-- Tantri Luwarsih
SETELAH saya renungkan, timbang baik-baik, saya melihat bahwa satu-satunya yang kuat dijadikan alasan untuk membuat sebuah sinetron adalah: memotivasi penonton agar memiliki alasan mengapa menonton sinetron. Walhasil, sinetron harus mampu menciptakan banyak, minimal satu alasan, mengapa mata penonton mesti dilototkan ke arah pesawat televisi, selama sinetron itu nanti ditayangkan.
Itu bisa dengan cara membuat sinetron itu sebagai sebuah produk yang memberikan informasi. Sebuah produk yang memiliki unsur pendidikan. Bisa juga sebagai produk yang menyebabkan penonton merasa senang, tanpa sama sekali beban informasi apa pun.
Walhasil, sebuah sinetron hiburan murni. Atau membuat penonton menjadi berpikir, bertanya-tanya, serta gelisah oleh berbagai persoalan yang kita kemukakan. Dengan kata lain sebuah teror mental? Hanya saja siapa yang mau membiayai sinetron macam itu, mengingat pembuatan setiap sinetron tidak terlepas dari usaha menjaring iklan? Pasang iklan mana yang mau memasang iklannya di sebuah tayangan sinetron yang menteror penonton?
Sebelum saya jawab, motivasi mana yang saya pilih - artinya yang paling saya sukai - saya dijejali oleh pertanyaan lain. Begini. Kalau saya bertanya-tanya pada diri saya sebelum membuat sebuah sinetron, rasanya tidak mungkin orang lain yang membuat sinetron, tidak bertanya-tanya pada diri mereka, seperti yang sudah saya lakukan. Pasti mereka melakukannya juga. Hanya saja jawaban yang mereka dapatkan, jawaban yang mereka sukai, tidak harus atau selalu sama dengan jawaban saya. Tapi minimal, tetap saja akan berkisar pada tiga gumpalan di atas: hiburan, pendidikan atau teror - baca ekspresi.
Atau saya keliru? Mungkin seorang pembuat sinetron, atau ada pembuat sinetron di negeri ini yang tidak pernah tergoda oleh pikiran, mengapa dia membuat sinetron. Mungkinkah ada seorang pembuat sinetron di negeri yang sama sekali tidak peduli - baca semua gue - apakah penonton punya alasan atau tidak untuk menonton hasil karyanya kelak.
Mungkinkah seorang pembuat sinetron akan membuat sinetron kalau dia tahu, sinetronnya sama sekali tidak melahirkan sebuah alasan pun, mengapa penonton mesti menontonnya. Tidak mungkin. Karena kalau sampai itu terjadi, keadaannya sudah payah sekali. Itu sebuah bentuk anarkisme - yang boleh saja ditempuh karena setiap orang punya hak menentukan sikapnya, namun akan menjadi sangat mahal dan destruktif dalam negara miskin seperti kita yang sedang membina diri ini.
Saya tidak mencoba berpikir lebih dalam. Karena itu hanya menghasilkan teori-teori. Saya langsung saja mencoba menonton beberapa sinetron di layar RCTI, SCTV,Indosiar maupun televisi lain. Lalu saya menyaksikan bahwa ternyata - ini sejauh pengamatan saya - tidak ada sebuah sinetron pun yang kelihatannya dibuat oleh seorang yang benar-benar tidak peduli pada penonton. Bahkan saya hampir berani bertaruh bahwa hampir semua sinetron itu justru dibuat untukkepentingan penonton. Semua sinetron itu namapaknya sudah berusaha untuk mencetak sebanyak-banyaknya alasan pada diri penonton, mengapa penonton harus meluangkan waktunya untuk menonton. Sebab itu akan langsung bethubungan dengan urutan ranking mereka dan pada gilirannya pemasang iklan/rezeki mereka.
Saya tidak melihat anarkisme dalam sinetron kita. Katakanlah belum. Saya tidak melihat ada sikap ketidakpedulian. saya sama sekali tidak mencium ada sikap destruktif. Itu hanya dugaan-dugaan. Itu hanya satu tuduhan yang masih memerlukan penjelasan yang panjang lebar. Karena bisa jadi - meski pun nampaknya seperti itu - sebenarnya beberapa pembuat sinetron yang kita curigai memiliki kecenderungan itu, sama sekali tidak melakukan itu dengan sengaja. Mungkin juga itu hanya masalah perbedaan dalam mengartikan sebuah istilah.
Inilah masalahnya.Inilah titik apinya. Sebuah karya, baik itu sinetron, atau apa saja,kalau ia buruk, ternyata ada dua nilai yang dikandungnya. Satu, itu berarti bahwa ada kekurangan dalam penggarapannya.
Misalnya, kekurangtrampilan, kekurangsempurnaan, kekurangtelitian, kekurangan waktu, kekurangan biaya, kekurangan nilai-nilai artistik, kekurangan gagasan dan sebagainya dan seterusnya.
Tetapi tingkat kekurangan ini adalah kekurangan teknis, yang dengan sendirinya akan teratasi, apabila ada pembenahan yang tepat. Sebuah kekurangan yang masih bisa ditolerir, meskipun memang menjengkelkan.
Kedua, kalau sebuah karya, baik sinetron atau karya apa pun, kalau itu buruk, apa pun kekurangannya, pokoknya asal buruk, pada hakikatnya, itu adalah sebuah bentuk kesewenang-wenangan. Kenapa? Karena kalau sesuatu yang sudah diketahui buruk, masih saja tetap ditayangkan, apalagi itu namanya kalau bukan kesewenang-wenangan. Karena televisi adalah media massa yang dapat ditonton oleh siapa pun tanpa membayar, yang akan dilihat oleh hampir seluruh orang Indonesia, tua-muda, kata-miskin. Tingkat kekuranganmini bukan lagi kekurangan teknis. Tapi sudah merupakan sikap yang menyangkut filosofi pembuatnya. Saya tertegun oleh pikiran-pikiran itu. Kalau sinetron yang saya buat nanti buruk, berarti akan ada dua penilaian. Pertama, bisa dianggap saya masih banyak kekurangan.
Tapi ini masih lumayan, meskipun sudah cukup memalukan. Yang kedua, saya bisa dicap kurangajar. Karena saya sudah menjadi individualis yang tidak peduli lagi perasaan orang lain.
Karena berani-beraninya menayangkan sesuatu yang sudah jelas buruk. Itu tidak bisa dimaafkan. Setidak-tidaknya akan langsung menodai nama baik sebagai sosok yang profesional.
Kawan kita, karyawan film itu, belum selesai berpikir. Pintu kamar kerjanya telah digedor. Direktur PH sudah muncul dengan sebuah kontrak yang tinggal ditandatangani, serta naskah yang sudah disetujui oleh satu pemancar televisi. Dia tinggal menandatangani. Kalau tidak mau, akan diserahkan kepada tangan orang lain karena kotak tv memerlukan tayangan produk dalam negeri. Terpaksa sutradara itu buru-buru menandatangani tanpa perlu memeriksa lagi bagaimana bunyi kontrak tersebut.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 2 Maret 2013
SETELAH saya renungkan, timbang baik-baik, saya melihat bahwa satu-satunya yang kuat dijadikan alasan untuk membuat sebuah sinetron adalah: memotivasi penonton agar memiliki alasan mengapa menonton sinetron. Walhasil, sinetron harus mampu menciptakan banyak, minimal satu alasan, mengapa mata penonton mesti dilototkan ke arah pesawat televisi, selama sinetron itu nanti ditayangkan.
Itu bisa dengan cara membuat sinetron itu sebagai sebuah produk yang memberikan informasi. Sebuah produk yang memiliki unsur pendidikan. Bisa juga sebagai produk yang menyebabkan penonton merasa senang, tanpa sama sekali beban informasi apa pun.
Walhasil, sebuah sinetron hiburan murni. Atau membuat penonton menjadi berpikir, bertanya-tanya, serta gelisah oleh berbagai persoalan yang kita kemukakan. Dengan kata lain sebuah teror mental? Hanya saja siapa yang mau membiayai sinetron macam itu, mengingat pembuatan setiap sinetron tidak terlepas dari usaha menjaring iklan? Pasang iklan mana yang mau memasang iklannya di sebuah tayangan sinetron yang menteror penonton?
Sebelum saya jawab, motivasi mana yang saya pilih - artinya yang paling saya sukai - saya dijejali oleh pertanyaan lain. Begini. Kalau saya bertanya-tanya pada diri saya sebelum membuat sebuah sinetron, rasanya tidak mungkin orang lain yang membuat sinetron, tidak bertanya-tanya pada diri mereka, seperti yang sudah saya lakukan. Pasti mereka melakukannya juga. Hanya saja jawaban yang mereka dapatkan, jawaban yang mereka sukai, tidak harus atau selalu sama dengan jawaban saya. Tapi minimal, tetap saja akan berkisar pada tiga gumpalan di atas: hiburan, pendidikan atau teror - baca ekspresi.
Atau saya keliru? Mungkin seorang pembuat sinetron, atau ada pembuat sinetron di negeri ini yang tidak pernah tergoda oleh pikiran, mengapa dia membuat sinetron. Mungkinkah ada seorang pembuat sinetron di negeri yang sama sekali tidak peduli - baca semua gue - apakah penonton punya alasan atau tidak untuk menonton hasil karyanya kelak.
Mungkinkah seorang pembuat sinetron akan membuat sinetron kalau dia tahu, sinetronnya sama sekali tidak melahirkan sebuah alasan pun, mengapa penonton mesti menontonnya. Tidak mungkin. Karena kalau sampai itu terjadi, keadaannya sudah payah sekali. Itu sebuah bentuk anarkisme - yang boleh saja ditempuh karena setiap orang punya hak menentukan sikapnya, namun akan menjadi sangat mahal dan destruktif dalam negara miskin seperti kita yang sedang membina diri ini.
Saya tidak mencoba berpikir lebih dalam. Karena itu hanya menghasilkan teori-teori. Saya langsung saja mencoba menonton beberapa sinetron di layar RCTI, SCTV,Indosiar maupun televisi lain. Lalu saya menyaksikan bahwa ternyata - ini sejauh pengamatan saya - tidak ada sebuah sinetron pun yang kelihatannya dibuat oleh seorang yang benar-benar tidak peduli pada penonton. Bahkan saya hampir berani bertaruh bahwa hampir semua sinetron itu justru dibuat untukkepentingan penonton. Semua sinetron itu namapaknya sudah berusaha untuk mencetak sebanyak-banyaknya alasan pada diri penonton, mengapa penonton harus meluangkan waktunya untuk menonton. Sebab itu akan langsung bethubungan dengan urutan ranking mereka dan pada gilirannya pemasang iklan/rezeki mereka.
Saya tidak melihat anarkisme dalam sinetron kita. Katakanlah belum. Saya tidak melihat ada sikap ketidakpedulian. saya sama sekali tidak mencium ada sikap destruktif. Itu hanya dugaan-dugaan. Itu hanya satu tuduhan yang masih memerlukan penjelasan yang panjang lebar. Karena bisa jadi - meski pun nampaknya seperti itu - sebenarnya beberapa pembuat sinetron yang kita curigai memiliki kecenderungan itu, sama sekali tidak melakukan itu dengan sengaja. Mungkin juga itu hanya masalah perbedaan dalam mengartikan sebuah istilah.
Inilah masalahnya.Inilah titik apinya. Sebuah karya, baik itu sinetron, atau apa saja,kalau ia buruk, ternyata ada dua nilai yang dikandungnya. Satu, itu berarti bahwa ada kekurangan dalam penggarapannya.
Misalnya, kekurangtrampilan, kekurangsempurnaan, kekurangtelitian, kekurangan waktu, kekurangan biaya, kekurangan nilai-nilai artistik, kekurangan gagasan dan sebagainya dan seterusnya.
Tetapi tingkat kekurangan ini adalah kekurangan teknis, yang dengan sendirinya akan teratasi, apabila ada pembenahan yang tepat. Sebuah kekurangan yang masih bisa ditolerir, meskipun memang menjengkelkan.
Kedua, kalau sebuah karya, baik sinetron atau karya apa pun, kalau itu buruk, apa pun kekurangannya, pokoknya asal buruk, pada hakikatnya, itu adalah sebuah bentuk kesewenang-wenangan. Kenapa? Karena kalau sesuatu yang sudah diketahui buruk, masih saja tetap ditayangkan, apalagi itu namanya kalau bukan kesewenang-wenangan. Karena televisi adalah media massa yang dapat ditonton oleh siapa pun tanpa membayar, yang akan dilihat oleh hampir seluruh orang Indonesia, tua-muda, kata-miskin. Tingkat kekuranganmini bukan lagi kekurangan teknis. Tapi sudah merupakan sikap yang menyangkut filosofi pembuatnya. Saya tertegun oleh pikiran-pikiran itu. Kalau sinetron yang saya buat nanti buruk, berarti akan ada dua penilaian. Pertama, bisa dianggap saya masih banyak kekurangan.
Tapi ini masih lumayan, meskipun sudah cukup memalukan. Yang kedua, saya bisa dicap kurangajar. Karena saya sudah menjadi individualis yang tidak peduli lagi perasaan orang lain.
Karena berani-beraninya menayangkan sesuatu yang sudah jelas buruk. Itu tidak bisa dimaafkan. Setidak-tidaknya akan langsung menodai nama baik sebagai sosok yang profesional.
Kawan kita, karyawan film itu, belum selesai berpikir. Pintu kamar kerjanya telah digedor. Direktur PH sudah muncul dengan sebuah kontrak yang tinggal ditandatangani, serta naskah yang sudah disetujui oleh satu pemancar televisi. Dia tinggal menandatangani. Kalau tidak mau, akan diserahkan kepada tangan orang lain karena kotak tv memerlukan tayangan produk dalam negeri. Terpaksa sutradara itu buru-buru menandatangani tanpa perlu memeriksa lagi bagaimana bunyi kontrak tersebut.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 2 Maret 2013
No comments:
Post a Comment