Sunday, March 31, 2013

[Tifa] Membaca Linus, Kesederhanaan dan Kekuatan Lirik Anak Gunung

Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa Ia tak bisa ngomong aktif Indonesia, tapi pasif saja.

Tapi budi bahasa Jawa ngoko dan krama, jangan tanya.

Ia suka mengaliri sawah seperti juga hidupnya.

Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa.

Ia tak pernah lupa kehilangan seorang anaknya.

Ia selalu ingat hari lahir dan hari kematiannya.

Tapi ia selalu lupa besar tebusan bagi hidupnya.

ITULAH sepenggal puisi karya Linus yang dibacakan oleh sahabatnya, Helga Korda, berjudul Ibu di Desa. Helga membacakan puisi itu pada malam hari di sebuah acara khusus untuk mengenang Linus Suryadi AG dalam acara Sastra Bulan Purnama edisi 19, di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul Yogyakarta, Selasa (26/3).

Helga juga membacakan puisi Linus lainnya, Lingga dan Yoni, yang sangat berkesan dalam hidupnya. Karena berawal dari puisi itulah, Helga berkenalan dengan sosok lelaki yang kini menjadi suaminya, Ashadi Siregar, penulis Cintaku di Kampus Biru sebuah novel yang juga fenomenal itu.

"Dan ketika saya diminta untuk membaca puisi karya Linus, saya tidak bisa menolak. Karena dia sahabat yang baik untuk saya," kata Helga Korda sebelum membacakan puisi.

Linus Suryadi AG lahir pada 3 Maret 1951 di kaki Gunung Merapi, Kadisobo, Sleman, Yogyakarta. Sebagai penyair empat generasi, Linus telah melahirkan banyak buku puisi, seperti Rumah Panggung, Kembang Tunjung, dan Tirta Kamdanu. Ada juga beberapa buku kumpulan esai, seperti Regol Megal-Megol, Nafas Kebudayaan Yogya, juga Di Balik Sejumlah Nama.

Dari situlah, Tembi Rumah Budaya mengadakan acara untuk mengenangnya.

"Karena selain Linus ialah penyair yang lahir di empat generasi (1970, 1980, 1990, 2000), karya-karyanya juga banyak memberikan inspirasi kepada generasi tua dan generasi muda," ujar Ons Untoro, koordinator acara Sastra Bulan Purnama.

Malam itu, tak hanya generasi tua yang hadir untuk membacakan puisi-puisi Linus. Ada juga generasi muda yang sama sekali belum pernah bertemu Linus. Namun melalui karya Linus, mereka mulai berkenalan dengan puisi dan sastra.

Seperti Endah Sr yang membacakan dua puisi karya Linus, Ibunda dan Kembang Tunjung. Ia belum pernah kenal bahkan belum pernah bertemu Linus Suryadi, karena dia baru datang ke Yogyakarta pada 1998. Namun, ia mengaku telah mampu mengenali Linus melalui karya-karyanya.

"Karya-karya Linus merupakan puisi lirik yang sangat kuat. Puisinya mampu menginspirasi banyak generasi dan sudah banyak yang diterjemahkan ke berbagai bahasa," ulas Ons yang juga menggemari lirik puisi Linus.

Seperti prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus yang dianggap fenomenal dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Pun, Umar Kayam menyebut karya Linus itu sebagai Centhini modern.

Bagi para seniman, puisi-puisi lirik Linus memiliki kekuatan, realis, dan masih sangat relevan dengan masa sekarang. Untung Basuki,

sastrawan yang pernah bergabung di Bengkel Teater, misal, mengakui lirik-lirik puisi Linus masih hidup. Aku dan Penari merupakan karya Linus yang ia sukai.

Karena lirik prosa puisi itu menghadirkan sebuah realitas sensualitas seorang penari yang dihadirkan secara detail. "Ia mampu menyajikan syair yang realis, detail, dan mampu mendorong generasi muda untuk berkarya. Luar biasa Linus itu," puji Untung.

Membaca Linus, bagi para penyair malam itu, sama saja dengan membaca karya sastra yang lahir dari perasaan yang dalam. "Karya-karya Linus lahir dari hati, sehingga ia bisa meraba dan melihat sesuatu yang akan terjadi, kuat dan tidak kering," kata Bakdi Sumanto, sahabat Linus. (FU/M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 31 Maret 2013

No comments: