Wednesday, November 22, 2006

Jejak Peradaban: Batanghari dan Eksploitasi Emas

-- Bambang Budi Utomo*


KETIKA Sungai Batanghari sedang surut, di sebuah kampung, seorang nenek bersama cucunya asyik mengais rezeki di tanah pasir pinggiran sungai. "Kalau sedang mujur, kami bisa mendapatkan dua-tiga gram emas di pasir ini," ujar si nenek sambil mengayak butiran pasir.

Tidak seperti nenek dan cucunya tadi, mereka yang mempunyai modal cukup membuat donfeng (perahu penyedot pasir) untuk mencari "hanyutan" emas dari daerah hulu. Alih-alih menyedot pasir atau kerikil, yang dicari adalah bijih emas. Aktivitas itulah yang terjadi sepanjang tahun di Sungai Batanghari sampai ke daerah hulunya.

Nama asli Pulau Sumatera, sebagaimana ditemukan dalam cerita rakyat, adalah "Pulau Emas". Sejak zaman purba, pulau ini memang sangat terkenal oleh hasil tambang emasnya.

Istilah Pulau Ame terdapat dalam kaba Cindua Mato dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat Lampung tercantum nama tanoh emas. I-tsing, pendeta Buddha dari Tiongkok, menyebutkan chin-chou (negeri emas). Berita-berita Arab menyebut dengan nama Sarandib, yaitu transliterasi dari nama Sanskerta, Swarnnadwipa, yang artinya "Pulau Emas".

Nama Sanskerta lain untuk Swarnnadwipa adalah Swarnnabhumi (tanah emas). Dalam berbagai prasasti, Sumatera dikenal dengan nama Swarnnadwipa atau Swarnnabhumi.

Penambangan emas

Pada umumnya kegiatan penambangan emas pada masa lampau dilakukan baik di daerah endapan aluvium maupun endapan sungai yang mengandung bijih emas. Emas demikian bersifat sekunder dan disebut dengan istilah plaser.

Emas sekunder itu berasal dari batuan yang ditemukan di daerah pegunungan. Emas sekunder ini kemudian dipengaruhi oleh proses pelapukan serta pengikisan.

Hasil kedua proses itu kemudian dihanyutkan air ke tempat yang lebih rendah. Di tempat yang rendah ini kemudian terkumpul di suatu dataran. Di tempat inilah terdapat konsentrasi emas yang tinggi dan dapat ditambang dengan menggunakan teknologi sederhana.

Manuel Godinho de Ereda, pengelana Portugis yang berkunjung ke Sumatera pada tahun 1807, melaporkan kegiatan pendulangan emas. Setiap pagi, sekelompok penduduk Kerajaan Kampar masing-masing membawa ayakan halus untuk mengayak pasir dari Sungai Sunetrat (Sungai Dareh). Dengan cara ini, butiran emas sebesar biji-bijian atau seukuran sisik ikan dapat tertinggal dalam ayakan.

Butiran yang lebih besar didapat dari tanah yang berasal dari sumur galian di tepi sungai. Tanah galian ini kemudian dijemur di tepi sungai hingga kering. Panas matahari menjadikan bongkahan tanah itu pecah dan hancur. Dari tanah yang hancur ini, kemudian tampak butiran emas. Segenggam tanah kering dapat diremas dengan tangan secara mudah dan butiran emas dapat diambil.

Di daerah tepian Sungai Batanghari, penduduk mencari emas sekunder dengan cara menyirami tepian sungai dengan air. Siraman air digunakan untuk menyingkirkan tanah atau pasir yang ada di permukaan.

Apabila tanah di tepi sungai mengandung emas, setelah permukaannya tersingkap akan tampak butiran emas sebesar biji jawawut atau kacang hijau. Kadang-kadang pasir atau tanah yang mengandung butiran emas ini diendang dengan menggunakan wadah bundar yang bagian bawahnya mengerucut.

William Marsden, pengelana Inggris yang bertandang ke Sumatera (1771-1779), menceritakan tentang kegiatan penambangan emas di daerah Minangkabau. Berdasarkan tempat asalnya, bijih emas dibagi menjadi dua kelompok, yaitu amas sepayang atau emas primer dan amas sungei abu atau emas sekunder.

Peralatan yang dipakai untuk kegiatan itu, antara lain, adalah linggis, sekop, palu besi besar untuk menghancurkan batuan yang mengandung bijih emas, lumpang batu, dan wadah untuk tempat mengumpulkan hancuran batuan yang mengandung bijih emas.

Wadah ini bentuknya seperti perahu dengan ujungnya mempunyai tali untuk penarik. Setelah penuh, tempat itu kemudian ditarik keluar dari terowongan tambang ke suatu tempat yang berair. Air dipakai untuk memisahkan butiran emas dari batuan kuarsa pengandungnya yang telah ditumbuk halus.

Daerah penghasil emas di wilayah Kabupaten Tanah Datar ada di sekitar lembah Sungai Selo, Sungai Sinamar, dan Sungai Sumpur. Dari tempat-tempat ini, emas ditambang dan diendang untuk kemudian dipasarkan melalui dua jalan yang cukup sulit untuk masa itu. Daerah pemasaran emas ada di wilayah pantai barat dan pantai timur Pulau Sumatera.

Daerah lain yang merupakan tempat penghasil emas adalah di suatu tempat yang dikenal dengan nama Pangkalan Jambu, berdekatan dengan Kerinci, dan lembah Sungai Mesuji, Sungai Merangin, Batang Asai, Sei Limun, yang kaya dengan endapan emas. Di daerah ini masyarakat mendulang emas pada musim kering. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak lama.

Emas merupakan hasil tambang yang utama dari Sumatera. Logam ini telah ditambang di Sumatera sejak sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Asia Tenggara. Demikian pentingnya emas dari daerah Minangkabau. Sebuah sumber menginformasikan bahwa Kesultanan Malaka pernah menantang Kesultanan Deli, Rokan, Siak, Kampar, dan Indragiri untuk memastikan ia dapat menjamin keamanan perdagangan emas dari kawasan pedalaman Minangkabau.

Artefak emas

Sebagai kawasan penghasil emas, sejak zaman purba dan ketika Malayu mencapai kejayaannya, penduduk di sekitar Batanghari telah menghasilkan barang-barang emas. Barang tersebut ada yang berupa arca dan ada pula yang berupa perhiasan.

Pada sungai yang panjangnya lebih dari 1.000 kilometer itu banyak situs arkeologi yang mengandung temuan artefak emas. Mulai dari kawasan hilir di daerah delta Batanghari hingga kawasan hulunya samapai saat ini banyak ditemukan artefak emas. Dapat dikatakan hampir di setiap situs percandian ditemukan artefak yang terbuat dari emas.

Di situs Lambur, di kawasan delta Batanghari, ditemukan ikat pinggang dan perhiasan berupa kalung dari emas. Temuan ini bercampur dengan temuan lainnya yang berupa manik-manik dan barang-barang keramik. Di situs Percandian Muara Jambi, artefak emas juga ditemukan dalam bentuk perhiasan dan lembaran-lembaran prasasti. Meskipun ukurannya kecil, jumlahnya cukup banyak.

Di daerah hulu, masih di wilayah Provinsi Jambi, di situs Rantau Kapas Tuo, ditemukan arca perunggu yang dilapisi emas. Ukurannya cukup besar, yaitu sekitar 40 cm. Meskipun mempunyai gaya seni India Selatan, ada indikasi arca tersebut dibuat di Sumatera. Arca Awalokiteswara yang memakai pakaian kulit harimau merupakan ciri bahwa arca tersebut dibuat di Sumatera.

Sumatera memang layak disebut Swarnnadwipa atau Swarnnabhumi yang berarti "pulau emas". Di saat yang sulit ini, ketika Sumatera sedang kemarau dan kebakaran di mana-mana, banyak penduduk kampung yang mengendang emas. Hasilnya cukup lumayan jika sekadar untuk makan.

Mungkin yang perlu segera diwaspadai adalah para pemilik donfeng karena mereka menggunakan air raksa untuk memisahkan bijih emas. Apabila jumlahnya sudah banyak, akan sukar untuk mencegahnya, seperti yang terjadi di Bangka dengan tambang inkonvensionalnya.

* Bambang Budi Utomo, Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional

Sumber: Kompas, Rabu, 22 November 2006

No comments: