-- Udo Z. Karzi
SEGALA rindu dendam telah terlampiaskan. Segala noda dosa telah disucikan. Segala tenaga dan pikiran telah tercurahkan. Segala dana yang dikumpulkan setahun terkuras habis. Semuanya: Lebar. Bubar! Tak ada lagi yang tersisa.
Logika ekonomi mikro mengatakan kerugian besar bagi rumah tangga konsumsi. Belum lagi rintangan yang mengancam sepanjang perjalanan. Antre, berdesak-desakan, berjejal, tidak dapat karcis, dikerjai calo, tidak dapat bangku, dan terpaksa berdiri dalam kendaraan. Ada lagi yang tertipu, ditelantarkan angkutan, dicopet, dirampok, dan kecelakaan.
Mengingat itu, ada pikiran untuk melarang mudik. Tapi jelas itu tak mungkin. Pemudik mempunyai hitungan sendiri. Mudik bukan sekadar buang-buang duit. Meskipun risiko mengadang di sepanjang perjalanan para pemudik, mudik menjadi sebuah seni tersendiri. Boleh jadi inilah bentuk wisata rakyat Indonesia.
Pakar ekonomi mempunyai perhitungan tersendiri tentang mudik. Mereka bilang tradisi mudik membantu pemerataan perputaran uang dari kota ke desa. Jika selama ini perputaran uang tersentral di perkotaan, dengan mudik sirkulasi uang sedikit banyak mengalir ke perdesaan. Ini karena para pemudik biasanya ingin menunjukkan keberhasilannya di kota dengan menunjukkan diri mereka mampu.
Kendati kebiasaan menghamburkan uang yang ditunjukkan pemudik kepada orang desa kurang begitu baik, setidaknya orang-orang desa kebagian juga rezeki dari perilaku konsumerisme ini. Yang ditakutkan memang adalah sikap ini menular kepada orang desa dan menganggap kota sebagai pusat keberhasilan.
Mudik itu tradisi. Tradisi baik atau tradisi buruk sangat tergantung pada orang yang memaknainya. Ada orang yang mendendangkan nikmatnya pulang kampung. Menatap panorama sepanjang perjalanan. Melihat perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Menengok kemajuan zaman yang bergerak. Kembali mengenang jalan-jalan yang pernah kita lalui. Mengingat pahit dan getirnya kehidupan. Merasakan kembali bahagia dan gembira yang sempat kita lewati.
Orang tua akan berkata, "Lebaran kali ini sepi" jika anak, mantu dan cucu tidak ada yang pulang kampung. Tak peduli pasar bertambah ramai atau acara halalbihalal di sebelah rumahnya yang berlangsung meriah. Boleh jadi anak akan berkirim surat, kartu lebaran, telegram, atau apa pun ditambah sedikit kiriman uang dan barang. Tapi tetap saja, kehadiran benda-benda itu bagi orang tua tak berarti banyak. Lebaran tetap saja sepi.
Kalau Lebaran saja tak bisa pulang ke kampung, apalagi hari-hari biasa yang penuh dengan kesibukan. Lagi pula, pulang Lebaran dan pulang bukan Lebaran jelas berbeda hakikatnya. Lebaran itu momentum untuk mudik.
Sudah tradisi! Mau apa lagi? Tahun depan kita mudik lagi.
Tinggallah kita yang menghitung-hitung kembali berbagai kemungkinan. Soalnya, segalanya sudah lebar di Lebaran kali ini.
Sumber: Lampung Post, Jumat, 3 November 2006
No comments:
Post a Comment