Wednesday, November 22, 2006

Esai: Memahami Kreativitas Nawal


-- Jaleswari Pramodhawardani*

Konon menurut Tao, seorang pemimpin yang baik adalah ibarat sebuah danau. Dalam dan menampung. Dia tidak lasak dan tidak berada di pucuk tertinggi. Karena itu, kepemimpinan yang baik tidak dinilai dari sekadar keberaniannya bertindak, namun terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri. Termasuk menghargai sebuah kreativitas dan ketidaksepakatan yang berhadapan dengan dirinya.

Mungkin almarhum Anwar Sadat, Presiden Mesir saat itu belum mengetahui hal ini. Memang, dunia internasional memberikan penghargaan Nobel Perdamaian (1978) kepadanya. Tetapi ia juga tampaknya sebuah contoh dari apa yang dikatakan Nawal El Saadawi sebagai produk dari sebuah sistem demokrasi Barat yang salah. Kekuasaan kepemimpinannya diterjemahkan tidak lebih dari pusaran kekuatan militer, kekuasaan uang, kepentingan multinasional dan lain-lain.

Itulah sebabnya ketika Nawal melalui sebuah artikelnya menunjukkan kontradiksi kebijakan Sadat yang membawa implikasi bagi kehancuran ekonomi dalam negeri dengan meningkatnya jurang antara si miskin dan si kaya dan juga menggambarkan bagaimana Sadat mendorong gerakan fundamentalisme keagamaan di negaranya, hasilnya adalah penjara baginya.

Menurutnya, kenyataan pahit itu bukanlah khas Mesir, negaranya, namun juga terjadi di belahan bumi mana pun, seperti yang dikatakannya dalam sebuah wawancaranya.

If you really want to change the system, the capitalist system here, or in any country, you will be a dissident and you may land in jail, in prison, as happened to me in Egypt. Now here the system, the establishment is so strong, that writers can not change anything. In Bangladesh, in Egypt, in Africa, you know, you can make a revolution by an article. Sadat put me in prison because of one article I wrote. Just one article.

Siapakah Nawal el Saadawi?


Dilahirkan pada 1931, dari sebuah keluarga terhormat di Desa Kafr Tahla di daerah delta Mesir, Nawal tumbuh sebagai seorang feminis Mesir terkemuka yang disegani di panggung feminisme internasional. Ayahnya adalah pejabat tinggi dalam Departemen Pendidikan Mesir. Nawal sendiri adalah seorang ahli sosiologi, dokter, dan seorang pengarang.

Nawal tergolong pengarang Mesir kontemporer dengan hasil karya yang paling banyak diterjemahkan ke dalam 12 bahasa sedunia. Ia menghasilkan karya klasik tentang perempuan dunia Islam. The hidden face of eve (Wajah Rahasia Kaum Hawa) dan banyak karya terbitan lain, termasuk naskah sandiwara, koleksi cerita pendek, karya nonfiksi, dan novel yang sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, beberapa di antaranya dalam terjemahan bahasa Indonesia, antara lain Women at Point Zero (Perempuan di Titik Nol), Death of an Ex-Minister (Akhir Hayat Seorang Mantan Menteri), Searching (Mencari), The Innocence of the Devil (Tak Berdosanya Sang Setan) (California, 1994).

Karya-karyanya banyak menohok kalangan muslim dan penguasa di negaranya. The Fall of the Imam (Jatuhnya Sang Imam) misalnya, dalam novel tersebut Nawal berkisah tentang perjuangan dan perlawanan seorang anak perempuan yang lahir tanpa ayah. Sang ibu dianggap sebagai seorang perempuan pezina, namun semua orang, mulai dari penjaga hingga sang Imam telah tidur bersamanya. Akibat keingintahuannya tentang keturunannya, ia selalu dikejar-kejar dan akhirnya tertangkap dan dijatuhi hukuman mati. Novel ini berisi tentang kejatuhan para pemimpin yang selalu bersembunyi di balik nama agama dan Tuhan.

Yang menarik dalam novel ini adalah keberanian pengarangnya dalam mendobrak sistem dan (manipulasi) ajaran agama yang selama ini sering terjadi. Semua itu banyak terungkap dalam dialog-dialog lugas yang terjadi antara sang putri dan para pengikut sang Imam, juga dengan teman-temannya

Selain itu, karismanya di bidang kesehatan umum sangat mencolok, baik di Mesir maupun di luar negeri, sampai ia mengakhiri jabatan sebagai Dirjen Pendidikan Kedokteran, Kementerian Kesehatan di Kairo tahun 1972. Ia diberhentikan oleh instansi tersebut termasuk pencopotannya sebagai direktur kesehatan masyarakat akibat tulisannya yang blak-blakan tentang seksualitas, terutama dalam karyanya Woman and Sex.

Sembilan tahun kemudian, pada 1981, ia dipenjarakan atas tuduhan 'perbuatan kriminal terhadap negara' oleh Presiden Anwar Sadat sebagai bagian dari penangkapan dan penahanan besar-besaran tokoh-tokoh intelektual Mesir. Bahkan setelah pembebasannya, jiwanya terancam dan selama beberapa tahun rumahnya di Giza dijaga oleh satpam bersenjata, sehingga ia meninggalkan negerinya untuk menjadi profesor kunjungan pada berbagai universitas di Amerika Utara. Hingga sekarang ia tetap menulis dan berkampanye demi kebebasan dan keadilan perempuan dan laki-laki.

Feminisme Nawal

Nawal sering terkesan menyerang Islam dan sistem politik negaranya, Mesir. Namun, dalam pembicaraannya di berbagai forum internasional dan sebagai pembicara kunci di hampir seluruh universitas di Amerika serta institusi akademik lainnya, ia tidak kehilangan daya kritisnya terhadap AS terutama prasangka buruknya terhadap dunia Islam. Dalam hal ini ia mempunyai pendapatnya sendiri When you criticise your own culture, there are those in your culture who are against you, who say: 'Don't show our dirty linen outside.' I don't believe in this theory. I speak one language, whether inside the country or outside. I must be honest with myself."

Mungkin kepedulian, keberanian, dan kejujurannya ini merupakan pilihan sikap dan bentuk perlawanannya terhadap sistem patriarkat dan corporate capitalism yang ditolaknya selama ini.

Tentang feminisme, ia mengatakan bahwa di Mesir sedikit sekali, untuk tidak mengatakan tidak ada feminis. Menurutnya, feminisme adalah perjuangan melawan patriarkat dan kelas. Sekaligus perlawanan terhadap dominasi laki-laki dan dominasi kelas. Dan menurutnya opresi yang dilakukan keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena hal itu saling berkaitan.

Ia juga mengkritik kaum feminis, yang menurutnya sebagian besar memiliki 'kesadaran palsu' terhadap perjuangan yang mereka lakukan. Menurutnya, kalangan feminis sering tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban fundamentalisme keagamaan dan konsumerisme Amerika. Ketidaksadaran mereka tentang hubungan antara kebebasan perempuan di satu sisi dan ekonomi serta negara di sisi lain, sering membuat perempuan hanya terfokus pada perjuangan melawan patriarkat semata dan mengabaikan bahaya corporate capitalism bagi kehidupan perempuan dan masyarakat.

Pernyataan keras ini sekilas mengesankan pandangan seorang feminis konservatif, feminis eksistensialis gelombang kedua yang masih meneguhkan wacana hegemonik dominan. Namun jika kita meletakkan dalam konteks apa yang dikatakan spoonley (1995) sebagai ''...kekhususan yang muncul sebagai hasil dari politik identitas yang dilokalisasi, kita akan melihat suatu model perlawanan pluralistik yang telah dijelaskan oleh Yeatman (1993) sebagai saling menghubungkan penindasan''.

Nawal tidak sendirian di sini, Yeatman mengutip Bell Hooks sebagai contoh dari seorang feminis Afrika-Amerika, yang dalam mengkritik feminisme gelombang kedua, mengartikulasikan politik perbedaan dalam menunjukkan apa yang dimaksud dengan menjadi kulit hitam dan seorang perempuan.

Hooks (1984) mengatakan bahwa sebagai suatu kelompok, perempuan kulit hitam berada pada posisi yang tidak lazim dalam masyarakat. Tidak saja karena status sosial ekonomi pekerjaan yang memosisikan mereka sebagai kelompok paling rendah di kelompok mana pun, namun kelompok mereka adalah kelompok yang tidak disosialisasikan untuk berasumsi pada peranan pengeksploitasi/penindas.

Dengan demikian, mereka tidak diizinkan untuk mengeksploitasi atau menindas 'yang lain' yang diinstitusionalkan. Berbeda dengan perempuan kulit putih dan laki-laki kulit hitam yang memiliki dua cara. Mereka dapat bertindak sebagai yang menindas dan ditindas.

Dalam derajat yang berbeda, agaknya persoalan Nawal dan kelompok perempuan Mesir (Timur Tengah) lainnya dalam perjuangannya melawan 'penindasan' ini harus diletakkan dalam kerangka pemahaman yang sama, kendatipun mempunyai corak dan renik-renik penindasan yang berbeda.

Kunjungannya ke Indonesia sebagai pembicara kunci dalam Konferensi International Ketujuh Women Playwrights International pada 19-26 November 2006, tentulah mempunyai alasan tersendiri dan bisa jadi menginspirasi gerakan perempuan di Indonesia, terutama sikap dalam memperjuangkan sesuatu yang diyakininya melalui kepedulian, keberanian, dan kejujuran.

* Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti LIPI dan Board The Indonesian Institute

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 22 November 2006

No comments: