tafsir ulang) terhadap sebuah puisi yang kerap meninggalkan kesan atau impresi, kesan dimaksud secara langsung pula adalah moral dalam kerja karya sastra, biasanya mencerminkan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca.
Apalagi tatkala menyoal moral dalam karya sastra, dapat juga dipandang sebagai amanat implisit, pesan. Bahkan, unsur amanat itu, sebenarnya, merupakan gagasan yang mendasari karya itu, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan.
Adakah kita siap menyambut proses kreatif bernama puisi untuk lebih dari sekadar pesan dan kesan? sehubung masih banyak tafsiran dan segala kemungkinan di dalamnya, yang masih belum selesai. Tidak akan pernah selesai. ?...maka, selamat menunaikan ibadah puisi,? kata Joko Pinurbo.
F. Moses, sastrawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Maret 2013
DIKSI merupakan kata atau bila digabungkannya menjadi sebentuk frasa-frasa yang cenderung memberi ruang pemaknaan bagi puisi itu sendiri. Bila kata-kata dipilih lalu disusun dengan pelbagai cara hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajinasi estetik, dapat dikatakan itulah diksi puitis (kalau boleh kita menyepakatinya demikian)?mendapatkan kepuitisan serta mendapatkan nilai estetik.
Oleh karena itu, secara langsung, bahwa penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya. Subtil. Dapat dianggap juga begini (mungkin): penyair sebelum menjalankan misi pencapaian usaha kepuitisan terhadap puisi yang hendak ditunaikan, telah dipertimbangkan semasak mungkin.
Lalu, dalam pencitraan puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk memberi suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan juga untuk menarik perhatian, penyair mengembankan gambaran-gambaran angan (pikiran), selain alat kepuitisan yang lain.
Tidak lain dapat dikatakan pula, sumber daya puisi dalam pencapaian kinerja puisi ke dalam pengonkretannya terhadap keabstrakan, dirasa perlu menggunakan angan-angan serupa perumpamaan; dengan itu orang harus mengerti arti kata-kata, yang dalam hubungan ini juga harus dapat mengingat sebuah pengalaman inderaan objek-objek yang disebutkan atau diterangkan, atau secara imajinatif membangun semacam pengalaman di luar hal-hal yang berhubungan sehingga kata-kata akan secara sungguh-sungguh berarti kepada kita. Hal itu secara tidak langsung melunakkan pembaca menanggapi perihal pengalaman dalam teks, adanya ketersediaan kekayaan imaji tersimpan.
Dalam seni berpuisi, cara menyampaikan pikiran atau perasaan maupun maksud lain juga menimbulkan gaya bahasa. Gaya bahasa dari susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis. Hal itulah yang sekiranya muara fokus atas penimbulan suatu perasaan tertentu dalam benak pembaca.
Tiap pengarang tentu mempunyai gaya bahasa sendiri, sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-masing pengarang; gaya (termasuk gaya bahasa) merupakan cap seorang pengarang, gaya yang merupakan idiosyncrasy (keistimewaan, kekhususan) seorang penulis, pun gaya dalam bagian orang sendiri. Jadi, meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan ciri sendiri dalam melahirkan pikiran, tetaplah sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa dipergunakan. Sebuah jenis bentuk yang biasa dikatakan sebagai sarana retorika (rhetorical devices).
Syahdan, dalam etos kerja puisi, gaya bahasa tautologi, yang tidak lain sebagai sarana untuk menyatakan hal atau lebih (dua kali), bermaksud supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengarnya. Kemudian, keterangan berulang, penguatan suatu pernyataan, paralelisme yang mengulang isi kalimat dari maksud tujuan serupa, penggunaan titik-titik banyak untuk meleburkan perasaan yang tidak terungkapkan, retorika hiperbola sebagai sarana yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan, maupun retorika paradoks yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, kalau boleh dikatakan, ekstremnya, adalah semacam penyegaran anomali. Usaha menakik dari keterbiasaan menjadi ketakbiasaan. Kecuali ketaksaan, sulit berterima lantaran pemborosan belaka.
Setelah puisi siap dihidangkan, penyair yang tanpa sadar terusik oleh titik keberangkatan itu semua, yakni tema; sesuatu yang bisa saja akhirnya terumuskan sebagai masalah atau objek tertentu atau kejadian tertentu yang menjadi acuan penyajak saat menulis atau merekonstruksi sajak. Maksudnya, jadi tidak mungkin ada sajak yang tanpa tema.
Meskipun bisa saja saat penyair mulai menulis ia secara sadar menyiapkan temanya; kajian makna yang terkandung, di dalamnya terdapat tawaran makna. Oleh karena itu, masalahnya adalah makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Dari situlah kiranya keterampilan pemahaman kenyataan tandingan penyair (setidaknya) teruji.
Kemudian, dapat dikatakan juga, sesuatu yang tersirat kemudian muncul ke permukaan terhadap sebuah tanggapan pokok pikiran (baca: pergumaman) seorang penyair atau pembaca tatkala hendak memulai (penyair) dan setelah membaca (pembaca). Berujung menjadi perlakuan hermeneutika (tafsir ulang) terhadap sebuah puisi yang kerap meninggalkan kesan atau impresi, kesan dimaksud secara langsung pula adalah moral dalam kerja karya sastra, biasanya mencerminkan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca.
Apalagi tatkala menyoal moral dalam karya sastra, dapat juga dipandang sebagai amanat implisit, pesan. Bahkan, unsur amanat itu, sebenarnya, merupakan gagasan yang mendasari karya itu, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan.
Adakah kita siap menyambut proses kreatif bernama puisi untuk lebih dari sekadar pesan dan kesan? sehubung masih banyak tafsiran dan segala kemungkinan di dalamnya, yang masih belum selesai. Tidak akan pernah selesai. ?...maka, selamat menunaikan ibadah puisi,? kata Joko Pinurbo.
F. Moses, sastrawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Maret 2013
No comments:
Post a Comment