Sunday, November 12, 2006

Esai: 'Puzzle' Bernama Piil Pesenggiri

-- Firdaus Augustian*

Kebudayaan merupakan way of life, petunjuk bagi tindakan dan tingkah laku manusia, sebuah ekspresi nilai-nilai dan cita-cita. Sebuah kebudayaan mengacu pada pola-pola perilaku yang ditularkan secara sosial. Kebudayaan berada di belakang sikap dan tingkah laku lahiriah masyarakat yang secara eksklusif share a different tradition (AL Kroeber & Clyde Klukhon, 1952).

Rizani Puspawijaya menyatakan pemahaman utuh terhadap tatanan moral suatu masyarakat perlu dilakukan, sehingga penafsiran yang keliru dan negatif dapat dihindarkan. Agar tatanan moral dapat dipahami secara utuh dan memadai, tatanan moral perlu diketahui secara proporsional.

Tatanan moral masyarakat Lampung yang merupakan pedoman perilaku budaya yang luhur terbangun dalam sebuah sistem yang selama ini kita kenal sebagai piil pesenggiri. Tatanan moral yang terbangun dalam sistem dan prinsip piil pesenggiri sejak 1970-an menjadi wacana di kalangan elite Lampung, mulai dari H. Zainal Abidin Pagar Alam, R. Sutiyoso, Yasir Hadibroto, Pudjono Pranyoto, Oemarsono, Sjachroedin, barangkali secara substantif telah dibicarakan juga oleh Kusno Dhanupoyo.

Pembicaraan ini bunga-bunga pemikiran yang meluncur dan mengalir bagai air sebagai pesan moral pemimpin-pemimpin lain di Lampung. Buat siapa pun di antara kita sebagai orang Lampung, baik dari masyarakat Pepadun maupun Pesisir (Sai Batin) istilah piil pesenggiri sangat akrab dan melekat. Pemahaman kita terhadap piil pesenggiri, dengan sama sekali tidak pernah memikirkan mempersoalkan apakah prinsip ini, ada atau tidak pada masyarakat lain.

Piil pesenggiri menurut Rizani Puspawijaya merupakan suatu keutuhan dari unsur yang mencakup juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai sembayan. Barangkali perlu kita cermati secara jujur, terminologi sakai sambayan sebagai sebuah kosakata tidak dikenal masyarakat Lampung Pesisir, ini dikemukakan kepada saya oleh beberapa pemuka adat Sai Batin, termasuk Pangeran Bandar Marga (Gedong Pakuan), Radin Jaksa (Padang Cermin), Batin Kesuma Ningrat/H. Irfan Anshory (Suka Banjar, Talangpadang).

Tetapi substansi sakai sambayan sebagaimana pada masyarakat tradisional lain juga dikenal pada masyarakat Lampung Pesisir (Sai Batin). Sakai sambayan suatu sikap tolong-menolong dan gotong royong, memahami makna kebersamaan, hakikatnya merefleksikan partisipasi, dan solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan. Semangat semacam ini bukan hanya ada pada masyarakat Lampung, juga ada pada masyarakat tradisional lain.

Sebuah orasi kebudayaan yang disampaikan Mochtar Lubis (1977) membedah tentang manusia Indonesia, rasanya merupakan puncak otokritik terhadap manusia Indonesia yang selama ini dianggap berkebudayaan luhur dengan peninggalan kebudayaannya Borobudur, Mataram, Sriwidjaya, Majapahit, dan sebagainya.

Faktanya kita pernah dijajah 200 tahun oleh VOC, sebuah badan usaha yang didirikan di Kerajaan Belanda, dijajah hampir 150 tahun oleh Kerajaan Belanda, dan 3,5 tahun oleh Kekaisaran Jepang. Kemerdekaan 17 Agustus 1945, naskah Proklamasi dirancang secara damai dengan perlindungan dan jaminan keamanan Laksamana Muda Tadashi Maeda setelah mendapat briefing kemerdekaan dari Marsekal Terauchi, Komandon Komandon Angkatan Darat wilayah Asia Selatan di Dalat (Saigon) pada 14 Agustus 1945 (Mr. Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, 1978).

Tentunya saya belum mempunyai kemampuan otokritik terhadap piil pesenggiri seperti Mochtar Lubis. Piil pesenggiri bersifat universal pada semua masyarakat kebudayaan tradisional. Pastinya piil pesenggiri sebagai tatanan moral masyarakat Lampung tidak bersifat execlusiv exclusive share a different tradition.

Sulit mencari sifat/sistem tatanan moral yang genuine pada kebudayaan-kebudayaan yang ada, karena pada dasarnya antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain terjadi proses akulturasi, intervensi, dan interdependensi. Dengan meminjam pemikiran Rizani, kita setuju piil pesenggiri merupakan tatanan moral, yang menjadi motivasi masyarakat Lampung untuk mempertahankan eksistensinya.

Tetapi kita harus menyadari bahwa tatanan moral semacam ini ada juga pada kebudayaan lain, khususnya pada masyarakat tradisional. Kebudayaan Madura, secara jernih diuraikan Dr. A Latief Wiyata (2002). Ada dua hal yang melekat menjadi stereotipe orang Madura: NU dan carok. Latief Wijaya mengungkapkan simbolis carok dalam konteks budaya Madura. Carok adalah suatu kekerasan yang memiliki latar dan pesan kultural sekaligus merupakan tatanan moral untuk mempertahankan harga diri, nama baik, solidaritas keluarga, dan kebersamaan. Apabila ada pihak lain yang mengganggu dan merusak norma-norma ini, carok adalah langkah yang dipilih untuk mempertahankan dan menjaga nilai-nilai di atas.

Rasanya terlalu berlebihan kalau kita mengatakan tatanan moral piil pesenggiri yang merupakan inspirasi dan motivasi berpikir dan bersikap masyarakat Lampung, hanya dikenal masyarakat Lampung. Kebudayaan lain pun apalagi pada masyarakat tradisional amat akrab terhadap tatanan moral ini. Bahkan, tatanan moral ini telah built in dalam kehidupan mereka.

Mungkin dapat direnungkan pesan seorang teman saya, yang pada Oktober 2006 lalu dilantik menjadi duta besar RI di Utara Eropa, ulun lappung asli. Apak indukni lappung berpesan pada saya saat bersama-sama mengikuti Spamen 1997, mempertanyakan masih relevankah kalau kita bicara tentang piil pesenggiri seolah-olah kebudayaan lain tidak mengenal piil pesenggiri.

Lebih mendasar lagi pertanyaannya: Kiay, pagun tepatkah kham bicara kebudayaan lokal dilom konstruksi pengaruh kebudayaan regional dan global, mampukah kham dilom tantangan global mempertahankan eksistensi lokal, sai hanya merupakan pernik-pernik. Secara mengejutkan dia mengemukakan begitu banyak Kebudayaan besar dunia di dalam sejarah kemanusiaan, menjadi punah dan sirna, seperti kebudayaan Yunani, Romania, Assiria, Mesir, Inca, karena bersifat eksklusif, selalu merasa besar. Sementara kita asyik dengan puzzle dan scrabble yang berlabel piil pesenggiri. Tabik mahap dikuti rumpok pun.

* Firdaus Augustian, pemerhati budaya

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 11 November 2006

No comments: