KONFLIK politik Lampung yang melelahkan itu berakhir. Gubernur Lampung Sjahroedin Zainal Pagaralam dan Ketua DPRD Indra Karyadi melaporkan islah itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jumat (23/11). Ini artinya Sjachroedin tetap Gubernur Lampung hingga masa tugasnya berakhir pada 2009.
Konflik politik Lampung harus menjadi pelajaran yang amat berharga. Betapa saling meniadakan antara dua lembaga, yakni eksekutif dan legislatif, merugikan semua pihak. Eksekutif tidak bisa bekerja maksimal karena berbagai program yang berkaitan dengan anggaran diganjal legislatif. Yang rugi bukan siapa-siapa, melainkan seluruh rakyat Lampung. Karena ujung dari pemerintahan adalah untuk rakyat.
Meskipun konflik antara gubernur dan DPRD terjadi sejak Juli tahun lalu, masyarakat Lampung sesungguhnya sudah tidak mempunyai gubernur definitif sejak 30 Desember 2002. Waktu itu pasangan Alzier Dianis Thabranie dan Anshori Yunus terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2002-2007. Mereka tidak pernah dilantik karena Alzier diduga tersangkut kasus pidana. Alzier bahkan dibawa paksa ke Mabes Polri karena tuduhan itu.
Mendagri (waktu itu Hari Sabarno) pada Desember 2003 membatalkan kemenangan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kini berpindah ke Partai Golkar itu. Tetapi, pada Mei 2004, Alzier memenangi gugatan atas Mendagri. Pembatalannya sebagai Gubernur Lampung dinilai tidak sah.
Beberapa hari setelah Alzier memenangi gugatan, Sjachroedin dan Syamsurya Ryacudu terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung. DPRD kemudian menetapkan pasangan itu sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2004-2009.
Sementara itu, Alzier terus mencari keadilan dan Mahkamah Agung (MA) memenangkannya atas perkara kasasi melawan Mendagri. Juli tahun lalu MA pun menyerahkan konflik Lampung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masih pada bulan yang sama, DPRD Lampung dalam sidang paripurnanya tak mengakui Sjachroedin sebagai gubernur.
Sejak itulah boikot-memboikot program-program kedua lembaga itu terjadi. Hubungan Gubernur Sjachroedin yang diusung PDIP dan Wakil Gubernur Syamsurya yang dari Golkar ikut terganggu. Ketidakkompakan itu kian 'menyempurnakan' konflik politik Lampung.
Karena itu, sekali lagi, konflik politik di Lampung harus menjadi pelajaran berharga. Bahwa, dalam alam demokrasi seperti sekarang, roda pemerintahan tidak akan berjalan optimal tanpa 'kemitraan' eksekutif dan legislatif. Konflik itu ternyata hanya membuahkan ketidakpastian rakyat.
Padahal, politik yang sesungguhnya adalah bagaimana memerintah secara benar. Politik selalu punya cara untuk mengatasi konflik. Anehlah jika konflik politik tak bisa diselesaikan.
Sekeras apa pun permainan politik tidak boleh mengorbankan rakyat. Sebab rakyat modal utama pemerintahan. Karena itu, dalam keadaan apa pun, rakyat harus mendapat penghormatan terdepan. Adalah sebuah pengkhianatan yang tak termaafkan jika para elite politik hanya mementingkan diri sendiri, dan bukan untuk rakyat.
Islah politik Lampung harus dijadikan momentum untuk melakukan perbaikan-perbaikan kehidupan rakyat yang selama ini terabaikan.
Para elite yang menggenggam kekuasaan hanya untuk kepentingan dan kekayaan diri sendiri, harus bersiap-siap turun gelanggang politik. Jika tidak, rakyat menilai demokrasi tak punya makna apa-apa, kecuali untuk para elite. Dan, ketidakpercayaan pada elite kini telah menjadi kenyataan. Elite Lampung dan juga elite di seluruh negeri ini harus cepat mengembalikan ketidakpercayaan itu.
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 November 2006
No comments:
Post a Comment