Data buku
Muslihat Kapitalis Global
Okta Pinanjaya & Waskito Giri
Indonesia Berdikari, 2012
197 hlm.
BISNIS tembakau merupakan bisnis besar yang melibatkan banyak aktor di banyak negara. Di Indonesia, tembakau merupakan komoditas yang memiliki daya tahan terhadap krisis ekonomi sebagaimana terjadi pada 1997-1998. Bahkan, komoditas ini mampu mendongkrak devisa negara.
Tidaklah mengherankan jika kemudian beberapa negara menerapkan kebijakan yang dirasa mampu menopang bisnis tembakau dalam negeri mereka. Amerika Serikat, misalnya, menerapkan family smoking prevention and tobacco control act, sebuah kebijakan yang secara eksplisit menunjukkan pemberlakuan hambatan nontarif terhadap produk tembakau impor. (Hlm. 4)
Ironisnya, Pemerintah Indonesia memiliki sikap yang berbeda dengan negara-negara tersebut. Pemerintah tidak memiliki aturan khusus dalam industri dan pertanian tembakau. Hal ini pula yang menyebabkan banyaknya perusahaan multinasional tembakau yang leluasa beroperasi di negara ini.
Padahal, tembakau memiliki peran yang cukup nyata dalam perekonomian nasional sebagai sumber penerimaan negara dan cukai. Tercatat, Rp51 triliun masuk ke kas negara pada 2008 dan pada 2011 menjadi Rp60,7 triliun. Sayangnya, peningkatan tersebut disebabkan kebijakan peningkatan harga jual eceran, sementara produksi rokok cenderung menurun.
Karya Okta Pinanjaya dan Waskito Giri ini mengungkap perselingkuhan perusahaan rokok dengan industri farmasi di Amerika Serikat serta peran seorang Michael Bloomberg yang begitu piawai mengemas kepentingan kapitalisme global melalui isu kesehatan masyarakat. Dengan kekuatan lobi politik serta finansialnya, beserta para koleganya ia berhasil menggerakkan berbagai organisasi dunia bahkan negara untuk turut serta dalam perang melawan tembakau yang dikobarkannya.
Bloomberg, selain menjabat sebagai wali kota New York, juga merupakan salah satu penguasa di industri media dan layanan data keuangan di dunia dengan jaringan yang tersebar hampir di seluruh dunia. Majalah Forbes menempatkannya sebagai salah seorang terkaya di dunia. (Hlm. 52)
Tidak sekadar itu, ia juga dinobatkan oleh The Chronicle of Philanthropy, sejak 2004, masuk daftar 50 penyumbang paling top di Amerika dengan total nilai donasi lebih dari 1,4 miliar dolar AS. Pada 2010, bahkan posisi tersebut naik menjadi peringkat kedua setelah George Soros, yang makin mengukuhkan namanya sebagai filantropis papan atas Amerika.
Untuk memuluskan programnya, dana sebesar 300 juta dolar AS juga digelontorkannya kepada John Hopkins University yang sejarah pendirian dan kebesarannya dekat dengan tradisi medis, menjadi salah satu bagian dari dinamika industri kesehatan modern.
Faktanya, agenda perang global antirokok dan tembakau yang dipelopori Amerika, lebih ditujukan pada pengendalian industri, yang sebetulnya bertolak belakang dengan klaim bahaya rokok bagi kesehatan. Kampanye tersebut hanyalah sebuah retorika yang memanfaatkan ketergantungan publik terhadap otoritas kesehatan. Tujuannya menciptakan rasa takut dari bahaya merokok.
Teror tersebut kemudian menghasilkan demand bagi kebutuhan yang muncul untuk menghadapi rasa takut. Hal itu menciptakan sebuah peluang pasar untuk produk pengganti nikotin (NRT) yang diproduksi industri farmasi, yang notabene para pemiliknya memiliki hubungan baik secara langsung, baik tidak langsung dengan Rockefeller-Morgan, sekutu dekat Bloomberg. (hlm. 93)
Meskipun demikian, tentu saja gerakan kampanye antitembakau tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Bagaimanapun proses indoktrinasi melalui informasi-informasi mengenai bahaya merokok yang keliru sudah membentuk sebuah sistem kepercayaan yang cenderung fanatik pada gerakan antitembakau global, termasuk Indonesia dan negara-negara sasaran lainnya.
Buku ini mengajak para pembaca agar wacana bahwa entitas tembakau adalah senyawa berbahaya penyebab epidemik modern, perlu disikapi secara kritis dan bijaksana. Bukan hanya karena kebenaran ilmiahnya masih dianggap debatable, tetapi motif-motif tersembunyi para donator dan penggagas utama kampanye antirokok pun perlu diselidiki lebih dalam, apalagi kebanyakan dari mereka merupakan penganut kapitalisme.
Noval Maliki, Direktur Demi Buku Institute, tinggal di Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Maret 2013
Muslihat Kapitalis Global
Okta Pinanjaya & Waskito Giri
Indonesia Berdikari, 2012
197 hlm.
BISNIS tembakau merupakan bisnis besar yang melibatkan banyak aktor di banyak negara. Di Indonesia, tembakau merupakan komoditas yang memiliki daya tahan terhadap krisis ekonomi sebagaimana terjadi pada 1997-1998. Bahkan, komoditas ini mampu mendongkrak devisa negara.
Tidaklah mengherankan jika kemudian beberapa negara menerapkan kebijakan yang dirasa mampu menopang bisnis tembakau dalam negeri mereka. Amerika Serikat, misalnya, menerapkan family smoking prevention and tobacco control act, sebuah kebijakan yang secara eksplisit menunjukkan pemberlakuan hambatan nontarif terhadap produk tembakau impor. (Hlm. 4)
Ironisnya, Pemerintah Indonesia memiliki sikap yang berbeda dengan negara-negara tersebut. Pemerintah tidak memiliki aturan khusus dalam industri dan pertanian tembakau. Hal ini pula yang menyebabkan banyaknya perusahaan multinasional tembakau yang leluasa beroperasi di negara ini.
Padahal, tembakau memiliki peran yang cukup nyata dalam perekonomian nasional sebagai sumber penerimaan negara dan cukai. Tercatat, Rp51 triliun masuk ke kas negara pada 2008 dan pada 2011 menjadi Rp60,7 triliun. Sayangnya, peningkatan tersebut disebabkan kebijakan peningkatan harga jual eceran, sementara produksi rokok cenderung menurun.
Karya Okta Pinanjaya dan Waskito Giri ini mengungkap perselingkuhan perusahaan rokok dengan industri farmasi di Amerika Serikat serta peran seorang Michael Bloomberg yang begitu piawai mengemas kepentingan kapitalisme global melalui isu kesehatan masyarakat. Dengan kekuatan lobi politik serta finansialnya, beserta para koleganya ia berhasil menggerakkan berbagai organisasi dunia bahkan negara untuk turut serta dalam perang melawan tembakau yang dikobarkannya.
Bloomberg, selain menjabat sebagai wali kota New York, juga merupakan salah satu penguasa di industri media dan layanan data keuangan di dunia dengan jaringan yang tersebar hampir di seluruh dunia. Majalah Forbes menempatkannya sebagai salah seorang terkaya di dunia. (Hlm. 52)
Tidak sekadar itu, ia juga dinobatkan oleh The Chronicle of Philanthropy, sejak 2004, masuk daftar 50 penyumbang paling top di Amerika dengan total nilai donasi lebih dari 1,4 miliar dolar AS. Pada 2010, bahkan posisi tersebut naik menjadi peringkat kedua setelah George Soros, yang makin mengukuhkan namanya sebagai filantropis papan atas Amerika.
Untuk memuluskan programnya, dana sebesar 300 juta dolar AS juga digelontorkannya kepada John Hopkins University yang sejarah pendirian dan kebesarannya dekat dengan tradisi medis, menjadi salah satu bagian dari dinamika industri kesehatan modern.
Faktanya, agenda perang global antirokok dan tembakau yang dipelopori Amerika, lebih ditujukan pada pengendalian industri, yang sebetulnya bertolak belakang dengan klaim bahaya rokok bagi kesehatan. Kampanye tersebut hanyalah sebuah retorika yang memanfaatkan ketergantungan publik terhadap otoritas kesehatan. Tujuannya menciptakan rasa takut dari bahaya merokok.
Teror tersebut kemudian menghasilkan demand bagi kebutuhan yang muncul untuk menghadapi rasa takut. Hal itu menciptakan sebuah peluang pasar untuk produk pengganti nikotin (NRT) yang diproduksi industri farmasi, yang notabene para pemiliknya memiliki hubungan baik secara langsung, baik tidak langsung dengan Rockefeller-Morgan, sekutu dekat Bloomberg. (hlm. 93)
Meskipun demikian, tentu saja gerakan kampanye antitembakau tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Bagaimanapun proses indoktrinasi melalui informasi-informasi mengenai bahaya merokok yang keliru sudah membentuk sebuah sistem kepercayaan yang cenderung fanatik pada gerakan antitembakau global, termasuk Indonesia dan negara-negara sasaran lainnya.
Buku ini mengajak para pembaca agar wacana bahwa entitas tembakau adalah senyawa berbahaya penyebab epidemik modern, perlu disikapi secara kritis dan bijaksana. Bukan hanya karena kebenaran ilmiahnya masih dianggap debatable, tetapi motif-motif tersembunyi para donator dan penggagas utama kampanye antirokok pun perlu diselidiki lebih dalam, apalagi kebanyakan dari mereka merupakan penganut kapitalisme.
Noval Maliki, Direktur Demi Buku Institute, tinggal di Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Maret 2013
No comments:
Post a Comment