Tuesday, November 21, 2006

Korupsi Sudah Menjadi Kebiasaan, Birokrasi Patrimonial Sumber Masalah

Jakarta, Kompas - Korupsi menjadi tradisi dalam birokrasi patrimonial, yang mengejawantahkan bentuknya dalam sistem masyarakat feodal. Ironisnya, corak dan sistem seperti ini tetap dipertahankan sebagai sebuah kewajaran. Di Indonesia, korupsi telah menjadi kebiasaan sejak zaman lampau.

Fenomena korupsi yang dikemukakan Mochtar Lubis (1922-2004) itu dipaparkan Mansyur Semma dalam disertasinya berjudul "Negara dan Korupsi dalam Pandangan Mochtar Lubis". Mansyur yang menganalisa pandangan Mochtar Lubis dalam editorial harian Indonesia Raya dengan pendekatan antropologi politik memperoleh gelar doktor dalam bidang ilmu sosial dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (Unhas), akhir pekan lalu.

"Pemikiran Mochtar tentang korupsi terkait dengan budaya politik di kalangan penguasa. Mochtar tidak memandang korupsi sebagai fenomena budaya, dalam arti korupsi bukanlah budaya. Akan tetapi, korupsi bisa saja membiadab bila struktur sosial, ekonomi, dan juga politik mengalami kebuntuan birokratis. Korupsi dapat berubah menjadi kanker yang sangat ganas dan mematikan," papar lulusan Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) itu.

Menurut dosen Komunikasi FISIP Unhas yang menyandang tunanetra itu, Mochtar menggunakan pandangan Max Weber tentang kekuasaan birokrasi patrimonial sebagai dalil dalam menjelaskan segenap akar tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia. Negara birokrasi patrimonial adalah lingkungan terbaik bagi tumbuh suburnya korupsi.

Mochtar melihat bahwa praktik korupsi tidak saja dalam bentuk-bentuk yang tradisional di masa lampau, melainkan juga dalam bentuk-bentuk yang baru, dengan memakai kedok birokrasi modern seperti badan pengawas keuangan negara, inspektur jenderal di tiap kementerian, parlemen, dan aparat penuntut umum.

"Warisan birokrasi patrimonial modern dan masa feodalismenya di Indonesia telah menimbulkan birokrasi nepotisme, yang memberi jabatan atau jasa khusus kepada sanak dan sahabat. Dalam lingkungan yang seperti itu, korupsi dianggap sebagai sesuatu yang wajar saja dan masyarakat pun tidak marah jika mengetahui berbagai tindak korup telah terjadi," tutur Mansyur Semma.

"Bung" yang hilang


Dalam disertasi Mansyur, dikemukakan gambaran Mochtar mengenai kuatnya kekuasaan birokrasi patrimonial di Indonesia dengan hilangnya sapaan "Bung" di antara lelaki.

Sapaan "Bung" yang digunakan dari opas kantor dan prajurit sampai pada jenderal dan presiden pada masa revolusi kemerdekaan itu kini berganti menjadi "Bapak’, meski yang menyapa jauh lebih muda. Itu menunjukkan betapa sangat kuatnya kebiasaan- kebiasaan yang berakar dari negara birokrasi patrimonial.

Menurut Mochtar, akibat dari korupsi tidak saja akan menggerogoti struktur kenegaraan secara perlahan, tetapi akan menghancurkan segenap sendi penting dalam negara. "Akibat paling nyata yang dilihat Mochtar dari fenomena korupsi adalah hilangnya kesadaran rakyat banyak tentang hak mereka sebagai warga negara dan ketidakpeduliannya pada sistem kenegaraan suatu bangsa tempat korupsi berlangsung," kata Mansyur.

Mansyur mengemukakan, penelitiannya menunjukkan bahwa Mochtar Lubis adalah tokoh yang terbentuk dari sejarah yang panjang dan dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, pendidikan, ideologi jurnalis, pemilik media, serta konteks kebudayaan dan sejarah masyarakat sekitarnya.

"Ia tak pernah mengkritik tanpa alasan atau merusak kehormatan orang. Yang ia kritik adalah kesalahan, tingkah laku yang merugikan masyarakat," kata Mansyur. (LAM)

Sumber: Kompas, Selasa, 21 November 2006

No comments: