-- Abdul Kadir Ibrahim
Aku Bukan yang Anjing
Sepanjang membaca puisi dari berbagai buku kumpulan puisi dan banyak penyair, sepertinya belum lagi pernah terbaca apa yang dikenal dengan ‘’anjing’’.
Binatang itu memang jadi salah satu jenis binatang peliharaan, tapi oleh orang-orang tertentu saja. Dalam masyarakat Islam pada umumnya tak banyak yang memelihara anjing atau kata orang kampung saya-Natuna: asok.
Jikapun mereka memeliharanya hanya sekadar untuk jadi anjing berburu, baik pelanduk ataupun babi. Tapi mereka tak memperlakukannya sebagaimana kucing.
Meski demikian tetaplah ada orang yang memelihara anjing sebagaimana memelihara kucing, yang antara lain berada di dalam rumah tuannya, tak jarang dipeluk, dicium, dibawa tidur atau dibawa pergi ke mana saja.
Bagi orang Islam ada perbedaan pendapat dan pandangan terhadap anjing.
Dalam masyarakat, tentu ada di antaranya yang memandang dan menganggap anjing binatang yang tak perlu dipelihara dan kalau perlu dijauhi.
Mereka selalu mempersamakan, membabit-babitkan atau mengait-ngaitkan anjing dengan perkara kotor, buruk, tak baik ataupun hina-dina.
Misalnya pantun pusaka mengisyaratkan: bukan catuk bukan cawan/ tali gasing di bawah rumah/ bukan patut jangan dilawan/ seperti anjing memakan remah. Dalam ungkapan lain yang lazim: ‘’anjing menggongong, kafilah berlalu’’. Maknanya mengesankan anjing sebagai tiada kemuliaan.
Semasa sekolah dasar, saya suka memelihara anjing. Kegunaannya untuk memelihara kebun ubi atau padi dan kelapa. Juga untuk berburu babi, melapon (memburu) pelanduk (kancil ataupun napuh) dan kera.
Setiap petang saya selalu ke kebun untuk membuat api unggun (yang dalam bahasa kampung saya: api panduk) di dekat pondok. Lapon adalah serupa anyaman tali nilon serupa mata-mata jaring.
Tapi dianyam tidak memanjang melainkan berbentuk bulat. Di pinggir atau di sekelilingnya diberikan bingkar rotan mudak seukuran belah dua jari kelingking yang dimasukan melalui mata-mata jaring lapon.
Fungsinya seperti jerat atau lebih serupa tanggul atau tangguk.
Lapon di pasang di setiap lorong yang diperkirakan sebagai jalannya pelanduk yang akan lewat. Selesai dipasang, maka seorang menjaga lapon itu dari tempat yang tersembunyi.
Di bagian lain yang jauh beratus-ratus meter, bisa berkilo meter jaraknya, seseorang membawa anjing dan kemudian mengecuhnya supaya masuk ke rimba-raya tersebut.
Diecuh-ecuh dan disorak-sorak, sehingga anjing pun melompat, mengambur-ngambur berlari nyasap sambil menyium-nyium bau pelanduk (kancil) dan kali berikutnya menyalak hebat.
Sang tuannya pun mengikutinya dari belakang sambil bersorak-sorak sejadi-jadinya. Anjing terus memburu pelanduk sambil menyalak.
Akhirnya pelanduk berlari melalui lorong-lorongnya dan hendak menyelamatkan diri dari terkaman anjing. Tapi sayang tatkala sedang berlari kencang itu tiba-tiba menyerang lapon dan langsung saja tersangkut dan tergandul.
Maka seketika seseorang yang menunggu lapon tadi segera menangkapnya. Anjing pun berhenti menyalak. Terengah-engah dan lidah terjulur segera duduk di dekat tuannya.
Tapi terlihat anjing itupun senang sekali. Bukankah untuk memburu penjahat pun memakai anjing? Begitu juga untuk menemukan sesuatu barang terlarang? Kita kenal anjing pelacak yang menjadi bagian dalam membantu tugas pihak keamanan.
Sepengetahuan saya, anjing meskipun juga memakan kotoran manusia sebagaimana juga ayam tapi sangat menjaga kotorannya sendiri.
Anjing peliharaan di suatu rumah, maka yakinlah dia tidak akan pernah buang kotorannya di bawah rumah -jika rumah bertiang- dan termasuk di halaman bahkan tidak di sekitar semak belukar yang dekat dengan halaman rumah.
Jika ia akan buang kotorannya dia akan berlari kencang ke semak-semak yang jauh dan buang kotoran di situ. Begitu juga kencing.
Dia tidak akan kencing di sekitar halaman rumah. Hanya saja kalau kita bawa dia berjalan, maka sambil menyium-nyium kiri-kanan jalan yang berumput.
Behenti dan kencing di situ. Sepanjang perjalanan tak terhitung kali anjing akan terkencing. Karena itu sebaiknya anjing tak usah diikat, karena dia akan buang kotorannya tidak di tempat pemeliharannya, tetapi nun di semak-semak belukar yang agak jauh dari pekarangan rumah tinggal sang tuannya.
Anjing: binatang yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu dan sebagainya @Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia(1990: 40).
Kita percaya tidak ada satupun mahluk yang dicipatakan Allah yang tiada berguna dan apalagi sia-sia! Bahkan dari sifat-sifat anjing kita dapat pelajaran dan i’tibar bagi mengarungi hidup dan kehidupan ini.
Adakah kita dapat lebih setia daripada kesetiaan yang ditunjukkan oleh anjing kepada tuannya?!
Adalah Kazzaini Ks, salah seorang penyair tampil membaca puisi sempena Deklarasi Hari Puisi Indonesia, di Teater Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau, 22 November 2012, yang berjudul ‘’Anjing yang Menggongong’’ @ dikutip dari antologi puisi Hari Puisi Indonesia, (2012: 167-168).
Kubiarkan anjing menggonggong/ menyalak parau/ sampai melengking suaranya// kubiarkan anjing menggonggong/ dengan wajah yang beringas/ taringnya nyeringai keras/ pandangannya menghunjam dengan ganas// jika malam pun/ kubiarkan juga anjing menggonggong/ lolongnya panjang/ bahkan sampai merintih mengerang// kubiarkan anjing menggonggong/ dengan tubuh menggeram/ seakan ingin menerjang menerkam// kubiarkan anjing menggonggong/ walau kadang gerun juga/ tapi tak jarang aku terkikik pula/ pernah juga terpikir olehku/ untuk balas menggonggong/ menyalak parau/ melengking dan melolong panjang/ nampilkan wajah beringas/ nyeringai taring yang keras/ menghunjam pandang ganas/ tapi mana kubisa/ karena aku bukan anjing/kubiarkan anjing menggonggong/ karena dia memang anjing/ ah. Dasar anjing. (Seoul, 2012).
Puisi tersebut memberi pemahaman kepada kita bagaimana sifat-sifat anjing dan perilakunya. Bagi kita sebagai manusia gonggongan anjing bisa menakutkan, bisa membisingkan, bisa menggeramkan, bisa pula hendak ditiru.
Kita dapat menafsirkan pula apa-apa maksud gonggongan anjing tersebut.
Bisa jadi sebagai ia sedang risau, galau, berduka-cita, geram atau sebaliknya bersuka-cita. Atau mungkin juga sebagai pertanda dia sedang melihat makhluk gaib yang tiada kemampuan manusia untuk melihatnya. Atau sebagai tanda ia sedang memanggil-manggil suatu makhluk di jagat raya ini, siapa tahu?!
Mana tahu itulah caranya ia sedang memuja Tuhan dan berdoa?! Segalanya menjadi serba mungkin, karena Allah Maha Mengetahui segala bahasa mahluk-Nya.
Yang pasti anjing termasuk mahluk yang dikabarkan Alquran sebagai mahluk yang ikut menikmati tidur panjang selama masa beratus-ratus tahun di dalam gua bersama pemuda-pemuda beriman dan shaleh yang disebutkan dengan Azhabul Kahfi.
Mereka menyelamatkan diri dari Raja yang zalim dan ingkar dari Allah. Mereka akhirnya diselamatkan oleh Allah di dalam gua. Adanya anjing bersama mereka pastilah sebagai pertanda bahwa binatang itu adalah mahluk yang amat berarti pula bagi manusia atau paling tidak sesiapa yang memeliharanya.
Dalam kaitan ini tentulah atas petunjuk, pedoman dan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. ‘’Dan engkau mengira mereka itu tidak tidur, padahal mereka tidur, dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di depan pintu gua’’. (Q.S.18:18).
Tentang anjing itu disebut lebih dari sekali leh Allah di dalam Alquran (Q.S.18:22). Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa anjing dalam kenyataan pemuda di dalam gua itu tak lain tak bukan adalah sebagai penjaga.
Memberi perlindungan dan rasa aman kepada tuannya. Allah juga menjadikan anjing sebagai perumpaan terhadap orang-orang yang mendustai Ayat-ayat-Nya.
‘’Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya (juga).
Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami’’.(Q.S.7:176). Yang dari ayat itu tidak dapat dimaknakan bahwa anjing adalah mahluk yang hina.
Jika ia hanya menjulurkan lidahnya, tentulah karena ia memang sebagai binatang yang tiada Allah bekali ia dengan akal-pikiran, sehingga ia tiada dapat menangkap dan mengerti sama sekali apa yang disuruh kepadanya (pergi) atau dibiarkan saja, dia tetap menjulurkan lidahnya saja. Ini pastilah karena ia tidak dapat berpikir!
Kazzaini dengan puisinya itu juga memberi tahu kepada kita betapa manusia itu sebenarnya punya naluri hendak meniru apa-apa saja, termasuk meniru gonggongan anjing.
Tapi jika akal dan rasa malunya disanjungkan, maka dengan seketika keinginan gila semacam itu akan segera senyap dari naluri atau pikirannya sekalipun.
Hal mustahak hendak dikabarkan Kazzaini kepada kita bahwa jangan hidup ini mengabaikan akal pikiran, hati-nurani, kebaikan-kebaikan karena ianya dapat dipersamakan dengan kebodohan anjing tersebab ianya memang dijadikan Allah tiada berbekal akal-pikiran!
Meski demikian ada makna lain yang dapat kita singkap bahwa Kazzaini menyampaikan kegeramannya kepada pihak atau orang yang lain, yang bisa saja berkaitan dengan kekuasaan atau antara pusat dan daerah dalam perkara keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran dari hasil-hasil alam negeri yang tiada merata-setara berkeadilan sebanyak-banyaknya untuk rakyat Indonesia.
Bisa saja puisi itu sebagai mengisyaratkan bagaimana pada bagian yang berbeda dan bahkan berlaianan yang penuh kepura-puraan, tipu muslihat, dan kitidak-adilan perlakuan pemerintah pusat kepada Riau?
Dalam situasi semacam itu Kazzaini memposisikan Riau sebagai bukan anjing, dan sebaliknya entah siapa yang hendak dipertegasnya sebagai sebenar-benarnya anjing?
Air Rindu Membasuh Diri
Jamal D Rahman seakan-akan menghentakkan kita dari tertidur panjang dengan tanpa daya apa-apa. Bagaimana ia mengatakan bermain air akhirnya rindu lalu bagaikan di atas kaca.
Eloknya berpegangan tangan. Lebih dahsyat lagi apabila bergenggaman, karena akan dapat bukan hanya menghangat kedua tangan dan tubuh yang mempunyai tangan dan genggaman, tetapi sekaligus menghangatkan jam dinding yang mendetak-detak di dada.
Yang ini bisa saja dimaksudkan sebagai jantung, hati atau kalau ianya buruk maka bernamalah ia hawa-nafsu. Tapi nyatalah sekali apa yang dipuisikan oleh Jamal D Rahman sebagai jam dinding yang mendetak-detak di dada agaknya rasa Tuhan.
Sang penyair menghenjutkan untuk pembaca betapa tak sedikitnya kita sebagai manusia yang mengaku sebagai hamba-Nya tetapi sia-sia membiarkan malam berlalu, yang disebutkannya sebagai malam pun bangkit dari jendela.
Sayangnya ketika malam melenyap tak sedikit dari kita menyadari bahwa dia tidak dapat diraba apalagi dipegang dan memang tak pernah berikhtiar secara gigih untuk merengkuhnya dekat, erat dan kuat.
Pengembaraan diri dari waktu ke waktu sejati dapat merampai-rampai kerugiannya. Dengan alamat itu maka pastilah akan bergerak dan melaju untuk mendapatkan kebaikan diri di hari-hari mendatang.
Keagungan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa pun tiada akan timbul tenggelam dalam jiwa dan akal pikiran.
Dalam makna itu maka dapat saja kita memaknakan apa yang dikatakan oleh Jamal sebagai kaca adalah sajadah atau bentangan alam untuk bersujud menghentakkan dahi bagi sepenuhnya pengabdian kepada Ilahi.
Betapa manusia dalam kelebihannya sebagai makhluk Allah, tetapi tak disangkal pula alangkah banyak kelemahan dan kekurangannya.
Di antara kekurangannya adalah selalu lupa diri terhadap Sang Penciptanya.Sehingga dalam meniti gelombang dan buih sekalipun tak ingat mengucapkan syukur kepada-Nya. Memang manusia selalu lupa, karena akalnya senantiasa berbaur dengan nafsunya.
Akal fikirannya tak jarang pula bertukar tempat dan fungsi dengan kekuatan dan kemampuan agama dalam memberi pedoman kepada manusia.
Kembali sadar diri yang paling puncak dan nikmat niscayalah jikalau kepada Tuhan, Allah SWT.Untuk itu tak cukup hanya merasakan tetapi mesti berbuat yang dikatakan oleh agama sebagai beramal shaleh dan bertawakkal kepada-Nya.
Karena itu bukan hanya perbuatan dan tindakan yang penuh seluruhnya diarah-tujukan untuk-Nya tetapi sekaligus senantiasa membasahkan bibir dengan zikir membasuhkan kalbu dan akal fikiran dengan rasa zikir yang dilafazkan.
Puisi Jamal yang kita maksudkan ini nyatalah pula sebagai mengisyaratkan hidup ini tak cukup hanya untuk sendirian. Tetapi mesti dekat dan melekat dengan tanggungjawab dan kepedulian lainnya, baik sesama manusia, mahluk lainnya dan alam lingkungan sekaliannya.
Karena dengan begitulah tidak menjadi durhaka atas kewajiban sebagai mahluk yang paling sempurna dan mulia serta khalifah di muka bumi.
Tahu diri, mengenal budi dan membalasnya adalah kearifan yang tiada terkira sehingga buah hasilnya kemuliaan dan kebahagiaan yang tak hanya di alam fana ini tetapi kelak ketika maut sudah melepas dari jasad.
‘’Bemain Air Rindu di Atas Kaca’’ @ dikutip dari buku antologi puisi Hari Puisi Indonesia (2012:142). Kita bermain air rindu di atas kaca. kita berpegangan. kita bergenggaman./ menghangatkan jam dinding yang mendetak-detak di dada. malam pun/ bangkit dari jendela. tapi, oh, tanganmu takada. jarimu tak ada./ maka aku pun menjelma beling. menajamkan waktu agar diam lebih/ malam dibanding usiaku, meruncingkan detak jam agar malam lebih/ berdebur dibanding dadaku. dan ketika kita bermain air rindu di atas/ kaca ini lagi, dari bercak zikirku pada tanganmu yang paling gaib,/ airmataku akan membiru senjdiri.
Persebatian diri dengan Tuhan, pada akhirnya membahagiakan jiwa.Jamal kemudian mempertegas keabadian menjalin hubungan erat dan mesra dengan Sang Maha Pemilik Jiwa.
Adakah kita melesap diri sia-sia dan sehingga celaka bersama waktu yang bergabus kencang berlalu lebih laju dari usia kita.
Puisi sang penyair mengutis dan sekaligus merenggut kemanusiaan membawa ke dalam rasa ketuhanan untuk bermartabat sebagai manusia yang berguna.
Puisi bukanlah sabda, tetapi ianya menyucikan jiwa. Aku tiada memaksa kata-kata atas encik-encik, tuan-tuan dan puan-puan, melainkan sekadar berdendang.
Mau terhibur atau terkena di hati, sungguh tiada kuasa kita mengetahuinya. Kata-kata tiada akan bermakna, karena makna hanya kepada kita sebagai manusia sahaja. Tersebab rindu-rasa semuanya menjadi indah yang lama sekali... n
Tanjungpinang, Desember 2012
Abdul Kadir Ibrahim, sastrawan nasional, menulis puisi, cerita pendek, novel dan esai sastra-budaya.Pernah tiga tahun jadi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang (2007 dan 2009-2010). Atas ketunakannya di dunia sastra-budaya, pria yang akrab dipanggil Akib ini sudah mendapatkan sejumlah penghargaan nasional. Sejak 2006 sudah 7 kali jadi nominator Anugerah Sagang kategori Seniman Serantau.
Sumber: Riau Pos, 10 Maret 2013
Aku Bukan yang Anjing
Sepanjang membaca puisi dari berbagai buku kumpulan puisi dan banyak penyair, sepertinya belum lagi pernah terbaca apa yang dikenal dengan ‘’anjing’’.
Binatang itu memang jadi salah satu jenis binatang peliharaan, tapi oleh orang-orang tertentu saja. Dalam masyarakat Islam pada umumnya tak banyak yang memelihara anjing atau kata orang kampung saya-Natuna: asok.
Jikapun mereka memeliharanya hanya sekadar untuk jadi anjing berburu, baik pelanduk ataupun babi. Tapi mereka tak memperlakukannya sebagaimana kucing.
Meski demikian tetaplah ada orang yang memelihara anjing sebagaimana memelihara kucing, yang antara lain berada di dalam rumah tuannya, tak jarang dipeluk, dicium, dibawa tidur atau dibawa pergi ke mana saja.
Bagi orang Islam ada perbedaan pendapat dan pandangan terhadap anjing.
Dalam masyarakat, tentu ada di antaranya yang memandang dan menganggap anjing binatang yang tak perlu dipelihara dan kalau perlu dijauhi.
Mereka selalu mempersamakan, membabit-babitkan atau mengait-ngaitkan anjing dengan perkara kotor, buruk, tak baik ataupun hina-dina.
Misalnya pantun pusaka mengisyaratkan: bukan catuk bukan cawan/ tali gasing di bawah rumah/ bukan patut jangan dilawan/ seperti anjing memakan remah. Dalam ungkapan lain yang lazim: ‘’anjing menggongong, kafilah berlalu’’. Maknanya mengesankan anjing sebagai tiada kemuliaan.
Semasa sekolah dasar, saya suka memelihara anjing. Kegunaannya untuk memelihara kebun ubi atau padi dan kelapa. Juga untuk berburu babi, melapon (memburu) pelanduk (kancil ataupun napuh) dan kera.
Setiap petang saya selalu ke kebun untuk membuat api unggun (yang dalam bahasa kampung saya: api panduk) di dekat pondok. Lapon adalah serupa anyaman tali nilon serupa mata-mata jaring.
Tapi dianyam tidak memanjang melainkan berbentuk bulat. Di pinggir atau di sekelilingnya diberikan bingkar rotan mudak seukuran belah dua jari kelingking yang dimasukan melalui mata-mata jaring lapon.
Fungsinya seperti jerat atau lebih serupa tanggul atau tangguk.
Lapon di pasang di setiap lorong yang diperkirakan sebagai jalannya pelanduk yang akan lewat. Selesai dipasang, maka seorang menjaga lapon itu dari tempat yang tersembunyi.
Di bagian lain yang jauh beratus-ratus meter, bisa berkilo meter jaraknya, seseorang membawa anjing dan kemudian mengecuhnya supaya masuk ke rimba-raya tersebut.
Diecuh-ecuh dan disorak-sorak, sehingga anjing pun melompat, mengambur-ngambur berlari nyasap sambil menyium-nyium bau pelanduk (kancil) dan kali berikutnya menyalak hebat.
Sang tuannya pun mengikutinya dari belakang sambil bersorak-sorak sejadi-jadinya. Anjing terus memburu pelanduk sambil menyalak.
Akhirnya pelanduk berlari melalui lorong-lorongnya dan hendak menyelamatkan diri dari terkaman anjing. Tapi sayang tatkala sedang berlari kencang itu tiba-tiba menyerang lapon dan langsung saja tersangkut dan tergandul.
Maka seketika seseorang yang menunggu lapon tadi segera menangkapnya. Anjing pun berhenti menyalak. Terengah-engah dan lidah terjulur segera duduk di dekat tuannya.
Tapi terlihat anjing itupun senang sekali. Bukankah untuk memburu penjahat pun memakai anjing? Begitu juga untuk menemukan sesuatu barang terlarang? Kita kenal anjing pelacak yang menjadi bagian dalam membantu tugas pihak keamanan.
Sepengetahuan saya, anjing meskipun juga memakan kotoran manusia sebagaimana juga ayam tapi sangat menjaga kotorannya sendiri.
Anjing peliharaan di suatu rumah, maka yakinlah dia tidak akan pernah buang kotorannya di bawah rumah -jika rumah bertiang- dan termasuk di halaman bahkan tidak di sekitar semak belukar yang dekat dengan halaman rumah.
Jika ia akan buang kotorannya dia akan berlari kencang ke semak-semak yang jauh dan buang kotoran di situ. Begitu juga kencing.
Dia tidak akan kencing di sekitar halaman rumah. Hanya saja kalau kita bawa dia berjalan, maka sambil menyium-nyium kiri-kanan jalan yang berumput.
Behenti dan kencing di situ. Sepanjang perjalanan tak terhitung kali anjing akan terkencing. Karena itu sebaiknya anjing tak usah diikat, karena dia akan buang kotorannya tidak di tempat pemeliharannya, tetapi nun di semak-semak belukar yang agak jauh dari pekarangan rumah tinggal sang tuannya.
Anjing: binatang yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu dan sebagainya @Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia(1990: 40).
Kita percaya tidak ada satupun mahluk yang dicipatakan Allah yang tiada berguna dan apalagi sia-sia! Bahkan dari sifat-sifat anjing kita dapat pelajaran dan i’tibar bagi mengarungi hidup dan kehidupan ini.
Adakah kita dapat lebih setia daripada kesetiaan yang ditunjukkan oleh anjing kepada tuannya?!
Adalah Kazzaini Ks, salah seorang penyair tampil membaca puisi sempena Deklarasi Hari Puisi Indonesia, di Teater Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau, 22 November 2012, yang berjudul ‘’Anjing yang Menggongong’’ @ dikutip dari antologi puisi Hari Puisi Indonesia, (2012: 167-168).
Kubiarkan anjing menggonggong/ menyalak parau/ sampai melengking suaranya// kubiarkan anjing menggonggong/ dengan wajah yang beringas/ taringnya nyeringai keras/ pandangannya menghunjam dengan ganas// jika malam pun/ kubiarkan juga anjing menggonggong/ lolongnya panjang/ bahkan sampai merintih mengerang// kubiarkan anjing menggonggong/ dengan tubuh menggeram/ seakan ingin menerjang menerkam// kubiarkan anjing menggonggong/ walau kadang gerun juga/ tapi tak jarang aku terkikik pula/ pernah juga terpikir olehku/ untuk balas menggonggong/ menyalak parau/ melengking dan melolong panjang/ nampilkan wajah beringas/ nyeringai taring yang keras/ menghunjam pandang ganas/ tapi mana kubisa/ karena aku bukan anjing/kubiarkan anjing menggonggong/ karena dia memang anjing/ ah. Dasar anjing. (Seoul, 2012).
Puisi tersebut memberi pemahaman kepada kita bagaimana sifat-sifat anjing dan perilakunya. Bagi kita sebagai manusia gonggongan anjing bisa menakutkan, bisa membisingkan, bisa menggeramkan, bisa pula hendak ditiru.
Kita dapat menafsirkan pula apa-apa maksud gonggongan anjing tersebut.
Bisa jadi sebagai ia sedang risau, galau, berduka-cita, geram atau sebaliknya bersuka-cita. Atau mungkin juga sebagai pertanda dia sedang melihat makhluk gaib yang tiada kemampuan manusia untuk melihatnya. Atau sebagai tanda ia sedang memanggil-manggil suatu makhluk di jagat raya ini, siapa tahu?!
Mana tahu itulah caranya ia sedang memuja Tuhan dan berdoa?! Segalanya menjadi serba mungkin, karena Allah Maha Mengetahui segala bahasa mahluk-Nya.
Yang pasti anjing termasuk mahluk yang dikabarkan Alquran sebagai mahluk yang ikut menikmati tidur panjang selama masa beratus-ratus tahun di dalam gua bersama pemuda-pemuda beriman dan shaleh yang disebutkan dengan Azhabul Kahfi.
Mereka menyelamatkan diri dari Raja yang zalim dan ingkar dari Allah. Mereka akhirnya diselamatkan oleh Allah di dalam gua. Adanya anjing bersama mereka pastilah sebagai pertanda bahwa binatang itu adalah mahluk yang amat berarti pula bagi manusia atau paling tidak sesiapa yang memeliharanya.
Dalam kaitan ini tentulah atas petunjuk, pedoman dan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. ‘’Dan engkau mengira mereka itu tidak tidur, padahal mereka tidur, dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di depan pintu gua’’. (Q.S.18:18).
Tentang anjing itu disebut lebih dari sekali leh Allah di dalam Alquran (Q.S.18:22). Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa anjing dalam kenyataan pemuda di dalam gua itu tak lain tak bukan adalah sebagai penjaga.
Memberi perlindungan dan rasa aman kepada tuannya. Allah juga menjadikan anjing sebagai perumpaan terhadap orang-orang yang mendustai Ayat-ayat-Nya.
‘’Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya (juga).
Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami’’.(Q.S.7:176). Yang dari ayat itu tidak dapat dimaknakan bahwa anjing adalah mahluk yang hina.
Jika ia hanya menjulurkan lidahnya, tentulah karena ia memang sebagai binatang yang tiada Allah bekali ia dengan akal-pikiran, sehingga ia tiada dapat menangkap dan mengerti sama sekali apa yang disuruh kepadanya (pergi) atau dibiarkan saja, dia tetap menjulurkan lidahnya saja. Ini pastilah karena ia tidak dapat berpikir!
Kazzaini dengan puisinya itu juga memberi tahu kepada kita betapa manusia itu sebenarnya punya naluri hendak meniru apa-apa saja, termasuk meniru gonggongan anjing.
Tapi jika akal dan rasa malunya disanjungkan, maka dengan seketika keinginan gila semacam itu akan segera senyap dari naluri atau pikirannya sekalipun.
Hal mustahak hendak dikabarkan Kazzaini kepada kita bahwa jangan hidup ini mengabaikan akal pikiran, hati-nurani, kebaikan-kebaikan karena ianya dapat dipersamakan dengan kebodohan anjing tersebab ianya memang dijadikan Allah tiada berbekal akal-pikiran!
Meski demikian ada makna lain yang dapat kita singkap bahwa Kazzaini menyampaikan kegeramannya kepada pihak atau orang yang lain, yang bisa saja berkaitan dengan kekuasaan atau antara pusat dan daerah dalam perkara keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran dari hasil-hasil alam negeri yang tiada merata-setara berkeadilan sebanyak-banyaknya untuk rakyat Indonesia.
Bisa saja puisi itu sebagai mengisyaratkan bagaimana pada bagian yang berbeda dan bahkan berlaianan yang penuh kepura-puraan, tipu muslihat, dan kitidak-adilan perlakuan pemerintah pusat kepada Riau?
Dalam situasi semacam itu Kazzaini memposisikan Riau sebagai bukan anjing, dan sebaliknya entah siapa yang hendak dipertegasnya sebagai sebenar-benarnya anjing?
Air Rindu Membasuh Diri
Jamal D Rahman seakan-akan menghentakkan kita dari tertidur panjang dengan tanpa daya apa-apa. Bagaimana ia mengatakan bermain air akhirnya rindu lalu bagaikan di atas kaca.
Eloknya berpegangan tangan. Lebih dahsyat lagi apabila bergenggaman, karena akan dapat bukan hanya menghangat kedua tangan dan tubuh yang mempunyai tangan dan genggaman, tetapi sekaligus menghangatkan jam dinding yang mendetak-detak di dada.
Yang ini bisa saja dimaksudkan sebagai jantung, hati atau kalau ianya buruk maka bernamalah ia hawa-nafsu. Tapi nyatalah sekali apa yang dipuisikan oleh Jamal D Rahman sebagai jam dinding yang mendetak-detak di dada agaknya rasa Tuhan.
Sang penyair menghenjutkan untuk pembaca betapa tak sedikitnya kita sebagai manusia yang mengaku sebagai hamba-Nya tetapi sia-sia membiarkan malam berlalu, yang disebutkannya sebagai malam pun bangkit dari jendela.
Sayangnya ketika malam melenyap tak sedikit dari kita menyadari bahwa dia tidak dapat diraba apalagi dipegang dan memang tak pernah berikhtiar secara gigih untuk merengkuhnya dekat, erat dan kuat.
Pengembaraan diri dari waktu ke waktu sejati dapat merampai-rampai kerugiannya. Dengan alamat itu maka pastilah akan bergerak dan melaju untuk mendapatkan kebaikan diri di hari-hari mendatang.
Keagungan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa pun tiada akan timbul tenggelam dalam jiwa dan akal pikiran.
Dalam makna itu maka dapat saja kita memaknakan apa yang dikatakan oleh Jamal sebagai kaca adalah sajadah atau bentangan alam untuk bersujud menghentakkan dahi bagi sepenuhnya pengabdian kepada Ilahi.
Betapa manusia dalam kelebihannya sebagai makhluk Allah, tetapi tak disangkal pula alangkah banyak kelemahan dan kekurangannya.
Di antara kekurangannya adalah selalu lupa diri terhadap Sang Penciptanya.Sehingga dalam meniti gelombang dan buih sekalipun tak ingat mengucapkan syukur kepada-Nya. Memang manusia selalu lupa, karena akalnya senantiasa berbaur dengan nafsunya.
Akal fikirannya tak jarang pula bertukar tempat dan fungsi dengan kekuatan dan kemampuan agama dalam memberi pedoman kepada manusia.
Kembali sadar diri yang paling puncak dan nikmat niscayalah jikalau kepada Tuhan, Allah SWT.Untuk itu tak cukup hanya merasakan tetapi mesti berbuat yang dikatakan oleh agama sebagai beramal shaleh dan bertawakkal kepada-Nya.
Karena itu bukan hanya perbuatan dan tindakan yang penuh seluruhnya diarah-tujukan untuk-Nya tetapi sekaligus senantiasa membasahkan bibir dengan zikir membasuhkan kalbu dan akal fikiran dengan rasa zikir yang dilafazkan.
Puisi Jamal yang kita maksudkan ini nyatalah pula sebagai mengisyaratkan hidup ini tak cukup hanya untuk sendirian. Tetapi mesti dekat dan melekat dengan tanggungjawab dan kepedulian lainnya, baik sesama manusia, mahluk lainnya dan alam lingkungan sekaliannya.
Karena dengan begitulah tidak menjadi durhaka atas kewajiban sebagai mahluk yang paling sempurna dan mulia serta khalifah di muka bumi.
Tahu diri, mengenal budi dan membalasnya adalah kearifan yang tiada terkira sehingga buah hasilnya kemuliaan dan kebahagiaan yang tak hanya di alam fana ini tetapi kelak ketika maut sudah melepas dari jasad.
‘’Bemain Air Rindu di Atas Kaca’’ @ dikutip dari buku antologi puisi Hari Puisi Indonesia (2012:142). Kita bermain air rindu di atas kaca. kita berpegangan. kita bergenggaman./ menghangatkan jam dinding yang mendetak-detak di dada. malam pun/ bangkit dari jendela. tapi, oh, tanganmu takada. jarimu tak ada./ maka aku pun menjelma beling. menajamkan waktu agar diam lebih/ malam dibanding usiaku, meruncingkan detak jam agar malam lebih/ berdebur dibanding dadaku. dan ketika kita bermain air rindu di atas/ kaca ini lagi, dari bercak zikirku pada tanganmu yang paling gaib,/ airmataku akan membiru senjdiri.
Persebatian diri dengan Tuhan, pada akhirnya membahagiakan jiwa.Jamal kemudian mempertegas keabadian menjalin hubungan erat dan mesra dengan Sang Maha Pemilik Jiwa.
Adakah kita melesap diri sia-sia dan sehingga celaka bersama waktu yang bergabus kencang berlalu lebih laju dari usia kita.
Puisi sang penyair mengutis dan sekaligus merenggut kemanusiaan membawa ke dalam rasa ketuhanan untuk bermartabat sebagai manusia yang berguna.
Puisi bukanlah sabda, tetapi ianya menyucikan jiwa. Aku tiada memaksa kata-kata atas encik-encik, tuan-tuan dan puan-puan, melainkan sekadar berdendang.
Mau terhibur atau terkena di hati, sungguh tiada kuasa kita mengetahuinya. Kata-kata tiada akan bermakna, karena makna hanya kepada kita sebagai manusia sahaja. Tersebab rindu-rasa semuanya menjadi indah yang lama sekali... n
Tanjungpinang, Desember 2012
Abdul Kadir Ibrahim, sastrawan nasional, menulis puisi, cerita pendek, novel dan esai sastra-budaya.Pernah tiga tahun jadi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang (2007 dan 2009-2010). Atas ketunakannya di dunia sastra-budaya, pria yang akrab dipanggil Akib ini sudah mendapatkan sejumlah penghargaan nasional. Sejak 2006 sudah 7 kali jadi nominator Anugerah Sagang kategori Seniman Serantau.
Sumber: Riau Pos, 10 Maret 2013
No comments:
Post a Comment